"Bu, apa aku terlalu berlebihan dalam menyikapi Ilham?" tanyaku saat kami sudah berada di dalam mobil, yang mulai dilajukan oleh Mas Faris.
Aku duduk di barisan kedua bersama Bu Fatimah. Sedangkan Mas Faris dibagian kemudi.
"Gimana ya, Ibu juga bingung. Ibu memang kurang setuju jika kamu akhirnya bersama dia, tapi, Ilham orang yang pertama kali membantumu saat kesusahan, apalagi selama ini dia begitu baik denganmu."
"Tapi menurut Syifa, Ilham sudah keterlaluan, Bu. Apa coba maksudnya mengirimkan foto bayiku ke nomor Mas Prabu," ucapku dengan bibir mengerucut.
"Ya mungkin maksud Ilham itu baik. Kita kan belum mendengarkan penjelasan Ilham. Mungkin niatnya gini, ini loh anakmu, darah dagingmu, lihatlah wajahnya begitu mirip denganmu, jadi bayi ini anakmu, gitu mungkin maksudnya!"
"Justru itu yang Syifa takutkan, Bu. Lelaki itu a
"Bu .... Ibu." Teriakku, namun belum ada respon. Dengan langkah cepat dan panjang, aku menuju kamar Ibu. Namun tak kutemukan. Tanpa lelah, kucari Ibu di setiap sudut rumah. Tubuhku membeku saat melihat pemandangan yang benar-benar membuat emosi seketika berada di ubun-ubun."Apa yang Ibu lakukan?!" teriakku yang membuat Ibu tersentak kaget, berbeda dengan Sesil, ia terlihat begitu santai.Bergegas aku berjalan ke arah Ibu. Kuambil baskom berisi air yang digunakan oleh Ibu untuk mencuci kaki menantunya itu, lalu ....Prang!Kulempar ember berisi air itu. Lantai menjadi basah, namun aku tak peduli. Ibu beranjak dari duduknya di lantai."Apa yang Ibu lakukan?!""Nggak apa-apa, Prabu. Udah, kamu buruan ganti baju! Ibu keluar dulu!" ucap Ibu lalu bergegas meninggalkan ku yang sedang dikuasai oleh amarah."Tunggu, Bu!" ucapku yang membuat langkah Ibu terhenti."Sesil, kamu bisa menjelaskannya
Aku segera beranjak dari tempat dudukku. Kutatap wajah Sesil. Pandangan kami saling beradu. "Lalu apa maumu?" "Mauku? Baik, dengarkan baik-baik, ya, Mas. Aku mau kamu menceraikan aku!" ucap Sesil yang membuatku tersenyum sinis."Ck, kamu ingin menguasai rumah ini? Begitu?! Licik sekali kamu! Sayang sekali ... itu tak akan pernah terjadi. Tidak akan pernah!" ucapku dengan penuh penekanan."Jika kamu ingin bercerai, ya udah, silahkan gugat cerai aku! Sekarang aku tahu, ternyata kamu bersedia menikahiku, tak lebih hanya karena harta!" ucapku menahan geram."Harta?! Hey, coba pikir, Mas! Orang tuaku lebih kaya dari pada kamu! Harta yang kamu miliki pun tak ada sepucuknya dengan yang dimiliki oleh kedua orang tuaku!""Lalu kenapa kalian meminta jaminan segala?!" Nada suaraku sedikit melunak. Memang benar dengan apa yang dikatakan oleh Sesil. Ia berasal dari keluarga ningrat.
Aku melangkah dengan perasaan was-was. Apalagi, suara ketukan pintu tiada hentinya.Kuucapkan basmallah saat langkahku hampir sampai di depan pintu, kusingkap sedikit gorden jendela, hingga menampilkan sosok yang berdiri di balik pintu yang mampu membuatku membulatkan mata.Bagaimana aku tidak syok? Aku melihat Mayang, adik semata wayangku sedang berdiri di balik pintu. Buka soal keberadaannya, tapi pakaian dan fisik yang berbeda seratus delapan puluh derajat.Mayang hanya mengenakan pakaian seperti layaknya seorang Asisten Rumah Tangga. Bahkan, jauh lebih bagus pakaian yang biasanya dikenakan oleh Bik Minah, asisten rumah tanggaku. Apalagi warna pakaian itu, kalau dikatakan putih ya bukan, dikatakan coklat ya bukan.Rambut yang sebelumnya selalu tertata rapi, dan polesan make up yang menyempurnakan pesonanya, kini tak terlihat lagi. Apalagi badannya, sungguh terlihat kurus sekali
Aku mulai melangkah, ingin menghampiri Mayang yang sedang sarapan di waktu menjelang malam.Saat baru saja melangkah, suara seseorang berteriak memanggil namaku."Prabu!""Prabu!"Teriak seseorang yang suaranya amat kukenali. Aku memutar tubuh, ternyata benar dugaanku. Dia adalah Ilham. Tapi kenapa ia datang dengan wajah merah padam seperti menahan amarah? Apalagi kedua tangannya terkepal dengan kuat.Ilham mendekatiku dengan napas yang memburu, terlihat dari dadanya yang naik turu."Ada apa, Ham?"Bugh!Tiba-tiba Ilham menonjok wajahku.Bugh!"Dasar g!la! Baru datang asal nonjok, kamu!" hardikku setelah kubalas tinjuannya itu.Kedua tangan I
"Kalau begitu, saya permisi dulu, Dok. Terima kasih atas waktu dan penjelasannya." Aku beranjak lalu menyalam dokter Rita kemudian melangkah pergi dengan beribu penyesalan.Andai aku mencari tahu semuanya terlebih dahulu, pasti saat ini aku menjadi lelaki yang paling beruntung, hidup bahagia bersama anak dan istriku.Aku melangkah dengan perasaan tak menentu. Lalu apa yang harus kulakukan, Tuhan? Apakah aku harus mencari Syifa dan memintanya untuk kembali? Lalu, bagaimana dengan Ibu jika Syifa mau kembali ke pelukanku? Ah, soal Ibu itu belakangan, yang terpenting aku bisa bertemu dengan darah dagingku, syukur-syukur Syifa berkenan kembali padaku.Kutarik pintu mobil, bergegas aku masuk dan duduk di kemudi. Kusandarkan tubuhku, kuremas dengan kasar rambutku. Lalu kemana aku harus mencari Syifa? Aku tak tahu dimana ia tinggal."Ilham?! Ya, dia pasti tahu
Baru saja aku turun dari mobil, kulihat ada mobil asing terparkir cantik di halaman rumah. Mataku menyipit, mobil siapakah itu?Dengan rasa penasaran, aku kembali melangkah, sayup-sayup aku mendengar ada suara tangisan dari dalam rumah. Jantung ini berdetak lebih kencang, seakan-akan ingin keluar dari tempatnya.Aku terpaku, dahiku mengernyi saat melihat ada dua orang bertubuh tinggi tegap sedang duduk di ruang tamu. Kepala botak ditambah kumis yang tebal, menambah nilai kesangaran dari kedua tamu tersebut.Tanpa mengucap salam, aku segera mendekat ke arah Ibu dan Mayang, yang sedang sesenggukan karena menangis."Ada apa, Bu?" tanyaku dengan menatap Ibu dan kedua orang berwajah sangar itu secara bergantian."Suruhan orang tua Sesil datang, dan meminta segera mengosongkan rumah!"Deg.
POV Syifa."Fa ... sarapan dulu, gih!""Iya, Bu. Ini masih ganti popok baby Rayhaan," ucapku dengan tangan yang masih memasang popok untuk pangeran kecilku.Atha Rayhaan Shakeil, itulah nama yang kusematkan untuk pangeran kecilku. Dari nama itu, kuberharap pangeran kecilku tumbuh menjadi laki-laki yang baik, berparas tampan dan selalu dijaga oleh Tuhan. Bukankah nama adalah suatu do'a?"Setelah itu jangan lupa sarapan. Supaya baby Rayhaan kenyang kalau nyusu!" ucap Bu Fatimah.Sungguh, aku bersyukur sekali bisa bertemu dengan Bu Fatimah. Bukan kerabat, namun begitu baik dan menyayangiku. Bahkan, setiap malam ia selalu menemaniku bergadang. Ya, baby Rayhaan, setiap malam selalu minta gendong. Kalaupun sudah tertidur lelap, ia akan kembali terbangun jika sudah ditidurkan di atas kasur.Bu Fatimah menghampiriku, lalu merai
5 tahun kemudian."Bunda ... Reyhaan lapar," rengek bocah kecil itu yang tiba-tiba berlari lalu memeluk kedua kaki ku. Bergegas kuhentikan gerakan tanganku, membantu Bu Fatimah membungkus pesanan makanan.Ya, pangeran kecilku saat ini sudah berusia lima tahun. Semakin bertambahnya usia Rayhaan, wajahnya semakin terlihat tampan dan semakin mirip dengan ayah kandungnya.Syukurlah, selama ini kami sudah tak pernah bertemu lagi lelaki itu.Selama lima tahun pula, aku betah hidup menjanda. Entah kenapa, belum ada keinginan untuk membangun kembali mahligai rumah tangga. Sebenarnya berkali-kali Mas Faris memintaku untuk menjadi istrinya, tapi, berkali-kali pula aku menolak pinangannya secara halus.Kulepas dengan perlahan kedua tangan Rayhaan, lalu kusejajarkan dengan tubuhnya. "Reyhaan, lapar?" tanyaku dan Rayhaan mengangguk. 
POV Prabu.***Kata syukur tak hentinya kupanjatkan, hari ini acara ijab Qabul telah usai. Ya, satu bulan setelah aku melamar Sesil, kami segera menentukan tanggal berapa pernikahan akan kami adakan. Dan pilihan kami jatuh pada hari ini. Hubungan ini kami bangun dengan awal yang baik, dengan berharap Tuhan pun juga memberikan kebahagiaan dan kebaikan dalam rumah tangga kami. ****Satu tahun telah berlalu, usia pernikahan kami sudah satu tahun. Selama ini Sesil sudah menjadi sosok istri yang begitu hormat dan patuh padaku. Menjadi sosok istri yang kuidamkan. Jilbab selalu membingkai wajahnya dan menutupi mahkotanya, aku suka.Namun sayangnya, di usia satu tahun pernikahan Tuhan tak kunjung menitipkan keturunan untukku di rahim Sesil. Tapi itu tak mengapa. Kami pun juga tak pernah mempermasalahkan soal itu. Bahkan kami pun tak pernah membicarakan soal hal sensitif itu.
POV Prabu.*Satu Tahun Kemudian****Satu tahun telah berlalu. Selama itu pula aku terus mencoba mendekati Sesil. Namun siapa sangka, dia menjadi sosok perempuan yang mampu menjaga marwahnya sebagai seorang perempuan. Bahkan saat aku berkunjung ke rumah nya pun aku hanya disuruh duduk di teras rumah. Ia sama sekali tak mempersilahkan aku masuk ke dalam rumah.Sikapnya yang seperti itu mampu membuatku semakin mengagumi sosok akan dirinya. Ia pun juga menjadi perempuan yang pekerja keras. Usaha yang telah dibangun selama satu tahun olehnya kini mulai menampakkan hasilnya. Setahu aku, ia tak pernah patah semangat. Beberapa bulan merintis usaha toko roti selalu mengalami kerugian. Kalau pun tak rugi, hanya sekedar balik modal.Kini aku semakin percaya, kalau usaha tak akan pernah mengkhianati hasil. Kini Sesil telah memilih tinggal di rumah yang ia sewa. Ia sudah tak mau lagi tinggal di rumahku. Tak enak, be
POV Sesil***Suara ponsel berdering, namun bukan ponsel milikku. Ternyata ponsel Rina lah yang berdering. Beberapa detik kemudian benda pipih itu ia dekatkan di telinga kanannya."Halo, Bu," ucap Rina dengan seseorang yang ada di seberang telepon.Hening."Sudah di rumah?" Dengan nada yang terdengar sedikit kaget, Rina kembali berucap.Hening."Iya. Sebentar. Tadi dia nggak bilang mau datang ke rumah, makanya aku janjian sama Sesil."Hening."Baiklah, aku segera pulang, Bu." Terlihat Rina menjauhkan kembali ponsel dari telinganya. "Sil, maaf ya aku pulang dulu. Temen aku tiba-tiba sudah nyampek rumah. Padahal dia tidak bilang apa pun kalau mau datang ke rumah," ucap Rina sembari memasukkan ponselnya ke dalam tasnya."Ok, nggak apa-apa," jawabku."Nggak usah. Biar aku yang bayar. Kan aku yang ajak kamu ketemuan," ucapku sembari mendorong tangan Rina yang men
Pov Prabu****Dua Minggu kemudian*Pagi yang begitu cerah. Para kerabat dekat silih berganti berdatangan untuk menghadiri acara pernikahan Mayang. Ada rasa haru di dalam kalbu. Aku berjalan menuju di mana Mayang berada.Aku melangkah pelan. Saat aku sudah berada di ambang pintu kamar Mayang. Ternyata di sana ada Ibu dan Mayang yang sedang saling berpelukan. "Sudah siap, May?" ucapanku membuat pelukan itu terurai. Mereka berdua menoleh ke arahku secara serentak. Bahkan terlihat mereka berdua masing-masing menyeka sudut matanya. "Keluarga Ricko sudah tiba," ucapku. Mayang dan Ibu saling berpandangan. Terlihat Ibu meraih tangan Mayang dan sedikit meremasnya, seolah-olah seperti memberi kekuatan. "Ayo kita ke depan," ucap Ibu yang dibalas anggukan oleh Mayang. "Dada Mayang berdebar, Bu.""Ah, kamu seperti gadis yang baru pertama kali menikah
POV Prabu.***Acara berjalan sesuai yang kami harapkan, hingga mendapatkan keputusan pernikahan akan diadakan dua minggu lagi dan kedua belah calon mempelai memutuskan untuk mengadakan acara sederhana saja. Yaitu hanya sekedar acara ijab Qabul dan syukuran yang dihadiri kerabat dekat saja.Hati ini terasa lega saat ternyata Ricko serius dengan apa yang diucapkannya. Serius kalau ia benar-benar ingin mempersunting Mayang. Satu yang akan selalu kuingat akan janjinya 'Penggal kepala saya jika Mayang kembali pulang dalam keadaan menangis!'Ternyata ada sosok lelaki yang begitu berani. Mudah-mudahan saja kelak ia tak akan pernah mengecewakan Mayang, apalagi hingga membuatnya menangis agar aku tak susah payah untuk memenggal kepalanya."Kak Sesiiiilll ...." Teriakan Mayang menyadarkan lamunanku. Terlihat Mayang berlari ke arah Sesil lalu menghamburk
POV Prabu.***Mobil kembali melesat membelah jalan raya yang terbilang lumayan ramai. Tanpa sadar senyum di bibir kembali merekah kala mengingat wajah cantik yang terbingkai oleh hijab. Debaran aneh terasa di dalam dada. Debaran yang tak pernah kurasa, kala wanita itu masih sah menjadi milikku.Apakah aku jatuh cinta? Atau hanya sekedar mengagumi perubahan dari penampilannya?Sesaat kuusap wajahku, berharap bayang-bayang wajah Sesil tak lagi menari-nari di pelupuk mataku. Kembali aku fokus membelah jalan raya.Tak berselang lama aku telah sampai di tempat tujuanku. Kuparkir kendaraan roda empatku di tempat biasanya. Bergegas kubuka pintu mobil.Pintu kuketuk dengan diiringi salam.Satu kali.Dua kali.Tak berselang lama daun pintu terbuka, hingga terlihatlah sosok perempuan yang pernah bert
POV Prabu.*Keesokan hari****Jam sudah menunjukkan pukul 04.30. Setelah kulaksanakan dua rakaat shalat subuh, kurebahkan kembali tubuhku. Namun tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Dan tak berselang lama, suara Ibu memanggil namaku. Bergegas aku bangkit dan berjalan membuka daun pintu. "Ada apa, Bu?" tanyaku saat pintu sudah terbuka. "Barusan Sesil mengatakan, kalau orang tua Riko akan ke rumah besok pukul tujuh malam.""Malam ya, Bu? Jadi besok Prabu bisa bekerja terlebih dahulu," jawabku dan Ibu mengangguk. "Oh ya, Bu. Bentar." Aku kembali berjalan, menuju meja yang terletak di samping ranjang. Kubuka laci paling atas, kuambil amplop coklat di sana. Kubawa amplop itu dan kembali menemui Ibu. "Ini, Bu, uang untuk persiapan lamaran Mayang. Cukup acara lamaran seperti pada umumnya saja, uang ini pasti cukup," ucapku sembari menyerahk
Pov prabu.***Saat aku sedang berbincang dengan Sesil, ponselku berdering. Kuambil benda pipih itu, dan nama Ibu terpampang sebagai pemanggilnya, bergegas kuangkat."Halo, Bu ....""Kamu dimana? Cepetan pulang ya. Sekarang!" jawab Ibu dari seberang telepon."Pulang? Sekarang?""Iya. Ada hal yang sangat penting," jawab Ibu yang membuatku penasaran. Padahal sebelum kutinggal semua baik-baik saja."Penting? Soal apa, Bu?" jawabku."Nanti saja sampai di rumah. Sekarang pulang lah!""Baiklah, Bu. Prabu pulang sekarang!" Panggilan telepon dari Ibu kumatikan, dan kumasukkan kembali benda pipih itu ke dalam saku.Kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan.
"Ada apa, Mas?" tanyaku saat aku menoleh dan mendapati Mas Prabu berdiri di belakangku."Yuk aku antarkan pulang. Sedari tadi nunggu taksi nggak datang-datang, kan?""Nggak usah, Mas. Ini aku mau pesan taksi online.""Nggak boleh nolak niat baik seseorang.""Tapi ....""Tapi kenapa?" ucap Mas Prabu.Akhirnya kuceritakan semua permasalahan yang terjadi padaku. Soal kematian Mama dan Papa. Soal semua harta yang telah diambil oleh pemiliknya secara paksa."Tinggalah di rumahku itu.""Nggak usah, Mas. Biar kucari kontrakan saja untuk sementara waktu.""Baiklah. Yuk aku temani." Tanpa menunggu jawabanku, Mas Prabu bergegas melangkah meninggalkanku. Tubuh lelaki