"Ngaco kamu, Ihsan. Itu anakku, kita kerumah yang itu," aku terkekeh melihat kelucuan Ihsan."Haha ... Pak Kusir ngerjain Ayah," Syifa tertawa."Tuan Putri, kita sudah sampai tujuan. Apa perlu Pak Kusir bukakan pintu?""Ayah, perut kakak sudah nggak kuat ketawa terus," Syifa turun dari mobil masih terbahak.Bibi Sri tergopoh menyambut kedatangan kami, rupanya anak-anak sudah sampai duluan di rumah Eyang. Mereka menggunakan jalan pintas, Ihsan menjalankan mobilnya juga mirip delman, sangat lambat."Den Akram, akhirnya datang juga. Bibi sudah cemas sama dua bocah itu, bukannya harusnya mereka sekolah? Malah main kesini," cerocos Bibi Sri."Bi, panggil Akram saja tidak pakai den. Bapak ngasih namanya tidak pakai den," selorohku."Diajak masuk dulu, Bu. Bicaranya di dalam, Akram masuk dulu!" ujar Paman Samin, sambil menyalamiku dan Ihsan."Ayah!" seru Daffa baru menyadari kedatanganku. Dia sedang bersama anaknya Pak Samin."He ... anak Ayah. Kemarilah! Sudah pandai menjaga kakak rupanya,
"Selamat pagi, Pak Akram," sapa Pak Topan yang menjabat sebagai kepala HRD perusahaan Handoko."Selamat pagi, Pak Topa," jawabku."Mohon maaf jika mengganggu aktivitas keluarga Pak Akram. Saya hanya menyampaikan pesan Pak Handoko, mohon Pak Akram cek email surel sudah kami kiri di email. Di tunggu tanda tangannya hari ini, Pak," suara Pak Topan yang datar dan tegas namun di telingaku seperti sebuah bogem yang berat."Baik, Pak Topan. Siap cek email, terimakasih sudah menghubungi kami," sahutku."Sama-sama, Pak Akram. Selamat Beraktivitas," kalimat penutup Pak Topan.Aku segera mengecek email sesuai perintah dari Pak Topan, dan benar memang ada surat masuk yang harus di tanda tangani. Aku tercengang melihat isinya yaitu surat tugas mengurus proyek yang di Purwokerto selama satu minggu. Ternyata tidak sesuai dengan prasangka, alhamdulillah ketika kita sudah memperbaiki niat maka Allah memberi banyak kemudahan.Aku segera menandatangani surel tersebut dengan senyum mengembang."Ada apa,
"Tentu, Sayang. Abang ambil ponselnya dulu," ucapku tegas tidak ada keraguan sedikitpun. Apa yang aku harapkan lagi dengan mantan, bukankah tidak ada ikatan lagi. Sedangkan anak hasil pernikahan dengan Indah tidak ada, tidak ada alasan untuk menahannya bukan?"Terimakasih, Bang. Tapi, tidak perlu Abang ambil ponselnya. Disini saja, aku pengin di peluk dulu," ucap Fitri manja. Aku sendiri suka bingung dengan wanita, suka berubah dalam waktu sekejap."Sayang, kenapa berubah pikiran?""Abang sayang, meskipun nomor ponselnya kamu blokir, tidak menutup kemungkinan kalian masih bisa bertemu bukan? Jadi untuk apa, aku hanya ingin melihat kesungguhanmu. Yang aku butuhkan adalah kamu menjaga kepercayaanku, dan komitmenmu," ucap Fitri lagi dengan posisi dia sudah berbalik memeluk pinggangku."Sayang, dari kejadian beberapa bulan ini Abang banyak belajar. Abang janji tidak akan mengulangi lagi," kataku dengan mantap."Bang, tidak perlu berjanji. Masa lalu biar menjadi pelajaran, yang terpenting
Meski Fitri sudah menjelaskan kalau dia sedang bertukar pesan dengan teman namun dia masih penasaran, karena tidak biasanya Fitri larut dalam hal seperti itu."Sayang, anak-anak sudah siap. Masuklah, jangan mematung seperti itu," tegur Akram melihat Fitri masih dengan ponselnya, tidak berniat naik."Eh ... iya, Bang. Maaf ... ," Fitri merasa tidak enak di tatap seperti itu oleh suaminya.Fitri bergegas membuka kabin depan untuk duduk disamping kursi kemudi. Mobil perlahan meninggalkan rumah. "Bun, kita mau kemana?" tanya Daffa polos. Fitri mengalihkan pandangan dari ponselnya menengok ke arah Daffa yang duduk di belakang."Kalian lapar kan? Kita mau makan, restoran favorit Kak Syifa dan kamu, Sayang," ucap Fitri lembut.Akram menghangat mendengar perhatian Fitri kepada anak-anaknya. Tdinya Akram sudah sangat kesal dengan kelakuan istrinya. Ternyata rasanya seperti ini ketika di acuhkan."Hore ... alhamdulillah. Lama kita tidak kesana," sorak Daffa. Disambut tepuk tangan oleh Syifa da
Aku melihat Bang Akmar sangat penasaran dengan apa yang aku lakukan, sebelum keluar pertanyaan dari Bang Akram, buru-buru aku letakan ponsel ke dalam saku tas. "Ke Masjid dulu saja, Bang. Biar aku yang pesankan, temani kakak wudhu dulu. Aku sholat setelah mereka selesai, gantian jaga Hilda," ucapku sambil meletakan ponsel di tas. "Syifa sholat di sini saja kan?" tanya Bang Akram. "Iya, gantian sama aku, Bang. Daffa di ajak ke Masjid, untuk latihan agar terbiasa rajin ke Masjid," cara mendidik yang di lakukan Fitri sangat disiplin. Anak laki-laki di wajibkan sholat di Masjid. "Yuk, Kak. Ayah temani ke toilet dulu!" ajak Bang Akram. "Oke, Ayah," keduanya menggandeng tangan Akram. Seperti inilah gambaran kebahagiaan keluargaku yang menghilang empat bulan, kini sudah mulai kembali. Permasalahan dan pertengkaran menjadi bumbu penyedap dalam pernikahan, namun ketika berkaitan dengan kepercayaan maka akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengobatinya. "Kakak kembali, Bun," S
Bang Akram rautnya tidak mengenakan, apa dia mengira aku macam-macam?"Nanti Indri bicarakan di rumah ya, Bang," ucapku dengan santai. "Bagaimana, Kak Daffa? Kita langsung pulang, atau mamir beli mainan sementara adikmu sudah tertidur kelelahan?" tanya Bang Akram sama Daffa dan mengabaikan ucapanku. Ah ... ternyata kamu marah. "Kita langsung pulang tapi, bunda harus janji besok beneran belikan mainan buat Daffa," ucapannya masih menganduk rajukan."Anak pintar, bunda sayang sama kamu. Iya, insyaAllah bunda akan beli besok," ucapku gemas sambil mengacak rambutnya."Bunda, berantakan. Nanti jadi tidak tampan lagi," ucapnya.Ban Akram tertawa melihat duplikat kecilnya."Gengsi gede dan narsis, mirip siapa ya, Bang?" tanyaku sambil tertawa."Kamu! Kalau aku tidak begitu," jawabnya sambil terkekeh.Setelah mencapai kesepakatan Hilda di gendong Ayahnya, sementara aku membawa perlengkapan di tas ransel. Baginilah bepergian anak masih kecil-kecil, perlengkapannya banyak."Sayang, kunci di s
Bang Akram yang bisa membaca keraguanku langsung tersenyum. Bang Akram mengelus rambutku dengan lembut."Kenapa? Untuk urusan seperti itu tentu saja Abang mengijinkan, apalagi menyangkut masa depan kakakmu," ucap Bang Akram."Bang, ... ," ucapanku terkatung mendapat perlakuan lembutnya hatiku menghangat. Sikapnya kembali ke Akramku yang dulu. Seketika aku mengingat sesuatu yang menggelitik untuk di bicarakan, namun ia urungkan. Toh belum tentu terjadi, dan aku juga tidak yakin dia punya nyali mengingat pernikahannya hanya siri."Kenapa, Sayang. Masih ingat bukan, kalau Abang mau menghukummu," ucapnya sambil tersenyum mesum."issh ... Abang," aku memasang wajah cemberut. Bukannya kesal malah justru membuat Bang Akram terbahak.Sentuhan lembut dan penuh kehati-hatian darinya membuatku melayang ke langit ketujuh. ****"Sayang, ... bangun!Bisikan mengalun indah di telinga. Aku hanya menggeliat sebentar untuk kemudian tertidur kembali. Rasanya baru saja tertidur, Bang Akram benar-benar
"Kenapa semuanya tegang begitu, Bunda mau bicara hal tidak begitu penting. Meskipun tidak penting tapi, kalian perlu mengetahuinya," aku menjeda kalimatku beberapa saat. "Bunda tidak ingin kita salah paham dengan Ayah lagi seperti kemarin, jika Bunda yang berbicara tentu kalian lebih percaya bukan?" aku mengamati kedua anakku tampak mulai memahami arah bicaraku. Sementara Bang Akram semakin penasaran, dia tampak begitu fokus menatapku. Aku sengaja menggigit pelan lidahku sendiri agat tawaku tidak keluar, senyum manis terpampang di wajahku. "Jika suatu saat kalian melihat mama Lulu datang menemui Ayah maka jangan langsung menyimpulkan sendiri. Tanyakan kebenarannya kepada Bunda terlebih dahulu. Bagaimana apa kalian sudah paham?" tanyaku kepada mereka. Jangan tanya bagaimana kondisi Bang Akram saat ini, pias seakan tawanan yang sedang tertangkap. "Bang, nanti aku jelaskan mengapa aku bicara seperti ini kepada anak-anak," kali ini perlahan ekpresi pria itu kembali normal. "Maksud bu
Fitri terus mondar-mandir menanti kabar suaminya. Sementara suaminya justru lupa karena langsung ada menghadiri meeting. Sampai malam pukul 20.00 Akram baru memberi kabar kepada istrinya."Sayang, maaf baru mengabari," kalimat pertama yang terlontar dari bibir Akram saat Vidio Call."Hem ...," sahut istrinya sambil manyun."Jangan begitu, Sayang. Abang langsung meeting begitu sampai, hanya ada waktu buat ganti baju saja," ujar Akram memberi pengertian."Iya, Bang. Tidak apa, aku tidak apa-apa kok," sahut Fitri."Wanita itu, ketika sedang bicara tidak apa-apa, justru sedang ada yang di rasa," ucap Akram menyahut."Masa, sejak kapan tahu tentang itu?" tanya Fitri masih dengan nada kesal."Sayang, yang penting kamu bisa lihat Abang baik-baik saja. Maaf kalau tidak sempat mengabarimu siang tadi," ungkap Akram dengan tulus dan penuh sesal."Abang sekamar sama siapa?" tanya Istrinya."He ... sendiri. Memang sama siapa? Maunya sama kamu, Sayang," tanya Akram."Gombal, kesempatan tidur bebas
Akram mendekati istrinya, ia peluk dari belakang, "Sayang, Abang akan menjaga hati ini untuk istri dan anak-anak."Akram memutar tubuh istrinya sehingga keduanya saling berhadapan, "Abang tahu, kamu masih ragu dengan kesetiaan Abang. Mungkin saat inilah abang harus membuktikan," ucap Akram sambil memegang kedua pipi istrinya."Abang, maaf," cicit Fitri merasa bersalah, meragukan kesetiaan suaminya. "Tidak masalah, justru Abang senang. Tandanya istriku ini mencintai Abang," ucap Akram mencubit hidung istrinya dengan gemas."Ayo, Bang. Kasihan yang menunggu. Mobilnya di bawa saja, Bang!" ucap Fitri melanjutkan memasukan baju di koper buat suaminya. "Tidak perlu, Sayang. Buat kamu dan anak-anak saja, Abang naik pesawat," sahut Akmar. Menggeret kopernya di ikuti Fitri. "Astaghfirullah, kok aku lupa," Fitri menepuk keningnya dengan tangan kanannya."Saking galaunya di tinggal suami tercinta," sahut Akram. Membuka bagasi memasukan koper, ia menutup kembali.Setelah sabuk pengaman terpasa
"Anak-anak sudah ngantuk, aku ke dalam dulu ajak mereka, Ma," pamit Fitri, mama mengangguk dan dia mulai mendekati anak-anak. Terlihat anak-anak membereskan mainan sebelum meninggalkan ruang bermain. Sepeninggal Fitri, Lak Farid berkata, "Kasihan Fitri penasaran tingkat tinggi, Pa.""Biarkan saja, siapa suruh kalau menyangkut suaminya penasaran sampai tidak ketulungan," sahut Papa santai."Memang apa yang Papa bicarakan dengan Akram?" tanya Mama."Apalagi, jika bukan soal pekerjaan. Masalah pribadi keluarga kita kondisi bahagia begini," sahut Papa seperti tanpa beban. "Akram, saja selama kamu bertugas anak-anak mau dimana?" tanya Papa. "Di sini saja mungkin, di rumah sendiri Bapak Ibu sedang berkunjung ke rumah adik," jawab Akram. "Mama senang banget itu, sudah senyum-senyum sendiri," sahut Farid."Berapa hari ke luar kotanya?" tanya Farid."4 hari, Kak," jawab Akram."Pa, Ma, ke dalam dulu. Fitri sendirian kasihan," pamit Akram. Akram berjalan menuju kamar anak-anak. Hilda satu
"Bang Akram ke dalam tadi, Pa," sahut Fitri menatap Papa dengan penuh tanya."Papa tidak melihatnya, Sayang. Barusan Papa juga dari dalam," sahut Papa.Fitri bangkit dari tempatnya duduk, mencari keberadaan suaminya. Tujuan utamanya adalah kamar, dugaan Fitri tepat. Suaminya sedang tidur pulas."Di cari ternyata tidur, Bang," gumam Fitri lirih sambil mengatur suhu kamar agar suaminya nyaman.Fitri berjalan kembali ke ruang tamu, duduk di samping Papa. Fitri menggeryit, Papa terlihat berbicara sangat serius dengan Aldo."Dimana suamimu, Sayang? Sudah ketemu," tanya Papa lagi, menyadari kehadiran putrinya."Tidur, Pa," sahut Fitri."Ya sudah, nanti kalau sudah bangun suruh menemui Papa," titah Papa melengkungkan bibirnya membetuk senyuman."Baik, Papa.""Mba Fitri jika lelah, tidak apa kami di tinggal. Lulu belum juga mau pulang," ucap Indak merasa tidak enak.Anak-anak bermain di ruang keluarga di temani Grandma dan pelayan. "Aku masih kuat, Indah. Masih semangat begini," sahut Fitri
Setelah mobil menepi dan berhenti, Akram memeluk erat tubuh istrinya yang masih bergetar. Memori Fitri kembali ke dua puluh tahun silam. Saat dia dan keluarganya berlibur ke Puncak dan Kakek dari Mama membicarakan kematian, seolah berpamitan dan itu merupakan pesan terakhir. Saat itu sedang dalam perjalanan akan berlibur, beberapa saat setelah kakeknya berbicara, mobilnya oleng menghindari tabrakan justru mobil menabrak pembatas jalan. Mobil tidak rusak berat, semua tidak ada yang terluka namun, Kakeknya Fitri yang mengidap jantung tidak selamat, bukan karena kecelakaan namun, jantung kambuh saat ada benturan. Sejak saat itu Fitri paling takut membicarakan kematian saat dalam perjalanan."Sayang, maafkan Abang," ucap Akram sambil menenangkan istrinya dengan lembut, di usap punggungnya dengan halus, perlahan tangisan Fitri melemah."Abang masih di sini bersama kamu, Abang akan menemanimu sampai tua nanti. Sampai kita punya cucu-cucu yang imut insyaAllah," imbuhnya sambil terkekeh."B
Fitri menaik turunkan alisnya, jilbab besar tak mampu menutupi dia yang bar-bar. Dia sangat pandai menempatkan diri. Sinta tampak berfikir sejenak, "Apa yang aku takutkan, Mba Fitri bukan siapa-siapanya Indah bukan?" Fitri tertawa mengejek, "Apa kamu tidak melihat kedekatan keluarga kami, bersama Indah dan Aldo? Kamu belum tau tentang kami jadi, jangan sok tau. Jangan rebut kebahagiaan adikku!" ucapan Fitri penuh penekanan. "Adik?" kening Sinta mengkerut. "Ya, berasal dari adik madu awalnya, kini menjadi adik sungguhan." Sinta tertawa lepas, "Mana ada Mba Fitri? Kisah semacam itu, dengan adik madu itu biasanya membenci kenapa kalian justru?" kalimatnya menggantung. "Pantas saja lama-lama Indah malas meladenimu, ternyata kamu orang yang tidak cepat paham. Sudahlah, aku mau pulang sudah di tunggu suami," Fitri bangkit dan di ikuti oleh Sinta. Fitri berjalan cepat, dan Sinta berlari mengejar Fitr "Kenapa mengejar?" tanya Fitri heran. "Boleh nebeng di mobil Mba Fitri?" "Sebenarny
"Kamu memanggilku, Sin?" tanya Aldo heran setelah menoleh. "Sudah balik lagi ke mereka," mama menyahut. Dan Aldo balik kanan lagi untuk menuju kursi bersama keluarga Bosnya. Mama dan Fitri menahan senyum, geli dengan perempuan yang baru di jumpai begitu lucu kelakuannya."Mba Sinta mau minum apa? Biar aku panggilkan pelayan," tanya Fitri tak tahan jika hanya berdiam diri. Di belakang tempat duduk mereka terdapat banyak stand makanan dan minuman. "Aku tidak haus, Mba," jawab Sinta."Yakin? Padahal rasa penasaran yang tinggi membuat kita cepat haus dan lapar loh, apalagi sejak tadi terus bicara," ejek Fitri dengan halus. "Emm ... boleh lah. Tenggorokan sudah kering," jawab Sinta tak tau malu. Fitri memanggil pelayan yang berjaga kebetulan melihat ke arah Fitri. Sinta memilih minuman yang ia kehendaki, 1 gelas lemon tea di bawa oleh pelayan dan di letakan di depan Sinta. "Mari, Tante. Saya minum," Sinta basa basi dengan Mama Fitri. "Mama, sudah habis Lulu mau ikut Bunda," rengek L
Fitri bermain ponsel, membiarkan Indah berbicara dengan Sinta. Seolah Fitri dan Indah tidak saling mengenal."Sayang, kenalkan sama Mama. Siapa temanmu ini?" ucap Mama memecah keheningan.Indah gugup, sebelumnya dia masih memanggil Mama Fitri dengan sebutan tante, justru beliau mengarahkan Indah untuk menyebutnya Mama."Iya, Ma. Ini teman Indah sewaktu SMA namanya Sinta, bisa di bilang teman yang selalu menemani Indah bahkan mengatur segala keputusan Indah. Dia sopir, aku penumpangnya," cerocos Indah tak bisa di hentikan, dadanya sudah bergemuruh ingin sekali mengungkap siapa wanita di hadapannya."Indah, aku tidak begitu?" protes Sinta."Kenapa, Sin? Bukankah benar, kamu sangat berarti dalam hidupku. Berkat kamu aku bisa menjalani lika liku kehidupan yang begitu istimewa. Beruntung Allah memberi bahu yang kuat, sehingga aku bisa bertahan," sahut Indah sambil tersenyum, senyum yang menggambarkan kekecewaan begitu dalam. "Kamu menyalahkanku, Indah. Aku hanya ingin kamu bahagia, terbeb
Arin hanya mampu mengangguk sebagai bentuk jawaban, ia tersipu malu. Hilda yang duduk di pangkuannya mendongak, menatapnya bingung. Tangan Arin mengelus kepala balita yang ia pangku. "Alhamdulillah," sahut semuanya serentak. Andai bukan suasana seperti ini Fitri sudah meledek Arin. Fitri sudah mengeratkan giginya agar tidak terbahak. Kedua keluarga sudah mencapai kesepakatan, perikahan akan di langsungkan sebulan lagi. Acara dilanjutkan dengan obrolan ringan untuk mempererat hubungan kedua keluarga. "Kak, jaga tatapannya!" tegur Mama saat hendak berpamitan, wanita paruh baya itu menjewer telinga anaknya. "Pa, pernikahannya dimajukan saja jangan terlalu lama," pinta Farid masih dalam posisi duduk. Semua mata tertuju pada laki-laki yang sejak tadi menahan gejolak ingin protes atas kesepakatan kedua orang tua itu. "Hem ... dari tadi diam, Papa kira kamu tidak punya pendapat," kata Papa, awalnya hendak berdiri kini kembali duduk. "Sebulan lagi Farid ada kunjungan ke Kalimantan surve