“Dan aku akan memastikan kamu tidak membuatku jatuh kali ini.”Senyuman miring yang tersungging di bibir Oliver membuat Yara tercengang sekaligus merasa waspada. Pasalnya, Yara jarang sekali melihat Oliver tersenyum meskipun itu hanya senyuman misterius, seperti sekarang.Lalu, Yara ingat, dulu Zara sering mengeluh sakit badan jika tidur satu ranjang dengannya. Namun, tentu saja Yara tidak pernah ingat apa yang ia lakukan saat sedang tertidur.“Oh ya?” Yara menyahut ucapan Oliver, dagunya sedikit terangkat untuk menantang. “Memangnya bisa? Dengan cara apa?”Yang ada dalam bayangan Yara, kedua kaki dan tangannya akan diikat oleh Oliver selama ia tidur. Membayangkannya saja sudah membuat Yara merasa ngeri.“Dengan memastikan kamu nggak punya banyak ruang untuk bergerak,” jawab Oliver dengan tatapan misterius, seolah sedang memikirkan sesuatu yang licik.“Oh. Begitu?” Yara mendengus kecil. “Kita lihat saja nanti. Aku bisa membuat kamu jatuh tanpa harus banyak bergerak.”“Benarkah?” Olive
Oliver duduk termenung sendirian di dalam ruangan kerjanya. Berulang kali ia membisikkan kata “maaf” seraya menatap foto Zara yang teronggok di sudut meja kerjanya. Rasa bersalah menghantui diri Oliver, karena pagi tadi ia memutuskan untuk melupakan masa lalunya bersama Zara dan membuka lembaran baru bersama Yara, dengan menyuruh beberapa orang untuk menurunkan foto-foto mereka dari dinding-dinding rumah.“Maafkan aku, Zara... maaf... aku sudah mengkhianati kamu,” bisik Oliver nyaris tak terdengar.Ia menunduk, mengepalkan tangan, berusaha berdamai dengan perasaan bersalah yang terus menggerogoti hatinya.Namun, ia tidak bisa. Ia tak pernah membayangkan suatu saat dirinya akan bisa melupakan Zara. Akan tetapi Oliver sadar, ia tak bisa terus menerus hidup dalam bayang-bayang mantan istrinya itu.“Sekali lagi, maafkan aku...,” bisik Oliver lagi sambil meraih foto tersebut dari ujung meja, lalu memasukkannya ke dalam laci. Ia menutup laci itu dan menguncinya.Hari ini ia tak ingin bertem
Yara tidak pernah merasa sejengkel ini sebelumnya ketika ia bangun tidur. Oliver tidak pulang semalam, tapi bukan itu yang membuat Yara marah dan kesal pagi ini. Sebab ia tahu Oliver butuh waktu untuk sendiri setelah menurunkan foto-foto Zara yang baginya tidak mudah mengambil keputusan itu.Namun, yang membuat Yara jengkel dan marah adalah kenyataan Wanda yang datang ke rumah pagi-pagi buta—di saat Yara masih tidur, hanya untuk mengemas pakaian Oliver yang akan pergi ke Singapura. Yara baru tahu akan hal itu dari Lisa saat ia akan sarapan.“Tapi Oliver nggak ngasih tahu aku dia akan pergi ke Singapura?” gumam Yara pada dirinya sendiri, tapi masih terdengar jelas oleh Lisa yang tengah merapikan meja makan.“Mbak Wanda bilang perjalanannya memang sangat mendadak, Non,” timpal Lisa, “Tuan dan Wanda akan pergi pagi ini.”“Mereka pergi berdua?”“Kata Mbak Wanda sih begitu, Non.”
Setibanya di Dufan, suasana ceria segera menyambut mereka. Yara dan Zio menikmati berbagai wahana mulai dari Bianglala, Halilintar, hingga Istana Boneka, sementara Marshall tak henti-hentinya tertawa melihat ekspresi ceria dan spontan dari Yara, yang tampaknya benar-benar menikmati momen tersebut.Saat Yara mencoba wahana Kora-Kora, ia berteriak kencang saat perahu bergoyang naik turun dengan cepat. Marshall yang berdiri memperhatikan sambil menggendong Zio, tak bisa menahan tawanya kala melihat ekspresi lucu Yara. Marshall mengabadikan ekspresi konyol Yara dengan memotretnya berulang kali.“Astaga! Aku jelek sekali! Hapus gak?” omel Yara saat ia melihat foto tersebut setelah turun dari kora-kora.“Nggak!” Marshall tertawa melihat foto-foto itu. “Em... haruskah aku unggah ini di medsosku terus tag kamu? Biar followers kamu tahu kalau kamu sejelek ini,” canda Marshall dengan nada mengejek.“Coba saja! Aku nggak takut!” tantang Yara, ia berjinjit, mendekatkan wajahnya ke wajah Marshall
Yara menekuri foto pada ponsel dalam genggamannya. Wanita itu Wanda. Mereka berdua sedang makan malam di sebuah restoran. Hanya berdua. Persis seperti sepasang kekasih yang tengah makan malam romantis. Oliver dengan jas hitamnya, sementara Wanda dengan pakaian formalnya yang seksi.“Yara, ada apa?” Marshall melambaikan tangan di depan wajah Yara saat ia hanya terdiam membisu.“Oh?” Yara mengerjap, keluar dari lamunannya. “Nggak. Gak apa-apa. Ah ternyata makanannya sudah ada. Ayo makan!” Yara tertawa kecil, berusaha menghilangkan kecurigaan Marshall yang terus menatapnya dengan tatapan penuh tanya.Karena Marshall tak berhenti menatapnya seolah meminta penjelasan, Yara pun menghela napas panjang dan tersenyum. “Sungguh. Aku nggak apa-apa. Barusan temanku mengabarkan sesuatu, tapi menurutku itu nggak penting. Baiklah... yang lebih penting sekarang adalah makanan!” seru Yara, yang tiba-tiba berubah ceria.Namun, Marshall tahu keceriaan Yara kali ini seolah tengah menyembunyikan sesuatu.
“Setelah seharian sibuk dengan klien, makan malam bersama seperti ini benar-benar menyenangkan, ya?” ucap Wanda sambil tersenyum manis.Oliver tidak menanggapi, pria itu hanya sibuk memasukkan makanan ke dalam mulutnya sambil menatap piring dengan tatapan menerawang, seolah-olah ia tidak menikmati makanannya.Wanda yang melihatnya hanya bisa menghela napas. Ia penasaran, apa yang membuat sang bos kesayangannya itu tidak fokus hari ini? Meski begitu, saat bersama klien Oliver tetap bersikap profesional.“Tuan, Anda mendengar saya?”Oliver mengerjap. “Apa?” katanya sambil menatap Wanda sekilas.Wanda tersenyum, menyembunyikan perasaan jengkelnya karena merasa diabaikan. Padahal ia sudah sengaja berpenampilan semenarik mungkin untuk malam ini di hadapan Oliver.“Apa ada masalah yang mengganggu pikiran Anda?” tanya Wanda, “sepertinya Anda tidak menikmati makan malam ini.”Oliver mengembuskan napas berat. “Tidak. Tidak ada apa-apa,” jawab Oliver singkat.Namun, tanpa Wanda ketahui, Oliver
Oliver terdiam cukup lama, sebelum akhirnya menjawab, “Karena dia istriku. Sebagai seorang istri sudah tentu harus menjaga nama baik suami.”“Benarkah hanya karena itu?” Marshall menatap Oliver dengan mata disipitkan, seolah sedang menyelidiki perasaan di balik tatapan tajam Oliver.“Dengar, Marshall.” Oliver menjejalkan kedua tangan ke dalam saku celana. “Apapun alasanku, kamu nggak berhak ikut campur.” Ia lantas mendekati pintu dan hendak membukanya, akan tetapi ucapan Marshall berikutnya membuat Oliver mengepalkan tangan.“Kalau kamu masih menganggap Yara sebagai bayangan Zara dan menyakitinya, aku nggak akan segan-segan merebutnya darimu,” ucap Marshall dengan tegas dan serius, lalu pergi setelah mengatakannya.Oliver terdiam cukup lama, merenungi kata-kata Marshall yang biasanya jarang berkata serius terhadapnya. Sebelum akhirnya Oliver menghela napas berat dan mendorong pintu di hadapannya.
Setelah hari itu, Yara mendiamkan Oliver. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah kubusnya bersama Zio ketimbang di rumah Oliver. Yara juga tidak menyambut lelaki itu kala pulang dari kantor. Hal itu membuat Oliver uring-uringan di kantor. Lucas dan beberapa karyawan terkena dampaknya. Oliver tak mengerti, kenapa Yara yang mendiamkannya mempengaruhi mood-nya sampai seperti ini? “Lucas, bagaimana menurutmu, kenapa wanita hamil mendiamkan suaminya berhari-hari?” Lucas yang sedang mengemudi menatap tuannya melalui kaca spion tengah. “Maaf, Tuan. Saya belum menikah, sepertinya Anda yang sudah berpengalaman jauh lebih mengetahui alasannya daripada saya.” Oliver berdecak lidah, itu bukan jawaban yang ia harapkan. Memang, Oliver pernah berpengalaman hidup dengan wanita hamil—Zara, tapi mantan istrinya itu tidak seperti Yara. Zara hampir tidak pernah mendiamkanny