Oliver duduk termenung sendirian di dalam ruangan kerjanya. Berulang kali ia membisikkan kata “maaf” seraya menatap foto Zara yang teronggok di sudut meja kerjanya. Rasa bersalah menghantui diri Oliver, karena pagi tadi ia memutuskan untuk melupakan masa lalunya bersama Zara dan membuka lembaran baru bersama Yara, dengan menyuruh beberapa orang untuk menurunkan foto-foto mereka dari dinding-dinding rumah.“Maafkan aku, Zara... maaf... aku sudah mengkhianati kamu,” bisik Oliver nyaris tak terdengar.Ia menunduk, mengepalkan tangan, berusaha berdamai dengan perasaan bersalah yang terus menggerogoti hatinya.Namun, ia tidak bisa. Ia tak pernah membayangkan suatu saat dirinya akan bisa melupakan Zara. Akan tetapi Oliver sadar, ia tak bisa terus menerus hidup dalam bayang-bayang mantan istrinya itu.“Sekali lagi, maafkan aku...,” bisik Oliver lagi sambil meraih foto tersebut dari ujung meja, lalu memasukkannya ke dalam laci. Ia menutup laci itu dan menguncinya.Hari ini ia tak ingin bertem
Yara tidak pernah merasa sejengkel ini sebelumnya ketika ia bangun tidur. Oliver tidak pulang semalam, tapi bukan itu yang membuat Yara marah dan kesal pagi ini. Sebab ia tahu Oliver butuh waktu untuk sendiri setelah menurunkan foto-foto Zara yang baginya tidak mudah mengambil keputusan itu.Namun, yang membuat Yara jengkel dan marah adalah kenyataan Wanda yang datang ke rumah pagi-pagi buta—di saat Yara masih tidur, hanya untuk mengemas pakaian Oliver yang akan pergi ke Singapura. Yara baru tahu akan hal itu dari Lisa saat ia akan sarapan.“Tapi Oliver nggak ngasih tahu aku dia akan pergi ke Singapura?” gumam Yara pada dirinya sendiri, tapi masih terdengar jelas oleh Lisa yang tengah merapikan meja makan.“Mbak Wanda bilang perjalanannya memang sangat mendadak, Non,” timpal Lisa, “Tuan dan Wanda akan pergi pagi ini.”“Mereka pergi berdua?”“Kata Mbak Wanda sih begitu, Non.”
Setibanya di Dufan, suasana ceria segera menyambut mereka. Yara dan Zio menikmati berbagai wahana mulai dari Bianglala, Halilintar, hingga Istana Boneka, sementara Marshall tak henti-hentinya tertawa melihat ekspresi ceria dan spontan dari Yara, yang tampaknya benar-benar menikmati momen tersebut.Saat Yara mencoba wahana Kora-Kora, ia berteriak kencang saat perahu bergoyang naik turun dengan cepat. Marshall yang berdiri memperhatikan sambil menggendong Zio, tak bisa menahan tawanya kala melihat ekspresi lucu Yara. Marshall mengabadikan ekspresi konyol Yara dengan memotretnya berulang kali.“Astaga! Aku jelek sekali! Hapus gak?” omel Yara saat ia melihat foto tersebut setelah turun dari kora-kora.“Nggak!” Marshall tertawa melihat foto-foto itu. “Em... haruskah aku unggah ini di medsosku terus tag kamu? Biar followers kamu tahu kalau kamu sejelek ini,” canda Marshall dengan nada mengejek.“Coba saja! Aku nggak takut!” tantang Yara, ia berjinjit, mendekatkan wajahnya ke wajah Marshall
Yara menekuri foto pada ponsel dalam genggamannya. Wanita itu Wanda. Mereka berdua sedang makan malam di sebuah restoran. Hanya berdua. Persis seperti sepasang kekasih yang tengah makan malam romantis. Oliver dengan jas hitamnya, sementara Wanda dengan pakaian formalnya yang seksi.“Yara, ada apa?” Marshall melambaikan tangan di depan wajah Yara saat ia hanya terdiam membisu.“Oh?” Yara mengerjap, keluar dari lamunannya. “Nggak. Gak apa-apa. Ah ternyata makanannya sudah ada. Ayo makan!” Yara tertawa kecil, berusaha menghilangkan kecurigaan Marshall yang terus menatapnya dengan tatapan penuh tanya.Karena Marshall tak berhenti menatapnya seolah meminta penjelasan, Yara pun menghela napas panjang dan tersenyum. “Sungguh. Aku nggak apa-apa. Barusan temanku mengabarkan sesuatu, tapi menurutku itu nggak penting. Baiklah... yang lebih penting sekarang adalah makanan!” seru Yara, yang tiba-tiba berubah ceria.Namun, Marshall tahu keceriaan Yara kali ini seolah tengah menyembunyikan sesuatu.
“Setelah seharian sibuk dengan klien, makan malam bersama seperti ini benar-benar menyenangkan, ya?” ucap Wanda sambil tersenyum manis.Oliver tidak menanggapi, pria itu hanya sibuk memasukkan makanan ke dalam mulutnya sambil menatap piring dengan tatapan menerawang, seolah-olah ia tidak menikmati makanannya.Wanda yang melihatnya hanya bisa menghela napas. Ia penasaran, apa yang membuat sang bos kesayangannya itu tidak fokus hari ini? Meski begitu, saat bersama klien Oliver tetap bersikap profesional.“Tuan, Anda mendengar saya?”Oliver mengerjap. “Apa?” katanya sambil menatap Wanda sekilas.Wanda tersenyum, menyembunyikan perasaan jengkelnya karena merasa diabaikan. Padahal ia sudah sengaja berpenampilan semenarik mungkin untuk malam ini di hadapan Oliver.“Apa ada masalah yang mengganggu pikiran Anda?” tanya Wanda, “sepertinya Anda tidak menikmati makan malam ini.”Oliver mengembuskan napas berat. “Tidak. Tidak ada apa-apa,” jawab Oliver singkat.Namun, tanpa Wanda ketahui, Oliver
Oliver terdiam cukup lama, sebelum akhirnya menjawab, “Karena dia istriku. Sebagai seorang istri sudah tentu harus menjaga nama baik suami.”“Benarkah hanya karena itu?” Marshall menatap Oliver dengan mata disipitkan, seolah sedang menyelidiki perasaan di balik tatapan tajam Oliver.“Dengar, Marshall.” Oliver menjejalkan kedua tangan ke dalam saku celana. “Apapun alasanku, kamu nggak berhak ikut campur.” Ia lantas mendekati pintu dan hendak membukanya, akan tetapi ucapan Marshall berikutnya membuat Oliver mengepalkan tangan.“Kalau kamu masih menganggap Yara sebagai bayangan Zara dan menyakitinya, aku nggak akan segan-segan merebutnya darimu,” ucap Marshall dengan tegas dan serius, lalu pergi setelah mengatakannya.Oliver terdiam cukup lama, merenungi kata-kata Marshall yang biasanya jarang berkata serius terhadapnya. Sebelum akhirnya Oliver menghela napas berat dan mendorong pintu di hadapannya.
Setelah hari itu, Yara mendiamkan Oliver. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah kubusnya bersama Zio ketimbang di rumah Oliver. Yara juga tidak menyambut lelaki itu kala pulang dari kantor. Hal itu membuat Oliver uring-uringan di kantor. Lucas dan beberapa karyawan terkena dampaknya. Oliver tak mengerti, kenapa Yara yang mendiamkannya mempengaruhi mood-nya sampai seperti ini? “Lucas, bagaimana menurutmu, kenapa wanita hamil mendiamkan suaminya berhari-hari?” Lucas yang sedang mengemudi menatap tuannya melalui kaca spion tengah. “Maaf, Tuan. Saya belum menikah, sepertinya Anda yang sudah berpengalaman jauh lebih mengetahui alasannya daripada saya.” Oliver berdecak lidah, itu bukan jawaban yang ia harapkan. Memang, Oliver pernah berpengalaman hidup dengan wanita hamil—Zara, tapi mantan istrinya itu tidak seperti Yara. Zara hampir tidak pernah mendiamkanny
“Suara kodok? Tengah malam begini?” tanya Oliver sambil menatap Yara dengan tatapan ngeri. “Maksudmu, kita akan pergi ke sawah?”“Hm.” Yara mengangguk. “Calon anakku—““Anakku juga,” sela Oliver dengan cepat.“Ya, maksud aku anak ini, ingin mendengar suara kodok. Aku yakin suara itu bisa membuatnya tenang.”Oliver diam mematung dengan tatapan yang belum berubah—ngeri dan tak percaya, sementara Yara pergi lebih dulu.“Mau ikut atau nggak?!” seru Yara, “kalau nggak mau, ya sudah, tunggu saja di dalam mobil!”Rahang Oliver mengeras. Alih-alih pergi meninggalkan Yara, ia justru malah menyusulnya dengan langkah cepat. “Aku nggak akan membiarkanmu pergi sendiri—maksudku, aku harus memastikan anakku baik-baik saja.”Yara memutar bola matanya malas. Mereka menyusuri jalan setapak, melewati rumah-rumah warga yang sepi. Udara malam yang segar dan aroma tanah yang lembab menemani mereka sepanjang perjalanan itu. Suara kodok memang terdengar cukup ramai di kejauhan, mengisi malam yang hening deng
Yara keluar dari apartemen Zara, ia menghampiri Oliver yang dengan sabar menunggunya di lobi. Saat menyadari kedatangan Yara, Oliver langsung mengunci ponsel yang sejak tadi ia mainkan, kemudian berdiri. Oliver menghampiri Yara dan merangkulkan lengannya di pinggang wanita itu. “Bagaimana pertemuannya?” tanya Oliver sebelum melabuhkan kecupan mesra di kening Yara, membuat Yara tersipu malu. “Nggak buruk,” jawab Yara, “tapi aku cukup merasa lelah.” Yara merasa lelah secara mental, bukan fisik. Oliver merapatkan pelukannya dengan protektif. “Gimana kalau setelah ini aku buat rasa lelah kamu hilang?” tanyanya dengan nada menggoda. Mata Yara mengerling. “Dengan cara apa?” Sambil berjalan keluar lobi, Oliver berbisik di dekat telinga Yara, “Dengan membawamu ke rangjangku.” “Astaga....” Yara memukul pelan dada Oliver. “Itu, sih, bikin makin lelah, tahu?” Oliver terkekeh-kekeh. “Lelah tapi menyenangkan, bukan?” Yara merotasi matanya dengan malas, lantas keduanya tertawa seolah-olah
Yara menekan bel berulang kali, tapi tidak ada tanda-tanda seseorang akan membuka pintu dari dalam. Mungkin dirinya datang di waktu yang tidak tepat, pikir Yara. Mungkin saja saat ini Zara sedang pergi.Karena tak kunjung mendapat sahutan, Yara akhirnya berbalik untuk kembali kepada suaminya yang menunggu di lobi.Namun, belum lima langkah Yara berjalan, pintu di belakangnya tiba-tiba terbuka, membuat langkah kaki Yara seketika terhenti.“Siapa?”Yara tertegun kala mendengar suara yang barusan bertanya kepadanya. Nada suaranya terdengar datar, seperti orang yang tidak memiliki semangat hidup.Setelah memantapkan hatinya, Yara pun berbalik menghadap orang itu, yang tak lain adalah Zara. Yara bisa melihat Zara terkejut saat menatapnya.“K-Kamu...,” bisik Zara dengan lirih. Matanya membulat, seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.“Hai!” Yara berusaha menampilkan senyumnya dengan canggung. “Apa kabar? Boleh aku masuk?”Zara terdiam sejenak, membuat Yara merasa bahwa adiknya itu ak
Oliver menatap Yara yang tengah terlelap dengan damai. Senyuman Oliver mengembang lebar melihat betapa cantik dan polos wanitanya itu, seperti bayi yang tidak berdosa. Deru napas Yara terasa halus, membuat Oliver merasakan ketenangan yang hanya didapatkan di kala sedang bersama Yara. “Sayang, bangun,” bisik Oliver nyaris tak terdengar, seolah enggan mengganggu tidur sang istri. Ia menyapukan jemarinya di pipi yang terasa halus di bawah sentuhannya itu. Mata Yara perlahan bergetar, lalu terbuka hingga Oliver bisa menatap mata coklatnya yang indah. Tatapan mata Yara selalu membius Oliver, hingga ia merasa jatuh cinta lagi dan lagi pada orang yang sama setiap waktu. “Sudah siang? Jam berapa sekarang?” tanya Yara dengan suara serak sembari menggeliatkan tangannya ke atas. “Baru jam tujuh, Sayang,” jawab Oliver sambil tersenyum. Sontak, mata Yara terbelalak. “Jam tujuh? Astaga... kenapa kamu nggak bangunin aku? Aku harus pergi ke kantor! Ini gara-gara kamu nggak ngebiarin aku tidur t
“Sayang, hari ini aku mau ngajak kamu pacaran dulu ,” kata Oliver setelah kendaraan yang mereka tumpangi berlalu dari rumah Rianti.Tampak kerutan di kening Yara. “Pacaran?” tanyanya tak percaya.“Mm-hm.” Oliver mengangguk, ia meraih tangan Yara dan menggenggamnya, sementara tangan yang lain memegangi stir. “Banyak waktu kita yang terbuang di masa lalu, Sayang. Kita bahkan nggak sempat pacaran dulu. Jadi mulai sekarang, kita harus sering meluangkan waktu untuk berkencan berdua, tanpa anak-anak.”Mendengarnya, Yara pun terkekeh kecil. ia beringsut mendekati suaminya, menyandarkan kepala di bahu bidang pria itu. “Bukankah sekarang kita sedang pacaran?”“Iya, tapi kayak gini saja nggak cukup.”“Lalu? Memangnya kamu mau apa lagi?”“Yaa pacaran seperti orang kebanyakan, lah.” Oliver melabuhkan kecupan mesra di puncak kepala Yara. “Aku mau mengajakmu pergi ke suatu t
Genggaman lembut di tangan mengeluarkan Yara dari lamunannya. Yara menoleh dan mendapati suaminya tengah menatapnya sambil tersenyum manis. Senyuman yang membuat Yara lupa bagaimana caranya bernapas.“Kita sudah sampai, Sayang,” ucap Oliver.“Oh?”Yara mengerjap, ia menoleh ke sisi kiri dan baru menyadari bahwa kini mereka berada di halaman rumah ibunya, Rianti.“Sudah sampai ternyata,” gumam Yara sembari hendak melepas sabuk pengaman. Namun, Oliver sudah melakukannya lebih dulu untuknya.“Kamu lagi mikirin apa, hm? Dari tadi aku perhatikan kamu banyak melamun.” Oliver menatap Yara dengan sorot matanya yang dalam dan membius.Tatapan itu membuat jantung Yara berdebar-debar. Yara menghela napas panjang. “Aku cuma lagi mikirin gimana pertemuan aku dan Zara nanti,” ujarnya dengan tatapan menerawang. “Kami saudari kembar, tapi rasanya kami seperti orang asing. Ada
“Aku masak sup kesukaan kamu,” kata Yara sambil memeluk Oliver dari belakang. Mereka berjalan menuju dapur dengan posisi seperti itu setelah Oliver berhasil lolos dari dua bocah kecil yang sejak tadi mengerumuninya.Oliver mengerutkan kening, sedikit terkejut. Tangannya menggenggam tangan Yara yang melingkar di depan perutnya.“Whoaa serius? Aku nggak sabar mau coba,” kata Oliver sembari tersenyum lebar.Yara terpaksa melepaskan pelukannya saat tiba di meja makan. Si kembar berlarian menuju meja makan sambil tertawa, lalu sama-sama memeluk kaki ayahnya di kiri dan kanan.Oliver kemudian mendudukkan mereka di kursi berdampingan, lalu Oliver duduk di kursi utama dan menuangkan makanan khusus anak-anak ke piring mereka masing-masing. Sementara itu Yara yang duduk di samping Oliver, berhadapan dengan si kembar, menyiapkan roti panggang dan sup untuk Oliver.Yara menatap Oliver dengan penuh harap saat pria itu mengambil sendok pertama supnya.Oliver memasukannya ke mulut, mengunyah perlaha
Yara tersenyum bahagia melihat Airell dan Arthur berlarian di ruang tengah dengan riang. Saat ini mereka sudah berada di rumah baru Oliver setelah pindah beberapa hari yang lalu.Anak-anak terlihat bahagia sekali. Apalagi saat mereka melihat ruangan khusus bermain yang dipenuhi mainan anak laki-laki dan perempuan. Tak hanya itu, bahkan Oliver menyediakan kolam renang dengan fasilitas lengkap seperti perosotan dan ember tumpah.Selain itu ada lapangan bola basket dan sepak bola di halaman belakang. Fasilitas lengkap yang disediakan membuat anak-anak betah bermain di rumah. Yara merasa bersyukur, terharu dan juga bahagia dengan segala fasilitas yang Oliver berikan untuk mereka.Oliver juga membawa Zio pindah ke rumah ini, dan tentu saja Yara tidak keberatan. Bagaimanapun, Zio adalah keponakannya sendiri, ia menyayangi anak itu seperti anaknya. Namun hari ini, Zio sedang tidak ada di rumah. Anak berusia 8 tahun itu kini berada di rumah Jingga. Meski tahu Zio bukan anak kandung Oliver, ta
Yara tertegun kala melihat banyaknya bukti yang dikumpulkan Oliver mengenai kepalsuan video yang dikirimkan Leonard. Lantas, Yara menatap Oliver dengan mata berkaca-kaca.“Oliver...,” panggilnya lirih, yang membuat Oliver membuka matanya. Kini mata yang indah dan menghipnotis itu menatap Yara dengan lembut. “Tanpa kamu mengumpulkan semua bukti ini juga aku sudah percaya sama kamu, Oliver. Tapi terima kasih, aku sangat menghargai usaha kamu.” Yara tersenyum penuh haru.Oliver menegakkan punggungnya yang semula bersandar di sofa. Lalu memutar tubuh, menghadap Yara sepenuhnya yang duduk di sampingnya.“Aku tahu kamu mempercayaiku, Sayang,” kata Oliver sembari menangkupkan sebelah tangan di pipi kiri Yara. “Tapi aku juga ingin membuktikan padamu bahwa aku nggak pernah mengkhianati kamu selama kamu pergi.”Yara mengangguk. Ia mendekati Oliver, melingkarkan kedua tangan di pinggang pria itu dan menenggelamkan wajah di dada bidangnya. “Aku makin percaya sama kamu. Sekali lagi, terima kasih.”
“Oliver, ada yang mau aku bicarakan.” Yara berusaha mendorong dada bidang Oliver agar pria itu menghentikan aktifitasnya.Namun, sepertinya Oliver tak ingin berhenti. Ia justru malah memperdalam ciumannya, membuat Yara kewalahan. Oliver mengungkung Yara di kursi penumpang dengan mesin mobil yang masih tetap menyala. Pagi ini ia kembali mengantarkan Yara ke Infinity Events setelah sebelumnya mereka mengantar anak-anak ke sekolah.“Tentang?” tanya Oliver akhirnya setelah beberapa saat kemudian. Pria itu dengan enggan menjauhkan wajah mereka.“Leonard.”“Leonard?” Sontak, Oliver menatap Yara dengan kening berkerut. “Kenapa dengan laki-laki itu? Dia mengganggumu lagi?”Yara menggeleng, ia menangkup rahang suaminya yang kasar di bawah sentuhannya. “Nggak ada, kok,” timpalnya, “tapi semalam, aku dengar dari Airell, kalau Leonard yang memberitahu Airell bahwa kamu nggak sayang dia. Sepertinya Leonard waktu datang ke sekolah, memprovokasi Airell.”“Leonard pernah datang ke sekolah anak-anak?”