Satu minggu sudah Yara ‘bersembunyi’ di rumah Jihan. Ia mencabut sim card dari ponselnya karena Oliver beberapa kali meneleponnya. Yara ingin hidup tenang tanpa bayang-bayang pria itu di hidupnya. Lagi pula, Oliver sudah mengusirnya pergi dari hadapannya, bukan? Selama satu minggu itu Yara diserang ‘morning sickness’ setiap pagi atau setiap kali ia mencium bau menyengat. Kehamilan ini benar-benar menyiksanya, sehingga ia sulit produktif. Namun meski begitu, ia tetap akan mempertahankan janin di perutnya apapun yang terjadi, walaupun tanpa Oliver di sisinya. “Janinnya baru sebesar biji kacang hijau, Mbak. Lihat, dia lucu sekali, ‘kan?” ucap dokter kandungan yang tengah memeriksa kehamilan Yara. Yara menatap monitor yang menampilkan gambar janin sebesar biji kacang itu dengan perasaan campur aduk, jantungnya berdebar kencang. “Dia sehat-sehat, ‘kan, Dok? Morning sickness yang saya alami nggak akan mempengaruhi kondisinya, ‘kan?” "Tenang saja, Mbak Yara," ujar dokter kandungan itu
Yara sedang memandangi tiket konsernya Marshall dengan hati senang, kala ia menyadari ada sebuah mobil yang berhenti di halaman rumah Jihan. Itu bukan suara mobil kekasihnya Jihan. Selama satu minggu tinggal di rumah ini, Yara sering melihat kekasihnya Jihan datang kemari, membuat Yara mengenali suara deru mesin mobilnya yang cukup berisik. Berbeda dengan kali ini, deru mesin mobil itu terdengar halus, membuat Yara penasaran, lalu mengintip dari gorden yang ia singkap sedikit. Dan seketika itu juga, mata Yara terbelalak kala melihat mobil yang sangat ia kenali itu. Seorang pria berjas hitam keluar dengan gagah dari sana. Jantung Yara berpacu cepat. Ketakutan seketika menjalari sekujur tubuhnya. Buru-buru ia keluar dari kamar dan menghampiri Jihan yang sedang menelepon kekasihnya. “Jihan! Kalau Oliver datang mencariku, bilang aku nggak ada dan kamu nggak tahu di mana aku sekarang!” “Hm? Apa yang kamu katakan?” Jihan menjauhkan ponsel dari telinga. “Aku lihat di luar ada Oliver. D
“Kamu bekerja di Pacific Mall?”“Ke-kenapa Anda tahu?”Oliver menunjuk seragam kerja Jihan yang menggantung di standing hanger, dengan dagu.“Ah... iya, saya bekerja di sana.” Jihan tertawa, mencoba mencairkan suasana yang terasa tegang setelah barusan Oliver menelepon nomor Yara dan terdengar deringan ponsel di dalam kamar.Dasar Yara bodoh! pekik Jihan dalam hati.“Tapi Anda harus percaya sama saya, di dalam memang ada handphone Yara, tadi dia sempat ke sini dan handphone-nya tertinggal di—““Apa menurutmu saya akan percaya pada omong kosongmu?” sela Oliver, yang membuat Jihan menelan ludah. Oliver memutar kenop pintu, tetapi terkunci. “Berikan kunci ganda atau saya akan menelepon manajer Pacific Mall untuk memecatmu!”Ancaman Oliver tersebut membuat Jihan terkesiap. Tentu saja ia tahu bahwa Pacific Mall merupakan salah satu anak usaha dari New Pacific Group, perusahaan yang Oliver pimpin.Akhirnya, karena ancaman Oliver tampak tidak main-main dan ia tak ingin dipecat, Jihan memberi
Oliver tidak benar-benar fokus pada kemarahan Yara yang terus mengomel selama perjalanan. Ia tidak mengerti, kenapa yang ada di dalam kepalanya hanya tentang pertemuan Yara dan Marshall di cafe tadi siang? Sial!Oliver mengumpat sambil menepikan mobil ke pinggir jalan.“Yara, apa yang kamu lakukan di belakangku bersama Marshall?” Lagi-lagi Oliver mengumpat karena pertanyaan itu tak dapat ia cegah. Bayangan Yara yang tertawa bersama sepupunya membuat kemarahan Oliver tidak dapat dibendung lagi.Yara mengerutkan kening, menatap Oliver dengan tatapan bingung. “Kamu tahu aku ketemu Marshall?”“Tentu saja.”“Jadi, diam-diam kamu memperhatikanku?” tanya Yara sambil mendengus kasar.Oliver mengembuskan napas berat. Ia menatap Yara dengan tatapan sulit diartikan. “Jadi itu yang kamu lakukan selama aku nggak ada, Yara? Kamu tertawa bersamanya seolah-olah kamu istri yang
‘Tapi dia anakku juga, Yara!’Kata-kata Oliver kemarin sore kembali terngiang di telinga Yara.Karena terlalu kaget mendengar kata-kata itu bisa keluar dari mulut Oliver, Yara hanya terpaku, lidahnya terasa kelu. Dan Oliver pergi begitu saja setelah mengatakannya.Yara merasakan hatinya campur aduk. Setelah menyuruhnya menggugurkan kandungannya, kini Oliver tiba-tiba mengklaim anak ini sebagai anaknya? Sebenarnya ada apa dengan pria itu?“Yara, kamu nggak apa-apa?”“Oh?” Pertanyaan Jingga—yang sesuai ucapan Oliver bahwa ibunya itu akan datang ke rumah hari ini, mengeluarkan Yara dari lamunannya. Yara mengangguk. “Aku... aku nggak apa-apa, Ma. Tadi Mama bicara apa? Maaf aku sedikit melamun barusan.”Jingga tersenyum lembut sembari mengalihkan tatapannya dari Yara, ke arah Zio yang sedang bermain di depan mereka. Keduanya tengah duduk di sofa di ruang keluarga.
Yara terperangah. Mengusap wajah, lalu mengeluarkan suara setengah mendengus dan setengah tertawa sinis. “Lalu memangnya kenapa kalau kamu memiliki hak atas anak ini? Kamu jadi sesuka hati mau menggugurkannya?”“Aku nggak akan mengugurkannya,” gumam Oliver nyaris tak terdengar, membuat Yara tersentak.Oliver masuk begitu saja ke rumah kecil Yara hingga bahunya sedikit menyenggol bahu Yara yang berdiri di ambang pintu. Ia bisa menghidu aroma manis parfum Yara yang mengisi seisi ruangan, berbeda dengan Yara yang selama ini selalu memakai parfum beraroma lembut milik Zara—Yara yang dimanipulasi. Sekarang Oliver tahu bahwa Yara menyukai parfum beraroma manis.“Hey, hey! Tunggu! Kenapa masuk tanpa melepas sepatu?!” protes Yara, “kamu nggak baca tulisan di depan? Ruangan ini bebas dari sepatu dan sandal, tahu? Lagian kenapa kamu tiba-tiba masuk tanpa seizin dari aku, sih?” Yara mengomel dengan ekspresi jengkel yang tak ia
Belanja keperluan pribadi yang seharusnya menyenangkan, justru malah terasa canggung karena kehadiran Oliver yang terus membuntuti Yara ke manapun Yara pergi. Pria itu tidak banyak berbicara, tapi Yara merasa tatapan pria itu menghunus punggungnya.“Oliver, kenapa kamu tiba-tiba seperti ini?” Yara akhirnya menyerah dan memilih bersuara lebih dulu sambil mendorong troli yang sudah terisi beberapa kebutuhannya.“Maksudmu?” tanya Oliver dengan ekspresi datar.“Kamu tiba-tiba berubah, dan sekarang kamu terus membuntutiku seolah-olah aku anak kecil yang akan hilang kalau nggak diawasi,” cerocos Yara tanpa jeda.Oliver mengembuskan napas berat. “Sudah kubilang, aku harus mengawasimu, karena siapa tahu kamu berencana kabur dariku,” katanya sambil menyenggol tubuh Yara hingga Yara sedikit terhuyung dan menjauh dari troli. Oliver mengambil alih troli itu. “Ingat, kamu mengandung anakku, Yara. Aku harus menjaga anakku baik-baik dari wanita ceroboh sepertimu.” Lalu ia mendorong troli, mendahului
Yara bersama Jingga dan beberapa staf dari studionya sedang sibuk melaksanakan acara bakti sosial di panti jompo. Suasananya dipenuhi dengan keceriaan. Berbagai aktivitas dirancang untuk menghibur para penghuni panti. Senyum merekah terbit di wajah-wajah para orang tua yang duduk di kursi roda, menikmati perhatian yang diberikan oleh para sukarelawan.Yara yang hari ini mencoba menjadi dirinya sendiri, mengenakan baju santai dengan kemeja putih dan jeans, sedang berbicara penuh semangat di tengah kerumunan. Tawa riang terdengar saat Yara melontarkan lelucon-lelucon kecil yang membuat para lansia terhibur."Baiklah, sekarang aku akan memainkan sesuatu yang kalian pasti suka," kata Yara dengan senyum lebar seraya memegang gitar akustik yang sudah ia siapkan dari tadi.Ia mulai memainkan gitar tersebut dan menyanyikan beberapa lagu-lagu klasik yang populer di masa muda para lansia. Suaranya terdengar merdu, dengan alunan gitar yang membuat para lansia bernostalgia. Mereka ikut bernyanyi