Yara mengepalkan kedua belah telapak tangannya. Hatinya terluka. “Oliver, aku... aku bukan—““Bukan Zara?” sela Oliver, terkekeh pelan sambil mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Yara. “Aku tahu, kamu bukan Zara.” Oliver meracau sambil menjatuhkan dagu di bahu Yara, membuat Yara kewalahan menahan berat tubuh pria itu.“Biar saya bantu, Nona.” Wanda masih berusaha menunjukkan kekuasaan dirinya atas Oliver.“Nggak perlu,” tegas Yara, “aku bisa membawa suamiku sendiri.”Meski hatinya perih akibat luka yang baru saja ditorehkan Oliver, Yara tetap memapah pria itu menuju kamar mereka. Dengan hati-hati ia menjatuhkan Oliver ke atas kasur dan membantu melepaskan sepatunya.Namun, saat Yara akan pergi, Oliver tiba-tiba menahan tangannya, membuat Yara urung untuk pergi. Ia berbalik menghadap Oliver dan berkata, “Oliver, ada ap—akh!”Yara memekik saat Oliver menarik tangannya hingga terjatuh ke atas tubuh pria itu. Yara bisa menghidu aroma alkohol yang menguar kuat dari Oliver.“Oliver l
Yara terbangun dengan kepala berat dan tubuh yang terasa lelah. Pandangannya masih buram karena kurang tidur, dan perasaannya bercampur aduk dengan rasa sakit yang tak tertahankan.Di sebelahnya, Oliver masih tertidur lelap, napasnya teratur setelah malam yang penuh emosi dan kekecewaan.Yara memandang wajahnya sejenak, merasa benci sekaligus sedih. Hatinya remuk. Tubuhnya terasa hampa, seolah semua energi telah terkuras habis. Air mata yang tadi malam deras mengalir kini mengering di pipinya, tetapi luka di hatinya masih berdarah.Perlahan, Yara bangkit dari tempat tidur dengan hati-hati agar tidak membangunkan Oliver. Ia tidak sanggup melihatnya, setidaknya untuk saat ini. Dengan langkah lemah, Yara menuju kamar mandi. Di sana ia menatap bayangannya di cermin. Wajah pucat dengan mata sembab itu seolah bukan dirinya. “Siapa aku?” gumamnya, hampir tak terdengar. “Aku... Yara, bukan Zara.” Suara itu terasa asing, seolah-olah dirinya sendiri tidak yakin dengan kata-kata itu. Kenyat
Liburan yang semula direncanakan satu minggu oleh sang mertua itu pada kenyataannya hanya bertahan tiga hari.Setelah kejadian malam itu, hubungan Oliver dan Yara semakin canggung dan jauh.Yara yang merasa sakit hati atas perkataan terakhir Oliver, memilih untuk mengabaikan lelaki itu.Dan Oliver pun tidak berbicara lebih lanjut. Keduanya sama-sama diam. Hingga Oliver memutuskan mereka kembali ke Jakarta di hari ketiga, dan Yara setuju dengan keputusan itu. Ia merasa tidak nyaman jika terus berada di Bali tanpa melakukan apa-apa dan hanya menonton Oliver yang sibuk dengan Wanda.“Wanda, ke sini. Sekarang!” titah Oliver melalui interkom. Kini ia berada di ruangannya, ruangan CEO New Pacific Group.“Baik, Tuan.” Suara lembut Wanda terdengar di seberang.Tak berselang lama, wanita yang memakai stoking hitam dan rok di atas lutut itu berjalan anggun menghampiri Oliver.“Ada yang bisa saya
Yara sedang mondar-mandir di dapur sambil melihat setumpuk bahan makanan yang baru saja ia keluarkan dari kulkas. Namun, Yara tidak tahu ia harus memasak apa dan bagaimana caranya. Lisa sedang pergi ke pasar. Sementara ia tidak berani memasak sendiri. Ia bosan berada di rumah tanpa melakukan apapun. Karena itu, ia ingin mencoba belajar memasak. Pada saat yang sama, Marshall datang. “Aku dengar kalian sudah pulang dari Bali, kebetulan aku lewat sini jadi mampir dulu,” katanya sambil meneliti ekspresi Yara yang tampak bingung dan gelisah. “Iya, kami sudah pulang kemarin. Tapi sayang sekali kamu nggak bisa ketemu Oliver sekarang, dia sudah masuk kerja,” jelas Yara, ia berpikir bahwa Marshall datang kemari untuk bertemu Oliver. "Aku tahu," timpal Marshall, “aku ke sini untuk ketemu keponakanku. Di mana dia sekarang?” “Zio sedang tidur siang. Kamu bisa melihatnya di kamarny
“Kamu bisa menyuruh Lucas mengambilnya kalau itu tentang berkas, bukan?” timpal Marshall dengan mata terpicing. Seolah tengah menelisik perasaan Oliver di balik wajahnya yang kusut. “Ini berkas penting.” Oliver menuangkan air ke dalam gelas yang baru saja ia ambil dari rak. “Aku nggak bisa mempercayakannya pada siapapun.” Ia meneguk habis minumannya dalam sekali tegukan, menaruh kembali gelas kosong itu ke meja dengan kasar. “Lucas itu orang kepercayaanmu.” Marshall terkekeh-kekeh. “Berhenti mencoba mencari alasan, aku tahu apa alasanmu yang sebenarnya pulang ke rumah di siang bolong begini.” “Alasan apa?” tanya Yara dengan polos pada Marshall, ia masih enggan berhadapan dengan Oliver berlama-lama. Marshall menoleh ke arah Yara sambil tersenyum penuh arti. Lalu menaruh sepiring ayam goreng ke atas meja. “Sesuatu yang akan kamu tahu nanti,” tukas Marshall dengan misteri
Yara merasakan dirinya dengan Oliver semakin jauh, setelah apa yang terjadi di Bali, dan setelah kejadian kemarin saat Yara dan Marshall memasak bersama.Oliver semakin dingin dan sama sekali tidak menganggap kehadiran Yara di rumahnya. Yara tidak mengerti, kenapa Oliver sampai sedingin itu tanpa alasan yang jelas? Pria itu semakin sulit ia jangkau.Hari ini, Yara membawa Zio untuk berkunjung ke rumah ibunya. Rianti, wanita yang berusia 50 tahun itu tampak lebih tua sepuluh tahun dari usia sebenarnya, akibat kanker yang menggerogotinya dan pengobatan yang ia jalani. Rianti tinggal berdua dengan seorang wanita yang Oliver pekerjakan untuk menjaga dan merawatnya.Senyuman lebar terukir di bibir Rianti yang pucat kala Yara dan Zio datang. Sudah lama sekali Rianti merindukan putri dan cucunya.“Maafin aku, Bu, baru jenguk Ibu lagi sekarang,” ucap Yara dengan perasaan menyesal sambil memeluk Rianti. “Aku kangen Ibu.”
“Terima kasih sudah mengantar kami pulang,” ucap Yara sembari melepas sabuk pengaman.“It’s okay. Aku punya banyak waktu luang hari ini.” Marshall tersenyum, sebelum akhirnya turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Yara.Tadi, setelah dari supermarket, Marshall mengantar Yara dan Zio ke rumah Rianti untuk menyimpan semua barang belanjaan kebutuhan sehari-hari. Setelah itu Marshall pula yang mengantar Yara pulang ke rumah Oliver sampai ke depan rumah, sekarang.Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika Yara menginjakkan kaki di dalam rumah Oliver. Lampu ruang tengah sudah dipadamkan. Yara menggendong Zio yang sedang tertidur.“Dari mana saja kamu seharian ini?”Yara tersentak kala mendengar suara bariton Oliver yang menggema di seluruh ruangan. Ia melihat siluet pria itu sedang berdiri dekat sofa. Suaranya yang dingin membuat jantung Yara berdetak cepat.“Oliver...,” gumam Yara sambil menghampiri pria itu. “Kamu belum tidur?” Yara mencoba berbasa-basi demi mencairkan suas
Yara tersentak saat Oliver menariknya menuju kamar Zara—sebuah ruangan yang jarang ia masuki. Ruangan itu selalu membuatnya merasa asing, seolah-olah ia bukan bagian dari rumah ini.Ketika Oliver membuka pintu dengan kasar, aroma parfum lembut yang familiar menyambutnya. Parfum Zara."Kamu tahu kenapa aku terus menyimpan kamar ini seperti dulu?" tanya Oliver dengan nada yang lebih tenang tapi tetap dingin. Ia membiarkan pintu terbuka, memperlihatkan seluruh kenangan Zara yang tertata rapi di dalam sana. Foto-foto, pakaian, dan barang-barang pribadi Zara seakan tidak pernah tersentuh waktu.Yara menelan ludah, tangannya gemetar. "Oliver, aku—"Oliver menoleh padanya dengan tatapan yang tajam. "Kamu menikah denganku karena Zara. Kamu ada di sini untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkannya. Tapi lihat dirimu! Kamu terus saja melakukan hal-hal yang seharusnya dia tidak pernah lakukan. Apa yang kamu p
“A-apa maksudmu?” Yara tersentak kala mendengar ucapan Oliver barusan.Apa pria itu bilang?Tidak pernah menceraikannya? Kenapa bisa?“Aku bilang....” Oliver menjeda kalimatnya seraya mendekatkan wajah mereka. Namun, Yara segera memalingkan muka ke samping saat bibir mereka nyaris bertemu. Bibir Oliver kini berakhir di pipi Yara. Oliver mendekatkan bibirnya ke telinga Yara, berbisik, “Aku nggak pernah menceraikanmu, Yara. Surat gugatan cerai darimu nggak pernah aku tandatangani dan kata cerai belum keluar dari mulutku.”Raut muka Yara seketika berubah menegang. Ia mendorong dada Oliver keras-keras hingga pria itu berhasil mundur dari hadapannya. Mata Yara menatap Oliver dengan tajam. Lalu mendengus kasar.“Jangan membohongiku, Oliver,” desis Yara, “kamu sudah bahagia dengan Zara, seharusnya kamu sudah menceraikanku karena aku dan Zara kakak beradik yang nggak boleh kamu nikahi secara bersamaan!”Satu sudut bibir Oliver kembali terangkat. Ia merogoh saku jas bagian dalamnya dan mengelu
Yara berkacak pinggang sembari mengembuskan napas melihat bekal kedua anaknya yang masih tergeletak di meja. Tadi ia meminta tolong Arthur agar memanggil Airell untuk makan siang, tapi sampai saat ini Arthur belum kembali dan Airell pun tidak terlihat batang hidungnya. Kemarin sore Arthur sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Dan untuk memberi hiburan pada anak itu, hari ini Yara membolehkan anak-anaknya ikut dengannya ke kantor Infinity Events. “Anak-anak itu susah sekali kalau disuruh makan,” gerutu Yara sambil geleng-geleng kepala. Lalu ia keluar dari ruangan kerjanya untuk mencari Arthur dan Airell. Ia menuruni tangga dengan langkah anggun dan penuh percaya diri. Sampai saat ini Yara lebih suka memakai flat shoes ketimbang high heels. Yara sudah bisa menebak bahwa si kembar berada di lobi, sebab tempat itu adalah tempat kesukaan mereka selain taman kecil di
Oliver berdiri di depan bangunan dua tingkat bergaya minimalis. Bangunan itu terlihat seperti masih baru. Tulisan Infinity Events terukir di sudut kanan atas bangunan berbentuk kubus itu. Model bangunan tersebut persis seperti selera Yara, pikir Oliver. Kedua sudut bibir Oliver terangkat. Dan mungkin itu senyuman tulus pertama yang ia sunggingkan selama beberapa tahun terakhir. Oliver mengembuskan napas, ia harus berjuang menenangkan diri karena jantungnya berdetak tak karuan. Sebelum akhirnya ia melangkahkan kakinya memasuki lobi Infinity Events. Saat Oliver membuka pintu, tidak ada orang di meja resepsionis. Lobi itu terlihat kosong selain ada seorang anak kecil perempuan, yang sedang menari berputar-putar sambil menyanyikan lagu “Do You Wanna Build A Snowman”. Tampak kerutan di kening Oliver. Ia merasa seperti pernah bertemu dengan anak itu.
Yara berjalan dengan langkah cepat sambil berusaha menahan air mata agar tidak tumpah.Tiba di luar lobi hotel, ia menghentikan langkahnya. Satu tangannya bertumpu pada pilar, sementara tangan yang lain memegangi dada yang tengah bernapas naik turun. Dadanya terasa sesak.Ia berusaha menghirup oksigen dalam-dalam dengan mata yang memanas.Bertemu dengan Oliver seperti membuka kembali kenangan lama yang berusaha ia kubur dalam-dalam.Susah payah selama enam tahun ia menghindar, kenapa sekarang harus dipertemukan kembali? Setelah dirasa dadanya mulai melonggar, ia berjalan dengan gontai menuju mobilnya di parkiran. Tangannya yang gemetar berusaha mencari kunci di dalam tas. Hingga kunci itu terjatuh setelah ia menemukannya. “Kenapa harus sekarang?” bisik Yara pada dirinya sendiri sambil memunguti kunci tersebut. Yara membuka pintu mobil, mendaratkan pantatnya di belakang kemudi. Ia mengusap wajahnya dengan kasar sambil mengerang frustrasi. Lalu jemarinya berhenti pada bibirnya. Cium
“Jadi....” Oliver mendekati Yara, berdiri di samping kursi Yara dengan tatapan yang masih sulit diartikan. “Apa alasan sebenarnya Anda memilih konsep yang, menurut saya, terlalu sederhana untuk acara sebesar ini... Nona Yara?”Yara tersentak ketika Oliver memutar kursi yang ia duduki, hingga mereka saling berhadapan. Oliver menaruh kedua tangannya di lengan kursi, mengungkung Yara yang semakin merasa panik dan jantung yang berdegup kencang.Yara memundurkan punggungnya hingga bersandar pada sandaran kursi. “Bukankah jarak kita terlalu dekat, Tuan Oliver? Tolong jauhkan badan Anda.” Yara tiba-tiba lupa bagaimana caranya bernapas. Aroma woody itu masih sama seperti dulu, membuat ingatan masa lalu mereka seketika memenuhi kepala Yara.Oliver tetap bergeming, merundukan badannya dengan tangan masih bertumpu pada lengan kursi.Meski hatinya terasa tak karuan, Yara tetap mencoba profesional dengan berkat
Pria itu terpaku setelah menyerahkan berkas-berkas yang ia kumpulkan kepada Yara. Yara segera berdiri, berusaha menenangkan dirinya meskipun rasa gugup mulai merayap. “Terima kasih,” ucap Yara pelan, suaranya terdengar sedikit bergetar. Bertemu lagi dengan pria yang menorehkan luka di masa lalu membuat Yara merasakan dunianya berhenti berputar sesaat. Detik itu juga Yara pergi meninggalkan Oliver yang masih membeku di tempatnya berdiri. Yara melangkah cepat, menaiki tangga darurat menuju lantai empat. Napasnya terengah-engah saat ia tiba di depan pintu ruang meeting. Yara berusaha mengatur napasnya seraya memegangi dada. “Kenapa harus ketemu lagi?” gumam Yara pada dirinya sendiri. “Kenapa dia ada di sini? Kenapa harus sekarang?” Mata Yara terasa memanas. Luka lama yang belum mengering itu kembali menganga. “Bu Yara?” pa
Mata Airell berkaca-kaca kala melihat tangan kakaknya yang dipasangi jarum infus. Sedetik kemudian, air matanya tumpah.“Huwaa...! Arthur, pasti sakit banget, Mom!” isak Airell, yang memiliki hati lembut dan tidak tegaan itu. “Arthur, kenapa harus sakit, sih? Aku ‘kan nggak tega lihatnya. Huwaa....!”“Ish! Sssst! Berisik.” Arthur menempelkan jari telunjuk di bibirnya sendiri. “Jangan cengeng, Airell. Aku saja yang sakit tidak menangis, tahu?"Yara menghela napas pelan melihat tangisan Airell yang semakin menjadi-jadi. Ia mengabaikan Airell sesaat, lalu fokus kembali pada laporan yang disampaikan oleh Sri.“Jadi, kemarin Airell menumpahkan es krimnya ke celana seseorang? Astaga....” Yara menyugar rambut lurus panjangnya ke belakang.“Iya, Bu. Aduh, saya sampai khawatir orang itu akan memarahi Non Airell. Soalnya dilihat dari penampilannya, dia sepertinya orang yang sangat penting
Oliver selesai mengganti celananya yang terkena tumpahan es krim dengan celana yang baru saja diambilkan Lucas dari mobilnya. Untuk berjaga-jaga, Oliver memang selalu menyimpan pakaian cadangan di dalam mobil. Dan pakaian itu berguna di saat-saat seperti ini.Oliver menggulung lengan bajunya hingga ke siku. Saat tatapannya tertuju pada lengan bagian dalam siku itu, tanpa sadar ingatan Oliver melayang pada percakapan antara dua perawat di dalam lift tadi. Oliver berusaha mengabaikannya. Itu bukan urusan dirinya. Masih banyak orang bergolongan darah A di luar sana, pikir Oliver.Namun, Oliver tak bisa menyangkal. Ada sebagian dari dalam dirinya yang terusik. Seperti ada dorongan kuat untuk mendonorkan darahnya pada anak tak dikenal itu.“Tuan, rapatnya sebentar lagi akan dimulai.” Ucapan Lucas menyadarkan Oliver dari lamunan. Maksud kedatangannya ke rumah sakit ini memang untuk rapat bersama para eksekutif rumah sakit yang berada di bawah naungan New Pacific Group.Oliver menghela napas
Yara menunggu di ruang tunggu UGD dengan perasaan cemas yang berusaha ia sembunyikan, sebab di sampingnya ada Airell. Yara harus berusaha setenang mungkin jika tidak ingin membuat Airell menangis dan semakin cemas. Tak lama, dokter yang memeriksa Arthur pun keluar, menyampaikan kabar yang membuat lutut Yara mendadak terasa lemas. “Anak Ibu terkena anemia berat,” ucap sang dokter, “Arthur harus segera mendapatkan transfusi darah. Namun sayang sekali, golongan darah A di bank darah kami sangat terbatas.” Yara merasa tubuhnya semakin lemas. Ia berusaha tenang, tetapi pikirannya terlalu kalut. "Apa tidak ada cara lain, Dok?" tanyanya dengan suara gemetar. "Kami akan segera mencoba mencari donor, Bu," jawab sang dokter. "Kami juga akan memeriksa data pendonor reguler kami." Yara menjatuhkan tubuhnya ke kursi sambil menangkup wajahnya. Ia merasa khaw