Akhirnya kami berpamitan untuk undur diri. Setelah memastikan tak ada yang perlu ditanyakan dariku ataupun dari Mas Prabu.
"Aku seneng banget, Mas, ternyata aku hamil beneran," ucapku dengan sumringah saat kami sudah keluar dari ruangan dokter Rita. Kami berjalan menuju kearah dimana mobil kami terparkir.
Aku langsung menoleh kearah Mas Prabu saat ia tak kunjung menjawab ucapanku.
Seketika aku dibuat bingung olehnya, saat melihat wajah Mas Prabu yang terlihat begitu kusut. Bagaimana tidak bingung? saat berangkat tadi binar kebahagiaan terpancar jelas diwajahnya. Sedangkan saat ini mendung bergelayut di wajah tampan suamiku.
"Kamu kenapa, Mas?"
Bukannya menjawab pertanyaanku, ia malah mempercepat langkahnya.
"Mas!" teriakku saat langkahku jauh tertinggal di belakangnya.
"Mas tunggu!" teriakku lagi. Mas Prabu tak mengindahkan teriakanku. Tak mungkin jika ia tak mendengar panggilanku.
"Masuk!" titahnya dari dalam mobil.
Aku segera meraih gagang pintu mobil dan segera masuk, sebelum Mas Prabu semakin marah.
Terlihat ia mulai menyalakan mesin mobilnya dan mulai melajukan kendaraannya.
Hening.
Seketika keadaan terasa hening. Kulirik Mas Prabu yang sedari tadi pandangannya lurus kedepan dengan dada naik turun ditambah rahang mengeras seperti menahan amarah. Sebenarnya aku begitu penasaran kenapa Mas Prabu tiba-tiba berubah. Ingin bertanya, tapi nyaliku menciut saat melihat wajah suamiku yang terlihat begitu menyeramkan.
Lima belas menit keheningan masih terasa. Ditambah wajah suamiku yang begitu tak bersahabat menambah suasana terasa mencekam. Aku merasa jengah. Rasa penasaran begitu menggebu. Kualihkan pandanganku kearah kaca mobil. Kedua netraku melihat ada apotek diseberang jalan, seketika aku ingat kalau aku harus menebus obat yang telah diresepkan oleh dokter Rita.
"Mas, berhenti!"
'Ciiittt'
"Aduuhhh," keluhku saat kepalaku terpentok dashboard mobil karena Mas Prabu ngerem mendadak.
"Ada apa, sih?" ketus Mas Prabu. Ia menatap sinis kearahku hingga membuat rasa penasaran ini semakin menjadi.
"Kita ke apotek dulu. Mau menebus resep obat dari doter Rita tadi," ucapku.
"Yaudah, sana!"
"Kamu nggak ikut?" tanyaku saat Mas Prabu tak kunjung melajukan kendaraannya kearah apotek yang kumaksud.
"Nggak!" jawabnya singkat dengan nada yang masih ketus.
'Lebih baik kutanyakan saja setelah menebus obat'
*****
"Kamu kenapa, Mas?" tanyaku saat aku sudah berada di dalam mobil.
"Nggak apa-apa," jawabnya singkat.
"Loh, kamu berubah gitu kok. Nggak mungkin jika tidak ada masalah lalu kamu berubah begitu."
"Kamu pikir aja sendiri!" ketusnya dengan pandangan tetap lurus kedepan.
Dadaku bergemuruh dengan hebat. Emosi seketika datang menghampiri. Kuhela nafas panjang agar gemuruh di dada semakin berkurang.
"Kalau aku tahu, tak mungkin aku bertanya, Mas! Aku bukan dukun yang bisa mengetahui isi hati seseorang" ucapku menahan emosi.
"Pikir aja sendiri. Pikir pakai ini!" ucapnya dengan jemari tangan menunjuk ke pelipis.
Seketika mata terasa hangat, pandanganku semakin buram kala cairan bening memenuhi kelopak mata.
Kualihkan pandanganku kearah samping kaca mobil. Dengan cepat kuusap sudut mataku sebelum butiran bening terjatuh dari sarangnya.
Sungguh, hati ini terasa begitu sakit melihat Mas Prabu yang begitu dingin. Apalagi bicaranya begitu kasar. Entahlah, memang aku yang menjadi begitu sensitif atau karena merasa ini pertama kalinya Mas Prabu berbicara dengan begitu ketus dan kasarnya.
Kutarik nafas panjang dan ku keluarkan secara perlahan untuk mengurangi rasa sesak di dalam dada. Pikiranku berkelana kemana-mana. Mencoba mencari kesalahan apa yang telah ku lakukan hingga Mas Prabu begitu marah denganku.
Mas Prabu menjadi ketus saat diruangan Dokter Rita. Itu artinya aku melakukan kesalahan saat berada diruangan tersebut. Aku mencoba mengorek ingatanku untuk mencari kesalahan apa yang kulakukan, tapi aku tak kunjung menemukannya juga.
'Apa karena tadi aku menginjak kakinya? Tapi kayaknya nggak mungkin kalau hanya soal itu. Apa karena aku melotot kearahnya? ah, kayaknya nggak mungkin juga.' Aku terus bertanya pada diri sendiri yang aku sendiri pun tak tahu jawabannya.
Selama menikah dengannya, tak pernah Mas Prabu bersikap dingin dan kasar saat berbicara denganku. Ia begitu baik memperlakukanku di rumahnya. Ia selalu membelaku disaat Ibu Mertua berusaha mencari kesalahanku.
Ya, ibu mertua memang tak menyukaiku. Bahkan, saat pertama kali aku menginjakkan kaki dirumahnya, beliau langsung memperlihatkan ketidak sukaannya terhadapku. Memang salahku juga, bersedia diajak menikah tanpa restu dari Ibu Mertua.
*****
'Braaakkk.'
"Astagfirullah haladzim," teriakku kaget.
Aku tersentak dari lamunanku karena suara pintu mobil di tutup dengan begitu kerasnya.
"Ternyata sudah sampai rumah," gumamku lirih. Kedua netraku melihat Mas Prabu sudah berjalan memasuki rumah tanpa mengajakku. Bahkan basa-basi pun sepertinya enggan.
Sepertinya Mas Prabu begitu marah denganku. Ku tanyakan sebabnya apa, tapi ia malam memilih bungkam, enggan menjawab pertanyaanku.
Kuhela nafas panjang berulang kali.
Kuulurkan tanganku untuk membuka pintu mobil.
"Assalamualaikum," ucapku diambang pintu saat melihat Ibu Mertua sedang duduk di ruang tamu dengan tangan memegang majalah.
"Waalaikum salam," jawab Mertua dengan ketus dan melirik sinis kearahku. Karena aku sudah terbiasa mendapatkan perlakuan seperti itu, jadi aku biasa saja. Aku langsung berlalu dari hadapannya. Aku menyusul Mas Prabu yang mungkin saja sudah berada di dalam kamar.
"Heh, tunggu!" teriak Ibu. Langkahku terhenti. Kuputar tubuhku hingga aku bisa melihat Ibu Mertua yang sedang datang menghampiriku.
Aku tersenyum kearahnya. "Ada apa, Bu?"
Ibu mencebikkan mulut.
"Ada apa dengan Prabu?"
Deg.
Jantungku berdegup dengan kencang. Ternyata Ibu menyadari perubahan Mas Prabu.
'Pasti Mas Prabu masuk rumah dengan wajah marah, dan Ibu juga tahu kalau Mas Prabu meninggalkanku yang masih duduk di dalam mobil'
"Memang Mas Prabu kenapa, Bu?"
"Lah, ditanya malah balik nanya," ucap Ibu dengan sewot.
"Syifa kan nggak tahu, Bu. Makanya Syifa tanya ke Ibu."
Aku sengaja membohongi Ibu. Aku tahu, beliau sangat tidak menyukaiku, ia pun juga menginginkan perceraian di pernikahan kami. Takutnya, jika aku mengatakan kalau Mas Prabu sedang marah denganku, ia akan menciptakan bom dan,
Blam!
Bom akan dinyalakan hingga membuat mahligai rumah tanggaku semakin hancur.
Tiba-tiba mata Ibu Mertua beralih menatap kantong obat dan buku pink yang ada ditanganku. Kedua matanya mendelik. Langsung kusembunyikan kedua barang itu dibalik punggungku.
'Ah, bod*h sekali kamu, Syifa. Mati aku!' rutukku dalam hati.
"Syifa istirahat dulu, Bu. Syifa ngantuk." Aku pura-pura menguap. Aku langsung berlalu dari hadapannya tanpa menunggu jawaban dari Ibu.
"Heh, bentar!" Ibu Mertua mencekal lenganku.
"Iy iya, Bu." Aku berusaha menyembunyikan barang bawaan ku agar Ibu tak melihatnya.
"Lihat apa yang ada ditanganmu!"
Ibu mertua menengadahkan tangannya.
"Bukan apa-apa, Bu. Hanya obat, kok."
"Lihat, berikan ke Ibu. Sepertinya kamu tadi juga membawa buku berwarna pink. Berikan, Syifa!" teriak Ibu mertua dengan suara menggelegar. Kupingku rasanya berdengung karena begitu lantangnya suara Ibu.
Sepertinya Ibu mulai curiga. Pasti ibu juga merasa tak asing dengan buku pink yang tadi kubawa, karena ibu pernah mengandung dan melahirkan dua kali.
"Ini, Bu." Dengan ragu kuberikan kedua barang tersebut.
"Kamu hamil?" bentak Ibu dengan mata melotot kearahku. Kutundukkan kepalaku. Wajahnya terlihat menyeramkan sekali. Apalagi saat melotot, bola matanya seperti ingin keluar dari tempatnya.
"I-iya, Bu."
"Bukankah ibu sudah bilang, jangan hamil dulu, Syifa!" Ibu bicara dengan nada geram. Terdengar giginya bergemelatuk.
"Maaf, Bu. Syifa juga nggak nyangka, ternyata Syifa hamil," ucapku dengan kepala tetap menunduk.
"Gagal sudah rencanaku," lirihnya tapi masih terdengar di kedua telingaku. Kutatap Ibu Mertua.
"Kenapa, Bu?"
"Makanya KB, Syifa! Sudah dibilangin tapi ngelawan mulu!" ucapnya dengan telunjuk menoyor ke kepalaku.
Hap!
Kutangkap telunjuk Ibu Mertua dan dihempaskannya tanganku. Aku akan terima jika ibu hanya menghardik ku dan memarahiku. Tapi jangankan untuk menoyor kepalaku, menyakiti seujung kuku pun aku tak akan terima.
"Ibu tadi bilang apa? rencana apa yang ibu maksud?" tanyaku penasaran.
Wajah Ibu Mertua yang tadi terlihat garang, kini berubah menjadi pucat pasi. Bagaikan tubuh yang tak dialiri darah.
"Rencana? rencana apa yang kamu maksud? Ibu tidak bilang apa-apa!" elak Ibu mertua untuk menutupi kegugupannya.
"Syifa mendengarnya, Bu! Rencana apa yang Ibu maksud?" tanyaku tetap kekeh.
"Dasar menantu sial*n!" hardik Ibu.
"Ugh."
Ibu mendorong tubuhku. Aku yang tidak menyadari serangannya, membuat tubuh ini terhempas ke sofa. Untunglah tubuhku tak terjatuh ke lantai. Aku tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika aku terjatuh kelantai. Mungkin saja janin dalam kandunganku dalam keadaan bahaya.
Dada ini bergemuruh habat. Tubuh terasa begitu panas, ingin rasanya segera ku keluarkan lahar panas di dalam dada. Dengan nafas memburu aku mulai bangkit. Kutatap kedua manik mata Ibu Mertua dengan tatapan tajam. Pandangan kami saling beradu. Sungguh, kali ini tak ada rasa takut.
Aku bisa terima jika ia hanya menyakitiku melalui lidahnya yang begitu tajam. Tapi ini beda lagi, ia hampir saja mencelakai janinku, calon anakku.
Aku berjalan mendekati Ibu yang sedang berdiri dengan wajah bengis. Semakin dekat, dan mendekat Ibu mertua langsung membuang muka.
Aku tersenyum simpul.
'Ternyata Ibu mertua masih punya rasa takut juga.'
Aku berhenti lima belas centi tepat didepan Ibu. Tanganku terkepal dengan kuat. Gemuruh didada semakin membuncah. Rasanya emosi sudah berada di ubun-ubun.
"Hey, apa yang kau lakukan pada Ibu ku?!"
Aku berhenti lima belas centi tepat didepan Ibu. Tanganku terkepal dengan kuat. Gemuruh didada semakin membuncah. Rasanya emosi sudah berada di ubun-ubun."Kenapa Ibu tega mendorong, Syifa? Kalau terjadi apa-apa dengan janin Syifa bagaimana, Bu? Ibu mau bertanggung jawab?" tanyaku masih menekan kuat-kuat emosi.Ibu langsung menatapku. Raut wajah bengis itu kembali hadir di wajah ibu mertua."Justru itu yang aku inginkan, Syifa! Aku ingin anakmu gugur!"Deg.Jantungku berdegup lebih kencang. Kutatap Ibu Mertua dengan tatapan tajam."Aku ingin calon anakmu mati, Syifa!" Kuangkat sebelah kanan tenganku."Hey, apa yang kau lakukan pada Ibu ku!" Tiba-tiba suara Mas Prabu menyela, hingga menghentikan aksiku yang ingin menampar mulut yang begitu tajam itu. Segera kuturunkan tanganku yang mengambang di udara.
Mas Prabu menatap ibu. "Bagaimana, Bu?""Sebelumnya Ibu ingin bertanya dulu. Apa kamu nggak Kb waktu Ibu memintamu untuk menunda momongan?""Mas Prabu tidak mengizinkan Syifa untuk ikut KB, Bu. Takutnya, kalau Syifa KB, itu akan mempengaruhi hormon tubuh. Jika kelak akan program momongan bisa susah mendapatkannya, Bu." Ibu mertua mendelik."Jadi kalian memang sengaja tak melakukan perintah Ibu?" tanya Ibu dengan geram."Bukan gitu, Bu. Mas Prabu menggunakan kontrasepsi," jawabku dengan jujur."Lah, jika Prabu saja menggunakan kontrasepsi mana mungkin kamu bisa hamil Syifa? Nggak ada kasus bisa kebobolan jika lelaki pakai pengaman!" ucapnya dengan mata terus melotot kearahku."Iya, Syifa tahu, Bu. Apa Ibu tak mengingat kapan Ibu mengatakan keinginan Ibu itu? Waktu itu pernikahan kami sudah berjalan empat hari, Bu. Sebelum itu, kami ta
Kedua telingaku mendengar suara deru langkah mendekatiku. Ingin menoleh, tapi rasanya tak sanggup. Aku masih tak percaya kalau Mas Prabu tega menamparku, apalagi di depan Ibu Mertua yang jelas-jelas sangat membenciku."Akan kubuat Prabu segera menceraikan mu!" bisik Ibu Mertua di telinga kananku. Tubuhku kembali tersentak. Tamparan dari tangan kekar itu belum sembuh, Ibu kembali menaburkan garam di luka hatiku.Perih, itulah yang ku rasakan saat ini. Sakit tak berdarah, itulah sebutannya. Kuhembuskan nafas berat berharap sesak di dada sedikit berkurang."Kenapa Ibu melakukan itu? Kenapa Ibu sepertinya sangat membenciku, Bu? Apa salahku?" Tawa Ibu menggelegar memenuhi isi ruangan."Kau menikah dengan putraku. Itu kesalahan fatal buatmu, Syifa. Dan akan ku manfaatkan badai yang sedang menerjang rumah tanggamu untuk membuat Prabu segera menceraikan mu!" ancam Ibu mertua menatapku dengan nyalang.
Kubuka daun pintu, dengan pelan aku melangkah menuju dapur. Saat langkahku semakin dekat, dekat, dan mendekat dengan dapur. Sayup-sayup aku mendengar seperti ada seseorang yang sedang bercengkrama. Aku berdiri dibalik tembok untuk menyembunyikan tubuhku. Dengan perasaan penasaran, ku lihat orang itu. Mataku menyipit saat melihat Ibu Mertua sedang duduk di kursi meja mekan sambil bercengkrama melalui sambungan telepon. Padahal hari sudah tengah malam, tapi Ibu Mertua masih menghubungi seseorang. Apakah ada suatu hal yang sangat penting? Sayup-sayup aku mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Ibu Mertua. Sangat lirih, tapi masih terdengar jelas di kedua indra pendengaranku. "Iya, kamu tenang saja. Kamu serahin sama Tante, secepatnya akan Tante buat wanita itu keluar dari rumah ini. Kamu tunggu saja kabar dari tant
Brak! Brak! Brak! Tubuhku menggeliat, mataku mengerjap saat mendengar ketukan pintu. Lebih tepatnya gedoran. Kuregangkan otot-otot tubuhku. "Syifa, bangun kamu! Dasar menantu pemalas!" "Iya, Bu. Sebentar!" jawabku dengan malas. Kedua netraku membelalak saat melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Pantas saja Ibu mengganggu tidurku, pasti ia mencari sarapan yang biasanya sudah terhidang dengan rapi di meja makan. Memang, setelah shalat subuh aku merebahkan tubuh ku lagi. Eh, malah ketiduran. Kusingkap selimut yang menghangatkan tubuhku disaat aku terlelap, aku beringsut dari ranjang. Dengan langkah gontai, dan mulut yang berkali-kali menguap, aku berjalan untuk membuka pintu. Ibu mertua tak hentinya menggedor-gedor daun pintu. Kuputar anak kun
Dua minggu sudah Mas Prabu mendiamkan ku, selama itu pula, ia tak pernah sekamar denganku. Bahkan, menanyakan soal kehamilanku pun tak pernah. Mungkin ia benar-benar yakin dengan pendapatnya, kalau janin ini bukan darah dagingnya. Sudah berkali-kali pula aku mencoba mengajak Mas Prabu untuk periksa kembali ke dokter kandungan, tapi, lagi-lagi ia tak pernah menuruti keinginanku. Satu atap tapi tak pernah saling menyapa, begitulah suasana setiap hari di rumah ini. Aku selalu berpura-pura terlihat baik-baik saja, walaupun sesak terasa di dalam dada. Kupesan taksi online untuk mengantarkan aku pulang. Ya, aku sedang berbelanja sayur di super market yang jaraknya rumayan jauh dari rumah. Butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai disini. ******* "Assalamualaikum," ucapku saat aku sudah berada di depan pintu. Tak ada jawaban,
Jujur, tak ada lagi air mata yang keluar. Air mata ini terlalu berharga untuk menangisi seorang pengkhianat. Cukup aku yang tahu betapa sakitnya hati ini. Mereka, para penghianat tak perlu tahu betapa sakit dan pedihnya luka yang mereka torehkan. Satu jam sudah kubaringkan tubuhku, selama itu pula kutenangkan diriku. Hingga mampu mengurangi sesak di dalam kalbu. Aku beringsut dari ranjang, berdiri di depan cermin. Kuamati wajahku. "Oke, Mas, akan kubalas rasa sakit yang telah kau torehkan. Kau telah mengkhianati cinta suci ini. Lihatlah, begitu dahsyatnya luka yang kau ciptakan, hingga mampu mengikis namamu yang sempat bertahta di hatiku. Rasa cinta yang sempat tumbuh subur, kini telah berganti benci. Benci yang teramat sangat," ucapku di depan kaca, seakan-akan sedang berbicara dengan target utamaku. Berbagai rencana sudah kususun dengan sempurna. Kurakit bom sedemikian rupa. Hingga ti
Aku berlalu meninggalkan Sesil, baru beberapa langkah, tiba-tiba kedua netraku melihat seseorang yang sedang berdiri mengawasi kami. "Mau kamu apain calon menantuku?" taya Ibu Mertua dengan penuh penekanan di kalimat calon menantu. Kuputar bola mataku dengan malas. Ibu mertua menghampiri Sesil yang sedang berdiri. "Kamu nggak diapa-apain sama dia, kan?" tanya Ibu mertua dengan melirik sinis ke arahku. Sesil menggeleng. "Kalau dia menyakitimu, bilang sama Tante!" "Iya, Tante," jawabnya dengan nada dibuat semanja mungkin. "Bagaimana, Bu? Apa ada yang terluka dengan calon menantu kesayangannya?" ucapku dengan nada mengejek. Ibu mertua mencebikkan mulutnya. "Pergi kamu!" Segera kuputar tubuhku. "Hey, tunggu!" "Ada apa lagi, Bu?" "Besok pagi ada acara kumpul-ku