Yara merasakan dirinya dengan Oliver semakin jauh, setelah apa yang terjadi di Bali, dan setelah kejadian kemarin saat Yara dan Marshall memasak bersama.Oliver semakin dingin dan sama sekali tidak menganggap kehadiran Yara di rumahnya. Yara tidak mengerti, kenapa Oliver sampai sedingin itu tanpa alasan yang jelas? Pria itu semakin sulit ia jangkau.Hari ini, Yara membawa Zio untuk berkunjung ke rumah ibunya. Rianti, wanita yang berusia 50 tahun itu tampak lebih tua sepuluh tahun dari usia sebenarnya, akibat kanker yang menggerogotinya dan pengobatan yang ia jalani. Rianti tinggal berdua dengan seorang wanita yang Oliver pekerjakan untuk menjaga dan merawatnya.Senyuman lebar terukir di bibir Rianti yang pucat kala Yara dan Zio datang. Sudah lama sekali Rianti merindukan putri dan cucunya.“Maafin aku, Bu, baru jenguk Ibu lagi sekarang,” ucap Yara dengan perasaan menyesal sambil memeluk Rianti. “Aku kangen Ibu.”
“Terima kasih sudah mengantar kami pulang,” ucap Yara sembari melepas sabuk pengaman.“It’s okay. Aku punya banyak waktu luang hari ini.” Marshall tersenyum, sebelum akhirnya turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Yara.Tadi, setelah dari supermarket, Marshall mengantar Yara dan Zio ke rumah Rianti untuk menyimpan semua barang belanjaan kebutuhan sehari-hari. Setelah itu Marshall pula yang mengantar Yara pulang ke rumah Oliver sampai ke depan rumah, sekarang.Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika Yara menginjakkan kaki di dalam rumah Oliver. Lampu ruang tengah sudah dipadamkan. Yara menggendong Zio yang sedang tertidur.“Dari mana saja kamu seharian ini?”Yara tersentak kala mendengar suara bariton Oliver yang menggema di seluruh ruangan. Ia melihat siluet pria itu sedang berdiri dekat sofa. Suaranya yang dingin membuat jantung Yara berdetak cepat.“Oliver...,” gumam Yara sambil menghampiri pria itu. “Kamu belum tidur?” Yara mencoba berbasa-basi demi mencairkan suas
Yara tersentak saat Oliver menariknya menuju kamar Zara—sebuah ruangan yang jarang ia masuki. Ruangan itu selalu membuatnya merasa asing, seolah-olah ia bukan bagian dari rumah ini.Ketika Oliver membuka pintu dengan kasar, aroma parfum lembut yang familiar menyambutnya. Parfum Zara."Kamu tahu kenapa aku terus menyimpan kamar ini seperti dulu?" tanya Oliver dengan nada yang lebih tenang tapi tetap dingin. Ia membiarkan pintu terbuka, memperlihatkan seluruh kenangan Zara yang tertata rapi di dalam sana. Foto-foto, pakaian, dan barang-barang pribadi Zara seakan tidak pernah tersentuh waktu.Yara menelan ludah, tangannya gemetar. "Oliver, aku—"Oliver menoleh padanya dengan tatapan yang tajam. "Kamu menikah denganku karena Zara. Kamu ada di sini untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkannya. Tapi lihat dirimu! Kamu terus saja melakukan hal-hal yang seharusnya dia tidak pernah lakukan. Apa yang kamu p
Oliver mengerem mobilnya secara mendadak. Marshall menoleh ke belakang, ia bersyukur karena tak ada kendaraan di belakang mereka.“Oliver William, kamu mau membuat penyanyi terkenal ini mati mendadak?” protes Marshall, “ah, atau jangan-jangan dugaanku benar. Kamu cemburu.” Marshall terkekeh kecil.Oliver mendengus kasar, ia melajukan lagi kendaraannya dengan ekspresi yang semakin keruh.“Jangan bicara sembarangan, atau aku akan menurunkanmu di sini!” ancam Oliver dengan rahang mengeras.“Oke. Oke,” Marshall mengangkat tangan, tanda menyerah. Itu lebih baik daripada ia terluntang-lantung di jalan dan dikerubungi wartawan lagi seperti beberapa saat yang lalu.“Biar aku luruskan supaya kamu nggak salah paham,” ujar Oliver tiba-tiba. “Aku nggak mungkin cemburu pada kedekatanmu dengan Yara. Itu mustahil!” tegasnya.Marshall menatap Oliver dengan saksama dan mata dipicing
“Aku cuma belajar bermain piano, tapi kenapa rasanya lelah sekali?” keluh Yara sambil mengempaskan tubuhnya ke atas kasur, matanya menatap langit-langit kamar Zara.Tatapannya kemudian bergeser ke sudut ruangan, ke arah piano milik Zara yang baru saja ia mainkan dipandu oleh seorang guru les piano yang dikirimkan Oliver. Kini guru bernama Aster itu sudah pergi setelah satu jam membimbing Yara bermain piano.Yara menghela napas panjang. Ia masih dikurung di kamar Zara dan tidak diperbolehkan keluar, entah sampai kapan.Hatinya terasa sakit karena setiap sudut ruangan dan setiap benda di kamar ini mengingatkannya akan sosok Zara.Ia juga merindukan adik kembarnya itu, tapi ada satu hal yang masih mengganjal di hati Yara. Ia belum mendapatkan penjelasan dari Zara; kenapa adiknya itu tega merebut Oliver darinya di masa lalu?“Nona, boleh saya masuk?” Suara Wanda mengeluarkan Yara dari lamunannya.Kini ia bertanya-tanya untuk apa Wanda datang ke rumah ini?“Boleh. Masuk saja,” jawab Yara,
Lisa baru pertama kali melihat Oliver semarah itu. Tangannya gemetar, tapi ia berusaha membawa makanan dengan hati-hati. Lisa menaruh makanan itu di atas nakas sebelum ia kembali keluar.“Makan!” perintah Oliver pada Yara sambil berdiri menjulang tinggi di sisi ranjang.Hati Yara bergetar begitu mendengar Oliver menyuruhnya makan. Jadi... pria itu datang di tengah kesibukannya lalu marah-marah hanya untuk menyuruh Yara makan setelah dua hari tanpa asupan apapun?Tak bisa dipungkiri, ada satu bagian dari dalam diri Yara yang merasa senang dengan perhatian itu. Namun, satu bagian diri yang lain mengingatkan Yara bahwa saat ini Oliver masih memandangnya sebagai Zara.“Tunggu apa lagi, Yara?!” Oliver nyaris hilang kesabaran. Rahangnya mengeras. “Makan! Atau aku akan menghubungi rumah sakit untuk menghentikan pengobatan ibumu!”Oliver mengeluarkan ponsel dari saku. Yara terkejut. Cepa
Yara terbangun dari tidurnya. Ia merasakan tenggorokannya kering dan memutuskan pergi ke dapur. Malam ini ia sudah tidur di kamarnya kembali, bukan di kamar Zara.‘Sepertinya Oliver nggak pulang lagi malam ini,’ batin Yara ketika ia melihat kamar Oliver tampak kosong.Ada perasaan sedih di hatinya, karena ternyata Oliver tidak mendengarkan permintaannya tadi siang untuk pulang dan tidur di rumah.‘Lagi pula siapa aku bagi dia?’ Yara tersenyum miris, tak mungkin Oliver mau mendengarkan kata-katanya, bukan?Namun, saat Yara melewati ruangan tengah, tanpa sengaja ia melihat Oliver sedang tertidur di sofa panjang. Terdengar dengkuran halus darinya. Yara tidak bisa mencegah bibirnya untuk tidak tersenyum.Yara memutuskan kembali ke atas, mengambil selimut dari kamar Oliver, lalu kembali ke bawah dan menyelimuti pria itu dengan gerakan hati-hati.Di bawah cahaya remang-remang, Yara
Mendengar saran Yarra, Oliver tampak tertarik. “Terrarium?” tanyanya dengan kening berkerut. Yara tersenyum lembut, senyuman yang bukan dirinya. “Iya, terrarium," jawabnya, "sebuah taman mini yang bisa ditaruh di dalam ruangan. Aku ingat Mama suka berkebun. Jadi aku pikir, Mama pasti akan menyukainya. Menurutku itu hadiah yang unik dan bermakna.” Oliver terdiam sejenak, memikirkan saran Yara tersebut. Ia tahu ibunya menyukai tanaman dan berkebun. Saran Yara masuk akal, dan lebih dari sekadar sesuatu yang mewah, melainkan sesuatu yang penuh arti, pikirnya. "Itu ide yang bagus," ucap Oliver pada akhirnya dengan ekspresi datar. "Aku akan membelikan terrarium untuk Mama." Mendengar hal tersebut, Wanda tidak bisa menyembunyikan rasa kesalnya ketika Oliver memilih ide Yara daripada sarannya. Namun ia tetap tersenyum, meski di dalam hatinya ada rasa tidak suka terhadap Yara yang semakin membesar. “Aku tahu di mana tempat membeli terrarium yang berkualitas,” saran Yara lagi. “Ba