Aku mulai melangkah, ingin menghampiri Mayang yang sedang sarapan di waktu menjelang malam.
Saat baru saja melangkah, suara seseorang berteriak memanggil namaku.
"Prabu!"
"Prabu!"
Teriak seseorang yang suaranya amat kukenali. Aku memutar tubuh, ternyata benar dugaanku. Dia adalah Ilham. Tapi kenapa ia datang dengan wajah merah padam seperti menahan amarah? Apalagi kedua tangannya terkepal dengan kuat.
Ilham mendekatiku dengan napas yang memburu, terlihat dari dadanya yang naik turu.
"Ada apa, Ham?"
Bugh!
Tiba-tiba Ilham menonjok wajahku.
Bugh!
"Dasar g!la! Baru datang asal nonjok, kamu!" hardikku setelah kubalas tinjuannya itu.
Kedua tangan I
"Kalau begitu, saya permisi dulu, Dok. Terima kasih atas waktu dan penjelasannya." Aku beranjak lalu menyalam dokter Rita kemudian melangkah pergi dengan beribu penyesalan.Andai aku mencari tahu semuanya terlebih dahulu, pasti saat ini aku menjadi lelaki yang paling beruntung, hidup bahagia bersama anak dan istriku.Aku melangkah dengan perasaan tak menentu. Lalu apa yang harus kulakukan, Tuhan? Apakah aku harus mencari Syifa dan memintanya untuk kembali? Lalu, bagaimana dengan Ibu jika Syifa mau kembali ke pelukanku? Ah, soal Ibu itu belakangan, yang terpenting aku bisa bertemu dengan darah dagingku, syukur-syukur Syifa berkenan kembali padaku.Kutarik pintu mobil, bergegas aku masuk dan duduk di kemudi. Kusandarkan tubuhku, kuremas dengan kasar rambutku. Lalu kemana aku harus mencari Syifa? Aku tak tahu dimana ia tinggal."Ilham?! Ya, dia pasti tahu
Baru saja aku turun dari mobil, kulihat ada mobil asing terparkir cantik di halaman rumah. Mataku menyipit, mobil siapakah itu?Dengan rasa penasaran, aku kembali melangkah, sayup-sayup aku mendengar ada suara tangisan dari dalam rumah. Jantung ini berdetak lebih kencang, seakan-akan ingin keluar dari tempatnya.Aku terpaku, dahiku mengernyi saat melihat ada dua orang bertubuh tinggi tegap sedang duduk di ruang tamu. Kepala botak ditambah kumis yang tebal, menambah nilai kesangaran dari kedua tamu tersebut.Tanpa mengucap salam, aku segera mendekat ke arah Ibu dan Mayang, yang sedang sesenggukan karena menangis."Ada apa, Bu?" tanyaku dengan menatap Ibu dan kedua orang berwajah sangar itu secara bergantian."Suruhan orang tua Sesil datang, dan meminta segera mengosongkan rumah!"Deg.
POV Syifa."Fa ... sarapan dulu, gih!""Iya, Bu. Ini masih ganti popok baby Rayhaan," ucapku dengan tangan yang masih memasang popok untuk pangeran kecilku.Atha Rayhaan Shakeil, itulah nama yang kusematkan untuk pangeran kecilku. Dari nama itu, kuberharap pangeran kecilku tumbuh menjadi laki-laki yang baik, berparas tampan dan selalu dijaga oleh Tuhan. Bukankah nama adalah suatu do'a?"Setelah itu jangan lupa sarapan. Supaya baby Rayhaan kenyang kalau nyusu!" ucap Bu Fatimah.Sungguh, aku bersyukur sekali bisa bertemu dengan Bu Fatimah. Bukan kerabat, namun begitu baik dan menyayangiku. Bahkan, setiap malam ia selalu menemaniku bergadang. Ya, baby Rayhaan, setiap malam selalu minta gendong. Kalaupun sudah tertidur lelap, ia akan kembali terbangun jika sudah ditidurkan di atas kasur.Bu Fatimah menghampiriku, lalu merai
5 tahun kemudian."Bunda ... Reyhaan lapar," rengek bocah kecil itu yang tiba-tiba berlari lalu memeluk kedua kaki ku. Bergegas kuhentikan gerakan tanganku, membantu Bu Fatimah membungkus pesanan makanan.Ya, pangeran kecilku saat ini sudah berusia lima tahun. Semakin bertambahnya usia Rayhaan, wajahnya semakin terlihat tampan dan semakin mirip dengan ayah kandungnya.Syukurlah, selama ini kami sudah tak pernah bertemu lagi lelaki itu.Selama lima tahun pula, aku betah hidup menjanda. Entah kenapa, belum ada keinginan untuk membangun kembali mahligai rumah tangga. Sebenarnya berkali-kali Mas Faris memintaku untuk menjadi istrinya, tapi, berkali-kali pula aku menolak pinangannya secara halus.Kulepas dengan perlahan kedua tangan Rayhaan, lalu kusejajarkan dengan tubuhnya. "Reyhaan, lapar?" tanyaku dan Rayhaan mengangguk. 
"Bagaimana kabarmu, Fa?" tanya lelaki yang selama dua tahun ini tak pernah menunjukkan wajahnya di depanku."Alhamdulillah, baik-baik saja," ucapku dengan singkat, meskipun saat ini aku bingung, untuk apa Ilham datang menemuiku. Padahal selama dua tahun belakangan ini, ia tak lagi berkunjung."Reyhaan baik-baik saja?" tanyanya lagi dan aku mengangguk. "Silahkan duduk!""Nggak usah, Fa. Aku hanya sebentar saja datang kesini. Karena memang ada sesuatu yang penting." Ucapan Ilham membuatku mengerutkan kening. Terlihat lelaki itu meraih ranselnya, lalu dengan perlahan membuka tas ransel miliknya. Tak lama kemudian tangannya membawa kertas berwarna coklat.Ilham menyerahkan kertas tersebut, "Dua hari lagi, aku akan menikah. Datang ya!" ucap lelaki itu yang mampu membuatku kaget."Kamu mau menikah?!" tanyaku tak percaya. Lelaki itu mengangg
Lima tahun telah berlalu semenjak pernikahan keduaku. Setelah resmi bercerai dengan Sesil, aku memutuskan untuk menduda. Belum ada keinginan lagi membina rumah tangga, untuk ketiga kalinya.Bukan karena suatu apa, selama ini aku ingin mencari keberadaan Syifa. Aku terus berusaha mencari dirinya, tapi entah kenapa tak kunjung juga aku menemukannya. Padahal, aku yakin, ia masih tinggal di kota ini.Setelah kejadian kedua orang tua Sesil mengambil rumahku secara paksa, aku memutuskan membeli rumah sederhana, yang sekarang menjadi tempat tinggal kami bertiga.Ya, aku tinggal bersama Ibu dan juga Mayang. Setelah kedatangan Mayang untuk pertama kalinya setelah menikah, Mayang sudah tak pernah kembali lagi ke rumah suaminya. Untung saja hanya pernikahan siri, jadi tak susah jika harus bercerai.Apalagi, selama ini Si Romi tak pernah mencari keberadaan Mayang. Bahkan, menghubungi pun katanya juga tak pernah. Memang benar-benar keterlaluan!Meskipun s
Tak berselang lama, telepon kembali berdering. Bergegas kuangkat panggilan itu."Halo," sapaku saat panggilan baru saja kuangkat. "Benar ini dengan Pak prabu, yang mencari keberadaan seorang wanita bernama Syifa?"Bergegas kurubah posisiku menjadi duduk. "Iya, Pak. Benar!" jawabku dengan semangat."Aku tahu dimana perempuan yang kamu cari!" ujar seseorang diseberang sana, yang membuatku tanpa sadar mengulas senyum."Dimana, Pak?" Dengan bersemangat aku menjawab. Tak sabar sekali rasanya ingin bertemu dengan putraku, buah hatiku."Kapan kita bisa bertemu? Lebih cepat lebih baik! Kasihan dia dan anaknya. Setiap hari kerjaannya mulung.""Mulung, Pak?! Apa Bapak yakin?" tanyaku memastikan. Rasanya ragu dengan ucapan seorang lelaki di seberang telepon. Tapi ada kemungkinan juga kalau Syifa menjadi pemulung. Lah, Syifa send
POV Syifa."Assalamualaikum." Suara salam terdengar yang diiringi ketukan halus pada daun pintu."Waalaikum salam," jawabku. Bergegas aku berjalan menuju pintu utama. Aku yakin, dia adalah Mas Faris. Saat langkahku semakin mendekat, entah kenapa jantung terasa berdebar lebih kencang. Apakah aku sedang jatuh cinta untuk kedua kalinya.Kuraih anak kunci, kuputar lalu kutekan handle pintu ke bawah. Perlahan, kubuka daun pintu. Kedua netraku melihat Mas Faris sedang berdiri memunggungi ku.Menyadari kedatanganku, lelaki itu bergegas memutar tubuh. Tatapannya tepat di kedua manik mataku. Pandangan kami saling bertemu. "Syifa," lirihnya yang hampir saja tak terdengar. Mas Faris terus menatapku, tanpa berkedip. Apakah ada yang salah dengan penampilanku? Sorot matanya terus terpancar pada diriku, hingga mampu membuatku salah tingkah. Kubenarkan jilbab yang mungkin saja tidak beran