Tara keluar dari kamar mandi dengan piyama tidurnya, kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri mencari sosok laki-laki yang disebutnya es batu itu. Di depan meja rias Tara membersihkan wajahnya seperti biasa jika dia hendak berangkat tidur. Matanya tiba-tiba tertuju pada pintu balkon kamar terbuka, dia teringat jika Neo mengatakan di depan pintu sana ada anak buah neneknya yang tidak bisa membuat Neo kabur.
“Jangan-jangan … Neo gila! Apa dia mau kabur lewat balkon? Ini lantai berapa?!” pekik Tara yang bergegas memburu ke arah balkon, tetapi dia terhenti ketika menemukan sosok Neo yang sedang menghisap rokoknya di sudut balkon, mirip seorang napi yang tengah menanti hukuman berat.
“Kenapa? Kenapa kau berlari begitu? Aku masih cukup waras untuk tidak lompat dari hotel ini,” ujar Neo sambil meluruskan kakinya di lantai dan mengisap lagi rokoknya, angin membawa asap rokoknya pergi begitu cepat.
“Ya, tentu saja aku harus memastikan itu, apa kata dunia jika besok tersiar kabar ada pengantin baru yang jadi janda dalam semalam karena suaminya melompat dari balkon hotel!” seru Tara kesal, dia segera berbalik untuk kembali melanjutkan ritualnya membersihkan wajah.
“Perempuan gila!” rutuk Neo tak kalah kesal. Sampai detik ini dia belum tahu alasan neneknya menjodohkannya dengan gadis mungil dan menyebalkan itu di saat dirinya tengah sibuk mencari jawaban atas sesuatu yang menghantuinya selama belasan tahun.
Ingatan Neo kembali kepada beberapa bulan setelah kematian kedua orangtuanya, dia tak sengaja mencuri dengar pembicaraan Pak Danu dengan neneknya, Nyonya Atikah yang mengatakan jika kematian orangtua Neo itu bukan kecelakaan biasa. Ada yang merusak mobil ayah Neo sehingga tidak bisa dikendalikan dan menyebabkan kecelakaan. Tanpa nenek Neo jelaskan, Neo mengerti mengapa neneknya jauh-jauh mengirimnya melanjutkan sekolah di luar negeri, itu semata karena ingin melindungi Neo.
Sepuluh tahun pun berlalu tetapi Neo masih belum bisa melupakan percakapan nenek Atikah dengan Pak Danu, hal yang membuat Neo menyimpan bara dalam sekam di hatinya. Neo bertekad mencari tahu apa yang telah terjadi kepada mendiang orangtuanya dan siapa dalang dibalik pembunuhan ayah Neo yang merenggut pula nyawa ibunya. Tekad itu pula yang membawa Neo ke profesinya yang sekarang dan tidak ada seorang anggota keluarganya yang mengetahuinya termasuk Nyonya Atikah sendiri. Mereka hanya tahu jika Neo bekerja menjalankan bisnis café dan pekerja lepas. Berkali-kali Neo menolak tawaran neneknya untuk bekerja di perusahaan milik Nyonya Atikah paling tidak sampai kebenaran tentang kematian ayah dan ibunya terungkap.
Rokok di antara jari Neo sudah habis, sebenarnya dia bukan perokok berat atau aktif, dia hanya merokok jika sedang merasa gugup atau gelisah. Yaa … Neo gelisah dan gugup harus sekamar bahkan seranjang dengan perempuan yang mendadak begitu saja jadi istrinya. Jika saja … Merlyn tidak berkhianat dan menyia-nyiakan cintanya mungkin saja Merlyn yang ada di ranjang itu sekarang. Neo pun bangkit dari duduknya setelah memadamkan sisa bara di puntung rokoknya, masuk kembali ke kamar mereka dan menutup pintu balkon itu. Neo sudah lelah dan ingin tidur sekarang, tetapi apa yang dilihatnya membuat kantuknya hilang.
“Apa-apaan ini?!” seru Neo ketika melihat ada bantal dan selimut di lantai persis di bawah tempat tidur mereka. Neo mengambil bantal itu dan naik di ranjang dan menghempaskan tubuhnya sehingga Tara merasa ada guncangan. Tara berbalik dan duduk tegak bersiap menyerang Neo dengan kata-katanya.
“Apa? Kenapa kau bersikap seakan ingin membunuhku, hah? Aku tidak mau tidur di lantai, kalau mau kuingatkan otakmu yang kecil itu, hotel ini adalah milik nenekku jadi aku berhak tidur di atas ranjang ini!” Neo mendahului Tara sebelum perempuan itu membuka mulutnya.
“Kau … Kau memang pantas dibunuh, kau sombong, angkuh, hatimu beku dan menyebalkan!” seru Tara berapi-api. Neo mendengkus kesal dan berbalik memunggungi Tara, dia sudah lelah dan ingin tidur saja dengan nyenyak di sisa malam ini. Tara merutuk dalam hati, sikap angkuh dan lidah tajam Neo semakin membuat perempuan itu mengobarkan kebenciannya kepada Neo. Sebuah guling dan bantal kepala diletakkan Tara di tengah-tengah ranjang, dia membuat batasan agar mereka tidak perlu saling bersentuhan. Tara merasa jika dia sedang seranjang dengan musuh, tidak ada keromantisan malam pertama, tidak kemesraan atau tatapan tersipu malu. Bagi mereka ini adalah babak dimulainya perang di antara mereka.
Pagi menjelang, Tara dan Neo tidur saling berhadapan, dalam dekapan Tara ada bantal kepala yang semalam menjadi bentengnya sementara Neo memeluk guling yang menjadi pembatas. Alarm ponsel Tara berbunyi, perempuan itu menggeliat pelan, tangannya meraba-raba di mana dia meletakkan ponselnya. Neo mengira bunyi alarm dari ponselnya juga dan berusaha mencari benda itu lalu mulai meraba-raba dengan mata yang masih tertutup. Tanpa sengaja tangan Tara dan Neo bertemu, sesaat mereka saling meraba dan menggenggam.
“Aaaah … Ngapain kamu pegang-pegang aku?!” pekik Tara sambil menarik tangannya dengan kuat dan menjauh. Neo tersentak kaget mendengar suara Tara yang melengking, lelaki itu refleks berguling menjauh sehingga punggungnya mendarat di lantai.
“Astagaaaa… Kurcaci! Apa kau tidak pernah belajar sopan santun, hah? Kenapa kau berteriak sekencang itu? Kau membuatku kaget!” bentak Neo yang berusaha bangun dari pendaratannya terjun dari ranjang.
“Memegang tanganmu? Jangan harap, bahkan dalam mimpi pun aku tidak akan sudi!” hardiknya lagi sambil memegang punggungnya yang agak nyeri.
“Ooh … Sok ganteng! Sok cakep, kau ngeles dari perbuatanmu sendiri, kau pikir aku pun mau dipegang-pegang sama kamu? Aku lebih baik jatuh dari ketinggian jika yang tersisa hanya tanganmu saja yang harus kupegang!” seru Tara marah. Dia kembali sibuk mencari ponselnya yang masih saja berbunyi. Benda itu akhirnya ditemukan terselip di bawah bantalnya yang lain dan dengan gemas dia mematikan ponselnya.
Kini giliran ponsel Neo yang berbunyi, lelaki itu pun sibuk mencari dimana terakhir dia meletakkan ponselnya. Saat Neo sibuk mencari benda itu, Tara memilih turun dari tempat tidur dan menuju ke kamar mandi.
“Waalaikumsalam, Nek, ooh … Sarapan bersama di restoran hotel, baik Nek, aku dan Tara akan ke bawah secepatnya, baik Nek, engh … kami baik-baik saja, kami mengobrol semalaman seperti kawan lama,” ujar Neo sambil melirik Tara, perempuan itu mencebik mengejek karena apa yang dikatakan Neo semua kebohongan belaka.
“Baik, Nek, aku akan sampaikan ke Tara kalau Nenek menunggu kami, baik, Nek.” Neo menatap ponselnya sesaat dan mendekati Tara yang sedang mencuci mukanya.
“Kita akan sarapan dengan Nenek sejam lagi, ingat, aku tidak ingin nenek melihat kita sedang berperang, aku tidak ingin dicoret dari kartu keluarga nenekku, dan aku yakin kau tidak juga ingin kehilangan kantor konsultanmu itu jika ayahmu tahu kau selalu melawanku,” ancam Neo. Tara menghela napas panjang dan dengan gerakan kasar dia menyabuni wajahnya, Tara benar-benar kesal kepada suaminya itu.
Tara melengkapi dandannya dengan lipstik dengan warna senada bibirnya, penampilannya sederhana tetapi tetap terlihat anggun dan elegan. Nyonya Atikah sudah lama memperhatikan Tara, gadis yang baik, sopan, mandiri dan yang terpenting firasat neneknya Neo itu mengatakan jika hanya Tara saja yang bisa menjadi pendamping hidup Neo cucunya.“Cepat, Tara, meskipun kau memantrai cermin besar itu kau akan tetap terlihat seperti kurcaci!” seru Neo tak sabar lagi menunggu Tara berdandan.“Aku sudah selesai, Tuan Penggerutu! Buka matamu lebar-lebar, mana ada kurcaci secantik dan semanis aku!” balas Tara sengit.“Ingat, aku ingin kita tampak normal dan nenek menganggap kita menerima pernikahan ini dengan baik-baik saja,” ucap Neo serius, dia mencengkram siku kiri Tara dengan kuat membuat langkah Tara tertahan tiba-tiba.“Astaga, Neo! Kau mau membuatku terjatuh lagi hah? Iya aku tahu, aku ingat pesan sponsormu itu, berhenti mengingatkanku!” sentak Tara sambil mengusap siku kirinya dan berjalan men
Malam kedua mereka, Tara dan Neo menginap di rumah Tara. Neo harus menekan habis-habisan rasa canggungnya ketika memasuki rumah itu. Tara memiliki seorang kakak perempuan yang sudah menikah, Tari Aurora yang sudah menikah dengan seorang pilot. Saat ini Tari sedang hamil besar dan suaminya sedang berada di luar kota sehingga Tari sengaja menginap di rumah orangtuanya. Selain untuk berjaga-jaga, Tari juga sengaja tinggal di sana untuk bertemu adik iparnya sekaligus menggoda Tara. Malam ini mereka akan makan malam bersama.“Jadi kalian akan bulan madu ke mana?” tanya Tari di meja makan saat makan malam berlangsung.“Bali,” jawab Tara,“Raja Ampat,” sebut Neo bersamaan. Keduanya saling pandang, Tara yakin tempat itu Bali, destinasi wisata bulan madu yang neneknya pesankan untuk mereka. Neo menyuruh Tara untuk diam dengan menyenggol kakinya di bawa meja.“Yang bener kemana nih?” tanya mama Dewi melihat kepada Tara dan Neo bergantian.“Raja Ampat, Tante eeh Mama, engh … Raja Ampat,” jawab
Tara tidak menyangka jika kepulauan ini memang sangat bagus, kepingan surga yang berada di bumi memang bukan hanya kata ungkapan saja. Kali ini dia setuju dengan Neo jika tempat ini membuatnya bukan hanya sekedar suka tetapi Tara jatuh cinta dengan keindahannya.“Neo … Apa kau tidak mau berkeliling, lihat pemandangan di sini bagus banget Neeeooo!” seru Tara sambil melambai-lambaikan tangannya memanggil suaminya. Neo tertegun, saat melambai seperti itu Tara mengingatkannya kepada Merlyn, postur tubuh mantan kekasihnya itu mirip dengan Tara. Tinggi 155 sentimeter, ramping, dan terkesan mungil untuk Neo yang tingginya 180cm, berbadan tegap serta atletis. Merlyn atau Tara memang hanya sampai dadanya, sekilas Neo berpikir jika neneknya hanya menambah derita Neo saja karena telah menyodorkan sosok istri yang hampir mirip dengan mantannya yang pengkhianat itu. Hanya saja, rambut Marlyn panjang tergerai hingga sepunggung dan rambut Tara pendek sebahu. Soal kecantikan, Marlyn tentu lebih ungg
Neo berdecak kesal karena Tara yang tiba-tiba muncul begitu saja di belakangnya. Mau tak mau Neo pun berbalik menghadapi Tara. "Kamu punya kebiasaan nguping? Aku peringatkan jangan sampai itu terulang lagi, tidak sopan!" seru Neo dengan mata membulat sempurna. "Aku gak nguping … Kamunya aja yang kekencengan ngomong, aku gak budek yaa jadi bisa denger tadi kamu ngomong apa!" balas Tara yang tidak mau disalahkan, "buruan masuk nanti makanannya dingin," ajaknya kepada Neo. Mereka berdua pun bergegas masuk dan duduk kembali di tempat mereka. Mata Neo masih mengamati targetnya yang sedang asik bercengkrama dengan beberapa gadis muda. "Jadi kamu pernah ke sini sebelumnya?" Tara mencoba untuk mengobrol santai dengan lelaki di hadapannya itu. Mereka sedang menikmati hidangan laut yang begitu lezat."Iya, beberapa kali bersama teman dan …," Sekelebat bayangan Marlyn muncul dia pernah ke tempat ini bersama mantan kekasihnya itu."Dan?" Tara penasaran dengan kalimat Neo yang menggantung. "Da
Neo hanya menatap punggung Tara yang menjauh, dia tidak menyangka jika bekas luka kecil yang ditanyakan kepada Tara membuat perempuan itu menjadi berang dan menakutkan. “Hei, tunggu Kurcaci Kecil!” seru Neo mengejar istrinya itu. Tara tetap melangkah cepat dan tidak ingin lagi disentuh oleh Neo.‘Bahkan dia bertanya penyebab luka di lenganku, menyebalkan!’ gumam Tara dalam hatinya. Dia ingin istirahat saja dan menunggu waktu matahari tenggelam, dia ingin menyaksikan apakah sunset di sini juga indah seperti di tempat terkenal lainnya. Perempuan itu tidak memperdulikan lagi Neo yang memanggil dan mengejarnya. Tara membuka pintu cottage, menyimpan dompetnya kemudian mengambil tas perlengkapan kosmetiknya untuk mencuci mukanya. “Tara, aku akan keluar sebentar, kau bisa sendirian di sini?” tanya Neo sambil meninggikan suaranya, terdengar suara air mengalir dari kran. “Aku bukan anak kecil, kau pergi saja, aku akan baik-baik saja di sini!” seru Tara dari balik pintu. Tanpa menunggu waktu
“Neeeeooo! Apa yang kau lakukan?!” pekik Tara sambil menarik tirai dan menutupnya. Bergegas Tara mencari ponselnya yang terjatuh di dasar bak bathup. “Sorry, aku pikir kamu sedang di kamar, perutku sakiiit,” sahut Neo di bilik wc dengan suara tertahan. Tara mendapati ponselnya baik-baik saja dan dia menghela napas lega. Segera dia keluar dari bathup dan menyimpan ponselnya di tempat yang aman. Lalu meraih handuk kimononya, tanpa Tara sadari sekat transparan itu menunjukkan lekuk tubuhnya kepada Neo yang sedang duduk di dalam sana. Neo menelan ludahnya dan pura-pura tidak melihat apapun. Dia diam menahan rasa mulas di perutnya dan membiarkan Tara berlalu dari kamar mandi mereka.Tara duduk di tepi ranjangnya memeriksa ponselnya, Neo benar-benar mengejutkannya sehingga ponsel yang baru dibelinya beberapa bulan lalu itu terjatuh hingga ke dasar bathup.“Mudah-mudahan kamu baik-baik saja yaa, pon, aku belum ada niat mau ganti kamu di dalam hidupku,” gumam Tara. Dia pun meletakkan ponsel
Neo bergegas kembali ke pesta, tidak ada yang memperhatikannya jika dia sudah ada dalam pesta yang lebih banyak orang asing itu. Dirinya sudah menggenggam sebotol minuman soda dan menikmati pesta, matanya mencari keberadaan Tara istrinya. Tak lama dia pun mendekati perempuan itu yang terlihat hanya duduk menyendiri setelah kawan ngobrolnya harus menyapa tamunya yang lain. “Apa kau tak menikmati pesta ini?” tanya Neo yang duduk di samping Tara.“Kau dari mana?” Tara balik tanya tetapi hanya formalitas saja dia sudah enggan ingin mengetahui tentang urusan Neo.“Aku dari toilet tetapi bukan yang dekat sini karena penuh jadi aku kembali ke kamar kita,” ucap Neo tenang, “maaf aku tidak bermaksud meninggalkanmu begitu saja.”“Tak perlu minta maaf, kita dua orang dewasa yang bertanggung jawab atas tindakan kita masing-masing, kita hanya pasangan terpaksa menikah, kita urus saja urusan kita masing-masing,” tukas Tara, dia meletakkan botol minumannya dan melangkah pergi. Neo hanya memandangi
Tara Amora menatap dirinya di depan cermin, dia merasa masih tidak percaya jika saat ini dia mengenakan gaun pengantin. Riasannya cantik, tidak menor dan tidak mengubah wajahnya menjadi orang lain, seperti yang sudah diwanti-wanti pada perias pengantin.“Yaaa Tuhaaan … Bahkan ini bukan gaun pengantin yang kuinginkan, bukan pesta yang kuharapkan sama sekali,” desisnya putus asa. Buket bunga di tangannya diremas dengan kuat, ada rasa nyeri yang dirasakannya menandakan di tidak sedang bermimpi.“Oooouuuhhh … Kenapa si es batu kejam itu menyetujui pernikahannya ini? Dia bisa menolak dengan tegas karena dia laki-laki! Mama dan papa juga, yaa ampuuun … Ada apa dengan mereka sehingga tidak berpikir dua kali menikahkan putrinya dengan laki-laki yang tidak jelas pekerjaannya, penyendiri, berwajah masam daaan aku—““Heeeh … Kau pikir aku tidak berusaha menolak pernikahan ini? Kau pikir hanya kau saja yang merasa tersiksa? kau bukan levelku, kurcaci kecil!” seru suara laki-laki di belakang Tara