Sambil menggenggam pergelangan tangan Oliver, Yara membawa pria itu berjalan bersamanya menyusuri jalanan sebuah perumahan. Dan kali ini pun Oliver tidak menolaknya, ia membiarkan Yara membawanya ke manapun mereka pergi.“Oliver! Kalau aku lari, ikut lari, ya!” seru Yara tiba-tiba dengan senyuman geli. Sebelum akhirnya ia menekan bel sebuah rumah secara random, berkali-kali.“Kenapa aku harus ikut lari denganmu?” tanya Oliver dengan ekspresi datar. “Dan, hey! Kenapa kamu menekan bel rumah orang semba—““Ayo lari!” sela Yara sambil berlari meninggalkan Oliver dan bersembunyi di suatu tempat.Oliver masih tampak kebingungan dengan sikap Yara. Ia tetap berdiri di depan pintu gerbang rumah tersebut dengan kaku, sampai akhirnya si pemilik rumah keluar dan bertanya, “Maaf, mau ketemu siapa?”“Ya?” Oliver terkejut, seakan baru tersadar bahwa Yara sedang mengerjai si pemilik rumah. Ia menggaruk tengkuk yang tak gatal dan berkata, “Maaf, sepertinya saya salah alamat. Permisi.”Oliver buru-buru
Yara berdiri di tengah lapangan basket dengan bola di tangannya. Matahari sore mulai memerah, memancarkan cahaya keemasan yang menambah keheningan di sekitarnya. Lapangan itu tampak sepi, hanya ada angin yang sesekali menerpa wajahnya. Yara memantulkan bola beberapa kali, setiap suara pantulan bola itu seolah menggemakan kenangan yang tak bisa ia lupakan. Setiap kali ia melihat lapangan basket, kenangan masa lalunya bersama Oliver terus membayang di benaknya. Dulu, mereka sering bermain basket bersama, tertawa, dan bersaing dengan canda tawa yang membuat hati Yara penuh dengan kebahagiaan. Tapi sekarang, semua itu hanya terasa sebagai kenangan yang jauh dan sulit dijangkau. ‘Kamu tahu, Yara? Aku pernah mengalami kejadian yang sama, seperti ini, di masa lalu dengan Zara. Dan itu pertama kalinya aku jatuh cinta dengan dia.’ Kata-kata Oliver beberapa hari yang lalu kembali terngiang di
Saat Oliver membuka pintu rumah, suara tangisan nyaring menyambutnya. Zio tengah menangis dengan suara kencang di ruang tengah. Kepalanya sedikit pening mendengar suara tangisan yang tak kunjung mereda. Seketika, ia merasa cemas dan penasaran, kenapa anaknya bisa menangis begitu keras."Zio, sayang... tenang dulu, ya." Suara Yara terdengar sedang berusaha menenangkan Zio, tetapi sedikit putus asa.Oliver meletakkan tas kerjanya di meja, lalu berjalan cepat menuju sumber suara. Dari balik pintu ruang tengah, ia melihat Yara sedang berjongkok di depan Zio, mencoba menenangkannya. Wajahnya tampak lelah, tapi tetap penuh kasih sayang. Zio sedang tantrum, berguling-guling di lantai dengan air mata mengalir di pipinya.Yara menghela napas panjang, ia mencoba memberikan Zio mainan favoritnya, tapi Zio tetap menangis keras. Oliver hendak melangkah maju untuk membantu, tetapi ia tiba-tiba berhenti saat melihat Yara berdiri dan melakukan sesuatu yang tak diduga-duga.Yara dengan ekspresi penuh
“Kenapa aku tiba-tiba begini?” keluh Yara sambil mengusap wajahnya yang basah menggunakan handuk, setelah sebelumnya ia berusaha mengeluarkan isi perut yang terasa bergejolak. Tadi, saat memasak seafood pun ia sedikit merasa mual, tapi tidak begitu hebat seperti sekarang. Dengan langkah lemas, Yara kembali ke meja makan. Oliver menghentikan kunyahannya, lalu mendongak, menatap Yara dengan ekspresi datar. “Kamu baik-baik saja?” Yara mengangguk. “Iya, aku rasa begitu.” Namun ia sedikit ragu dengan jawabannya. “Wajah kamu pucat,” kata Oliver lagi sambil melanjutkan kembali melahap makanannya yang tinggal separuh di piring. Yara menatap Oliver sejenak, merasakan kehangatan samar dari perhatian yang tersembunyi di balik nada datarnya. “Aku baik-baik saja,” ulangnya, meskipun tubuhnya terasa lelah. Ia duduk di kursinya dan me
Yara memandang dua garis merah di alat tes kehamilan dengan perasaan campur aduk. Lututnya lemas, membuat tubuhnya jatuh ke lantai kamar mandi dengan hati yang berdenyut perih. “Nggak mungkin…,” bisiknya. Pikirannya berputar dengan cepat, menolak kenyataan yang baru saja ia lihat. Tapi di dalam hatinya, ia tahu kebenaran itu tidak bisa dihindari.Kehamilan. Bagaimana ini bisa terjadi?Yara menggigit bibirnya, ketakutan dan kebingungan membanjiri dirinya. Mereka baru menikah, dan hubungannya dengan Oliver masih terasa asing dan tegang. Kehamilan ini bukan bagian dari rencana mereka—mungkin bukan bagian dari rencana Oliver sama sekali.Yara memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan diri, tetapi bayangan wajah Oliver terus muncul dalam benaknya. Bagaimana Oliver akan bereaksi? Apakah dia akan marah? Atau mungkin malah akan semakin membencinya? Ia tahu betapa rumit perasaan Oliver terhadap dirinya, dan sekarang, be
Mendengar pertanyaan itu, tubuh Yara menegang bak disambar petir. Tangannya mengepal, bergetar hebat.“Anak siapa?” ulang Yara dengan tatapan tak percaya. “Kamu tanya ini anak siapa?”Oliver mengembuskan napas kasar, berdiri mendekati Yara dan tersenyum sinis. “Kita baru satu kali melakukannya. Nggak mungkin kejadian malam itu membuat kamu hamil, bukan?”Yara merasakan hatinya seperti diremas-remas, pedih dan berdarah-darah. “Lalu maksud kamu, secara nggak langsung kamu bilang kalau aku hamil anak pria lain, Oliver?” Suara Yara terdengar bergetar, air mata menumpuk di pelupuk matanya.“Ya, kurasa begitu—“Plak!!!Wajah Oliver terlempar ke samping ketika sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Rahang Oliver mengeras.“Kamu menamparku, Yara?” desis Oliver dengan tatapan tajam.Yara berusaha menahan air matanya agar tidak t
“A-apa?” Yara merasakan dunia berhenti berputar dan tubuhnya menggigil mendengar apa yang Oliver ucapkan barusan. “Tolong katakan sekali lagi.” Mungkin saja ia salah dengar.Oliver mengembuskan napas kasar. “Aku nggak mau memiliki anak dari wanita lain, selain Zara,” ujarnya dengan ekspresi dingin, yang membuat Yara bagai diserang ratusan anak panah. “Maka dari itu, gugurkan kandunganmu. Aku sama sekali nggak menginginkan anak itu—“Tepat setelah mengatakan kalimat kejam tersebut, sebuah tamparan keras mendarat di pipi Oliver. Tangan Yara yang barusan menamparnya, kini bergetar dan terasa dingin.“Sampai dunia kiamatpun, aku nggak akan pernah—nggak akan pernah, menggugurkan anak ini!” desis Yara dengan tatapan terluka. “Nggak peduli kamu akan marah padaku atau tidak!”Oliver mengepalkan kedua belah telapak tangannya. Untuk kedua kalinya Yara menamparnya, di mana dulu Zara sama sekali belum pernah melakukannya. Dan itu—tamparan Yara, melukai harga diri Oliver.“Aku bisa memaksamu mengg
Jihan menyodorkan tisu yang baru saja ia buka kepada Yara. Sementara itu, di lantai sudah berceceran tisu bekas air mata Yara yang—sejak kedatangannya ke rumah Jihan, tak ingin berhenti mengalir.“Baiklah, kalau kamu belum mau cerita mengenai permasalahanmu,” ucap Jihan, prihatin, melihat sahabatnya yang selalu ceria itu kini bagai ayam yang murung. “Tapi asal kamu tahu, telingaku selalu siap mendengarkan setiap keluh kesahmu.”Yara mengambil tisu berikutnya, mengusap air mata dan membuang ingus. Matanya bengkak. Ia memutuskan “pulang” ke rumah Jihan ketimbang ke rumah ibunya. Sebab Yara tak ingin membuat ibunya bertanya-tanya dan berpikir berlebihan, yang akan mempengaruhi kesehatannya.“Terima kasih,” ucap Yara, “tapi aku belum bisa cerita sekarang, Jihan. Aku harap kamu mengerti.”“It’s okay... it’s okay. Aku mengerti, kok.” Jihan mengusap kepala Yara dengan tatapan prihatin.“Ngomong-ngomong, aku boleh tinggal di sini untuk sementara waktu? Aku nggak bisa pulang ke rumah Ibu, ngga
“A-apa maksudmu?” Yara tersentak kala mendengar ucapan Oliver barusan.Apa pria itu bilang?Tidak pernah menceraikannya? Kenapa bisa?“Aku bilang....” Oliver menjeda kalimatnya seraya mendekatkan wajah mereka. Namun, Yara segera memalingkan muka ke samping saat bibir mereka nyaris bertemu. Bibir Oliver kini berakhir di pipi Yara. Oliver mendekatkan bibirnya ke telinga Yara, berbisik, “Aku nggak pernah menceraikanmu, Yara. Surat gugatan cerai darimu nggak pernah aku tandatangani dan kata cerai belum keluar dari mulutku.”Raut muka Yara seketika berubah menegang. Ia mendorong dada Oliver keras-keras hingga pria itu berhasil mundur dari hadapannya. Mata Yara menatap Oliver dengan tajam. Lalu mendengus kasar.“Jangan membohongiku, Oliver,” desis Yara, “kamu sudah bahagia dengan Zara, seharusnya kamu sudah menceraikanku karena aku dan Zara kakak beradik yang nggak boleh kamu nikahi secara bersamaan!”Satu sudut bibir Oliver kembali terangkat. Ia merogoh saku jas bagian dalamnya dan mengelu
Yara berkacak pinggang sembari mengembuskan napas melihat bekal kedua anaknya yang masih tergeletak di meja. Tadi ia meminta tolong Arthur agar memanggil Airell untuk makan siang, tapi sampai saat ini Arthur belum kembali dan Airell pun tidak terlihat batang hidungnya. Kemarin sore Arthur sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Dan untuk memberi hiburan pada anak itu, hari ini Yara membolehkan anak-anaknya ikut dengannya ke kantor Infinity Events. “Anak-anak itu susah sekali kalau disuruh makan,” gerutu Yara sambil geleng-geleng kepala. Lalu ia keluar dari ruangan kerjanya untuk mencari Arthur dan Airell. Ia menuruni tangga dengan langkah anggun dan penuh percaya diri. Sampai saat ini Yara lebih suka memakai flat shoes ketimbang high heels. Yara sudah bisa menebak bahwa si kembar berada di lobi, sebab tempat itu adalah tempat kesukaan mereka selain taman kecil di
Oliver berdiri di depan bangunan dua tingkat bergaya minimalis. Bangunan itu terlihat seperti masih baru. Tulisan Infinity Events terukir di sudut kanan atas bangunan berbentuk kubus itu. Model bangunan tersebut persis seperti selera Yara, pikir Oliver. Kedua sudut bibir Oliver terangkat. Dan mungkin itu senyuman tulus pertama yang ia sunggingkan selama beberapa tahun terakhir. Oliver mengembuskan napas, ia harus berjuang menenangkan diri karena jantungnya berdetak tak karuan. Sebelum akhirnya ia melangkahkan kakinya memasuki lobi Infinity Events. Saat Oliver membuka pintu, tidak ada orang di meja resepsionis. Lobi itu terlihat kosong selain ada seorang anak kecil perempuan, yang sedang menari berputar-putar sambil menyanyikan lagu “Do You Wanna Build A Snowman”. Tampak kerutan di kening Oliver. Ia merasa seperti pernah bertemu dengan anak itu.
Yara berjalan dengan langkah cepat sambil berusaha menahan air mata agar tidak tumpah.Tiba di luar lobi hotel, ia menghentikan langkahnya. Satu tangannya bertumpu pada pilar, sementara tangan yang lain memegangi dada yang tengah bernapas naik turun. Dadanya terasa sesak.Ia berusaha menghirup oksigen dalam-dalam dengan mata yang memanas.Bertemu dengan Oliver seperti membuka kembali kenangan lama yang berusaha ia kubur dalam-dalam.Susah payah selama enam tahun ia menghindar, kenapa sekarang harus dipertemukan kembali? Setelah dirasa dadanya mulai melonggar, ia berjalan dengan gontai menuju mobilnya di parkiran. Tangannya yang gemetar berusaha mencari kunci di dalam tas. Hingga kunci itu terjatuh setelah ia menemukannya. “Kenapa harus sekarang?” bisik Yara pada dirinya sendiri sambil memunguti kunci tersebut. Yara membuka pintu mobil, mendaratkan pantatnya di belakang kemudi. Ia mengusap wajahnya dengan kasar sambil mengerang frustrasi. Lalu jemarinya berhenti pada bibirnya. Cium
“Jadi....” Oliver mendekati Yara, berdiri di samping kursi Yara dengan tatapan yang masih sulit diartikan. “Apa alasan sebenarnya Anda memilih konsep yang, menurut saya, terlalu sederhana untuk acara sebesar ini... Nona Yara?”Yara tersentak ketika Oliver memutar kursi yang ia duduki, hingga mereka saling berhadapan. Oliver menaruh kedua tangannya di lengan kursi, mengungkung Yara yang semakin merasa panik dan jantung yang berdegup kencang.Yara memundurkan punggungnya hingga bersandar pada sandaran kursi. “Bukankah jarak kita terlalu dekat, Tuan Oliver? Tolong jauhkan badan Anda.” Yara tiba-tiba lupa bagaimana caranya bernapas. Aroma woody itu masih sama seperti dulu, membuat ingatan masa lalu mereka seketika memenuhi kepala Yara.Oliver tetap bergeming, merundukan badannya dengan tangan masih bertumpu pada lengan kursi.Meski hatinya terasa tak karuan, Yara tetap mencoba profesional dengan berkat
Pria itu terpaku setelah menyerahkan berkas-berkas yang ia kumpulkan kepada Yara. Yara segera berdiri, berusaha menenangkan dirinya meskipun rasa gugup mulai merayap. “Terima kasih,” ucap Yara pelan, suaranya terdengar sedikit bergetar. Bertemu lagi dengan pria yang menorehkan luka di masa lalu membuat Yara merasakan dunianya berhenti berputar sesaat. Detik itu juga Yara pergi meninggalkan Oliver yang masih membeku di tempatnya berdiri. Yara melangkah cepat, menaiki tangga darurat menuju lantai empat. Napasnya terengah-engah saat ia tiba di depan pintu ruang meeting. Yara berusaha mengatur napasnya seraya memegangi dada. “Kenapa harus ketemu lagi?” gumam Yara pada dirinya sendiri. “Kenapa dia ada di sini? Kenapa harus sekarang?” Mata Yara terasa memanas. Luka lama yang belum mengering itu kembali menganga. “Bu Yara?” pa
Mata Airell berkaca-kaca kala melihat tangan kakaknya yang dipasangi jarum infus. Sedetik kemudian, air matanya tumpah.“Huwaa...! Arthur, pasti sakit banget, Mom!” isak Airell, yang memiliki hati lembut dan tidak tegaan itu. “Arthur, kenapa harus sakit, sih? Aku ‘kan nggak tega lihatnya. Huwaa....!”“Ish! Sssst! Berisik.” Arthur menempelkan jari telunjuk di bibirnya sendiri. “Jangan cengeng, Airell. Aku saja yang sakit tidak menangis, tahu?"Yara menghela napas pelan melihat tangisan Airell yang semakin menjadi-jadi. Ia mengabaikan Airell sesaat, lalu fokus kembali pada laporan yang disampaikan oleh Sri.“Jadi, kemarin Airell menumpahkan es krimnya ke celana seseorang? Astaga....” Yara menyugar rambut lurus panjangnya ke belakang.“Iya, Bu. Aduh, saya sampai khawatir orang itu akan memarahi Non Airell. Soalnya dilihat dari penampilannya, dia sepertinya orang yang sangat penting
Oliver selesai mengganti celananya yang terkena tumpahan es krim dengan celana yang baru saja diambilkan Lucas dari mobilnya. Untuk berjaga-jaga, Oliver memang selalu menyimpan pakaian cadangan di dalam mobil. Dan pakaian itu berguna di saat-saat seperti ini.Oliver menggulung lengan bajunya hingga ke siku. Saat tatapannya tertuju pada lengan bagian dalam siku itu, tanpa sadar ingatan Oliver melayang pada percakapan antara dua perawat di dalam lift tadi. Oliver berusaha mengabaikannya. Itu bukan urusan dirinya. Masih banyak orang bergolongan darah A di luar sana, pikir Oliver.Namun, Oliver tak bisa menyangkal. Ada sebagian dari dalam dirinya yang terusik. Seperti ada dorongan kuat untuk mendonorkan darahnya pada anak tak dikenal itu.“Tuan, rapatnya sebentar lagi akan dimulai.” Ucapan Lucas menyadarkan Oliver dari lamunan. Maksud kedatangannya ke rumah sakit ini memang untuk rapat bersama para eksekutif rumah sakit yang berada di bawah naungan New Pacific Group.Oliver menghela napas
Yara menunggu di ruang tunggu UGD dengan perasaan cemas yang berusaha ia sembunyikan, sebab di sampingnya ada Airell. Yara harus berusaha setenang mungkin jika tidak ingin membuat Airell menangis dan semakin cemas. Tak lama, dokter yang memeriksa Arthur pun keluar, menyampaikan kabar yang membuat lutut Yara mendadak terasa lemas. “Anak Ibu terkena anemia berat,” ucap sang dokter, “Arthur harus segera mendapatkan transfusi darah. Namun sayang sekali, golongan darah A di bank darah kami sangat terbatas.” Yara merasa tubuhnya semakin lemas. Ia berusaha tenang, tetapi pikirannya terlalu kalut. "Apa tidak ada cara lain, Dok?" tanyanya dengan suara gemetar. "Kami akan segera mencoba mencari donor, Bu," jawab sang dokter. "Kami juga akan memeriksa data pendonor reguler kami." Yara menjatuhkan tubuhnya ke kursi sambil menangkup wajahnya. Ia merasa khaw