Kedua telingaku mendengar suara deru langkah mendekatiku. Ingin menoleh, tapi rasanya tak sanggup. Aku masih tak percaya kalau Mas Prabu tega menamparku, apalagi di depan Ibu Mertua yang jelas-jelas sangat membenciku.
"Akan kubuat Prabu segera menceraikan mu!" bisik Ibu Mertua di telinga kananku. Tubuhku kembali tersentak. Tamparan dari tangan kekar itu belum sembuh, Ibu kembali menaburkan garam di luka hatiku.
Perih, itulah yang ku rasakan saat ini. Sakit tak berdarah, itulah sebutannya. Kuhembuskan nafas berat berharap sesak di dada sedikit berkurang.
"Kenapa Ibu melakukan itu? Kenapa Ibu sepertinya sangat membenciku, Bu? Apa salahku?" Tawa Ibu menggelegar memenuhi isi ruangan.
"Kau menikah dengan putraku. Itu kesalahan fatal buatmu, Syifa. Dan akan ku manfaatkan badai yang sedang menerjang rumah tanggamu untuk membuat Prabu segera menceraikan mu!" ancam Ibu mertua menatapku dengan nyalang.
Aku terpaku mendengar kalimat Ibu Mertua.
Ibu berjalan memutariku. Aku berdiri mematung. "Kau tahu, sebenarnya aku pernah mengalami hal sepertimu. Kita sama, hamil enam minggu diusia pernikahan empat minggu. Persis sepertimu." Ibu berhenti tepat didepanku.
"Jadi sebenarnya Ibu tahu dan pernah mengalaminya?" Ibu mertua menagngguk dengan bibir tersenyum sungging. Aku mendelik.
Ternyata benar dugaanku. Ibu sebenarnya tahu soal itu, tapi ia bersandiwara untuk membenarkan ucapan Mas Prabu.
"Kenapa Ibu melakukan itu?" ucapku dengan nada suara parau. Kutahan sekuat tenaga agar suara tangisan tak keluar dari bibirku.
"Kau masih mempertanyakan itu, Syifa? Coba kau pikir sendiri!" ucapnya dengan berlalu pergi.
"Tunggu, Bu!" Aku mencekal pergelangan tangan Ibu.
Ibu menatapku dengan sorot mata menantang.
"Kenapa Ibu sengaja ingin memisahkan calon anakku dengan ayah nya, Bu? Kenapa Ibu sepertinya begitu membenci calon cucu Ibu? Bahkan calon cucu Ibu masih ada dirahim, tapi Ibu sudah memperlihatkan ketidak sukaan Ibu."
"Karena anak itu akan terlahir dari rahim mu. Aku tak sudi menerima anak dari pemilik rahim yang dia sendiri saja tak tahu siapa orang tuanya. Sekalipun dia cucu kandungku! Kamu ingat baik-baik, Syifa. Akan kubuat Prabu segera menceraikanmu, bagaimanapun caranya!"
Jleb.
Ucapan Ibu bagaikan palu godam yang menghantam kepalaku.
Aku menatap sayu kearah Ibu. "Bu, ku mohon, jangan lakukan itu. Bagaimana jika putri Ibu, Mayang, akan mendapatkan perlakuan yang sama dari mertuanya, kelak?"
"Hey ... kau benar-benar tak tahu diri! Lihat! Kau dan Mayang, putriku, jauh berbeda. Mayang sudah jelas asal usulnya, sedangkan kamu? Dimana orang tuamu saja kamu tak tahu. Dan lagi, Mayang itu perempuan berpendidikan, beda sekali denganmu. Kau hanya lulusan SMP, Syifa! Kau hanya lulusan SMP. Sedangkan Mayang? Putriku itu sebentar lagi menjadi seorang sarjana! S A R J A N A!" cicit Ibu yang membuat luka dihati semakin menganga.
"Ck, bisa-bisanya kau menyamakan dirimu dengan putriku." Ibu tersenyum mengejek.
"Bukan begitu, Bu. Syifa sadar, Syifa dan juga Mayang jauh berbeda. Tapi apa Ibu yakin, kalau perbuatan Ibu tak akan terbalaskan pada diri Mayang dikemudian hari?"
Mata Ibu mendelik.
"Kamu menyumpahi Mayang bernasib sama denganmu? Hey ... Mayang perempuan berpendidikan, tak akan ada yang berani menyia-nyiakan dirinya. Apalagi ia juga cantik, Ibu yakin suami dan juga keluarganya akan menerimanya dengan senang hati. Mereka pasti bangga punya menantu seperti Mayang. Kalau kamu? Apa yang bisa dibanggakan dari kamu? Malu, iya!"
Tanganku terkepal dengan kuat. Meskipun telinga ini sudah kebal mendengar hinaan yang terlontar dari Ibu, tapi mendengarnya kembali dengan hati yang sedang bergemuruh, membuat emosi seketika meledak.
Kuangkat telunjuk tepat didepan wajah Ibu. "Tutup mulutmu, Bu! Ibu tak perlu mengatakan berulang kali bagaimana latar belakangku. Syifa tahu, Syifa sadar diri, siapa diri Syifa." Raut wajah Ibu semakin terlihat bengis dan menantang. Ibu menepis tanganku.
"Apa yang membuat Ibu yakin kalau Mayang akan seberuntung dengan angan-angan mu, Bu? Bukankah hukum tabur tuai tetap berlaku? Bagaimana jika kelak Mayang merasakan hal yang sama sepertiku? Bahkan bisa jauh lebih buruk." Ucapanku membuat wajah Ibu semakin terlihat meradang. Terdengar giginya bergemelatuk.
"Dasar menantu kurang ajar! Rasakan ini!"
"Ugh." Kucekal pergelangan tangan Ibu sebelum menyentuh kulit wajahku. Sedikit kupelintir hingga Ibu terlihat meringis kesakitan.
'Maafkan aku, Bu, kalau Syifa menyakiti Ibu. Syifa hanya ingin melindungi diri Syifa. Sepertinya batas kesabaran Syifa telah terlewati. Syifa sudah tak mampu memaklumi tindakan Ibu,' batinku.
Pandangan kami saling beradu. Segera kulepas pergelangan tangan Ibu dengan sedikit menghentakkan nya, hingga membuat tubuh wanita paruh baya sedikit terhuyung.
Aku segera berlalu dari hadapan Ibu Mertua. Aku melangkah menuju kamar dengan diiringi sumpah serapah yang keluar dari mulut Ibu Mertua.
"Dengarkan sumpahku, Syifa! Sampai kapanpun aku tak akan menerima anakmu. Meskipun kelak aku tak mendapatkan cucu sekalipun." Aku menghentikan gerakan tanganku saat ingin membuka handle pintu.
Jlegarrr.
Suara petir saling bersahutan. Seolah-olah memberikan jawaban atas sumpah yang keluar dari mulut wanita yang bergelar Ibu.
"Lihatlah, Bu! Sepertinya alam pun juga mendengar sumpah Ibu." Wajah Ibu memucat. Gerakan Ibu terlihat seperti orang yang dilanda kegelisahan.
Aku tersenyum sungging.
Kubuka daun pintu, hingga memperlihatkan sosok lelaki yang bergelar suamiku sedang duduk di tepi ranjang, dengan kedua tangan menangkup kepalanya.
Kuhela nafas panjang, berharap emosi yang sempat memuncak, bisa sedikit redam. Aku melangkah. Mendengar suara langkahku, Mas Prabu langsung menatapku.
Saat langkah semakin mendekat, Mas Prabu beranjak dan berjalan melewatiku.
Entahlah, mau kemana dia. Biarlah, aku tak peduli. Hati ini masih sakit mengingat Mas Prabu yang tega menamparku. Tapi, sakit itu tak ada apa-apanya dibandingkan saat Mas Prabu tak mengakui darah dagingnya.
Untunglah, malam ini Mayang sedang tak ada di rumah. Jika ia disini, ia pasti akan ikut mengeroyokku bersama Ibu Mertua. Memang, keluarga suamiku tak ada yang menyukaiku.
*******
Hari semakin larut, jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ingin kupejamkan mata ini, ingin ku istirahatkan pikiran ini dari masalah yang begitu pelik, tapi kedua netra ini tak kunjung terpejam.
Mas Prabu juga tak kunjung kembali. Mungkin ia akan bermalam di kamar lain. Biarlah, toh aku tak peduli.
Kusandarkan tubuhku di kepala ranjang. Pikiran ini berkelana jauh entah kemana-mana. Kemungkinan terburuk terus berkelebatan di kepalaku.
Entahlah apa yang akan terjadi dengan biduk rumah tangga yang baru saja kubangun ini.
"Apa yang harus ku lakukan Tuhan?" lirihku.
Kepala ini terasa begitu pening. Masalah rumah tanggaku terasa begitu pelik. Ucapan Ibu Mertua tak hentinya menggema di kedua telingaku, saat ia mengatakan akan bertekad untuk memisahkan aku dengan Mas Prabu.
Jika Ibu berhasil menghasut Mas Prabu, selanjutnya apa yang harus kulakukan? Akan kubawa kemana tubuh ini? Aku tak punya rumah. Selama ini aku hidup dengan menyewa sepetak kamar kos.
"Aarrggghhh." Aku mencengkeram rambutku.
Berkali-kali aku mencoba mengehembuskan nafas panjang, berharap sesak di dada semakin berkurang. Tapi usahaku sia-sia.
Apakah kehidupan rumah tanggaku akan hancur begitu saja?
'Kkrruuukkk.'
Kupegang perutku yang sedang berdemo untuk meminta hak nya. Gara-gara terlalu memikirkan masalah rumah tanggaku, hingga membuatku lupa untuk makan malam.
Aku beringsut dari ranjang dari ranjang. Dengan langkah gontai menuju dapur.
"Kamu tenang aja, Sayang. Besok pagi-pagi akan Tante jemput bareng Prabu."
Kubuka daun pintu, dengan pelan aku melangkah menuju dapur. Saat langkahku semakin dekat, dekat, dan mendekat dengan dapur. Sayup-sayup aku mendengar seperti ada seseorang yang sedang bercengkrama. Aku berdiri dibalik tembok untuk menyembunyikan tubuhku. Dengan perasaan penasaran, ku lihat orang itu. Mataku menyipit saat melihat Ibu Mertua sedang duduk di kursi meja mekan sambil bercengkrama melalui sambungan telepon. Padahal hari sudah tengah malam, tapi Ibu Mertua masih menghubungi seseorang. Apakah ada suatu hal yang sangat penting? Sayup-sayup aku mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Ibu Mertua. Sangat lirih, tapi masih terdengar jelas di kedua indra pendengaranku. "Iya, kamu tenang saja. Kamu serahin sama Tante, secepatnya akan Tante buat wanita itu keluar dari rumah ini. Kamu tunggu saja kabar dari tant
Brak! Brak! Brak! Tubuhku menggeliat, mataku mengerjap saat mendengar ketukan pintu. Lebih tepatnya gedoran. Kuregangkan otot-otot tubuhku. "Syifa, bangun kamu! Dasar menantu pemalas!" "Iya, Bu. Sebentar!" jawabku dengan malas. Kedua netraku membelalak saat melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Pantas saja Ibu mengganggu tidurku, pasti ia mencari sarapan yang biasanya sudah terhidang dengan rapi di meja makan. Memang, setelah shalat subuh aku merebahkan tubuh ku lagi. Eh, malah ketiduran. Kusingkap selimut yang menghangatkan tubuhku disaat aku terlelap, aku beringsut dari ranjang. Dengan langkah gontai, dan mulut yang berkali-kali menguap, aku berjalan untuk membuka pintu. Ibu mertua tak hentinya menggedor-gedor daun pintu. Kuputar anak kun
Dua minggu sudah Mas Prabu mendiamkan ku, selama itu pula, ia tak pernah sekamar denganku. Bahkan, menanyakan soal kehamilanku pun tak pernah. Mungkin ia benar-benar yakin dengan pendapatnya, kalau janin ini bukan darah dagingnya. Sudah berkali-kali pula aku mencoba mengajak Mas Prabu untuk periksa kembali ke dokter kandungan, tapi, lagi-lagi ia tak pernah menuruti keinginanku. Satu atap tapi tak pernah saling menyapa, begitulah suasana setiap hari di rumah ini. Aku selalu berpura-pura terlihat baik-baik saja, walaupun sesak terasa di dalam dada. Kupesan taksi online untuk mengantarkan aku pulang. Ya, aku sedang berbelanja sayur di super market yang jaraknya rumayan jauh dari rumah. Butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai disini. ******* "Assalamualaikum," ucapku saat aku sudah berada di depan pintu. Tak ada jawaban,
Jujur, tak ada lagi air mata yang keluar. Air mata ini terlalu berharga untuk menangisi seorang pengkhianat. Cukup aku yang tahu betapa sakitnya hati ini. Mereka, para penghianat tak perlu tahu betapa sakit dan pedihnya luka yang mereka torehkan. Satu jam sudah kubaringkan tubuhku, selama itu pula kutenangkan diriku. Hingga mampu mengurangi sesak di dalam kalbu. Aku beringsut dari ranjang, berdiri di depan cermin. Kuamati wajahku. "Oke, Mas, akan kubalas rasa sakit yang telah kau torehkan. Kau telah mengkhianati cinta suci ini. Lihatlah, begitu dahsyatnya luka yang kau ciptakan, hingga mampu mengikis namamu yang sempat bertahta di hatiku. Rasa cinta yang sempat tumbuh subur, kini telah berganti benci. Benci yang teramat sangat," ucapku di depan kaca, seakan-akan sedang berbicara dengan target utamaku. Berbagai rencana sudah kususun dengan sempurna. Kurakit bom sedemikian rupa. Hingga ti
Aku berlalu meninggalkan Sesil, baru beberapa langkah, tiba-tiba kedua netraku melihat seseorang yang sedang berdiri mengawasi kami. "Mau kamu apain calon menantuku?" taya Ibu Mertua dengan penuh penekanan di kalimat calon menantu. Kuputar bola mataku dengan malas. Ibu mertua menghampiri Sesil yang sedang berdiri. "Kamu nggak diapa-apain sama dia, kan?" tanya Ibu mertua dengan melirik sinis ke arahku. Sesil menggeleng. "Kalau dia menyakitimu, bilang sama Tante!" "Iya, Tante," jawabnya dengan nada dibuat semanja mungkin. "Bagaimana, Bu? Apa ada yang terluka dengan calon menantu kesayangannya?" ucapku dengan nada mengejek. Ibu mertua mencebikkan mulutnya. "Pergi kamu!" Segera kuputar tubuhku. "Hey, tunggu!" "Ada apa lagi, Bu?" "Besok pagi ada acara kumpul-ku
Tiba-tiba bayangan saat melihat suamiku yang sedang bercumbu dengan wanita lain melintasi otakku, hingga membuatku berkali-kali mengerjapkan mata. Kuusap wajahku dengan kedua telapak tanganku secara kasar. Kuhela napas panjang dan kukeluarkan dengan kasar. Berharap kewarasan otakku segera datang. Aku mendengkus kesal. Saat Mas Prabu sedang berjalan, Sesil langsung memeluk lengan lelaki yang masih bergelar suamiku itu dari arah belakang. Perih, dan sesak. Itulah yang kurasakan saat ini, melihat Mas Prabu bermesraan dengan wanita lain, di depan mataku. Apalagi senyum merekah tercetak dengan jelas di bibir lelaki yang masih sah menjadi suamiku. Apakah aku cemburu? Tidak! Ku tegaskan, aku tidak cemburu, walau setitik! Jujur, sedikitpun sudah tak ada rasa cinta untuk Mas Prabu. Bahkan, namanya yang sempat bertahta di
Adzan subuh berkumandang, membangunkan ku dari tidur lelapku. Kurenggangkan otot-otot di tubuhku. Ah, rasanya tubuh ini terasa lebih segar. Kusingkap selimut tebal dari atas tubuhku lalu beringsut dari ranjang. Dengan langkah semangat, aku berjalan menuju kamar mandi. Kusambar handuk dari tempatnya. Tetes demi tetes butiran air terjatuh ke tubuh. Hingga akhirnya, tetesan air itu mampu membasahi seluruh tubuhku, berharap, tak ada bekas sentuhan yang tertinggal dari lelaki durj*na itu. Tak butuh waktu lama untuk kuselesaikan ritual mandiku. Segera kulaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim, dua rakaat shalat subuh. ***** Brak! Brak! "Syifa, bangun kamu!" Brak! "Ck, Ibu ganggu orang la
Akhirnya acara arisan tak bisa berjalan dengan lancar, alias, dibubarkan. Aku tersenyum dalam hati. Padahal ini belum ada apa-apanya. Gimana kalau seluruh tetangga pada tahu? "Tante istirahat dulu, ya. Kepala Tante pusing sekali!" pamit Ibu lalu berjalan meninggalkan aku dan Sesil. Sepeninggal Ibu, Sesil langsung menatapku tajam. "Kamu bisa menjelaskannya?" tanya Sesil sambil berjalan ke arahku. "Apa yang perlu dijelaskan?" jawabku enteng sambil kusandarkan tubuhku di sofa. "Ternyata kamu pandai juga bersandiwara, ya! Tadi banyak orang, sok-sok'an pasang wajah sedih. Nah, sekarang kamu terlihat biasa saja!" "Ck, orang seperti kamu dan Ibu itu harus diimbangi. Kalian memainkan sandiwara, apa aku juga salah jika mengikuti?" jawabku lalu beranjak. Saat aku mulai melangkah tiba-tiba ...
POV Prabu.***Kata syukur tak hentinya kupanjatkan, hari ini acara ijab Qabul telah usai. Ya, satu bulan setelah aku melamar Sesil, kami segera menentukan tanggal berapa pernikahan akan kami adakan. Dan pilihan kami jatuh pada hari ini. Hubungan ini kami bangun dengan awal yang baik, dengan berharap Tuhan pun juga memberikan kebahagiaan dan kebaikan dalam rumah tangga kami. ****Satu tahun telah berlalu, usia pernikahan kami sudah satu tahun. Selama ini Sesil sudah menjadi sosok istri yang begitu hormat dan patuh padaku. Menjadi sosok istri yang kuidamkan. Jilbab selalu membingkai wajahnya dan menutupi mahkotanya, aku suka.Namun sayangnya, di usia satu tahun pernikahan Tuhan tak kunjung menitipkan keturunan untukku di rahim Sesil. Tapi itu tak mengapa. Kami pun juga tak pernah mempermasalahkan soal itu. Bahkan kami pun tak pernah membicarakan soal hal sensitif itu.
POV Prabu.*Satu Tahun Kemudian****Satu tahun telah berlalu. Selama itu pula aku terus mencoba mendekati Sesil. Namun siapa sangka, dia menjadi sosok perempuan yang mampu menjaga marwahnya sebagai seorang perempuan. Bahkan saat aku berkunjung ke rumah nya pun aku hanya disuruh duduk di teras rumah. Ia sama sekali tak mempersilahkan aku masuk ke dalam rumah.Sikapnya yang seperti itu mampu membuatku semakin mengagumi sosok akan dirinya. Ia pun juga menjadi perempuan yang pekerja keras. Usaha yang telah dibangun selama satu tahun olehnya kini mulai menampakkan hasilnya. Setahu aku, ia tak pernah patah semangat. Beberapa bulan merintis usaha toko roti selalu mengalami kerugian. Kalau pun tak rugi, hanya sekedar balik modal.Kini aku semakin percaya, kalau usaha tak akan pernah mengkhianati hasil. Kini Sesil telah memilih tinggal di rumah yang ia sewa. Ia sudah tak mau lagi tinggal di rumahku. Tak enak, be
POV Sesil***Suara ponsel berdering, namun bukan ponsel milikku. Ternyata ponsel Rina lah yang berdering. Beberapa detik kemudian benda pipih itu ia dekatkan di telinga kanannya."Halo, Bu," ucap Rina dengan seseorang yang ada di seberang telepon.Hening."Sudah di rumah?" Dengan nada yang terdengar sedikit kaget, Rina kembali berucap.Hening."Iya. Sebentar. Tadi dia nggak bilang mau datang ke rumah, makanya aku janjian sama Sesil."Hening."Baiklah, aku segera pulang, Bu." Terlihat Rina menjauhkan kembali ponsel dari telinganya. "Sil, maaf ya aku pulang dulu. Temen aku tiba-tiba sudah nyampek rumah. Padahal dia tidak bilang apa pun kalau mau datang ke rumah," ucap Rina sembari memasukkan ponselnya ke dalam tasnya."Ok, nggak apa-apa," jawabku."Nggak usah. Biar aku yang bayar. Kan aku yang ajak kamu ketemuan," ucapku sembari mendorong tangan Rina yang men
Pov Prabu****Dua Minggu kemudian*Pagi yang begitu cerah. Para kerabat dekat silih berganti berdatangan untuk menghadiri acara pernikahan Mayang. Ada rasa haru di dalam kalbu. Aku berjalan menuju di mana Mayang berada.Aku melangkah pelan. Saat aku sudah berada di ambang pintu kamar Mayang. Ternyata di sana ada Ibu dan Mayang yang sedang saling berpelukan. "Sudah siap, May?" ucapanku membuat pelukan itu terurai. Mereka berdua menoleh ke arahku secara serentak. Bahkan terlihat mereka berdua masing-masing menyeka sudut matanya. "Keluarga Ricko sudah tiba," ucapku. Mayang dan Ibu saling berpandangan. Terlihat Ibu meraih tangan Mayang dan sedikit meremasnya, seolah-olah seperti memberi kekuatan. "Ayo kita ke depan," ucap Ibu yang dibalas anggukan oleh Mayang. "Dada Mayang berdebar, Bu.""Ah, kamu seperti gadis yang baru pertama kali menikah
POV Prabu.***Acara berjalan sesuai yang kami harapkan, hingga mendapatkan keputusan pernikahan akan diadakan dua minggu lagi dan kedua belah calon mempelai memutuskan untuk mengadakan acara sederhana saja. Yaitu hanya sekedar acara ijab Qabul dan syukuran yang dihadiri kerabat dekat saja.Hati ini terasa lega saat ternyata Ricko serius dengan apa yang diucapkannya. Serius kalau ia benar-benar ingin mempersunting Mayang. Satu yang akan selalu kuingat akan janjinya 'Penggal kepala saya jika Mayang kembali pulang dalam keadaan menangis!'Ternyata ada sosok lelaki yang begitu berani. Mudah-mudahan saja kelak ia tak akan pernah mengecewakan Mayang, apalagi hingga membuatnya menangis agar aku tak susah payah untuk memenggal kepalanya."Kak Sesiiiilll ...." Teriakan Mayang menyadarkan lamunanku. Terlihat Mayang berlari ke arah Sesil lalu menghamburk
POV Prabu.***Mobil kembali melesat membelah jalan raya yang terbilang lumayan ramai. Tanpa sadar senyum di bibir kembali merekah kala mengingat wajah cantik yang terbingkai oleh hijab. Debaran aneh terasa di dalam dada. Debaran yang tak pernah kurasa, kala wanita itu masih sah menjadi milikku.Apakah aku jatuh cinta? Atau hanya sekedar mengagumi perubahan dari penampilannya?Sesaat kuusap wajahku, berharap bayang-bayang wajah Sesil tak lagi menari-nari di pelupuk mataku. Kembali aku fokus membelah jalan raya.Tak berselang lama aku telah sampai di tempat tujuanku. Kuparkir kendaraan roda empatku di tempat biasanya. Bergegas kubuka pintu mobil.Pintu kuketuk dengan diiringi salam.Satu kali.Dua kali.Tak berselang lama daun pintu terbuka, hingga terlihatlah sosok perempuan yang pernah bert
POV Prabu.*Keesokan hari****Jam sudah menunjukkan pukul 04.30. Setelah kulaksanakan dua rakaat shalat subuh, kurebahkan kembali tubuhku. Namun tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Dan tak berselang lama, suara Ibu memanggil namaku. Bergegas aku bangkit dan berjalan membuka daun pintu. "Ada apa, Bu?" tanyaku saat pintu sudah terbuka. "Barusan Sesil mengatakan, kalau orang tua Riko akan ke rumah besok pukul tujuh malam.""Malam ya, Bu? Jadi besok Prabu bisa bekerja terlebih dahulu," jawabku dan Ibu mengangguk. "Oh ya, Bu. Bentar." Aku kembali berjalan, menuju meja yang terletak di samping ranjang. Kubuka laci paling atas, kuambil amplop coklat di sana. Kubawa amplop itu dan kembali menemui Ibu. "Ini, Bu, uang untuk persiapan lamaran Mayang. Cukup acara lamaran seperti pada umumnya saja, uang ini pasti cukup," ucapku sembari menyerahk
Pov prabu.***Saat aku sedang berbincang dengan Sesil, ponselku berdering. Kuambil benda pipih itu, dan nama Ibu terpampang sebagai pemanggilnya, bergegas kuangkat."Halo, Bu ....""Kamu dimana? Cepetan pulang ya. Sekarang!" jawab Ibu dari seberang telepon."Pulang? Sekarang?""Iya. Ada hal yang sangat penting," jawab Ibu yang membuatku penasaran. Padahal sebelum kutinggal semua baik-baik saja."Penting? Soal apa, Bu?" jawabku."Nanti saja sampai di rumah. Sekarang pulang lah!""Baiklah, Bu. Prabu pulang sekarang!" Panggilan telepon dari Ibu kumatikan, dan kumasukkan kembali benda pipih itu ke dalam saku.Kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan.
"Ada apa, Mas?" tanyaku saat aku menoleh dan mendapati Mas Prabu berdiri di belakangku."Yuk aku antarkan pulang. Sedari tadi nunggu taksi nggak datang-datang, kan?""Nggak usah, Mas. Ini aku mau pesan taksi online.""Nggak boleh nolak niat baik seseorang.""Tapi ....""Tapi kenapa?" ucap Mas Prabu.Akhirnya kuceritakan semua permasalahan yang terjadi padaku. Soal kematian Mama dan Papa. Soal semua harta yang telah diambil oleh pemiliknya secara paksa."Tinggalah di rumahku itu.""Nggak usah, Mas. Biar kucari kontrakan saja untuk sementara waktu.""Baiklah. Yuk aku temani." Tanpa menunggu jawabanku, Mas Prabu bergegas melangkah meninggalkanku. Tubuh lelaki