“Aku cuma belajar bermain piano, tapi kenapa rasanya lelah sekali?” keluh Yara sambil mengempaskan tubuhnya ke atas kasur, matanya menatap langit-langit kamar Zara.Tatapannya kemudian bergeser ke sudut ruangan, ke arah piano milik Zara yang baru saja ia mainkan dipandu oleh seorang guru les piano yang dikirimkan Oliver. Kini guru bernama Aster itu sudah pergi setelah satu jam membimbing Yara bermain piano.Yara menghela napas panjang. Ia masih dikurung di kamar Zara dan tidak diperbolehkan keluar, entah sampai kapan.Hatinya terasa sakit karena setiap sudut ruangan dan setiap benda di kamar ini mengingatkannya akan sosok Zara.Ia juga merindukan adik kembarnya itu, tapi ada satu hal yang masih mengganjal di hati Yara. Ia belum mendapatkan penjelasan dari Zara; kenapa adiknya itu tega merebut Oliver darinya di masa lalu?“Nona, boleh saya masuk?” Suara Wanda mengeluarkan Yara dari lamunannya.Kini ia bertanya-tanya untuk apa Wanda datang ke rumah ini?“Boleh. Masuk saja,” jawab Yara,
Lisa baru pertama kali melihat Oliver semarah itu. Tangannya gemetar, tapi ia berusaha membawa makanan dengan hati-hati. Lisa menaruh makanan itu di atas nakas sebelum ia kembali keluar.“Makan!” perintah Oliver pada Yara sambil berdiri menjulang tinggi di sisi ranjang.Hati Yara bergetar begitu mendengar Oliver menyuruhnya makan. Jadi... pria itu datang di tengah kesibukannya lalu marah-marah hanya untuk menyuruh Yara makan setelah dua hari tanpa asupan apapun?Tak bisa dipungkiri, ada satu bagian dari dalam diri Yara yang merasa senang dengan perhatian itu. Namun, satu bagian diri yang lain mengingatkan Yara bahwa saat ini Oliver masih memandangnya sebagai Zara.“Tunggu apa lagi, Yara?!” Oliver nyaris hilang kesabaran. Rahangnya mengeras. “Makan! Atau aku akan menghubungi rumah sakit untuk menghentikan pengobatan ibumu!”Oliver mengeluarkan ponsel dari saku. Yara terkejut. Cepa
Yara terbangun dari tidurnya. Ia merasakan tenggorokannya kering dan memutuskan pergi ke dapur. Malam ini ia sudah tidur di kamarnya kembali, bukan di kamar Zara.‘Sepertinya Oliver nggak pulang lagi malam ini,’ batin Yara ketika ia melihat kamar Oliver tampak kosong.Ada perasaan sedih di hatinya, karena ternyata Oliver tidak mendengarkan permintaannya tadi siang untuk pulang dan tidur di rumah.‘Lagi pula siapa aku bagi dia?’ Yara tersenyum miris, tak mungkin Oliver mau mendengarkan kata-katanya, bukan?Namun, saat Yara melewati ruangan tengah, tanpa sengaja ia melihat Oliver sedang tertidur di sofa panjang. Terdengar dengkuran halus darinya. Yara tidak bisa mencegah bibirnya untuk tidak tersenyum.Yara memutuskan kembali ke atas, mengambil selimut dari kamar Oliver, lalu kembali ke bawah dan menyelimuti pria itu dengan gerakan hati-hati.Di bawah cahaya remang-remang, Yara
Mendengar saran Yarra, Oliver tampak tertarik. “Terrarium?” tanyanya dengan kening berkerut. Yara tersenyum lembut, senyuman yang bukan dirinya. “Iya, terrarium," jawabnya, "sebuah taman mini yang bisa ditaruh di dalam ruangan. Aku ingat Mama suka berkebun. Jadi aku pikir, Mama pasti akan menyukainya. Menurutku itu hadiah yang unik dan bermakna.” Oliver terdiam sejenak, memikirkan saran Yara tersebut. Ia tahu ibunya menyukai tanaman dan berkebun. Saran Yara masuk akal, dan lebih dari sekadar sesuatu yang mewah, melainkan sesuatu yang penuh arti, pikirnya. "Itu ide yang bagus," ucap Oliver pada akhirnya dengan ekspresi datar. "Aku akan membelikan terrarium untuk Mama." Mendengar hal tersebut, Wanda tidak bisa menyembunyikan rasa kesalnya ketika Oliver memilih ide Yara daripada sarannya. Namun ia tetap tersenyum, meski di dalam hatinya ada rasa tidak suka terhadap Yara yang semakin membesar. “Aku tahu di mana tempat membeli terrarium yang berkualitas,” saran Yara lagi. “Ba
Saat tak sengaja menemukan eskalator, Yara dan Oliver serempak memilih melangkah ke eskalator tersebut tanpa konfirmasi satu sama lain. Seolah-olah keduanya memiliki pikiran yang sama; trauma dengan kejadian di lift tadi. Kini suasana di antara mereka semakin canggung. Oliver berjalan di depan Yara, tapi langkahnya tidak terlalu cepat dan lebar, seakan-akan pria itu mengerti bahwa Yara kesulitan berjalan dengan high heels. Ketika melewati toko yang menjual berbagai macam kamera, dari yang mirrorless sampai DSLR, Yara berhenti melangkah. Ia berdiri di depan toko tersebut dan mengamati sebuah kamera DSLR yang sangat menarik perhatiannya. Sementara itu di sisi lain, Oliver berkata, “Setelah ini kita pergi ke butik untuk mencari gaun yang akan kamu gunakan ke pesta ulang tahun Mama.” Namun, Oliver tak mendapatkan jawaban. Oliver berhenti berjalan dan berkata sambil menoleh
Hari dilaksanakannya pesta ulang tahun Jingga pun akhirnya tiba. Oliver sedang menunggu Yara keluar dari kamarnya. Ia menunggu di dalam mobil dengan tidak sabar karena acara sudah hampir dimulai, tapi Yara terlalu lama. Zio duduk di pangkuannya, memainkan sebuah mobil mainan di dada Oliver yang dibalut jas hitam. Oliver menatap wajah anak itu dengan lekat. Gen ibunya terlalu kuat pada Zio, sehingga anak itu delapan puluh persen hampir mirip dengan Zara. Saat ujung mata Oliver melihat seseorang keluar dari rumah, Oliver mendongak. Seketika itu juga Oliver menegakkan punggung dengan tatapan terpana. Penampilan wanita yang sedang berjalan menuju mobil itu tampak berbeda dengan penampilan Zara. Jika biasanya Zara membiarkan rambutnya tergerai dan mengenakan gaun berwarna lembut, kini Yara menggelung rambutnya dan menyisakan beberapa helai di dekat telinga kiri dan kanan. Gaun berwarna merah dengan
“Boleh kenalan nggak?”Yara merasa sedikit bingung, apa yang harus ia lakukan sekarang untuk menjaga sikapnya? Apakah harus menerima ajakan pria itu untuk berkenalan atau justru mengabaikannya? Ia tidak ingin membuat masalah lagi bagi Oliver, apalagi kini ia berada di tengah-tengah keluarga besar suaminya itu.“Bukankah kamu sudah mengenalinya, Arjun?!”Suara bariton itu mengejutkan Yara, dan juga pria bernama Arjun yang berdiri di hadapan Yara tersebut. Yara menoleh ke belakang dan mendapati Oliver sedang menghampiri mereka dengan rahang mengeras.Diam-diam Yara menghela napas lega dengan kedatangan Oliver, karena ia tidak perlu berbasa-basi dengan lelaki tak dikenal ini.“Aku memang sudah tahu namanya, tapi kami belum saling kenal,” elak Arjun—pria yang tampaknya lebih muda dari Oliver.Oliver berdiri di samping Yara, menarik pinggangnya hingga mereka saling berdekatan. Yara terkejut dengan tindakan impulsif Oliver tersebut, yang diam-diam membuat jantungnya berdetak lebih cepat dar
Jika Oliver saja tidak bisa menolak permintaan ibunya untuk menginap, apalagi Yara? Yara meremas jari jemarinya sambil menatap langit-langit kamar. Untuk pertama kalinya ia berharap Zio—yang sedang tertidur nyenyak di dalam box tempat tidurnya, terbangun, untuk mencairkan suasana. Namun, anak itu tak ada tanda-tanda akan bangun setelah lelah aktif bermain selama acara tadi berlangsung. Bunyi pintu kamar mandi yang dibuka mengagetkan Yara. Oliver keluar dari sana, lalu duduk di tepian ranjang, membuat suasana menjadi semakin canggung. “Kalau kamu nggak nyaman tidur denganku, kamu bisa tidur di sana.” Oliver menunjuk sofa, membuat mata Yara terbelalak. ‘Apa-apaan ini? Dia malah menyuruhku tidur di sofa?’ protes Yara dalam hati. Yara mendengus pelan, amat pelan hingga Oliver nyaris tak mendengarnya. “Nggak, kok. Aku nyaman-nyaman aja,” dusta Yara. Oh, sungguh Yara tidak mau ti
Oliver duduk dengan punggung tegak di atas sunbed, netra hitam di balik kacamata hitamnya memperhatikan Yara yang sedang mengajari Avery berjalan tanpa alas kaki di atas pasir pantai. Deburan ombak sesekali terdengar dari kejauhan, diiringi bunyi sekawanan burung camar yang sesekali melintas di udara. “Sial! Apa yang laki-laki itu lakukan?” desis Oliver pada dirinya sendiri saat melihat seorang lelaki tak dikenal menghampiri Yara dan mengajaknya mengobrol. Tidak bisa dibiarkan. Detik itu juga Oliver berdiri, dan sempat bicara pada si kembar Arthur dan Airell yang tengah bermain pasir di sebelahnya, “Arthur, Airell, tunggu di sini sebentar.” Oliver bergegas menghampiri Yara setelah mendapat anggukkan dari kedua anaknya. “Maaf, ada kepentingan apa Anda dengan istri saya?” tanya Oliver pada lelaki itu tanpa basa-basi sambil menekankan kata ‘istri saya’. Lelaki yang hanya mengenakan celana selutut itu tersenyum canggung dan tampak terintimidasi oleh tatapan tajam Oliver. “Oh, t
“Kak Zio!”“Yeay! Kak Zio datang! Aku kangen Kak Zio!”Arthur dan Airell berlari menghampiri Zio. Zio berjongkok, merentangkan kedua tangan dan memeluk si kembar secara bersamaan.“Aku juga kangen kalian,” ucap Zio sambil tertawa bahagia.Arthur yang pertama kali melepaskan diri dari pelukan itu. “Kak Zio, ayo lihat adik aku. Avery cantik, lho!”Mendengar ucapan Arthur, Airell pun cemberut. “Memangnya aku tidak cantik?”“Cantik, sih. Tapi sedikit.” Arthur tertawa jahil.“Arthur...!” rengek Airell dengan bibir yang semakin memberengut.Zio tersenyum dan menggenggam tangan Airell. “Kamu cantik, Airell. Nggak ada yang ngalahin cantiknya kamu.”Mata Airell seketika berbinar-binar. “Sungguh?”“Hm! Aku serius.” Zio mengangguk. “Kalau begitu ayo kita lihat Avery. Di mana dia sekarang?”Airell tersenyum ceria, ia menarik tangan Zio sambil berkata, “Avery lagi sama Daddy. Ayo!”Melihat interaksi mereka bertiga, Yara pun tersenyum penuh haru. Tak bisa dipungkiri bahwa ia pun merindukan Zio.“Zi
“Oliver, kamu baik-baik saja?” Marshall menelengkan kepala, menatap wajah sepupunya yang terdapat lingkaran hitam di bawah matanya. “Kamu sepertinya kurang tidur.”Oliver mengembuskan napas panjang. Ia duduk dengan tegap di sofa, tepat di hadapan Marshall. “Menurutmu aku bisa tidur nyenyak? Setiap malam Avery selalu bangun dan saat siang dia tidur nyenyak.”Avery William adalah nama untuk anak ke tiga Yara dan Oliver. Nama itu Oliver sendiri yang memberikannya.Mendengar keluhan Oliver, Marshall tertawa puas. “Gimana dengan Yara?”“Aku membiarkan dia tidur kalau malam. Lagian Avery selalu ingin bersamaku. Seolah-olah dia tahu kalau dulu ayahnya nggak menemani kakak-kakak dia waktu masih bayi.” Oliver tersenyum kecil, hatinya berdenyut nyeri kala membayangkan Yara melewati masa-masa mengurus bayi kembar sendirian.“Mengurus satu bayi saja sudah repot, apalagi dua,” timpal Marshall, “kamu tahu maksudku?”Oliver mengembuskan napas. “Aku tahu. Kamu nggak perlu menambah rasa bersalahku kar
Oliver terduduk lemas di kursi yang ada di koridor rumah sakit. Wajahnya pucat pasi. Rambutnya acak-acakan. Dan kedua lengannya tampak merah, dipenuhi bekas gigitan dan cakaran. Oliver melamun. Seakan-akan sibuk dengan dunianya sendiri, hingga Oliver mengabaikan keadaan di sekitarnya.Jingga keluar dari ruangan bersalin. Ia prihatin melihat kondisi Oliver yang tampak terguncang. Lalu menghampirinya.“Oliver, kenapa kamu diam di sini? Yara dan bayi kalian menunggu di dalam,” ucap Jingga dengan lembut.Ya, Yara sudah melahirkan beberapa saat yang lalu ditemani Oliver. Setelah bayinya berhasil dilahirkan dengan selamat dan sempurna, Oliver pun keluar dari ruangan itu dan duduk termenung sendirian.“Oliver...,” panggil Jingga saat Oliver tidak merespons ucapannya.Oliver tetap bergeming. Melamun dengan tangan gemetar.Jingga menghela napas panjang. Ia duduk di samping putranya, lalu menggenggam tangannya yang terasa dingin.Saat itulah Oliver keluar dari lamunannya dan menatap Jingga deng
“Oliver, perutku sakit banget.”Bisikan Yara tersebut berhasil menghentikan Oliver yang sedang berbincang-bincang dengan kliennya. Oliver langsung menoleh pada Yara dan melihat wanita itu tengah mengerutkan kening seperti menahan rasa sakit.“Sayang, perut kamu sakit?”Yara mengangguk. “Sakit banget,” katanya sembari mencengkeram lengan Oliver kuat-kuat.Raut muka Oliver seketika berubah menegang. Tangannya menangkup pipi Yara dan berkata dengan tegas, “Kita ke rumah sakit sekarang!”Tanpa basa-basi, Oliver segera mengangkat Yara ke pangkuan. Sikapnya itu mengundang perhatian dari orang-orang di sekitar mereka. Namun Oliver tampak tidak peduli. Saat itu juga ia membawa Yara keluar dari ballroom dengan ekspresi panik yang gagal ia sembunyikan.“Oliver, jangan terlalu khawatir. Sekarang sakitnya sudah hilang lagi, kok,” kata Yara, berusaha menenangkan Oliver yang kini tengah mengemudi dengan tatapan kalut.“Sayang, mana bisa aku nggak khawatir,” sergah Oliver sembari mengusap wajah deng
“Oliver, sudah kubilang, aku bisa melakukannya sendiri. Astaga....”“Tidak! Selama aku bisa melakukannya untukmu, akan kulakukan!” tegas Oliver, sebelum akhirnya pria itu memangku Yara ke kamar mandi.Yara memutar bola matanya malas, tapi ia tidak menolak lagi. Karena sekali lagi Yara menegaskan, Oliver adalah pria yang tidak menerima penolakan.Sejak awal kehamilan, Oliver selalu memberi perhatian lebih dan memanjakan Yara. Apalagi saat kehamilan Yara sudah membesar seperti sekarang, Oliver bahkan tidak mengizinkan Yara melakukan aktifitas yang sedikit berat. Pria itu lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. memenuhi segala kebutuhan Yara dan melayaninya dengan sepenuh hati.Oliver sering berkata pada Yara bahwa ia ingin menebus kesalahannya di masa lalu yang tidak menemani Yara sewaktu kehamilan si kembar.“Jangan lihat aku. Aku malu,” protes Yara saat Oliver sudah melepaskan seluruh kain yang membungkus tubuhnya.Oliver tersenyum kecil. “Apa yang membuat kamu malu, Sayang?” tanya
“Daddy! Mommy! Ada tamu!”“Shit!” Oliver mengumpat sambil memejamkan matanya sejenak kala mendengar seruan Airell di luar sana.Namun, hal itu tidak menyurutkan gairah Oliver. Ia berusaha menggerakkan dirinya dengan selembut mungkin agar tidak menyakiti istrinya yang kini berada di hadapannya. Posisi wanita itu memunggunginya.“Oliver...,” desah Yara sambil mencengkeram sprai erat-erat. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan desah agar tidak keluar lebih keras lagi. “Airel bilang... ada tamu.” Yara berkata dengan napas terengah-engah. “Itu pasti Zara, dia sudah... datang.”“Ssstt!” Oliver menarik dagu Yara agar menoleh ke arahnya. Lantas dilumatnya bibir sang istri dengan rakus tanpa menghentikan gerakannya. “Jangan hiraukan, Sayang. Fokus saja padaku,” bisik Oliver sesaat setelah ia menjauhkan bibir mereka berdua.“Daddy! Mommy! Ada Aunty Zara!” seru Airell lagi, kali ini diiringi ketukan pintu.
Lapangan basket yang biasanya dipenuhi suara bola memantul dan teriakan semangat, kini telah berubah menjadi tempat makan malam romantis yang memukau. Lampu-lampu kecil berkelap-kelip menggantung di sepanjang tiang ring basket, menciptakan suasana hangat dan romantis. Sebuah meja bundar berlapis kain putih dihiasi lilin-lilin kecil serta rangkaian bunga matahari—bunga favorit Yara. Kursi-kursi tertata rapi, dan di tengah meja, terdapat dua set hidangan yang tertata indah. Dan alunan musik romantis terdengar merdu. Yara berdiri mematung di tempatnya, matanya membulat dan bibirnya sedikit terbuka, ia tak mampu menyembunyikan kekagumannya. Oliver yang berdiri di sampingnya, hanya tersenyum melihat ekspresi istrinya itu. “Kamu suka?” tanya Oliver dengan suara lembut. Yara mengangguk perlahan dan keluar dari keterpakuannya. “Oliver... ini keren banget. Kamu benar-benar menyulap lapangan basket jadi tempat makan malam seindah ini?” Oliver tertawa kecil. “Ini bukan sekadar lapangan ba
Yara menatap pantulan dirinya di cermin. Senyuman lebar tersungging di bibir kala ia melihat baby bump-nya sudah sedikit membuncit.Ia jadi teringat dengan ucapan Oliver yang akhir-akhir ini selalu bilang bahwa lelaki itu sangat menyukai bentuk tubuh Yara yang sedang hamil.Dulu, waktu kehamilan pertama, Yara mendapatkan perhatian dari Oliver hanya dalam waktu singkat. Namun kali ini, hampir setiap waktu perhatian Oliver selalu tercurah padanya. Membuat Yara merasa menjadi wanita paling beruntung dan paling bahagia di dunia karena dicintai oleh lelaki seperti Oliver.Sehingga timbul di hati Yara rasa takut ditinggalkan oleh suaminya itu. Yara sudah bergantung padanya. Menjadikan lelaki itu pusat dunianya.Beranjak dari depan cermin, Yara menghampiri meja kerjanya. Di atas meja teronggok sebuah bucket bunga matahari, yang membuat Yara seketika tersenyum cerah. Ia meraih secarik kertas dari sana, dan menemukan tulisan tangan Oliver dalam kertas tersebut.‘Honey, kamu tahu perbedaan mata