Aku berhenti lima belas centi tepat didepan Ibu. Tanganku terkepal dengan kuat. Gemuruh didada semakin membuncah. Rasanya emosi sudah berada di ubun-ubun.
"Kenapa Ibu tega mendorong, Syifa? Kalau terjadi apa-apa dengan janin Syifa bagaimana, Bu? Ibu mau bertanggung jawab?" tanyaku masih menekan kuat-kuat emosi.
Ibu langsung menatapku. Raut wajah bengis itu kembali hadir di wajah ibu mertua.
"Justru itu yang aku inginkan, Syifa! Aku ingin anakmu gugur!"
Deg.
Jantungku berdegup lebih kencang. Kutatap Ibu Mertua dengan tatapan tajam.
"Aku ingin calon anakmu mati, Syifa!" Kuangkat sebelah kanan tenganku.
"Hey, apa yang kau lakukan pada Ibu ku!" Tiba-tiba suara Mas Prabu menyela, hingga menghentikan aksiku yang ingin menampar mulut yang begitu tajam itu. Segera kuturunkan tanganku yang mengambang di udara.
Asal kalian tahu, sebenarnya aku bukan istri pembangkang ataupun menantu yang jahat. Sungguh, jika kalian berfikiran aku memiliki sifat tersebut, itu salah!
Selama ini aku sudah cukup sabar menghadapi mulut tajam Ibu Mertua. Berkali-kali ia memfitnahku, dan mengadukan kepada Mas Prabu mengenai hal yang sama sekali tak kulakukan. Dengan ikhlas aku merawat Ibu. Hingga beliau tak pernah kuizinkan walau hanya sekedar membantu untuk membersihkan rumah yang begitu luas ini.
Selain aku benar-benar ikhlas, aku juga ingin mengambil hati ibu mertua. Barang kali dengan sikapku seperti itu, ia akan menerimaku menjadi menantu nya. Bahkan, saat ia menjelekan ku di tetangga sekitar pun aku hanya diam. Tapi sepertinya tingkah ibu semakin menjadi. Ia ingin mencelakai janinku. Aku tak akan membiarkan itu terjadi. Tidak akan!
Kulihat ibu tersenyum simpul. Aku bisa menebak, pasti ia akan memanfaatkan situasi ini.
Mas Prabu berjalan mendekati kami dengan menatapku tajam, setajam tatapan elang yang sedang mencari mangsa.
Ibu mertua tiba-tiba memeluk tubuh Mas Prabu.
"Lihat Prabu, istrimu ingin menampar ibu."
"Bohong, Mas!"
Mas Prabu mengangkat tangannya kedepan sebagai simbol aku harus diam.
Nafas Mas Prabu terdengar memburu, hingga kedua telingaku mampu mendengar deru nafasnya dengan jelas.
"Begitulah kelakuan istrimu itu, Prabu. Dia begitu jahat dengan ibu. Istrimu itu akan baik dengan ibu hanya saat kamu dirumah saja," ucap Ibu mertua dengan tangis yang semakin terisak. Lebih tepatnya pura-pura menangis.
"Iya, Bu. Maafin Prabu yang nggak bisa jagain Ibu." Mas Prabu berusaha menenangkan Ibu nya. Kulihat mata ibu melirik kearahku dengan bibir tersenyum sungging.
Sungguh, ibu mertuaku memang pintar sekali bersandiwara. Apalagi ditambah air mata palsu yang keluar dari sudut matanya menambah nilai sandiwara yang dimainkannya.
Mas Prabu melepaskan pelukan ibu dengan perlahan. "Ibu nggak perlu takut lagi. Ada Prabu disini. Jangan nangis, Bu. Prabu nggak tega melihat Ibu menangis hanya karena wanita itu."
Jleb!
Tubuhku tersentak kaget, mataku membelalak saat mendengar ucapan yang keluar dari mulut Mas Prabu, suamiku.
Apa maksud dari perkataan Mas Prabu? Apa kali ini ia akan percaya dengan sandiwara yang dimainkan oleh ibunya itu.
Mas Prabu maju selangkah, ibu mertua berdiri dibelakangnya.
"Mas, Syifa bisa menjelaskan semuanya."
"Cukup, Syifa! Tak ada yang perlu dijelaskan. Ternyata apa yang dikatakan Ibu memang benar. Kau begitu kejam dan tak berhati!" hardik Mas Prabu yang sepertinya termakan omongan ibunya.
Ibu yang berdiri dibelakang Mas Prabu tersenyum lebar. Mungkin kali ini ia merasa menang karena telah berhasil mengahasut anak lelakinya.
"Ibu mendorongku, Mas! Tubuhku terhempas di sofa. Bagaimana jika aku jatuh kelantai? Mas bisa membayangkan apa yang terjadi dengan anak kita?"
Ibu melangkah maju. Tangannya memegang lengan Mas Prabu. "Bohong, Prabu! Istrimu itu pembohong! Kamu lihat sendiri bukan, istrimu itu ingin menampar ibu. Padahal tadi ibu hanya bertanya kalian dari mana. Tapi istrimu itu tak suka. Dia mengatakan kalau ibu ikut campur dengan urusan kalian." Ibu kembali pura-pura terisak.
"Kau bilang apa tadi?" ucap Mas Prabu sambil mendekatkan telinga kearahku. Wajah ibu menjadi pucat pasi.
"Ibu tadi mendorongku, Mas, hingga tubuhku terhempas ke sofa."
"Bukan. Bukan yang itu. Tadi kau sebut janin mu anak siapa?" Aku mengernyitkan dahi.
"Anak kita, Mas."
"Aku luruskan, ya. Itu bukan anak kita, itu hanya anakmu. Anakmu bersama lelaki lain!"
Apa yang dikatakannya tadi? Janin ini bukan anak kita? Apa aku tak salah dengar? apa kedua telingaku sedang bermasalah?
"Kamu bicara apa, Mas? Maaf, mungkin pendengaranku sedikit terganggu. Jadi salah dengar"
"Itu bukan anak kita, Syifa. Itu bukan anak kita! Itu anakmu bersama selingkuhan mu!"
Plak!
Tamparan itu mendarat mulus di pipi Mas Prabu. Hingga menyisakan jejak merah di wajah tampan itu. Terlihat ia mengusap pipinya. Mungkin tamparanku terlalu keras, hingga membuat bibir itu meringis kesakitan.
Tapi aku rasa tamparan itu tak ada apa-apanya dibandingkan ucapannya yang membuat dada ini terasa begitu sesak.
Ibu mendelik menatapku. "Berani sekali kau tampar putraku!"
Ibu berganti menatap Mas Prabu."Kau tidak apa-apa, Prabu?" tanya ibu dengan jemari mengusap pipi anak lelakinya itu.
"Sebenarnya ada apa dengan kalian?" Ibu bergantian memandangku dan juga Mas Prabu. Mungkin beliau bingung dan penasaran dengan apa yang terjadi. Karena baru kali inilah Mas Prabu berani berbicara kasar denganku. Apalagi ia telah merendahkanku.
"Sudah-sudah. Lebih baik kita selesaikan masalah ini dengan kepala dingin." Mas Prabu menolak. Tapi ibu berusaha membujuknya. Dengan memaksa, ibu menarik tangan Mas Prabu.
Akhirnya kami duduk di sofa ruang tamu. Sebenarnya aku sedikit heran melihat ibu yang sedikit berbeda. Tumben sekali ia berusaha memposisikan diri selayaknya orang tua. Apa ibu memang ingin melerai pertengkaran kami. Atau ia hanya ingin tahu saja masalah apa yang sedang terjadi, lalu ibu akan memperkeruhnya?
Astagfirullah. Astagfirullah. Astagfirullah. Seharusnya aku tak boleh suudzon kepada ibu.
"Sebenarnya apa yang terjadi, Prabu?" Ibu mertua memecah keheningan.
"Syifa hamil, Bu!" jawab Mas Prabu dengan malas.
"Lalu kenapa? Kamu takut ibu marah karena kalian tak mengindahkan perintah ibu? Jujur, Ibu senang sekali kalau Syifa hamil. Memang dulu ibu sempat meminta kalian menunda momongan. Tapi saat mendengar istrimu hamil, Ibu ikut senang," tanya ibu dengan memandang kami bergantian dengan senyum sumringah.
Cih!
Pandai sekali Ibu mertuaku ini bersandiwara. Tadi saja marah saat tahu aku hamil. Nah, sekarang, giliran ada Mas Prabu ia sok-sok an bahagia mendengar kabar kehamilanku.
"Bukan itu, Bu!"
"Lalu?"
Aku sengaja diam. Aku ingin mendengarkan penjelasan dan alasan apa yang membuat Mas Prabu mengatakan kalau janin yang ku kandung bukan darah dagingnya.
"Masalahnya anak itu bukan anakku, Bu!"
"Katakan apa alasanmu hingga kamu bisa mengatakan itu, Mas." Aku berucap dengan nada tenang, meskipun dada terasa sesak.
Ibu mertua mengangguk.
"Kenapa kamu mengatakan itu, coba jelaskan pelan-pelan," pungkas Ibu.
Mudah-mudahan kali ini Ibu memang ingin menyelesaikan kesalah pahaman ini.
Kutajamkan pendengaranku, agar tak ada satu katapun yang terlewat.
"Tadi Prabu mengantar Syifa ke klinik dokter kandungan, Bu. Dokter itu mengatakan kalau usia kandungan Syifa sudah enam minggu. Padahal usia pernikahan kami baru empat minggu, Bu. Itu artinya saat Prabu menikahi Syifa, dia sudah hamil duluan."
Aku berdiri. "Astagfirullah, Mas. Hanya karena itu, lalu kamu tega mengatakan kalau janin ini bukan darah dagingmu. Dan kamu mengatakan kalau aku hamil duluan?"
Tes.
Seketika air mata terjatuh dari sarangnya.
"Kau bilang hanya karena itu? Kau menipuku, Syifa! Ku kira kamu gadis baik-baik. Ternyata kau tak lebih dari seorang pelac*r!"
Tanganku terkepal dengan kuat. Gemuruh di dada semakin menjadi. Kali ini Mas Prabu benar-benar keterlaluan.
"Bahkan, pelac*r pun tak akan sampai hati menjebak lelaki untuk menikahnya!" lanjut Mas Prabu. Dada ini semakin sesak. Ucapan Mas Prabu bagaikan pedang yang menghujam ulu hati. Nyeri, itulah saat ini yang kurasakan.
"Duduklah, Syifa!"
Aku mendengkus kasar.
Kudaratkan kembali tubuhku seperti perintah Ibu Mertua.
Kuhela nafas panjang dan kukeluarkan secara perlahan. Ku ulangi beberapa kali, berharap sesak di dada sedikit berkurang. Tapi rasa sesak itu semakin menjadi, seperti ada bongkahan batu yang menghimpit nya.
"Bukankah dokter sendiri mengatakan, kalau dokter itu menghitung usia kehamilanku melalui Hpht, Mas? Kamu mendengarnya sendiri bukan? Dokter Rita menghitungnya dari hari pertama aku haid, bukan hari pertama kita melakukan hubungan itu. Kamu tahu? Saat malam pertama kita, itu adalah masa suburku. Jadi ada kemungkinan kalau aku hamil, Mas," Ungkapku panjang lebar dengan menahan sesak di dada.
Aku berganti menatap ibu. "Bu, Ibu sudah dua kali melahirkan, pasti Ibu lebih paham. Tolong jelaskan pada Mas Prabu, Bu. Bagaimana cara menghitung usia kehamilan itu."
Ibu melirikku sinis. Sepertinya Ibu akan memanfaatkan siatuasi ini untuk memperkeruh mahligai rumah tanggaku.
Mas Prabu menatap ibu. "Bagaimana, Bu?"
Mas Prabu menatap ibu. "Bagaimana, Bu?""Sebelumnya Ibu ingin bertanya dulu. Apa kamu nggak Kb waktu Ibu memintamu untuk menunda momongan?""Mas Prabu tidak mengizinkan Syifa untuk ikut KB, Bu. Takutnya, kalau Syifa KB, itu akan mempengaruhi hormon tubuh. Jika kelak akan program momongan bisa susah mendapatkannya, Bu." Ibu mertua mendelik."Jadi kalian memang sengaja tak melakukan perintah Ibu?" tanya Ibu dengan geram."Bukan gitu, Bu. Mas Prabu menggunakan kontrasepsi," jawabku dengan jujur."Lah, jika Prabu saja menggunakan kontrasepsi mana mungkin kamu bisa hamil Syifa? Nggak ada kasus bisa kebobolan jika lelaki pakai pengaman!" ucapnya dengan mata terus melotot kearahku."Iya, Syifa tahu, Bu. Apa Ibu tak mengingat kapan Ibu mengatakan keinginan Ibu itu? Waktu itu pernikahan kami sudah berjalan empat hari, Bu. Sebelum itu, kami ta
Kedua telingaku mendengar suara deru langkah mendekatiku. Ingin menoleh, tapi rasanya tak sanggup. Aku masih tak percaya kalau Mas Prabu tega menamparku, apalagi di depan Ibu Mertua yang jelas-jelas sangat membenciku."Akan kubuat Prabu segera menceraikan mu!" bisik Ibu Mertua di telinga kananku. Tubuhku kembali tersentak. Tamparan dari tangan kekar itu belum sembuh, Ibu kembali menaburkan garam di luka hatiku.Perih, itulah yang ku rasakan saat ini. Sakit tak berdarah, itulah sebutannya. Kuhembuskan nafas berat berharap sesak di dada sedikit berkurang."Kenapa Ibu melakukan itu? Kenapa Ibu sepertinya sangat membenciku, Bu? Apa salahku?" Tawa Ibu menggelegar memenuhi isi ruangan."Kau menikah dengan putraku. Itu kesalahan fatal buatmu, Syifa. Dan akan ku manfaatkan badai yang sedang menerjang rumah tanggamu untuk membuat Prabu segera menceraikan mu!" ancam Ibu mertua menatapku dengan nyalang.
Kubuka daun pintu, dengan pelan aku melangkah menuju dapur. Saat langkahku semakin dekat, dekat, dan mendekat dengan dapur. Sayup-sayup aku mendengar seperti ada seseorang yang sedang bercengkrama. Aku berdiri dibalik tembok untuk menyembunyikan tubuhku. Dengan perasaan penasaran, ku lihat orang itu. Mataku menyipit saat melihat Ibu Mertua sedang duduk di kursi meja mekan sambil bercengkrama melalui sambungan telepon. Padahal hari sudah tengah malam, tapi Ibu Mertua masih menghubungi seseorang. Apakah ada suatu hal yang sangat penting? Sayup-sayup aku mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Ibu Mertua. Sangat lirih, tapi masih terdengar jelas di kedua indra pendengaranku. "Iya, kamu tenang saja. Kamu serahin sama Tante, secepatnya akan Tante buat wanita itu keluar dari rumah ini. Kamu tunggu saja kabar dari tant
Brak! Brak! Brak! Tubuhku menggeliat, mataku mengerjap saat mendengar ketukan pintu. Lebih tepatnya gedoran. Kuregangkan otot-otot tubuhku. "Syifa, bangun kamu! Dasar menantu pemalas!" "Iya, Bu. Sebentar!" jawabku dengan malas. Kedua netraku membelalak saat melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Pantas saja Ibu mengganggu tidurku, pasti ia mencari sarapan yang biasanya sudah terhidang dengan rapi di meja makan. Memang, setelah shalat subuh aku merebahkan tubuh ku lagi. Eh, malah ketiduran. Kusingkap selimut yang menghangatkan tubuhku disaat aku terlelap, aku beringsut dari ranjang. Dengan langkah gontai, dan mulut yang berkali-kali menguap, aku berjalan untuk membuka pintu. Ibu mertua tak hentinya menggedor-gedor daun pintu. Kuputar anak kun
Dua minggu sudah Mas Prabu mendiamkan ku, selama itu pula, ia tak pernah sekamar denganku. Bahkan, menanyakan soal kehamilanku pun tak pernah. Mungkin ia benar-benar yakin dengan pendapatnya, kalau janin ini bukan darah dagingnya. Sudah berkali-kali pula aku mencoba mengajak Mas Prabu untuk periksa kembali ke dokter kandungan, tapi, lagi-lagi ia tak pernah menuruti keinginanku. Satu atap tapi tak pernah saling menyapa, begitulah suasana setiap hari di rumah ini. Aku selalu berpura-pura terlihat baik-baik saja, walaupun sesak terasa di dalam dada. Kupesan taksi online untuk mengantarkan aku pulang. Ya, aku sedang berbelanja sayur di super market yang jaraknya rumayan jauh dari rumah. Butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai disini. ******* "Assalamualaikum," ucapku saat aku sudah berada di depan pintu. Tak ada jawaban,
Jujur, tak ada lagi air mata yang keluar. Air mata ini terlalu berharga untuk menangisi seorang pengkhianat. Cukup aku yang tahu betapa sakitnya hati ini. Mereka, para penghianat tak perlu tahu betapa sakit dan pedihnya luka yang mereka torehkan. Satu jam sudah kubaringkan tubuhku, selama itu pula kutenangkan diriku. Hingga mampu mengurangi sesak di dalam kalbu. Aku beringsut dari ranjang, berdiri di depan cermin. Kuamati wajahku. "Oke, Mas, akan kubalas rasa sakit yang telah kau torehkan. Kau telah mengkhianati cinta suci ini. Lihatlah, begitu dahsyatnya luka yang kau ciptakan, hingga mampu mengikis namamu yang sempat bertahta di hatiku. Rasa cinta yang sempat tumbuh subur, kini telah berganti benci. Benci yang teramat sangat," ucapku di depan kaca, seakan-akan sedang berbicara dengan target utamaku. Berbagai rencana sudah kususun dengan sempurna. Kurakit bom sedemikian rupa. Hingga ti
Aku berlalu meninggalkan Sesil, baru beberapa langkah, tiba-tiba kedua netraku melihat seseorang yang sedang berdiri mengawasi kami. "Mau kamu apain calon menantuku?" taya Ibu Mertua dengan penuh penekanan di kalimat calon menantu. Kuputar bola mataku dengan malas. Ibu mertua menghampiri Sesil yang sedang berdiri. "Kamu nggak diapa-apain sama dia, kan?" tanya Ibu mertua dengan melirik sinis ke arahku. Sesil menggeleng. "Kalau dia menyakitimu, bilang sama Tante!" "Iya, Tante," jawabnya dengan nada dibuat semanja mungkin. "Bagaimana, Bu? Apa ada yang terluka dengan calon menantu kesayangannya?" ucapku dengan nada mengejek. Ibu mertua mencebikkan mulutnya. "Pergi kamu!" Segera kuputar tubuhku. "Hey, tunggu!" "Ada apa lagi, Bu?" "Besok pagi ada acara kumpul-ku
Tiba-tiba bayangan saat melihat suamiku yang sedang bercumbu dengan wanita lain melintasi otakku, hingga membuatku berkali-kali mengerjapkan mata. Kuusap wajahku dengan kedua telapak tanganku secara kasar. Kuhela napas panjang dan kukeluarkan dengan kasar. Berharap kewarasan otakku segera datang. Aku mendengkus kesal. Saat Mas Prabu sedang berjalan, Sesil langsung memeluk lengan lelaki yang masih bergelar suamiku itu dari arah belakang. Perih, dan sesak. Itulah yang kurasakan saat ini, melihat Mas Prabu bermesraan dengan wanita lain, di depan mataku. Apalagi senyum merekah tercetak dengan jelas di bibir lelaki yang masih sah menjadi suamiku. Apakah aku cemburu? Tidak! Ku tegaskan, aku tidak cemburu, walau setitik! Jujur, sedikitpun sudah tak ada rasa cinta untuk Mas Prabu. Bahkan, namanya yang sempat bertahta di