Yara terbangun dengan kepala berat dan tubuh yang terasa lelah. Pandangannya masih buram karena kurang tidur, dan perasaannya bercampur aduk dengan rasa sakit yang tak tertahankan.Di sebelahnya, Oliver masih tertidur lelap, napasnya teratur setelah malam yang penuh emosi dan kekecewaan.Yara memandang wajahnya sejenak, merasa benci sekaligus sedih. Hatinya remuk. Tubuhnya terasa hampa, seolah semua energi telah terkuras habis. Air mata yang tadi malam deras mengalir kini mengering di pipinya, tetapi luka di hatinya masih berdarah.Perlahan, Yara bangkit dari tempat tidur dengan hati-hati agar tidak membangunkan Oliver. Ia tidak sanggup melihatnya, setidaknya untuk saat ini. Dengan langkah lemah, Yara menuju kamar mandi. Di sana ia menatap bayangannya di cermin. Wajah pucat dengan mata sembab itu seolah bukan dirinya. “Siapa aku?” gumamnya, hampir tak terdengar. “Aku... Yara, bukan Zara.” Suara itu terasa asing, seolah-olah dirinya sendiri tidak yakin dengan kata-kata itu. Kenyat
Liburan yang semula direncanakan satu minggu oleh sang mertua itu pada kenyataannya hanya bertahan tiga hari.Setelah kejadian malam itu, hubungan Oliver dan Yara semakin canggung dan jauh.Yara yang merasa sakit hati atas perkataan terakhir Oliver, memilih untuk mengabaikan lelaki itu.Dan Oliver pun tidak berbicara lebih lanjut. Keduanya sama-sama diam. Hingga Oliver memutuskan mereka kembali ke Jakarta di hari ketiga, dan Yara setuju dengan keputusan itu. Ia merasa tidak nyaman jika terus berada di Bali tanpa melakukan apa-apa dan hanya menonton Oliver yang sibuk dengan Wanda.“Wanda, ke sini. Sekarang!” titah Oliver melalui interkom. Kini ia berada di ruangannya, ruangan CEO New Pacific Group.“Baik, Tuan.” Suara lembut Wanda terdengar di seberang.Tak berselang lama, wanita yang memakai stoking hitam dan rok di atas lutut itu berjalan anggun menghampiri Oliver.“Ada yang bisa saya
Yara sedang mondar-mandir di dapur sambil melihat setumpuk bahan makanan yang baru saja ia keluarkan dari kulkas. Namun, Yara tidak tahu ia harus memasak apa dan bagaimana caranya. Lisa sedang pergi ke pasar. Sementara ia tidak berani memasak sendiri. Ia bosan berada di rumah tanpa melakukan apapun. Karena itu, ia ingin mencoba belajar memasak. Pada saat yang sama, Marshall datang. “Aku dengar kalian sudah pulang dari Bali, kebetulan aku lewat sini jadi mampir dulu,” katanya sambil meneliti ekspresi Yara yang tampak bingung dan gelisah. “Iya, kami sudah pulang kemarin. Tapi sayang sekali kamu nggak bisa ketemu Oliver sekarang, dia sudah masuk kerja,” jelas Yara, ia berpikir bahwa Marshall datang kemari untuk bertemu Oliver. "Aku tahu," timpal Marshall, “aku ke sini untuk ketemu keponakanku. Di mana dia sekarang?” “Zio sedang tidur siang. Kamu bisa melihatnya di kamarny
“Kamu bisa menyuruh Lucas mengambilnya kalau itu tentang berkas, bukan?” timpal Marshall dengan mata terpicing. Seolah tengah menelisik perasaan Oliver di balik wajahnya yang kusut. “Ini berkas penting.” Oliver menuangkan air ke dalam gelas yang baru saja ia ambil dari rak. “Aku nggak bisa mempercayakannya pada siapapun.” Ia meneguk habis minumannya dalam sekali tegukan, menaruh kembali gelas kosong itu ke meja dengan kasar. “Lucas itu orang kepercayaanmu.” Marshall terkekeh-kekeh. “Berhenti mencoba mencari alasan, aku tahu apa alasanmu yang sebenarnya pulang ke rumah di siang bolong begini.” “Alasan apa?” tanya Yara dengan polos pada Marshall, ia masih enggan berhadapan dengan Oliver berlama-lama. Marshall menoleh ke arah Yara sambil tersenyum penuh arti. Lalu menaruh sepiring ayam goreng ke atas meja. “Sesuatu yang akan kamu tahu nanti,” tukas Marshall dengan misteri
Yara merasakan dirinya dengan Oliver semakin jauh, setelah apa yang terjadi di Bali, dan setelah kejadian kemarin saat Yara dan Marshall memasak bersama.Oliver semakin dingin dan sama sekali tidak menganggap kehadiran Yara di rumahnya. Yara tidak mengerti, kenapa Oliver sampai sedingin itu tanpa alasan yang jelas? Pria itu semakin sulit ia jangkau.Hari ini, Yara membawa Zio untuk berkunjung ke rumah ibunya. Rianti, wanita yang berusia 50 tahun itu tampak lebih tua sepuluh tahun dari usia sebenarnya, akibat kanker yang menggerogotinya dan pengobatan yang ia jalani. Rianti tinggal berdua dengan seorang wanita yang Oliver pekerjakan untuk menjaga dan merawatnya.Senyuman lebar terukir di bibir Rianti yang pucat kala Yara dan Zio datang. Sudah lama sekali Rianti merindukan putri dan cucunya.“Maafin aku, Bu, baru jenguk Ibu lagi sekarang,” ucap Yara dengan perasaan menyesal sambil memeluk Rianti. “Aku kangen Ibu.”
“Terima kasih sudah mengantar kami pulang,” ucap Yara sembari melepas sabuk pengaman.“It’s okay. Aku punya banyak waktu luang hari ini.” Marshall tersenyum, sebelum akhirnya turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Yara.Tadi, setelah dari supermarket, Marshall mengantar Yara dan Zio ke rumah Rianti untuk menyimpan semua barang belanjaan kebutuhan sehari-hari. Setelah itu Marshall pula yang mengantar Yara pulang ke rumah Oliver sampai ke depan rumah, sekarang.Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika Yara menginjakkan kaki di dalam rumah Oliver. Lampu ruang tengah sudah dipadamkan. Yara menggendong Zio yang sedang tertidur.“Dari mana saja kamu seharian ini?”Yara tersentak kala mendengar suara bariton Oliver yang menggema di seluruh ruangan. Ia melihat siluet pria itu sedang berdiri dekat sofa. Suaranya yang dingin membuat jantung Yara berdetak cepat.“Oliver...,” gumam Yara sambil menghampiri pria itu. “Kamu belum tidur?” Yara mencoba berbasa-basi demi mencairkan suas
Yara tersentak saat Oliver menariknya menuju kamar Zara—sebuah ruangan yang jarang ia masuki. Ruangan itu selalu membuatnya merasa asing, seolah-olah ia bukan bagian dari rumah ini.Ketika Oliver membuka pintu dengan kasar, aroma parfum lembut yang familiar menyambutnya. Parfum Zara."Kamu tahu kenapa aku terus menyimpan kamar ini seperti dulu?" tanya Oliver dengan nada yang lebih tenang tapi tetap dingin. Ia membiarkan pintu terbuka, memperlihatkan seluruh kenangan Zara yang tertata rapi di dalam sana. Foto-foto, pakaian, dan barang-barang pribadi Zara seakan tidak pernah tersentuh waktu.Yara menelan ludah, tangannya gemetar. "Oliver, aku—"Oliver menoleh padanya dengan tatapan yang tajam. "Kamu menikah denganku karena Zara. Kamu ada di sini untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkannya. Tapi lihat dirimu! Kamu terus saja melakukan hal-hal yang seharusnya dia tidak pernah lakukan. Apa yang kamu p
Oliver mengerem mobilnya secara mendadak. Marshall menoleh ke belakang, ia bersyukur karena tak ada kendaraan di belakang mereka.“Oliver William, kamu mau membuat penyanyi terkenal ini mati mendadak?” protes Marshall, “ah, atau jangan-jangan dugaanku benar. Kamu cemburu.” Marshall terkekeh kecil.Oliver mendengus kasar, ia melajukan lagi kendaraannya dengan ekspresi yang semakin keruh.“Jangan bicara sembarangan, atau aku akan menurunkanmu di sini!” ancam Oliver dengan rahang mengeras.“Oke. Oke,” Marshall mengangkat tangan, tanda menyerah. Itu lebih baik daripada ia terluntang-lantung di jalan dan dikerubungi wartawan lagi seperti beberapa saat yang lalu.“Biar aku luruskan supaya kamu nggak salah paham,” ujar Oliver tiba-tiba. “Aku nggak mungkin cemburu pada kedekatanmu dengan Yara. Itu mustahil!” tegasnya.Marshall menatap Oliver dengan saksama dan mata dipicing