POV Prabu.
*
*
*
Acara berjalan sesuai yang kami harapkan, hingga mendapatkan keputusan pernikahan akan diadakan dua minggu lagi dan kedua belah calon mempelai memutuskan untuk mengadakan acara sederhana saja. Yaitu hanya sekedar acara ijab Qabul dan syukuran yang dihadiri kerabat dekat saja.
Hati ini terasa lega saat ternyata Ricko serius dengan apa yang diucapkannya. Serius kalau ia benar-benar ingin mempersunting Mayang. Satu yang akan selalu kuingat akan janjinya 'Penggal kepala saya jika Mayang kembali pulang dalam keadaan menangis!'
Ternyata ada sosok lelaki yang begitu berani. Mudah-mudahan saja kelak ia tak akan pernah mengecewakan Mayang, apalagi hingga membuatnya menangis agar aku tak susah payah untuk memenggal kepalanya.
"Kak Sesiiiilll ...." Teriakan Mayang menyadarkan lamunanku. Terlihat Mayang berlari ke arah Sesil lalu menghamburk
Pov Prabu****Dua Minggu kemudian*Pagi yang begitu cerah. Para kerabat dekat silih berganti berdatangan untuk menghadiri acara pernikahan Mayang. Ada rasa haru di dalam kalbu. Aku berjalan menuju di mana Mayang berada.Aku melangkah pelan. Saat aku sudah berada di ambang pintu kamar Mayang. Ternyata di sana ada Ibu dan Mayang yang sedang saling berpelukan. "Sudah siap, May?" ucapanku membuat pelukan itu terurai. Mereka berdua menoleh ke arahku secara serentak. Bahkan terlihat mereka berdua masing-masing menyeka sudut matanya. "Keluarga Ricko sudah tiba," ucapku. Mayang dan Ibu saling berpandangan. Terlihat Ibu meraih tangan Mayang dan sedikit meremasnya, seolah-olah seperti memberi kekuatan. "Ayo kita ke depan," ucap Ibu yang dibalas anggukan oleh Mayang. "Dada Mayang berdebar, Bu.""Ah, kamu seperti gadis yang baru pertama kali menikah
POV Sesil***Suara ponsel berdering, namun bukan ponsel milikku. Ternyata ponsel Rina lah yang berdering. Beberapa detik kemudian benda pipih itu ia dekatkan di telinga kanannya."Halo, Bu," ucap Rina dengan seseorang yang ada di seberang telepon.Hening."Sudah di rumah?" Dengan nada yang terdengar sedikit kaget, Rina kembali berucap.Hening."Iya. Sebentar. Tadi dia nggak bilang mau datang ke rumah, makanya aku janjian sama Sesil."Hening."Baiklah, aku segera pulang, Bu." Terlihat Rina menjauhkan kembali ponsel dari telinganya. "Sil, maaf ya aku pulang dulu. Temen aku tiba-tiba sudah nyampek rumah. Padahal dia tidak bilang apa pun kalau mau datang ke rumah," ucap Rina sembari memasukkan ponselnya ke dalam tasnya."Ok, nggak apa-apa," jawabku."Nggak usah. Biar aku yang bayar. Kan aku yang ajak kamu ketemuan," ucapku sembari mendorong tangan Rina yang men
POV Prabu.*Satu Tahun Kemudian****Satu tahun telah berlalu. Selama itu pula aku terus mencoba mendekati Sesil. Namun siapa sangka, dia menjadi sosok perempuan yang mampu menjaga marwahnya sebagai seorang perempuan. Bahkan saat aku berkunjung ke rumah nya pun aku hanya disuruh duduk di teras rumah. Ia sama sekali tak mempersilahkan aku masuk ke dalam rumah.Sikapnya yang seperti itu mampu membuatku semakin mengagumi sosok akan dirinya. Ia pun juga menjadi perempuan yang pekerja keras. Usaha yang telah dibangun selama satu tahun olehnya kini mulai menampakkan hasilnya. Setahu aku, ia tak pernah patah semangat. Beberapa bulan merintis usaha toko roti selalu mengalami kerugian. Kalau pun tak rugi, hanya sekedar balik modal.Kini aku semakin percaya, kalau usaha tak akan pernah mengkhianati hasil. Kini Sesil telah memilih tinggal di rumah yang ia sewa. Ia sudah tak mau lagi tinggal di rumahku. Tak enak, be
POV Prabu.***Kata syukur tak hentinya kupanjatkan, hari ini acara ijab Qabul telah usai. Ya, satu bulan setelah aku melamar Sesil, kami segera menentukan tanggal berapa pernikahan akan kami adakan. Dan pilihan kami jatuh pada hari ini. Hubungan ini kami bangun dengan awal yang baik, dengan berharap Tuhan pun juga memberikan kebahagiaan dan kebaikan dalam rumah tangga kami. ****Satu tahun telah berlalu, usia pernikahan kami sudah satu tahun. Selama ini Sesil sudah menjadi sosok istri yang begitu hormat dan patuh padaku. Menjadi sosok istri yang kuidamkan. Jilbab selalu membingkai wajahnya dan menutupi mahkotanya, aku suka.Namun sayangnya, di usia satu tahun pernikahan Tuhan tak kunjung menitipkan keturunan untukku di rahim Sesil. Tapi itu tak mengapa. Kami pun juga tak pernah mempermasalahkan soal itu. Bahkan kami pun tak pernah membicarakan soal hal sensitif itu.
"Mas aku hamil," ucapku saat Mas Prabu baru saja pulang dari tempatnya bekerja.Mas Prabu menatapku dengan raut wajah yang sangat sulit untuk di artikan.Kumainkan kesepuluh jemariku untuk menahan rasa takut dan gugup."Kamu hamil, Fa?" tanya Mas Prabu dengan kedua netranya terus menatapku. Aku mengangguk dengan perasaan takut. Kutundukkan kepalaku.Bukan karena aku tak senang akan kehamilan ini. Sungguh, aku begitu bahagia saat mengetahui kalau aku telah mengandung. Yang kutakutkan adalah Mas Prabu tak akan menerima anak ini. Karena suamiku sempat menyetujui usul yang diberikan oleh Ibu mertua agar aku menunda untuk memiliki momongan terlebih dahulu."Kamu serius?""Iya, Mas," lirihku tanpa menatapnya. Rasa takut begitu mencekam."Alhamdulillah, terima kasih, Sayang." Mas Prabu tiba-tiba memelukku.Aku terkesiap saat mendengar ucapa
Akhirnya kami berpamitan untuk undur diri. Setelah memastikan tak ada yang perlu ditanyakan dariku ataupun dari Mas Prabu."Aku seneng banget, Mas, ternyata aku hamil beneran," ucapku dengan sumringah saat kami sudah keluar dari ruangan dokter Rita. Kami berjalan menuju kearah dimana mobil kami terparkir.Aku langsung menoleh kearah Mas Prabu saat ia tak kunjung menjawab ucapanku.Seketika aku dibuat bingung olehnya, saat melihat wajah Mas Prabu yang terlihat begitu kusut. Bagaimana tidak bingung? saat berangkat tadi binar kebahagiaan terpancar jelas diwajahnya. Sedangkan saat ini mendung bergelayut di wajah tampan suamiku."Kamu kenapa, Mas?"Bukannya menjawab pertanyaanku, ia malah mempercepat langkahnya."Mas!" teriakku saat langkahku jauh tertinggal di belakangnya."Mas tunggu!" teriakku lagi. Mas Prabu tak mengindah
Aku berhenti lima belas centi tepat didepan Ibu. Tanganku terkepal dengan kuat. Gemuruh didada semakin membuncah. Rasanya emosi sudah berada di ubun-ubun."Kenapa Ibu tega mendorong, Syifa? Kalau terjadi apa-apa dengan janin Syifa bagaimana, Bu? Ibu mau bertanggung jawab?" tanyaku masih menekan kuat-kuat emosi.Ibu langsung menatapku. Raut wajah bengis itu kembali hadir di wajah ibu mertua."Justru itu yang aku inginkan, Syifa! Aku ingin anakmu gugur!"Deg.Jantungku berdegup lebih kencang. Kutatap Ibu Mertua dengan tatapan tajam."Aku ingin calon anakmu mati, Syifa!" Kuangkat sebelah kanan tenganku."Hey, apa yang kau lakukan pada Ibu ku!" Tiba-tiba suara Mas Prabu menyela, hingga menghentikan aksiku yang ingin menampar mulut yang begitu tajam itu. Segera kuturunkan tanganku yang mengambang di udara.
Mas Prabu menatap ibu. "Bagaimana, Bu?""Sebelumnya Ibu ingin bertanya dulu. Apa kamu nggak Kb waktu Ibu memintamu untuk menunda momongan?""Mas Prabu tidak mengizinkan Syifa untuk ikut KB, Bu. Takutnya, kalau Syifa KB, itu akan mempengaruhi hormon tubuh. Jika kelak akan program momongan bisa susah mendapatkannya, Bu." Ibu mertua mendelik."Jadi kalian memang sengaja tak melakukan perintah Ibu?" tanya Ibu dengan geram."Bukan gitu, Bu. Mas Prabu menggunakan kontrasepsi," jawabku dengan jujur."Lah, jika Prabu saja menggunakan kontrasepsi mana mungkin kamu bisa hamil Syifa? Nggak ada kasus bisa kebobolan jika lelaki pakai pengaman!" ucapnya dengan mata terus melotot kearahku."Iya, Syifa tahu, Bu. Apa Ibu tak mengingat kapan Ibu mengatakan keinginan Ibu itu? Waktu itu pernikahan kami sudah berjalan empat hari, Bu. Sebelum itu, kami ta