Belanja keperluan pribadi yang seharusnya menyenangkan, justru malah terasa canggung karena kehadiran Oliver yang terus membuntuti Yara ke manapun Yara pergi. Pria itu tidak banyak berbicara, tapi Yara merasa tatapan pria itu menghunus punggungnya.“Oliver, kenapa kamu tiba-tiba seperti ini?” Yara akhirnya menyerah dan memilih bersuara lebih dulu sambil mendorong troli yang sudah terisi beberapa kebutuhannya.“Maksudmu?” tanya Oliver dengan ekspresi datar.“Kamu tiba-tiba berubah, dan sekarang kamu terus membuntutiku seolah-olah aku anak kecil yang akan hilang kalau nggak diawasi,” cerocos Yara tanpa jeda.Oliver mengembuskan napas berat. “Sudah kubilang, aku harus mengawasimu, karena siapa tahu kamu berencana kabur dariku,” katanya sambil menyenggol tubuh Yara hingga Yara sedikit terhuyung dan menjauh dari troli. Oliver mengambil alih troli itu. “Ingat, kamu mengandung anakku, Yara. Aku harus menjaga anakku baik-baik dari wanita ceroboh sepertimu.” Lalu ia mendorong troli, mendahului
Yara bersama Jingga dan beberapa staf dari studionya sedang sibuk melaksanakan acara bakti sosial di panti jompo. Suasananya dipenuhi dengan keceriaan. Berbagai aktivitas dirancang untuk menghibur para penghuni panti. Senyum merekah terbit di wajah-wajah para orang tua yang duduk di kursi roda, menikmati perhatian yang diberikan oleh para sukarelawan.Yara yang hari ini mencoba menjadi dirinya sendiri, mengenakan baju santai dengan kemeja putih dan jeans, sedang berbicara penuh semangat di tengah kerumunan. Tawa riang terdengar saat Yara melontarkan lelucon-lelucon kecil yang membuat para lansia terhibur."Baiklah, sekarang aku akan memainkan sesuatu yang kalian pasti suka," kata Yara dengan senyum lebar seraya memegang gitar akustik yang sudah ia siapkan dari tadi.Ia mulai memainkan gitar tersebut dan menyanyikan beberapa lagu-lagu klasik yang populer di masa muda para lansia. Suaranya terdengar merdu, dengan alunan gitar yang membuat para lansia bernostalgia. Mereka ikut bernyanyi
Yara memilih tidur di kamarnya yang ada di rumah Oliver malam ini. Ia terlalu enggan berjalan menuju ‘rumah kubusnya’ karena morning sickness yang terus menerus menyerangnya.Saat Yara sedang berusaha memejamkan mata, seseorang tiba-tiba membuka pintu kamarnya tanpa diketuk terlebih dulu. Yara tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang. Aroma woody yang menguar sudah menjawab semuanya.“Kamu nggak tahu caranya mengetuk pintu, ya? Gimana kalau kamu datang di saat aku lagi ganti baju?” gerutu Yara dengan sebal sambil merapatkan selimutnya, posisinya masih membelakangi pintu.“Bangunlah. Aku membawa ini untukmu,” ucap Oliver, tanpa memedulikan gerutuan Yara barusan.Yara tidak ingin mendengarkan ucapan Oliver, tapi ia penasaran. Apa yang pria itu bawa untuknya? Dukun beranakkah untuk menggugurkan kandungannya? pikir Yara sambil tersenyum kecut.Meski begitu, Yara merasa penasaran. Ia akhirnya berusaha bangun meski badannya lemas, ia lihat Oliver sedang berdiri menjulang sambil mene
Yara benar-benar tak habis pikir, ada apa dengan Oliver belakangan ini? Apa kepalanya terbentur sesuatu hingga membuat pikirannya berubah secara drastis?Semalam pria itu tidur di sofa hingga pagi, dan ia tidak meminta Yara untuk membuatkannya sarapan.“Hari ini istirahat saja, jangan melakukan apapun,” katanya sebelum pergi ke kantor dan ia sempat melihat Yara kembali mengalami morning sickness.Yara mengembuskan napas panjang sambil geleng-geleng kepala. “Benar-benar sulit dimengerti,” gumamnya, sebelum akhirnya ia melanjutkan kembali aktifitasnya—mendekor ruangan tengah di rumahnya, sebuah bangunan seperti kubus di tengah-tengah taman belakang rumah Oliver.Yara membawa tangga lipat dan menaikinya untuk memajang lukisan di dinding.Saat tatapannya tak sengaja tertuju ke arah lapangan basket melalui dinding kaca, seketika itu juga ia tercenung. Setiap kali mengingat basket, ia jadi teringat dengan hubungannya bersama Oliver dan Zara yang rumit, di masa lalu.Saat itu, ia menjadi mur
Mendengar seruan tegas Oliver, Yara tiba-tiba terdiam. Lalu ia menunjuk lukisan yang ikut terjatuh di lantai—yang untungnya tidak rusak sama sekali.“Aku... aku cuma mau pasang lukisan itu.”“Kamu bisa menyuruh orang lain, kenapa harus melakukannya sendiri?!” Oliver tampak marah. “Bagaimana kalau kejadian barusan membuat kehamilanmu kenapa-kenapa?! Apa nggak bisa kamu sedikit lebih berhati-hati, Yara?!” suara Oliver terdengar naik satu oktaf.Yara kembali terdiam, seakan-akan tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Bukankah ucapan Oliver barusan terdengar seperti pria itu mengkhawatirkan kehamilannya? Benarkah itu? Bolehkah Yara berbangga diri?Namun, ia mendadak kesal karena walau bagaimanapun, Yara terjatuh akibat Oliver.“Aku nggak akan jatuh kalau kamu nggak tiba-tiba datang dan membuatku kaget!” gerutu Yara dengan perasaan jengkel. “Kamu lihat jam, Oliver? Ini masih jam dua belas siang dan kamu sudah pulang? Lalu tiba-tiba datang ke sini. Bagaimana aku nggak kaget?”Kali i
“Lagunya benar-benar membuat kepalaku pusing!” Desisan tajam Oliver menggantikan lagu Marshall yang baru saja berhenti berputar, membuat Yara yang tengah menikmati musik yang penuh semangat itu langsung menghentikan gerakannya—yang tengah menyapu ruangan sambil sesekali berdansa mengikuti irama lagu. “Oliver! Kenapa musiknya dimatiin?” protes Yara seraya memandangi Oliver—yang entah sejak kapan datang, dengan tatapan jengkel. Namun, saat tatapan keduanya bertemu, suasana di antara mereka menjadi canggung dan bayangan mereka yang tengah berciuman kemarin menghantui kepala Yara. “Sudah kubilang, musiknya membuat kepalaku pusing,” desis Oliver sekali lagi, memecah keheningan yang sempat menyelimuti mereka beberapa saat. Oliver melihat playlist di laptop Yara. “Apa kamu segila itu pada Marshall? Sampai-sampai hampir semua playlist kamu lagu-lagu dia?” “Iya, dia satu-satunya penyanyi favoritku dan aku berterimakasih padamu karena punya sepupu seperti dia,” jawab Yara blak-blakan sambi
Sial! Apa yang kulakukan?!Lagi-lagi pertanyaan itu muncul di benak Oliver.Menginap di rumah Yara? Itu benar-benar tidak ada dalam to do list yang ia tulis tadi pagi. Biasanya, Oliver akan melakukan sesuatu sesuai rencana, secara terstruktur.Namun beberapa hari terakhir ini ia banyak melanggar aturan yang ia buat sendiri. Seperti tiba-tiba pulang ke rumah di saat jam makan siang misalnya, atau menginap di rumah kubus Yara secara mendadak.Oliver tak tahu kenapa ia melakukannya.Jelas-jelas ia tak ingin mengkhianati Zara dengan menerima anak dari wanita lain. Namun entah mengapa setelah bertemu psikiaternya kala itu, pandangannya berubah. Baik terhadap Yara, maupun terhadap anak yang dikandungnya. Oliver menginginkan anak itu.“Maafkan Papa, Sayang,” bisik Oliver pada Zio yang sedang bermain dengan mainannya.Pada saat yang sama, pintu kamar mandi terbuka. Oliver menoleh, ia melihat Yara muncul di sana menggunakan kemeja kedodoran dan celana di atas lutut sambil mengeringkan rambutny
“Dan aku akan memastikan kamu tidak membuatku jatuh kali ini.”Senyuman miring yang tersungging di bibir Oliver membuat Yara tercengang sekaligus merasa waspada. Pasalnya, Yara jarang sekali melihat Oliver tersenyum meskipun itu hanya senyuman misterius, seperti sekarang.Lalu, Yara ingat, dulu Zara sering mengeluh sakit badan jika tidur satu ranjang dengannya. Namun, tentu saja Yara tidak pernah ingat apa yang ia lakukan saat sedang tertidur.“Oh ya?” Yara menyahut ucapan Oliver, dagunya sedikit terangkat untuk menantang. “Memangnya bisa? Dengan cara apa?”Yang ada dalam bayangan Yara, kedua kaki dan tangannya akan diikat oleh Oliver selama ia tidur. Membayangkannya saja sudah membuat Yara merasa ngeri.“Dengan memastikan kamu nggak punya banyak ruang untuk bergerak,” jawab Oliver dengan tatapan misterius, seolah sedang memikirkan sesuatu yang licik.“Oh. Begitu?” Yara mendengus kecil. “Kita lihat saja nanti. Aku bisa membuat kamu jatuh tanpa harus banyak bergerak.”“Benarkah?” Olive