Beberapa bulan kemudian.
POV Prabu
*
*
*
"Sayang, bantulah Ibu untuk masak dan bersih-bersih, kasihan kan Ibu mengerjakan semuanya sendiri semenjak Bik Minah minta izin pulang kampung," ucapku saat melihat Sesil sedang memainkan ponsel sambil rebahan.
Perempuan yang sudah sah menjadi istri secara agama dan negara itu pun meletakkan ponselnya dengan kasar lalu menatapku dengan sorot mata tak suka.
"Mas, aku nggak mau kecapean! Gimana mau hamil lagi kalau tiap hari mengerjakan pekerjaan rumah?! Harusnya kamu mikir dong, Mas!"
Aku berjalan menghampiri Sesil, lalu duduk di sampingnya. "Kan dokter tidak melarang mengerjakan pekerjaan rumah. Toh hanya membantu Ibu. Mas tidak memintamu mengambil alih semua tugas rumah loh!"
"Udah deh, Mas! Masih pagi, nggak usah ajak ribut! Bikin mood buruk aja! Sudah dua kali loh, Mas, aku k
POV Syifa.Sembilan bulan sudah usia kandunganku, dan dua Minggu lagi hari perkiraan lahir yang diberikan oleh dokter kandungan. Suka dan duka kulewati dan kunikmati proses kehamilan ini seorang diri. Tapi syukurlah, aku di kelilingi orang-orang baik.Tak sabar sekali rasanya ingin bertemu dengan calon buah hati. Malaikat kecil yang akan melengkapi kebahagiaanku.Sebenarnya Bu Fatimah sudah memintaku untuk tinggal di rumahnya, tapi aku merasa tak enak harus merepotkan orang lain."Kenapa kamu datang ke warung? Sudah Ibu bilang ... kamu ambil libur saja. Bentar lagi udah mau lahiran!" cecar Bu Fatimah saat aku baru saja datang ke warung.Aku berjalan mendekati Bu Fatimah yang sedang menyiapkan berbagai sayuran yang akan di olah. "Di kosan jenuh, Bu. Kalau disini ada temannya. Toh kerjaannya nggak berat juga, Bu,
"Iya, Bu. Syifa pun juga begitu. Apalagi hpl masih dua Minggu lagi." ucapku dengan kedua netra melihat Mas Faris sedang menimang buah hatiku.Namun perhatianku teralihkan saat melihat Mas Prabu sudah berdiri di ambang pintu. Seketika rasa takut mendera."Mas Faris, usir lelaki itu!" teriakku yang membuat Mas Faris seketika menoleh ke arahku."Usir lelaki itu, Mas!" teriakku. Namun tiba-tiba bibir ini menangis histeris. Bergegas Mas Faris memberikan buah hatiku kepada Bu Fatimah."Bu, sembunyikan anakku, Bu! Jangan sampai lelaki itu melihat anakku!" teriakku di sela-sela tangisku."Fa, aku hanya ingin melihat putramu. Kenapa wajahnya begitu mirip denganku? Itu saja, Fa, nggak lebih!" ucap Mas Prabu sembari melangkah."Jangan mendekat kau, Mas! Pergi dari sini! Mas Faris, usir lelaki itu, Mas!" Kuraih benda apapun
"Bu, apa aku terlalu berlebihan dalam menyikapi Ilham?" tanyaku saat kami sudah berada di dalam mobil, yang mulai dilajukan oleh Mas Faris.Aku duduk di barisan kedua bersama Bu Fatimah. Sedangkan Mas Faris dibagian kemudi."Gimana ya, Ibu juga bingung. Ibu memang kurang setuju jika kamu akhirnya bersama dia, tapi, Ilham orang yang pertama kali membantumu saat kesusahan, apalagi selama ini dia begitu baik denganmu.""Tapi menurut Syifa, Ilham sudah keterlaluan, Bu. Apa coba maksudnya mengirimkan foto bayiku ke nomor Mas Prabu," ucapku dengan bibir mengerucut."Ya mungkin maksud Ilham itu baik. Kita kan belum mendengarkan penjelasan Ilham. Mungkin niatnya gini, ini loh anakmu, darah dagingmu, lihatlah wajahnya begitu mirip denganmu, jadi bayi ini anakmu, gitu mungkin maksudnya!""Justru itu yang Syifa takutkan, Bu. Lelaki itu a
"Bu .... Ibu." Teriakku, namun belum ada respon. Dengan langkah cepat dan panjang, aku menuju kamar Ibu. Namun tak kutemukan. Tanpa lelah, kucari Ibu di setiap sudut rumah. Tubuhku membeku saat melihat pemandangan yang benar-benar membuat emosi seketika berada di ubun-ubun."Apa yang Ibu lakukan?!" teriakku yang membuat Ibu tersentak kaget, berbeda dengan Sesil, ia terlihat begitu santai.Bergegas aku berjalan ke arah Ibu. Kuambil baskom berisi air yang digunakan oleh Ibu untuk mencuci kaki menantunya itu, lalu ....Prang!Kulempar ember berisi air itu. Lantai menjadi basah, namun aku tak peduli. Ibu beranjak dari duduknya di lantai."Apa yang Ibu lakukan?!""Nggak apa-apa, Prabu. Udah, kamu buruan ganti baju! Ibu keluar dulu!" ucap Ibu lalu bergegas meninggalkan ku yang sedang dikuasai oleh amarah."Tunggu, Bu!" ucapku yang membuat langkah Ibu terhenti."Sesil, kamu bisa menjelaskannya
Aku segera beranjak dari tempat dudukku. Kutatap wajah Sesil. Pandangan kami saling beradu. "Lalu apa maumu?" "Mauku? Baik, dengarkan baik-baik, ya, Mas. Aku mau kamu menceraikan aku!" ucap Sesil yang membuatku tersenyum sinis."Ck, kamu ingin menguasai rumah ini? Begitu?! Licik sekali kamu! Sayang sekali ... itu tak akan pernah terjadi. Tidak akan pernah!" ucapku dengan penuh penekanan."Jika kamu ingin bercerai, ya udah, silahkan gugat cerai aku! Sekarang aku tahu, ternyata kamu bersedia menikahiku, tak lebih hanya karena harta!" ucapku menahan geram."Harta?! Hey, coba pikir, Mas! Orang tuaku lebih kaya dari pada kamu! Harta yang kamu miliki pun tak ada sepucuknya dengan yang dimiliki oleh kedua orang tuaku!""Lalu kenapa kalian meminta jaminan segala?!" Nada suaraku sedikit melunak. Memang benar dengan apa yang dikatakan oleh Sesil. Ia berasal dari keluarga ningrat.
Aku melangkah dengan perasaan was-was. Apalagi, suara ketukan pintu tiada hentinya.Kuucapkan basmallah saat langkahku hampir sampai di depan pintu, kusingkap sedikit gorden jendela, hingga menampilkan sosok yang berdiri di balik pintu yang mampu membuatku membulatkan mata.Bagaimana aku tidak syok? Aku melihat Mayang, adik semata wayangku sedang berdiri di balik pintu. Buka soal keberadaannya, tapi pakaian dan fisik yang berbeda seratus delapan puluh derajat.Mayang hanya mengenakan pakaian seperti layaknya seorang Asisten Rumah Tangga. Bahkan, jauh lebih bagus pakaian yang biasanya dikenakan oleh Bik Minah, asisten rumah tanggaku. Apalagi warna pakaian itu, kalau dikatakan putih ya bukan, dikatakan coklat ya bukan.Rambut yang sebelumnya selalu tertata rapi, dan polesan make up yang menyempurnakan pesonanya, kini tak terlihat lagi. Apalagi badannya, sungguh terlihat kurus sekali
Aku mulai melangkah, ingin menghampiri Mayang yang sedang sarapan di waktu menjelang malam.Saat baru saja melangkah, suara seseorang berteriak memanggil namaku."Prabu!""Prabu!"Teriak seseorang yang suaranya amat kukenali. Aku memutar tubuh, ternyata benar dugaanku. Dia adalah Ilham. Tapi kenapa ia datang dengan wajah merah padam seperti menahan amarah? Apalagi kedua tangannya terkepal dengan kuat.Ilham mendekatiku dengan napas yang memburu, terlihat dari dadanya yang naik turu."Ada apa, Ham?"Bugh!Tiba-tiba Ilham menonjok wajahku.Bugh!"Dasar g!la! Baru datang asal nonjok, kamu!" hardikku setelah kubalas tinjuannya itu.Kedua tangan I
"Kalau begitu, saya permisi dulu, Dok. Terima kasih atas waktu dan penjelasannya." Aku beranjak lalu menyalam dokter Rita kemudian melangkah pergi dengan beribu penyesalan.Andai aku mencari tahu semuanya terlebih dahulu, pasti saat ini aku menjadi lelaki yang paling beruntung, hidup bahagia bersama anak dan istriku.Aku melangkah dengan perasaan tak menentu. Lalu apa yang harus kulakukan, Tuhan? Apakah aku harus mencari Syifa dan memintanya untuk kembali? Lalu, bagaimana dengan Ibu jika Syifa mau kembali ke pelukanku? Ah, soal Ibu itu belakangan, yang terpenting aku bisa bertemu dengan darah dagingku, syukur-syukur Syifa berkenan kembali padaku.Kutarik pintu mobil, bergegas aku masuk dan duduk di kemudi. Kusandarkan tubuhku, kuremas dengan kasar rambutku. Lalu kemana aku harus mencari Syifa? Aku tak tahu dimana ia tinggal."Ilham?! Ya, dia pasti tahu