POV Prabu.
***Kata syukur tak hentinya kupanjatkan, hari ini acara ijab Qabul telah usai. Ya, satu bulan setelah aku melamar Sesil, kami segera menentukan tanggal berapa pernikahan akan kami adakan. Dan pilihan kami jatuh pada hari ini.Hubungan ini kami bangun dengan awal yang baik, dengan berharap Tuhan pun juga memberikan kebahagiaan dan kebaikan dalam rumah tangga kami.
****
Satu tahun telah berlalu, usia pernikahan kami sudah satu tahun. Selama ini Sesil sudah menjadi sosok istri yang begitu hormat dan patuh padaku. Menjadi sosok istri yang kuidamkan. Jilbab selalu membingkai wajahnya dan menutupi mahkotanya, aku suka.
Namun sayangnya, di usia satu tahun pernikahan Tuhan tak kunjung menitipkan keturunan untukku di rahim Sesil. Tapi itu tak mengapa. Kami pun juga tak pernah mempermasalahkan soal itu. Bahkan kami pun tak pernah membicarakan soal hal sensitif itu.
"Mas aku hamil," ucapku saat Mas Prabu baru saja pulang dari tempatnya bekerja.Mas Prabu menatapku dengan raut wajah yang sangat sulit untuk di artikan.Kumainkan kesepuluh jemariku untuk menahan rasa takut dan gugup."Kamu hamil, Fa?" tanya Mas Prabu dengan kedua netranya terus menatapku. Aku mengangguk dengan perasaan takut. Kutundukkan kepalaku.Bukan karena aku tak senang akan kehamilan ini. Sungguh, aku begitu bahagia saat mengetahui kalau aku telah mengandung. Yang kutakutkan adalah Mas Prabu tak akan menerima anak ini. Karena suamiku sempat menyetujui usul yang diberikan oleh Ibu mertua agar aku menunda untuk memiliki momongan terlebih dahulu."Kamu serius?""Iya, Mas," lirihku tanpa menatapnya. Rasa takut begitu mencekam."Alhamdulillah, terima kasih, Sayang." Mas Prabu tiba-tiba memelukku.Aku terkesiap saat mendengar ucapa
Akhirnya kami berpamitan untuk undur diri. Setelah memastikan tak ada yang perlu ditanyakan dariku ataupun dari Mas Prabu."Aku seneng banget, Mas, ternyata aku hamil beneran," ucapku dengan sumringah saat kami sudah keluar dari ruangan dokter Rita. Kami berjalan menuju kearah dimana mobil kami terparkir.Aku langsung menoleh kearah Mas Prabu saat ia tak kunjung menjawab ucapanku.Seketika aku dibuat bingung olehnya, saat melihat wajah Mas Prabu yang terlihat begitu kusut. Bagaimana tidak bingung? saat berangkat tadi binar kebahagiaan terpancar jelas diwajahnya. Sedangkan saat ini mendung bergelayut di wajah tampan suamiku."Kamu kenapa, Mas?"Bukannya menjawab pertanyaanku, ia malah mempercepat langkahnya."Mas!" teriakku saat langkahku jauh tertinggal di belakangnya."Mas tunggu!" teriakku lagi. Mas Prabu tak mengindah
Aku berhenti lima belas centi tepat didepan Ibu. Tanganku terkepal dengan kuat. Gemuruh didada semakin membuncah. Rasanya emosi sudah berada di ubun-ubun."Kenapa Ibu tega mendorong, Syifa? Kalau terjadi apa-apa dengan janin Syifa bagaimana, Bu? Ibu mau bertanggung jawab?" tanyaku masih menekan kuat-kuat emosi.Ibu langsung menatapku. Raut wajah bengis itu kembali hadir di wajah ibu mertua."Justru itu yang aku inginkan, Syifa! Aku ingin anakmu gugur!"Deg.Jantungku berdegup lebih kencang. Kutatap Ibu Mertua dengan tatapan tajam."Aku ingin calon anakmu mati, Syifa!" Kuangkat sebelah kanan tenganku."Hey, apa yang kau lakukan pada Ibu ku!" Tiba-tiba suara Mas Prabu menyela, hingga menghentikan aksiku yang ingin menampar mulut yang begitu tajam itu. Segera kuturunkan tanganku yang mengambang di udara.
Mas Prabu menatap ibu. "Bagaimana, Bu?""Sebelumnya Ibu ingin bertanya dulu. Apa kamu nggak Kb waktu Ibu memintamu untuk menunda momongan?""Mas Prabu tidak mengizinkan Syifa untuk ikut KB, Bu. Takutnya, kalau Syifa KB, itu akan mempengaruhi hormon tubuh. Jika kelak akan program momongan bisa susah mendapatkannya, Bu." Ibu mertua mendelik."Jadi kalian memang sengaja tak melakukan perintah Ibu?" tanya Ibu dengan geram."Bukan gitu, Bu. Mas Prabu menggunakan kontrasepsi," jawabku dengan jujur."Lah, jika Prabu saja menggunakan kontrasepsi mana mungkin kamu bisa hamil Syifa? Nggak ada kasus bisa kebobolan jika lelaki pakai pengaman!" ucapnya dengan mata terus melotot kearahku."Iya, Syifa tahu, Bu. Apa Ibu tak mengingat kapan Ibu mengatakan keinginan Ibu itu? Waktu itu pernikahan kami sudah berjalan empat hari, Bu. Sebelum itu, kami ta
Kedua telingaku mendengar suara deru langkah mendekatiku. Ingin menoleh, tapi rasanya tak sanggup. Aku masih tak percaya kalau Mas Prabu tega menamparku, apalagi di depan Ibu Mertua yang jelas-jelas sangat membenciku."Akan kubuat Prabu segera menceraikan mu!" bisik Ibu Mertua di telinga kananku. Tubuhku kembali tersentak. Tamparan dari tangan kekar itu belum sembuh, Ibu kembali menaburkan garam di luka hatiku.Perih, itulah yang ku rasakan saat ini. Sakit tak berdarah, itulah sebutannya. Kuhembuskan nafas berat berharap sesak di dada sedikit berkurang."Kenapa Ibu melakukan itu? Kenapa Ibu sepertinya sangat membenciku, Bu? Apa salahku?" Tawa Ibu menggelegar memenuhi isi ruangan."Kau menikah dengan putraku. Itu kesalahan fatal buatmu, Syifa. Dan akan ku manfaatkan badai yang sedang menerjang rumah tanggamu untuk membuat Prabu segera menceraikan mu!" ancam Ibu mertua menatapku dengan nyalang.
Kubuka daun pintu, dengan pelan aku melangkah menuju dapur. Saat langkahku semakin dekat, dekat, dan mendekat dengan dapur. Sayup-sayup aku mendengar seperti ada seseorang yang sedang bercengkrama. Aku berdiri dibalik tembok untuk menyembunyikan tubuhku. Dengan perasaan penasaran, ku lihat orang itu. Mataku menyipit saat melihat Ibu Mertua sedang duduk di kursi meja mekan sambil bercengkrama melalui sambungan telepon. Padahal hari sudah tengah malam, tapi Ibu Mertua masih menghubungi seseorang. Apakah ada suatu hal yang sangat penting? Sayup-sayup aku mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Ibu Mertua. Sangat lirih, tapi masih terdengar jelas di kedua indra pendengaranku. "Iya, kamu tenang saja. Kamu serahin sama Tante, secepatnya akan Tante buat wanita itu keluar dari rumah ini. Kamu tunggu saja kabar dari tant
Brak! Brak! Brak! Tubuhku menggeliat, mataku mengerjap saat mendengar ketukan pintu. Lebih tepatnya gedoran. Kuregangkan otot-otot tubuhku. "Syifa, bangun kamu! Dasar menantu pemalas!" "Iya, Bu. Sebentar!" jawabku dengan malas. Kedua netraku membelalak saat melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Pantas saja Ibu mengganggu tidurku, pasti ia mencari sarapan yang biasanya sudah terhidang dengan rapi di meja makan. Memang, setelah shalat subuh aku merebahkan tubuh ku lagi. Eh, malah ketiduran. Kusingkap selimut yang menghangatkan tubuhku disaat aku terlelap, aku beringsut dari ranjang. Dengan langkah gontai, dan mulut yang berkali-kali menguap, aku berjalan untuk membuka pintu. Ibu mertua tak hentinya menggedor-gedor daun pintu. Kuputar anak kun
Dua minggu sudah Mas Prabu mendiamkan ku, selama itu pula, ia tak pernah sekamar denganku. Bahkan, menanyakan soal kehamilanku pun tak pernah. Mungkin ia benar-benar yakin dengan pendapatnya, kalau janin ini bukan darah dagingnya. Sudah berkali-kali pula aku mencoba mengajak Mas Prabu untuk periksa kembali ke dokter kandungan, tapi, lagi-lagi ia tak pernah menuruti keinginanku. Satu atap tapi tak pernah saling menyapa, begitulah suasana setiap hari di rumah ini. Aku selalu berpura-pura terlihat baik-baik saja, walaupun sesak terasa di dalam dada. Kupesan taksi online untuk mengantarkan aku pulang. Ya, aku sedang berbelanja sayur di super market yang jaraknya rumayan jauh dari rumah. Butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai disini. ******* "Assalamualaikum," ucapku saat aku sudah berada di depan pintu. Tak ada jawaban,