Bu ..." lirihku. Ibu dan Mayang menoleh kearahku secara bersamaan.
"Apa kata dokter?"
"Itu, Bu ... Mayang harus segera melakukan tindakan operasi pengangkatan rahim."
"APA?!" teriak Sesil dan juga Ibu secara bersamaan.
"Kamu jangan asal ngomong, Prabu! Main angkat rahim segala! Memang kau pikir rahim itu seperti jemuran yang bisa main angkat saja?!" sungut Ibu. Sesil menghampiriku dengan sorot mata seperti meminta penjelasan lebih.
Aku berjalan ke arah sofa lalu kudaratkan tubuh lelah ini. Kusandarkan tubuhku di kepala sofa. Kuusap wajahku dengan kasar.
"Dokter sendiri yang bilang, Bu. Dokter mengatakan kalau itulah pilihan yang terbaik demi keselamatan Mayang sendiri!"
"Bagaimana, Pak, apa sudah diputuskan?" Tiba-tiba suara dokter yang sempat
"Saya ada penawaran untukmu, dan ini tidak merugikan bahkan menguntungkan pihak manapun!"Aku diam."Jadi saya berencana untuk memilih jalan berdamai. Bagaimana? Jika anda terus membawa kasus ini ke jalur hukum, begitu pun dengan apa yang akan kami lakukan! Kami akan menuntut adik anda karena berzina dengan suami orang. Ditambah adik anda yang telah mengancam menantu saya. Bagiamana? Bukankah adik anda akan terlibat dua kasus?" ucap seseibu itu lalu tersenyum sinis.Aku diam. Aku mencoba memikirkan langkah apa yang harus aku ambil.Apakah jalur damai menjadi pilihan yang terbaik? Mayang terbaring lemah di atas ranjang, sampai-sampai kehilangan rahimnya, lalu pelakunya bisa bebas melakukan apapun.Kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan."Bagaimana?" ucap ibu itu y
"Bu...."Aku segera beranjak dari sofa saat mendengar suara Mayang memanggilku."Kamu sudah sadar, Sayang. Alhamdulillah." Kupeluk dengan pelan tubuh putriku.Lega sekali rasanya saat Mayang sudah tersadar dari tidur panjangnya."Bu, kenapa Mayang ada disini?" ucapnya sembari pandangannya menatap sekeliling kamar ini."Kamu sedang tidak sehat, Sayang. Makanya kamu di rawat.""Apa karena kejadian kemarin Ibu? Maafkan Mayang, Bu!" Kedua netra Mayang berkaca-kaca. Tak lama kemudian, air mata yang sempat menganak sungai, kini lirih seketika.Kuusap dengan perlahan. "Nggak apa-apa. Yang penting kamu segera sehat!" ucapku menenangkannya agar tak terlarut dalam rasa bersalahnya."Assalamualaikum ..." Terdengar suara dari pintu. Aku menoleh, ternyata para tetangga yang datang.
POV Ibu Prabu."Apa kabarnya, Bu?"Deg.Jantung ini berdetak lebih kencang saat mendengar suara yang begitu tak asing. Aku memutar tubuh, di belakangku sudah ada Syifa yang berdiri dengan mengulas senyum. Senyum yang begitu memuakkan."Mau apa kamu disini, ha?""Aku hanya ingin menjenguk Ibu. Hanya itu saja, nggak lebih!" ucapnya perempuan yang sangat kubenci."Pergi kamu dari rumahku!" bentakku. Bukannya pergi ia malah mengulas senyum."Memang hati ibu sekeras batu. Ibu sudah diberi teguran oleh Tuhan, tapi Ibu tak sadar juga!" cerocosnya lalu tersenyum sungging."Kau kemari hanya untuk menertawakanku? Pergi dari rumahku!"Suara tawa Syifa menggelegar memenuhi ruang tamu rumah ku."Prabuuuuu, usir perempuan itu!" teriakku. Namun yang kupanggil tak kunjung datang."Jangan teriak-teriak don
Kembali ke kehidupan Syifa. POV ini dibuat setelah pertemuan Syifa dan prabu di rumah sakit (sebelum pernikahan Mayang)********Berkali-kali kuhembuskan napas kasar. Dada ini terasa begitu sesak. Sesak yang tiada tara. Munculnya Mas Prabu dihadapanku, sama seperti mengorek luka lama.Ya, selama keluar dari rumah itu, sedikit demi sedikit aku mampu melupakan sosok lelaki yang pernah membersamaiku itu. Meskipun belum sepenuhnya."Kamu yang sabar. Tenangkan pikiranmu! Emosi nggak baik untuk tumbuh kembang janinmu!" ucap Ilham dan aku mengangguk lemah sembari menghembuskan napas panjang."Maafkan soal yang tadi. Kamu jadi ikut terbawa dalam masalahku!" ucapku lemah dengan kepala menunduk.Ya, semenjak pertemuan di mushola, Ilham sering kali menghubungiku. Padahal aku tak pernah merespon dirinya. Entah dari mana juga ia t
Tiba-tiba lelaki itu menghentikan ucapannya saat kedua netranya menatapku yang sedang duduk disamping Bu Fatimah.Kedua mata itu terus menatapku, hingga membuatku merasa begitu tak nyaman."Nak Faris!" ucap Ibu yang sepertinya tahu isi hatiku."Eh, iya, Mak. Bagaimana kabarnya, Mak? Dua Minggu nggak makan masakan emak!" ucap lelaki itu sembari mengulas senyum, dengan sesekali melirik ke arahku."Mau makan apa? Buruan! Sebentar lagi kami akan tutup!""Seperti biasanya, Mak!"Sepertinya lelaki yang bernama Faris itu memang dekat dengan Bu Fatimah. Lelaki itu sepertinya baik, sopan dan juga ... ih, apasih aku ini. Bisa-bisanya memuji lelaki lain."Ingat Syifa ... ingat! Kamu belum resmi bercerai," Gerutuku sembari memukul pelan dahiku."Kamu kenapa? Pusing?" t
POV MayangHari ini hari yang paling membuatku bahagia. Ya, sore ini acara akad nikah pernikahanku dengan Mas Romi, calon suamiku.Meskipun kemarin sempat masuk rumah sakit karena di hajar oleh istri pertama calon suamiku, bagiku tak mengapa, toh pada akhirnya aku berhasil mendapatkan Mas Romi juga.Ya, Mas Romi sebenarnya lelaki beristri. Awalnya aku juga tak tahu perihal itu. Tetapi, suatu hari Mas Romi berkata jujur. Ia memberikanku dua pilihan. Tetap melanjutkan hubungan ini secara sembunyi-sembunyi, atau memilih mengakhiri semuanya. Karena aku sudah terlanjur cinta dengannya, akhirnya aku memilih menjadi simpanan Mas Romi. Semua itu tak mengapa, yang terpenting aku bisa tetap memiliki lelaki itu.Sempat down saat aku tahu, ternyata rahimku diangkat karena keguguran dan pendarahan yang begitu hebat. Tapi untunglah calon suamiku
"Maaf, May. Hari ini Mas di kamar Revi. Kalau Revi mengizinkan, Mas baru akan bermalam disini!" ucapnya dengan enteng yang membuat kedua mataku membelalak dan bibir melongo sempurna."Apa-apaan, kamu, Mas!? Aku ini juga istrimu, kenapa kamu menunggu persetujuan dari istri tuamu itu hanya untuk bermalam denganku?" ucapku dengan dada bergemuruh hebat."Maaf, May. Mas tidak bisa berbuat apapun!" ucapnya dengan raut wajah nelangsa."Lalu kenapa kamu menikahiku, Mas, jika pada akhirnya aku hidup seperti ini!?"Mas Romi kembali berjalan mendekatiku."Mas juga tak tahu bakal seperti ini jadinya. Mas kira Revi dan juga Mama benar-benar menerimamu! Kamu harusnya juga bersyukur, aku masih mau menikahimu," sungut lelaki itu tak terima.Aku mendengkus kasar.&nb
POV Syifa***"Berkas-berkas sudah kamu bawa semua, Fa?" tanya Bu Fatimah saat aku baru saja sampai di warung."Ini sudah Syifa bawa semuanya," jawabku sembari menunjukkan map yang ada di tanganku.Akhirnya kulakukan kegiatan seperti biasanya, membantu Bu Fatimah. Hari ini warung rasanya ramai sekali, membuat badan terasa sedikit penat. Tapi aku bersyukur, itu artinya, pendapatan Bu Fatimah juga meningkat dan tak rugi untuk menggaji ku."Semenjak kamu kerja disini, warung semakin ramai," ucap Bu Fatimah saat kami sedang duduk di kursi. Mengistirahatkan tubuh yang lelah."Alhamdulillah, Bu. Memang masakan Bu Fatimah top markotop," ucapku sembari mengacungkan dua jempol."Ah, kamu bisa saja.""Assalamualaikum.""Waalaikum salam," ucapku dan B