Yara terbangun dari tidurnya. Ia merasakan tenggorokannya kering dan memutuskan pergi ke dapur. Malam ini ia sudah tidur di kamarnya kembali, bukan di kamar Zara.‘Sepertinya Oliver nggak pulang lagi malam ini,’ batin Yara ketika ia melihat kamar Oliver tampak kosong.Ada perasaan sedih di hatinya, karena ternyata Oliver tidak mendengarkan permintaannya tadi siang untuk pulang dan tidur di rumah.‘Lagi pula siapa aku bagi dia?’ Yara tersenyum miris, tak mungkin Oliver mau mendengarkan kata-katanya, bukan?Namun, saat Yara melewati ruangan tengah, tanpa sengaja ia melihat Oliver sedang tertidur di sofa panjang. Terdengar dengkuran halus darinya. Yara tidak bisa mencegah bibirnya untuk tidak tersenyum.Yara memutuskan kembali ke atas, mengambil selimut dari kamar Oliver, lalu kembali ke bawah dan menyelimuti pria itu dengan gerakan hati-hati.Di bawah cahaya remang-remang, Yara
Mendengar saran Yarra, Oliver tampak tertarik. “Terrarium?” tanyanya dengan kening berkerut. Yara tersenyum lembut, senyuman yang bukan dirinya. “Iya, terrarium," jawabnya, "sebuah taman mini yang bisa ditaruh di dalam ruangan. Aku ingat Mama suka berkebun. Jadi aku pikir, Mama pasti akan menyukainya. Menurutku itu hadiah yang unik dan bermakna.” Oliver terdiam sejenak, memikirkan saran Yara tersebut. Ia tahu ibunya menyukai tanaman dan berkebun. Saran Yara masuk akal, dan lebih dari sekadar sesuatu yang mewah, melainkan sesuatu yang penuh arti, pikirnya. "Itu ide yang bagus," ucap Oliver pada akhirnya dengan ekspresi datar. "Aku akan membelikan terrarium untuk Mama." Mendengar hal tersebut, Wanda tidak bisa menyembunyikan rasa kesalnya ketika Oliver memilih ide Yara daripada sarannya. Namun ia tetap tersenyum, meski di dalam hatinya ada rasa tidak suka terhadap Yara yang semakin membesar. “Aku tahu di mana tempat membeli terrarium yang berkualitas,” saran Yara lagi. “Ba
Saat tak sengaja menemukan eskalator, Yara dan Oliver serempak memilih melangkah ke eskalator tersebut tanpa konfirmasi satu sama lain. Seolah-olah keduanya memiliki pikiran yang sama; trauma dengan kejadian di lift tadi. Kini suasana di antara mereka semakin canggung. Oliver berjalan di depan Yara, tapi langkahnya tidak terlalu cepat dan lebar, seakan-akan pria itu mengerti bahwa Yara kesulitan berjalan dengan high heels. Ketika melewati toko yang menjual berbagai macam kamera, dari yang mirrorless sampai DSLR, Yara berhenti melangkah. Ia berdiri di depan toko tersebut dan mengamati sebuah kamera DSLR yang sangat menarik perhatiannya. Sementara itu di sisi lain, Oliver berkata, “Setelah ini kita pergi ke butik untuk mencari gaun yang akan kamu gunakan ke pesta ulang tahun Mama.” Namun, Oliver tak mendapatkan jawaban. Oliver berhenti berjalan dan berkata sambil menoleh
Hari dilaksanakannya pesta ulang tahun Jingga pun akhirnya tiba. Oliver sedang menunggu Yara keluar dari kamarnya. Ia menunggu di dalam mobil dengan tidak sabar karena acara sudah hampir dimulai, tapi Yara terlalu lama. Zio duduk di pangkuannya, memainkan sebuah mobil mainan di dada Oliver yang dibalut jas hitam. Oliver menatap wajah anak itu dengan lekat. Gen ibunya terlalu kuat pada Zio, sehingga anak itu delapan puluh persen hampir mirip dengan Zara. Saat ujung mata Oliver melihat seseorang keluar dari rumah, Oliver mendongak. Seketika itu juga Oliver menegakkan punggung dengan tatapan terpana. Penampilan wanita yang sedang berjalan menuju mobil itu tampak berbeda dengan penampilan Zara. Jika biasanya Zara membiarkan rambutnya tergerai dan mengenakan gaun berwarna lembut, kini Yara menggelung rambutnya dan menyisakan beberapa helai di dekat telinga kiri dan kanan. Gaun berwarna merah dengan
“Boleh kenalan nggak?”Yara merasa sedikit bingung, apa yang harus ia lakukan sekarang untuk menjaga sikapnya? Apakah harus menerima ajakan pria itu untuk berkenalan atau justru mengabaikannya? Ia tidak ingin membuat masalah lagi bagi Oliver, apalagi kini ia berada di tengah-tengah keluarga besar suaminya itu.“Bukankah kamu sudah mengenalinya, Arjun?!”Suara bariton itu mengejutkan Yara, dan juga pria bernama Arjun yang berdiri di hadapan Yara tersebut. Yara menoleh ke belakang dan mendapati Oliver sedang menghampiri mereka dengan rahang mengeras.Diam-diam Yara menghela napas lega dengan kedatangan Oliver, karena ia tidak perlu berbasa-basi dengan lelaki tak dikenal ini.“Aku memang sudah tahu namanya, tapi kami belum saling kenal,” elak Arjun—pria yang tampaknya lebih muda dari Oliver.Oliver berdiri di samping Yara, menarik pinggangnya hingga mereka saling berdekatan. Yara terkejut dengan tindakan impulsif Oliver tersebut, yang diam-diam membuat jantungnya berdetak lebih cepat dar
Jika Oliver saja tidak bisa menolak permintaan ibunya untuk menginap, apalagi Yara? Yara meremas jari jemarinya sambil menatap langit-langit kamar. Untuk pertama kalinya ia berharap Zio—yang sedang tertidur nyenyak di dalam box tempat tidurnya, terbangun, untuk mencairkan suasana. Namun, anak itu tak ada tanda-tanda akan bangun setelah lelah aktif bermain selama acara tadi berlangsung. Bunyi pintu kamar mandi yang dibuka mengagetkan Yara. Oliver keluar dari sana, lalu duduk di tepian ranjang, membuat suasana menjadi semakin canggung. “Kalau kamu nggak nyaman tidur denganku, kamu bisa tidur di sana.” Oliver menunjuk sofa, membuat mata Yara terbelalak. ‘Apa-apaan ini? Dia malah menyuruhku tidur di sofa?’ protes Yara dalam hati. Yara mendengus pelan, amat pelan hingga Oliver nyaris tak mendengarnya. “Nggak, kok. Aku nyaman-nyaman aja,” dusta Yara. Oh, sungguh Yara tidak mau ti
“Aku nggak butuh penghiburanmu!” bisik Oliver dengan frustrasi.“Mama sudah sadar,” ucap Yara, “dan dokter bilang kondisinya sudah mulai membaik.”Oliver mengerjap, seakan baru tersadar dan keluar dari dunianya sendiri. Ia buru-buru menyusul Davin dan Olivia masuk ke dalam ruangan UGD.Namun, kenyataan Jingga sudah siuman dan ia pingsan karena kelelahan—bukan karena penyakit yang serius, tak lantas membuat Oliver merasa tenang.Oliver tetap terlihat kacau. Pria itu kini duduk sendirian di kursi yang ada di koridor setelah Jingga dipindahkan ke ruang perawatan. Oliver tampak rapuh, membuat Yara yang melihatnya ingin memeluk bahu dan punggung yang rapuh itu. Kehilangan Zara benar-benar telah membuat Oliver berubah.“Oliver, ikut aku.” Yara mendekat dan menarik salah satu tangan Oliver.Namun, Oliver segera menarik kembali tangannya. “Tidak mau,” jawabnya datar. “Aku ingin tetap di sini, memastikan Mama baik-baik saja.”Yara duduk di samping Oliver, dengan lembut ia berkata, “Mama baik-b
Sambil menggenggam pergelangan tangan Oliver, Yara membawa pria itu berjalan bersamanya menyusuri jalanan sebuah perumahan. Dan kali ini pun Oliver tidak menolaknya, ia membiarkan Yara membawanya ke manapun mereka pergi.“Oliver! Kalau aku lari, ikut lari, ya!” seru Yara tiba-tiba dengan senyuman geli. Sebelum akhirnya ia menekan bel sebuah rumah secara random, berkali-kali.“Kenapa aku harus ikut lari denganmu?” tanya Oliver dengan ekspresi datar. “Dan, hey! Kenapa kamu menekan bel rumah orang semba—““Ayo lari!” sela Yara sambil berlari meninggalkan Oliver dan bersembunyi di suatu tempat.Oliver masih tampak kebingungan dengan sikap Yara. Ia tetap berdiri di depan pintu gerbang rumah tersebut dengan kaku, sampai akhirnya si pemilik rumah keluar dan bertanya, “Maaf, mau ketemu siapa?”“Ya?” Oliver terkejut, seakan baru tersadar bahwa Yara sedang mengerjai si pemilik rumah. Ia menggaruk tengkuk yang tak gatal dan berkata, “Maaf, sepertinya saya salah alamat. Permisi.”Oliver buru-buru