Yara menekuri foto pada ponsel dalam genggamannya. Wanita itu Wanda. Mereka berdua sedang makan malam di sebuah restoran. Hanya berdua. Persis seperti sepasang kekasih yang tengah makan malam romantis. Oliver dengan jas hitamnya, sementara Wanda dengan pakaian formalnya yang seksi.“Yara, ada apa?” Marshall melambaikan tangan di depan wajah Yara saat ia hanya terdiam membisu.“Oh?” Yara mengerjap, keluar dari lamunannya. “Nggak. Gak apa-apa. Ah ternyata makanannya sudah ada. Ayo makan!” Yara tertawa kecil, berusaha menghilangkan kecurigaan Marshall yang terus menatapnya dengan tatapan penuh tanya.Karena Marshall tak berhenti menatapnya seolah meminta penjelasan, Yara pun menghela napas panjang dan tersenyum. “Sungguh. Aku nggak apa-apa. Barusan temanku mengabarkan sesuatu, tapi menurutku itu nggak penting. Baiklah... yang lebih penting sekarang adalah makanan!” seru Yara, yang tiba-tiba berubah ceria.Namun, Marshall tahu keceriaan Yara kali ini seolah tengah menyembunyikan sesuatu.
“Setelah seharian sibuk dengan klien, makan malam bersama seperti ini benar-benar menyenangkan, ya?” ucap Wanda sambil tersenyum manis.Oliver tidak menanggapi, pria itu hanya sibuk memasukkan makanan ke dalam mulutnya sambil menatap piring dengan tatapan menerawang, seolah-olah ia tidak menikmati makanannya.Wanda yang melihatnya hanya bisa menghela napas. Ia penasaran, apa yang membuat sang bos kesayangannya itu tidak fokus hari ini? Meski begitu, saat bersama klien Oliver tetap bersikap profesional.“Tuan, Anda mendengar saya?”Oliver mengerjap. “Apa?” katanya sambil menatap Wanda sekilas.Wanda tersenyum, menyembunyikan perasaan jengkelnya karena merasa diabaikan. Padahal ia sudah sengaja berpenampilan semenarik mungkin untuk malam ini di hadapan Oliver.“Apa ada masalah yang mengganggu pikiran Anda?” tanya Wanda, “sepertinya Anda tidak menikmati makan malam ini.”Oliver mengembuskan napas berat. “Tidak. Tidak ada apa-apa,” jawab Oliver singkat.Namun, tanpa Wanda ketahui, Oliver
Oliver terdiam cukup lama, sebelum akhirnya menjawab, “Karena dia istriku. Sebagai seorang istri sudah tentu harus menjaga nama baik suami.”“Benarkah hanya karena itu?” Marshall menatap Oliver dengan mata disipitkan, seolah sedang menyelidiki perasaan di balik tatapan tajam Oliver.“Dengar, Marshall.” Oliver menjejalkan kedua tangan ke dalam saku celana. “Apapun alasanku, kamu nggak berhak ikut campur.” Ia lantas mendekati pintu dan hendak membukanya, akan tetapi ucapan Marshall berikutnya membuat Oliver mengepalkan tangan.“Kalau kamu masih menganggap Yara sebagai bayangan Zara dan menyakitinya, aku nggak akan segan-segan merebutnya darimu,” ucap Marshall dengan tegas dan serius, lalu pergi setelah mengatakannya.Oliver terdiam cukup lama, merenungi kata-kata Marshall yang biasanya jarang berkata serius terhadapnya. Sebelum akhirnya Oliver menghela napas berat dan mendorong pintu di hadapannya.
Setelah hari itu, Yara mendiamkan Oliver. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah kubusnya bersama Zio ketimbang di rumah Oliver. Yara juga tidak menyambut lelaki itu kala pulang dari kantor. Hal itu membuat Oliver uring-uringan di kantor. Lucas dan beberapa karyawan terkena dampaknya. Oliver tak mengerti, kenapa Yara yang mendiamkannya mempengaruhi mood-nya sampai seperti ini? “Lucas, bagaimana menurutmu, kenapa wanita hamil mendiamkan suaminya berhari-hari?” Lucas yang sedang mengemudi menatap tuannya melalui kaca spion tengah. “Maaf, Tuan. Saya belum menikah, sepertinya Anda yang sudah berpengalaman jauh lebih mengetahui alasannya daripada saya.” Oliver berdecak lidah, itu bukan jawaban yang ia harapkan. Memang, Oliver pernah berpengalaman hidup dengan wanita hamil—Zara, tapi mantan istrinya itu tidak seperti Yara. Zara hampir tidak pernah mendiamkanny
“Suara kodok? Tengah malam begini?” tanya Oliver sambil menatap Yara dengan tatapan ngeri. “Maksudmu, kita akan pergi ke sawah?”“Hm.” Yara mengangguk. “Calon anakku—““Anakku juga,” sela Oliver dengan cepat.“Ya, maksud aku anak ini, ingin mendengar suara kodok. Aku yakin suara itu bisa membuatnya tenang.”Oliver diam mematung dengan tatapan yang belum berubah—ngeri dan tak percaya, sementara Yara pergi lebih dulu.“Mau ikut atau nggak?!” seru Yara, “kalau nggak mau, ya sudah, tunggu saja di dalam mobil!”Rahang Oliver mengeras. Alih-alih pergi meninggalkan Yara, ia justru malah menyusulnya dengan langkah cepat. “Aku nggak akan membiarkanmu pergi sendiri—maksudku, aku harus memastikan anakku baik-baik saja.”Yara memutar bola matanya malas. Mereka menyusuri jalan setapak, melewati rumah-rumah warga yang sepi. Udara malam yang segar dan aroma tanah yang lembab menemani mereka sepanjang perjalanan itu. Suara kodok memang terdengar cukup ramai di kejauhan, mengisi malam yang hening deng
Oliver berguling ka samping kiri dan kanan dengan gelisah. Seolah-olah ia tidak mendapat kenyamanan dalam tidurnya. Pasalnya, ia penasaran dengan apa yang akan diminta Yara kali ini. Tadi saat mereka di mobil, setelah Oliver mengiakan bahwa dirinya akan mengabulkan apapun keinginan Yara, Yara tidak langsung memberitahu apa keinginannya. Wanita itu hanya berkata bahwa ia akan memberitahunya besok siang.“Sebenarnya apa yang dia inginkan?” erang Oliver pada dirinya sendiri sambil bangkit dari tidurnya.Bukan. Ia bukannya kesal karena Yara meminta sesuatu darinya. Oliver hanya penasaran hingga ia tidak bisa tidur. Setelah membuatnya jatuh ke lumpur, jangan-jangan besok lusa Yara akan meminta diantar ke peternakan sapi dan membuat Oliver terpeleset jatuh ke kotoran sapi. Membayangkannya saja, Oliver bergidik ngeri.Karena tidak bisa tidur—sementara waktu sudah menunjukkan dini hari, Oliver akhirnya keluar dari kamarnya d
Perasaan Oliver terasa ringan sejak sarapan tadi pagi. Hari ini hari libur dan entah mengapa ia ingin menghabiskan waktu di rumah, karena biasanya ia memilih menghabiskan waktu di luar entah itu dengan pekerjaannya atau dengan hobinya.Kakinya seolah tahu apa yang sedang otaknya perintahkan, ia berjalan ke kamar Yara, mencari-cari perempuan itu. Namun, ia tidak menemukan Yara di dalam kamarnya, begitu pula di ruangan lain.Setelah mencari ke sana kemari, Oliver akhirnya menemukan wanita itu tengah berjongkok di depan pohon bunga mawar sambil menggigit ibu jari tangannya. Oliver mendekat.“Apa yang sedang kamu lakukan di sini?” tanya Oliver, ia bisa menangkap kegelisahan dan keraguan yang tergambar dalam ekspresi Yara.“Oliver...,” gumam Yara sambil mendongak. “Kamu bilang semalam, kalau kamu akan mengabulkan apapun keinginan anak ini, bukan?”“Iya.” Oliver menjawab penuh keyakina
Yara memperhatikan Oliver dan Marshall yang sedang mengobrol dari balik jendela yang terbuka. Entah apa yang mereka obrolkan, sampai-sampai Yara melihat wajah Oliver tampak serius, begitu pula dengan Marshall. Yara belum pernah melihat ekspresi Marshall se-serius itu sebelumnya.Tak lama kemudian Marshall pergi lagi. Yara melihat Oliver mematung sejenak. Sebelum akhirnya pria itu kembali berjongkok di depan pohon bunga mawar dan mulai menghitung helaian daunnya dengan serius. Terkadang pria itu berjongkok, setengah berjongkok, lalu berdiri, dan berjongkok lagi. Demikian seterusnya, sampai Yara terperangah karena ia tak menyangka Oliver mau melakukannya dengan serius.Bolehkah kali ini Yara merasa senang? Ia tak bermaksud mengerjai Oliver, tapi ia serius saat mengatakan bahwa ia penasaran dengan jumlah daun dalam pohon mawar tersebut.“Kamu sepertinya ingin mengerjai ayah kamu,” bisik Yara sambil mengusap perutnya sen
“A-apa maksudmu?” Yara tersentak kala mendengar ucapan Oliver barusan.Apa pria itu bilang?Tidak pernah menceraikannya? Kenapa bisa?“Aku bilang....” Oliver menjeda kalimatnya seraya mendekatkan wajah mereka. Namun, Yara segera memalingkan muka ke samping saat bibir mereka nyaris bertemu. Bibir Oliver kini berakhir di pipi Yara. Oliver mendekatkan bibirnya ke telinga Yara, berbisik, “Aku nggak pernah menceraikanmu, Yara. Surat gugatan cerai darimu nggak pernah aku tandatangani dan kata cerai belum keluar dari mulutku.”Raut muka Yara seketika berubah menegang. Ia mendorong dada Oliver keras-keras hingga pria itu berhasil mundur dari hadapannya. Mata Yara menatap Oliver dengan tajam. Lalu mendengus kasar.“Jangan membohongiku, Oliver,” desis Yara, “kamu sudah bahagia dengan Zara, seharusnya kamu sudah menceraikanku karena aku dan Zara kakak beradik yang nggak boleh kamu nikahi secara bersamaan!”Satu sudut bibir Oliver kembali terangkat. Ia merogoh saku jas bagian dalamnya dan mengelu
Yara berkacak pinggang sembari mengembuskan napas melihat bekal kedua anaknya yang masih tergeletak di meja. Tadi ia meminta tolong Arthur agar memanggil Airell untuk makan siang, tapi sampai saat ini Arthur belum kembali dan Airell pun tidak terlihat batang hidungnya. Kemarin sore Arthur sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Dan untuk memberi hiburan pada anak itu, hari ini Yara membolehkan anak-anaknya ikut dengannya ke kantor Infinity Events. “Anak-anak itu susah sekali kalau disuruh makan,” gerutu Yara sambil geleng-geleng kepala. Lalu ia keluar dari ruangan kerjanya untuk mencari Arthur dan Airell. Ia menuruni tangga dengan langkah anggun dan penuh percaya diri. Sampai saat ini Yara lebih suka memakai flat shoes ketimbang high heels. Yara sudah bisa menebak bahwa si kembar berada di lobi, sebab tempat itu adalah tempat kesukaan mereka selain taman kecil di
Oliver berdiri di depan bangunan dua tingkat bergaya minimalis. Bangunan itu terlihat seperti masih baru. Tulisan Infinity Events terukir di sudut kanan atas bangunan berbentuk kubus itu. Model bangunan tersebut persis seperti selera Yara, pikir Oliver. Kedua sudut bibir Oliver terangkat. Dan mungkin itu senyuman tulus pertama yang ia sunggingkan selama beberapa tahun terakhir. Oliver mengembuskan napas, ia harus berjuang menenangkan diri karena jantungnya berdetak tak karuan. Sebelum akhirnya ia melangkahkan kakinya memasuki lobi Infinity Events. Saat Oliver membuka pintu, tidak ada orang di meja resepsionis. Lobi itu terlihat kosong selain ada seorang anak kecil perempuan, yang sedang menari berputar-putar sambil menyanyikan lagu “Do You Wanna Build A Snowman”. Tampak kerutan di kening Oliver. Ia merasa seperti pernah bertemu dengan anak itu.
Yara berjalan dengan langkah cepat sambil berusaha menahan air mata agar tidak tumpah.Tiba di luar lobi hotel, ia menghentikan langkahnya. Satu tangannya bertumpu pada pilar, sementara tangan yang lain memegangi dada yang tengah bernapas naik turun. Dadanya terasa sesak.Ia berusaha menghirup oksigen dalam-dalam dengan mata yang memanas.Bertemu dengan Oliver seperti membuka kembali kenangan lama yang berusaha ia kubur dalam-dalam.Susah payah selama enam tahun ia menghindar, kenapa sekarang harus dipertemukan kembali? Setelah dirasa dadanya mulai melonggar, ia berjalan dengan gontai menuju mobilnya di parkiran. Tangannya yang gemetar berusaha mencari kunci di dalam tas. Hingga kunci itu terjatuh setelah ia menemukannya. “Kenapa harus sekarang?” bisik Yara pada dirinya sendiri sambil memunguti kunci tersebut. Yara membuka pintu mobil, mendaratkan pantatnya di belakang kemudi. Ia mengusap wajahnya dengan kasar sambil mengerang frustrasi. Lalu jemarinya berhenti pada bibirnya. Cium
“Jadi....” Oliver mendekati Yara, berdiri di samping kursi Yara dengan tatapan yang masih sulit diartikan. “Apa alasan sebenarnya Anda memilih konsep yang, menurut saya, terlalu sederhana untuk acara sebesar ini... Nona Yara?”Yara tersentak ketika Oliver memutar kursi yang ia duduki, hingga mereka saling berhadapan. Oliver menaruh kedua tangannya di lengan kursi, mengungkung Yara yang semakin merasa panik dan jantung yang berdegup kencang.Yara memundurkan punggungnya hingga bersandar pada sandaran kursi. “Bukankah jarak kita terlalu dekat, Tuan Oliver? Tolong jauhkan badan Anda.” Yara tiba-tiba lupa bagaimana caranya bernapas. Aroma woody itu masih sama seperti dulu, membuat ingatan masa lalu mereka seketika memenuhi kepala Yara.Oliver tetap bergeming, merundukan badannya dengan tangan masih bertumpu pada lengan kursi.Meski hatinya terasa tak karuan, Yara tetap mencoba profesional dengan berkat
Pria itu terpaku setelah menyerahkan berkas-berkas yang ia kumpulkan kepada Yara. Yara segera berdiri, berusaha menenangkan dirinya meskipun rasa gugup mulai merayap. “Terima kasih,” ucap Yara pelan, suaranya terdengar sedikit bergetar. Bertemu lagi dengan pria yang menorehkan luka di masa lalu membuat Yara merasakan dunianya berhenti berputar sesaat. Detik itu juga Yara pergi meninggalkan Oliver yang masih membeku di tempatnya berdiri. Yara melangkah cepat, menaiki tangga darurat menuju lantai empat. Napasnya terengah-engah saat ia tiba di depan pintu ruang meeting. Yara berusaha mengatur napasnya seraya memegangi dada. “Kenapa harus ketemu lagi?” gumam Yara pada dirinya sendiri. “Kenapa dia ada di sini? Kenapa harus sekarang?” Mata Yara terasa memanas. Luka lama yang belum mengering itu kembali menganga. “Bu Yara?” pa
Mata Airell berkaca-kaca kala melihat tangan kakaknya yang dipasangi jarum infus. Sedetik kemudian, air matanya tumpah.“Huwaa...! Arthur, pasti sakit banget, Mom!” isak Airell, yang memiliki hati lembut dan tidak tegaan itu. “Arthur, kenapa harus sakit, sih? Aku ‘kan nggak tega lihatnya. Huwaa....!”“Ish! Sssst! Berisik.” Arthur menempelkan jari telunjuk di bibirnya sendiri. “Jangan cengeng, Airell. Aku saja yang sakit tidak menangis, tahu?"Yara menghela napas pelan melihat tangisan Airell yang semakin menjadi-jadi. Ia mengabaikan Airell sesaat, lalu fokus kembali pada laporan yang disampaikan oleh Sri.“Jadi, kemarin Airell menumpahkan es krimnya ke celana seseorang? Astaga....” Yara menyugar rambut lurus panjangnya ke belakang.“Iya, Bu. Aduh, saya sampai khawatir orang itu akan memarahi Non Airell. Soalnya dilihat dari penampilannya, dia sepertinya orang yang sangat penting
Oliver selesai mengganti celananya yang terkena tumpahan es krim dengan celana yang baru saja diambilkan Lucas dari mobilnya. Untuk berjaga-jaga, Oliver memang selalu menyimpan pakaian cadangan di dalam mobil. Dan pakaian itu berguna di saat-saat seperti ini.Oliver menggulung lengan bajunya hingga ke siku. Saat tatapannya tertuju pada lengan bagian dalam siku itu, tanpa sadar ingatan Oliver melayang pada percakapan antara dua perawat di dalam lift tadi. Oliver berusaha mengabaikannya. Itu bukan urusan dirinya. Masih banyak orang bergolongan darah A di luar sana, pikir Oliver.Namun, Oliver tak bisa menyangkal. Ada sebagian dari dalam dirinya yang terusik. Seperti ada dorongan kuat untuk mendonorkan darahnya pada anak tak dikenal itu.“Tuan, rapatnya sebentar lagi akan dimulai.” Ucapan Lucas menyadarkan Oliver dari lamunan. Maksud kedatangannya ke rumah sakit ini memang untuk rapat bersama para eksekutif rumah sakit yang berada di bawah naungan New Pacific Group.Oliver menghela napas
Yara menunggu di ruang tunggu UGD dengan perasaan cemas yang berusaha ia sembunyikan, sebab di sampingnya ada Airell. Yara harus berusaha setenang mungkin jika tidak ingin membuat Airell menangis dan semakin cemas. Tak lama, dokter yang memeriksa Arthur pun keluar, menyampaikan kabar yang membuat lutut Yara mendadak terasa lemas. “Anak Ibu terkena anemia berat,” ucap sang dokter, “Arthur harus segera mendapatkan transfusi darah. Namun sayang sekali, golongan darah A di bank darah kami sangat terbatas.” Yara merasa tubuhnya semakin lemas. Ia berusaha tenang, tetapi pikirannya terlalu kalut. "Apa tidak ada cara lain, Dok?" tanyanya dengan suara gemetar. "Kami akan segera mencoba mencari donor, Bu," jawab sang dokter. "Kami juga akan memeriksa data pendonor reguler kami." Yara menjatuhkan tubuhnya ke kursi sambil menangkup wajahnya. Ia merasa khaw