Dengan langkah panjang dan cepat, aku menghampiri kedua mertuaku yang katanya sudah menungguku.
"Maaf Ma, Pa, lama nunggunya. Masih mandi dulu," ucapku merasa tak enak.
"Duduklah. Ada yang ingin Papa bicarakan."
Aku segera mendaratkan tubuhku disamping Sesil.
"Begini, Prabu ... sebelumnya papa TEKANKAN, Sesil adalah anak kami, kami yang membesarkan dia, kami yang menyekolahkan dia, kami yang merawat dia."
Aku mengangguk mengerti.
"Meskipun, saat ini dia sudah menikah denganmu, meskipun dia menjadi hak kamu, Papa dan Mama ingin agar Sesil berhenti bekerja. Kami ingin Sesil di rumah saja. Tidak capek-capek bekerja. Kamu mengerti?"
"Loh, Pa ... nggak bisa gitu dong! Sesil ingin berkarir terus. Sayang loh, Pah!" protes Sesil.
Aku beranjak dari sofa. Kulangkahkan kaki ini menuju pintu utama. Kutarik handel pintu lalu dengan perlahan kubuka daun pintu.Mataku menyipit, keningku berkerut saat melihat dua orang lelaki bertubuh tegap memakai seragam khas seorang polisi."Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyaku kepada kedua orang polisi tersebut sebelum saya persilahkan untuk masuk."Apa benar ini dengan rumahnya saudari Mayang?" ucap polisi pertama."Benar, Pak! Saya kakaknya. Ada apa ya, Pak?""Siapa yang datang, Prabu?" teriak Ibu."Mari masuk, Pak," ajakku, kedua polisi itu mengangguk lalu berjalan di belakangku."Loh, bapak-bapak polisi ini ada apa ya?" tanya Ibu dengan kening berkerut saat kedua polisi tersebut sudah mendaratkan tubuhnya di sofa.
Bu ..." lirihku. Ibu dan Mayang menoleh kearahku secara bersamaan."Apa kata dokter?""Itu, Bu ... Mayang harus segera melakukan tindakan operasi pengangkatan rahim.""APA?!" teriak Sesil dan juga Ibu secara bersamaan."Kamu jangan asal ngomong, Prabu! Main angkat rahim segala! Memang kau pikir rahim itu seperti jemuran yang bisa main angkat saja?!" sungut Ibu. Sesil menghampiriku dengan sorot mata seperti meminta penjelasan lebih.Aku berjalan ke arah sofa lalu kudaratkan tubuh lelah ini. Kusandarkan tubuhku di kepala sofa. Kuusap wajahku dengan kasar."Dokter sendiri yang bilang, Bu. Dokter mengatakan kalau itulah pilihan yang terbaik demi keselamatan Mayang sendiri!""Bagaimana, Pak, apa sudah diputuskan?" Tiba-tiba suara dokter yang sempat
"Saya ada penawaran untukmu, dan ini tidak merugikan bahkan menguntungkan pihak manapun!"Aku diam."Jadi saya berencana untuk memilih jalan berdamai. Bagaimana? Jika anda terus membawa kasus ini ke jalur hukum, begitu pun dengan apa yang akan kami lakukan! Kami akan menuntut adik anda karena berzina dengan suami orang. Ditambah adik anda yang telah mengancam menantu saya. Bagiamana? Bukankah adik anda akan terlibat dua kasus?" ucap seseibu itu lalu tersenyum sinis.Aku diam. Aku mencoba memikirkan langkah apa yang harus aku ambil.Apakah jalur damai menjadi pilihan yang terbaik? Mayang terbaring lemah di atas ranjang, sampai-sampai kehilangan rahimnya, lalu pelakunya bisa bebas melakukan apapun.Kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan."Bagaimana?" ucap ibu itu y
"Bu...."Aku segera beranjak dari sofa saat mendengar suara Mayang memanggilku."Kamu sudah sadar, Sayang. Alhamdulillah." Kupeluk dengan pelan tubuh putriku.Lega sekali rasanya saat Mayang sudah tersadar dari tidur panjangnya."Bu, kenapa Mayang ada disini?" ucapnya sembari pandangannya menatap sekeliling kamar ini."Kamu sedang tidak sehat, Sayang. Makanya kamu di rawat.""Apa karena kejadian kemarin Ibu? Maafkan Mayang, Bu!" Kedua netra Mayang berkaca-kaca. Tak lama kemudian, air mata yang sempat menganak sungai, kini lirih seketika.Kuusap dengan perlahan. "Nggak apa-apa. Yang penting kamu segera sehat!" ucapku menenangkannya agar tak terlarut dalam rasa bersalahnya."Assalamualaikum ..." Terdengar suara dari pintu. Aku menoleh, ternyata para tetangga yang datang.
POV Ibu Prabu."Apa kabarnya, Bu?"Deg.Jantung ini berdetak lebih kencang saat mendengar suara yang begitu tak asing. Aku memutar tubuh, di belakangku sudah ada Syifa yang berdiri dengan mengulas senyum. Senyum yang begitu memuakkan."Mau apa kamu disini, ha?""Aku hanya ingin menjenguk Ibu. Hanya itu saja, nggak lebih!" ucapnya perempuan yang sangat kubenci."Pergi kamu dari rumahku!" bentakku. Bukannya pergi ia malah mengulas senyum."Memang hati ibu sekeras batu. Ibu sudah diberi teguran oleh Tuhan, tapi Ibu tak sadar juga!" cerocosnya lalu tersenyum sungging."Kau kemari hanya untuk menertawakanku? Pergi dari rumahku!"Suara tawa Syifa menggelegar memenuhi ruang tamu rumah ku."Prabuuuuu, usir perempuan itu!" teriakku. Namun yang kupanggil tak kunjung datang."Jangan teriak-teriak don
Kembali ke kehidupan Syifa. POV ini dibuat setelah pertemuan Syifa dan prabu di rumah sakit (sebelum pernikahan Mayang)********Berkali-kali kuhembuskan napas kasar. Dada ini terasa begitu sesak. Sesak yang tiada tara. Munculnya Mas Prabu dihadapanku, sama seperti mengorek luka lama.Ya, selama keluar dari rumah itu, sedikit demi sedikit aku mampu melupakan sosok lelaki yang pernah membersamaiku itu. Meskipun belum sepenuhnya."Kamu yang sabar. Tenangkan pikiranmu! Emosi nggak baik untuk tumbuh kembang janinmu!" ucap Ilham dan aku mengangguk lemah sembari menghembuskan napas panjang."Maafkan soal yang tadi. Kamu jadi ikut terbawa dalam masalahku!" ucapku lemah dengan kepala menunduk.Ya, semenjak pertemuan di mushola, Ilham sering kali menghubungiku. Padahal aku tak pernah merespon dirinya. Entah dari mana juga ia t
Tiba-tiba lelaki itu menghentikan ucapannya saat kedua netranya menatapku yang sedang duduk disamping Bu Fatimah.Kedua mata itu terus menatapku, hingga membuatku merasa begitu tak nyaman."Nak Faris!" ucap Ibu yang sepertinya tahu isi hatiku."Eh, iya, Mak. Bagaimana kabarnya, Mak? Dua Minggu nggak makan masakan emak!" ucap lelaki itu sembari mengulas senyum, dengan sesekali melirik ke arahku."Mau makan apa? Buruan! Sebentar lagi kami akan tutup!""Seperti biasanya, Mak!"Sepertinya lelaki yang bernama Faris itu memang dekat dengan Bu Fatimah. Lelaki itu sepertinya baik, sopan dan juga ... ih, apasih aku ini. Bisa-bisanya memuji lelaki lain."Ingat Syifa ... ingat! Kamu belum resmi bercerai," Gerutuku sembari memukul pelan dahiku."Kamu kenapa? Pusing?" t
POV MayangHari ini hari yang paling membuatku bahagia. Ya, sore ini acara akad nikah pernikahanku dengan Mas Romi, calon suamiku.Meskipun kemarin sempat masuk rumah sakit karena di hajar oleh istri pertama calon suamiku, bagiku tak mengapa, toh pada akhirnya aku berhasil mendapatkan Mas Romi juga.Ya, Mas Romi sebenarnya lelaki beristri. Awalnya aku juga tak tahu perihal itu. Tetapi, suatu hari Mas Romi berkata jujur. Ia memberikanku dua pilihan. Tetap melanjutkan hubungan ini secara sembunyi-sembunyi, atau memilih mengakhiri semuanya. Karena aku sudah terlanjur cinta dengannya, akhirnya aku memilih menjadi simpanan Mas Romi. Semua itu tak mengapa, yang terpenting aku bisa tetap memiliki lelaki itu.Sempat down saat aku tahu, ternyata rahimku diangkat karena keguguran dan pendarahan yang begitu hebat. Tapi untunglah calon suamiku
POV Prabu.***Kata syukur tak hentinya kupanjatkan, hari ini acara ijab Qabul telah usai. Ya, satu bulan setelah aku melamar Sesil, kami segera menentukan tanggal berapa pernikahan akan kami adakan. Dan pilihan kami jatuh pada hari ini. Hubungan ini kami bangun dengan awal yang baik, dengan berharap Tuhan pun juga memberikan kebahagiaan dan kebaikan dalam rumah tangga kami. ****Satu tahun telah berlalu, usia pernikahan kami sudah satu tahun. Selama ini Sesil sudah menjadi sosok istri yang begitu hormat dan patuh padaku. Menjadi sosok istri yang kuidamkan. Jilbab selalu membingkai wajahnya dan menutupi mahkotanya, aku suka.Namun sayangnya, di usia satu tahun pernikahan Tuhan tak kunjung menitipkan keturunan untukku di rahim Sesil. Tapi itu tak mengapa. Kami pun juga tak pernah mempermasalahkan soal itu. Bahkan kami pun tak pernah membicarakan soal hal sensitif itu.
POV Prabu.*Satu Tahun Kemudian****Satu tahun telah berlalu. Selama itu pula aku terus mencoba mendekati Sesil. Namun siapa sangka, dia menjadi sosok perempuan yang mampu menjaga marwahnya sebagai seorang perempuan. Bahkan saat aku berkunjung ke rumah nya pun aku hanya disuruh duduk di teras rumah. Ia sama sekali tak mempersilahkan aku masuk ke dalam rumah.Sikapnya yang seperti itu mampu membuatku semakin mengagumi sosok akan dirinya. Ia pun juga menjadi perempuan yang pekerja keras. Usaha yang telah dibangun selama satu tahun olehnya kini mulai menampakkan hasilnya. Setahu aku, ia tak pernah patah semangat. Beberapa bulan merintis usaha toko roti selalu mengalami kerugian. Kalau pun tak rugi, hanya sekedar balik modal.Kini aku semakin percaya, kalau usaha tak akan pernah mengkhianati hasil. Kini Sesil telah memilih tinggal di rumah yang ia sewa. Ia sudah tak mau lagi tinggal di rumahku. Tak enak, be
POV Sesil***Suara ponsel berdering, namun bukan ponsel milikku. Ternyata ponsel Rina lah yang berdering. Beberapa detik kemudian benda pipih itu ia dekatkan di telinga kanannya."Halo, Bu," ucap Rina dengan seseorang yang ada di seberang telepon.Hening."Sudah di rumah?" Dengan nada yang terdengar sedikit kaget, Rina kembali berucap.Hening."Iya. Sebentar. Tadi dia nggak bilang mau datang ke rumah, makanya aku janjian sama Sesil."Hening."Baiklah, aku segera pulang, Bu." Terlihat Rina menjauhkan kembali ponsel dari telinganya. "Sil, maaf ya aku pulang dulu. Temen aku tiba-tiba sudah nyampek rumah. Padahal dia tidak bilang apa pun kalau mau datang ke rumah," ucap Rina sembari memasukkan ponselnya ke dalam tasnya."Ok, nggak apa-apa," jawabku."Nggak usah. Biar aku yang bayar. Kan aku yang ajak kamu ketemuan," ucapku sembari mendorong tangan Rina yang men
Pov Prabu****Dua Minggu kemudian*Pagi yang begitu cerah. Para kerabat dekat silih berganti berdatangan untuk menghadiri acara pernikahan Mayang. Ada rasa haru di dalam kalbu. Aku berjalan menuju di mana Mayang berada.Aku melangkah pelan. Saat aku sudah berada di ambang pintu kamar Mayang. Ternyata di sana ada Ibu dan Mayang yang sedang saling berpelukan. "Sudah siap, May?" ucapanku membuat pelukan itu terurai. Mereka berdua menoleh ke arahku secara serentak. Bahkan terlihat mereka berdua masing-masing menyeka sudut matanya. "Keluarga Ricko sudah tiba," ucapku. Mayang dan Ibu saling berpandangan. Terlihat Ibu meraih tangan Mayang dan sedikit meremasnya, seolah-olah seperti memberi kekuatan. "Ayo kita ke depan," ucap Ibu yang dibalas anggukan oleh Mayang. "Dada Mayang berdebar, Bu.""Ah, kamu seperti gadis yang baru pertama kali menikah
POV Prabu.***Acara berjalan sesuai yang kami harapkan, hingga mendapatkan keputusan pernikahan akan diadakan dua minggu lagi dan kedua belah calon mempelai memutuskan untuk mengadakan acara sederhana saja. Yaitu hanya sekedar acara ijab Qabul dan syukuran yang dihadiri kerabat dekat saja.Hati ini terasa lega saat ternyata Ricko serius dengan apa yang diucapkannya. Serius kalau ia benar-benar ingin mempersunting Mayang. Satu yang akan selalu kuingat akan janjinya 'Penggal kepala saya jika Mayang kembali pulang dalam keadaan menangis!'Ternyata ada sosok lelaki yang begitu berani. Mudah-mudahan saja kelak ia tak akan pernah mengecewakan Mayang, apalagi hingga membuatnya menangis agar aku tak susah payah untuk memenggal kepalanya."Kak Sesiiiilll ...." Teriakan Mayang menyadarkan lamunanku. Terlihat Mayang berlari ke arah Sesil lalu menghamburk
POV Prabu.***Mobil kembali melesat membelah jalan raya yang terbilang lumayan ramai. Tanpa sadar senyum di bibir kembali merekah kala mengingat wajah cantik yang terbingkai oleh hijab. Debaran aneh terasa di dalam dada. Debaran yang tak pernah kurasa, kala wanita itu masih sah menjadi milikku.Apakah aku jatuh cinta? Atau hanya sekedar mengagumi perubahan dari penampilannya?Sesaat kuusap wajahku, berharap bayang-bayang wajah Sesil tak lagi menari-nari di pelupuk mataku. Kembali aku fokus membelah jalan raya.Tak berselang lama aku telah sampai di tempat tujuanku. Kuparkir kendaraan roda empatku di tempat biasanya. Bergegas kubuka pintu mobil.Pintu kuketuk dengan diiringi salam.Satu kali.Dua kali.Tak berselang lama daun pintu terbuka, hingga terlihatlah sosok perempuan yang pernah bert
POV Prabu.*Keesokan hari****Jam sudah menunjukkan pukul 04.30. Setelah kulaksanakan dua rakaat shalat subuh, kurebahkan kembali tubuhku. Namun tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Dan tak berselang lama, suara Ibu memanggil namaku. Bergegas aku bangkit dan berjalan membuka daun pintu. "Ada apa, Bu?" tanyaku saat pintu sudah terbuka. "Barusan Sesil mengatakan, kalau orang tua Riko akan ke rumah besok pukul tujuh malam.""Malam ya, Bu? Jadi besok Prabu bisa bekerja terlebih dahulu," jawabku dan Ibu mengangguk. "Oh ya, Bu. Bentar." Aku kembali berjalan, menuju meja yang terletak di samping ranjang. Kubuka laci paling atas, kuambil amplop coklat di sana. Kubawa amplop itu dan kembali menemui Ibu. "Ini, Bu, uang untuk persiapan lamaran Mayang. Cukup acara lamaran seperti pada umumnya saja, uang ini pasti cukup," ucapku sembari menyerahk
Pov prabu.***Saat aku sedang berbincang dengan Sesil, ponselku berdering. Kuambil benda pipih itu, dan nama Ibu terpampang sebagai pemanggilnya, bergegas kuangkat."Halo, Bu ....""Kamu dimana? Cepetan pulang ya. Sekarang!" jawab Ibu dari seberang telepon."Pulang? Sekarang?""Iya. Ada hal yang sangat penting," jawab Ibu yang membuatku penasaran. Padahal sebelum kutinggal semua baik-baik saja."Penting? Soal apa, Bu?" jawabku."Nanti saja sampai di rumah. Sekarang pulang lah!""Baiklah, Bu. Prabu pulang sekarang!" Panggilan telepon dari Ibu kumatikan, dan kumasukkan kembali benda pipih itu ke dalam saku.Kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan.
"Ada apa, Mas?" tanyaku saat aku menoleh dan mendapati Mas Prabu berdiri di belakangku."Yuk aku antarkan pulang. Sedari tadi nunggu taksi nggak datang-datang, kan?""Nggak usah, Mas. Ini aku mau pesan taksi online.""Nggak boleh nolak niat baik seseorang.""Tapi ....""Tapi kenapa?" ucap Mas Prabu.Akhirnya kuceritakan semua permasalahan yang terjadi padaku. Soal kematian Mama dan Papa. Soal semua harta yang telah diambil oleh pemiliknya secara paksa."Tinggalah di rumahku itu.""Nggak usah, Mas. Biar kucari kontrakan saja untuk sementara waktu.""Baiklah. Yuk aku temani." Tanpa menunggu jawabanku, Mas Prabu bergegas melangkah meninggalkanku. Tubuh lelaki