POV Syifa
*
*
*
"Berkas-berkas sudah kamu bawa semua, Fa?" tanya Bu Fatimah saat aku baru saja sampai di warung.
"Ini sudah Syifa bawa semuanya," jawabku sembari menunjukkan map yang ada di tanganku.
Akhirnya kulakukan kegiatan seperti biasanya, membantu Bu Fatimah. Hari ini warung rasanya ramai sekali, membuat badan terasa sedikit penat. Tapi aku bersyukur, itu artinya, pendapatan Bu Fatimah juga meningkat dan tak rugi untuk menggaji ku.
"Semenjak kamu kerja disini, warung semakin ramai," ucap Bu Fatimah saat kami sedang duduk di kursi. Mengistirahatkan tubuh yang lelah.
"Alhamdulillah, Bu. Memang masakan Bu Fatimah top markotop," ucapku sembari mengacungkan dua jempol.
"Ah, kamu bisa saja."
"Assalamualaikum."
"Waalaikum salam," ucapku dan B
Tiga Minggu Kemudian."Ayo kita pergi, jadwal sidangnya jam sembilan. Nanti keburu terlambat!" ajak Mas Faris."Aku berangkat sendiri saja, Mas," ucapku berusaha menolak halus."Sama aku saja, yuk. Naik montor, pasti nggak kena macet!" sela Ilham.Ya, kedua lelaki itu sudah berada di depan gerbang kos-kosan ku.Saat aku keluar kos untuk menunggu taksi online yang sudah ku order, dahiku mengernyit saat melihat dua orang lelaki itu sudah berdiri di depan gerbang.Kemarin Ilham memang sempat bertanya melalui pesan singkat kapan jadwal sidangnya, kukira hanya sekedar bertanya, eh, pagi ini dia sudah berada disini. Padahal sejak kedatangan terakhirnya waktu memberiku susu hamil, ia tak pernah berkunjung lagi."Loh, nggak bisa gitu dong. Syifa ini klien saya, jadi harus berangkat dengan saya
Hari ini tubuh terasa begitu lelah, mungkin karena bawa'an hamil, jadi gampang sekali merasa letih. Kurebahkan tubuhku di ranjang yang tidak terlalu besar ini. Kuelus perut yang sudah terlihat sedikit membuncit.Betapa indahnya takdir Tuhan yang telah diberikan padaku, aku kehilangan sosok suami, namun diberikan pengganti yang jauh lebih istimewa.Saat aku sedang berbaring sembari berusaha memejamkan mataku, terdengar suara ketukan pintu. Aku segera beranjak lalu berjalan menuju pintu. Kuputar anak kunci yang menggantung dan kutarik handel pintu. Kubuka daun pintu, terlihatlah Si Romlah yang sedang berdiri di hadapanku."Ada apa, Rom?""Ada yang nyari, Mbak. Ditunggu di depan gerbang tuh!" ucap Si Romlah sembari telunjuk mengarah ke arah sosok perempuan yang mengenakan gamis coklat dengan warna jilbab yang senada.
"Selamat ya, kamu sudah resmi bercerai dari Mantan suamimu!" ucap Mas Faris saat kami sudah berada diluar ruangan sidang.Ya, hari ini adalah sidang keputusan di gelar. Alhamdulillah, persidangan berjalan dengan lancar sekali. Meskipun ada sedikit rasa sesak, saat mendengar ikrar talak yang diucapkan oleh Mas Prabu, secara langsung. Tidak main-main,Mas Prabu langsung memberikanku talak tiga sekaligus.Meskipun waktu aku keluar rumah sudah kuanggap itu sebuah talak, tapi rasanya berbeda saat mendengar dari mulutnya.Tapi hati ini terasa lega, akhirnya aku terbebas dari ikatan pernikahan secara agama maupun secara negara."Idih, pakek dikasih selamat segala. Sudah seperti mendapatkan reward saja," candaku yang membuat lelaki itu terkekeh."Memang menjadi janda merupakan suatu pencapaian yang harus dikasih selamat sebagai tanda apresiasi?" t
POV Prabu."Astagfirullah, Bu. Apa yang terjadi dengan Sesil?!" pekikku saat aku melihat Sesil terkapar di lantai dengan darah yang sudah memenuhi kedua kakinya.Bergegas kubopong tubuh Sesil. "Sesil tadi jatuh," ucap Ibu dengan lirih. Dengan langkah cepat, aku menuju tempat parkir mobil, pun juga Ibu. Raut wajah tua itu terlihat begitu panik sekali. "Bu, tolong buka pintu mobilnya. Ibu duduk di belakang dengan Sesil ya!" ucapku dan Ibu mengangguk setuju. Dengan pelan, kubaringkan tubuh Sesil dengan paha Ibu sebagai bantalan kepala Sesil.Segera kulajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi, tak tega rasanya mendengar rintihan kesakitan yang dirasakan oleh Sesil. Aku juga tak mau terjadi apa-apa dengan Sesil."Sus, tolong istri saya!" teriakku dengan melangkah cepat. Kedua perawat membawakan brankar, segera kubaringkan tubuh lemah Sesil. Waj
Beberapa bulan kemudian.POV Prabu***"Sayang, bantulah Ibu untuk masak dan bersih-bersih, kasihan kan Ibu mengerjakan semuanya sendiri semenjak Bik Minah minta izin pulang kampung," ucapku saat melihat Sesil sedang memainkan ponsel sambil rebahan.Perempuan yang sudah sah menjadi istri secara agama dan negara itu pun meletakkan ponselnya dengan kasar lalu menatapku dengan sorot mata tak suka."Mas, aku nggak mau kecapean! Gimana mau hamil lagi kalau tiap hari mengerjakan pekerjaan rumah?! Harusnya kamu mikir dong, Mas!"Aku berjalan menghampiri Sesil, lalu duduk di sampingnya. "Kan dokter tidak melarang mengerjakan pekerjaan rumah. Toh hanya membantu Ibu. Mas tidak memintamu mengambil alih semua tugas rumah loh!""Udah deh, Mas! Masih pagi, nggak usah ajak ribut! Bikin mood buruk aja! Sudah dua kali loh, Mas, aku k
POV Syifa.Sembilan bulan sudah usia kandunganku, dan dua Minggu lagi hari perkiraan lahir yang diberikan oleh dokter kandungan. Suka dan duka kulewati dan kunikmati proses kehamilan ini seorang diri. Tapi syukurlah, aku di kelilingi orang-orang baik.Tak sabar sekali rasanya ingin bertemu dengan calon buah hati. Malaikat kecil yang akan melengkapi kebahagiaanku.Sebenarnya Bu Fatimah sudah memintaku untuk tinggal di rumahnya, tapi aku merasa tak enak harus merepotkan orang lain."Kenapa kamu datang ke warung? Sudah Ibu bilang ... kamu ambil libur saja. Bentar lagi udah mau lahiran!" cecar Bu Fatimah saat aku baru saja datang ke warung.Aku berjalan mendekati Bu Fatimah yang sedang menyiapkan berbagai sayuran yang akan di olah. "Di kosan jenuh, Bu. Kalau disini ada temannya. Toh kerjaannya nggak berat juga, Bu,
"Iya, Bu. Syifa pun juga begitu. Apalagi hpl masih dua Minggu lagi." ucapku dengan kedua netra melihat Mas Faris sedang menimang buah hatiku.Namun perhatianku teralihkan saat melihat Mas Prabu sudah berdiri di ambang pintu. Seketika rasa takut mendera."Mas Faris, usir lelaki itu!" teriakku yang membuat Mas Faris seketika menoleh ke arahku."Usir lelaki itu, Mas!" teriakku. Namun tiba-tiba bibir ini menangis histeris. Bergegas Mas Faris memberikan buah hatiku kepada Bu Fatimah."Bu, sembunyikan anakku, Bu! Jangan sampai lelaki itu melihat anakku!" teriakku di sela-sela tangisku."Fa, aku hanya ingin melihat putramu. Kenapa wajahnya begitu mirip denganku? Itu saja, Fa, nggak lebih!" ucap Mas Prabu sembari melangkah."Jangan mendekat kau, Mas! Pergi dari sini! Mas Faris, usir lelaki itu, Mas!" Kuraih benda apapun
"Bu, apa aku terlalu berlebihan dalam menyikapi Ilham?" tanyaku saat kami sudah berada di dalam mobil, yang mulai dilajukan oleh Mas Faris.Aku duduk di barisan kedua bersama Bu Fatimah. Sedangkan Mas Faris dibagian kemudi."Gimana ya, Ibu juga bingung. Ibu memang kurang setuju jika kamu akhirnya bersama dia, tapi, Ilham orang yang pertama kali membantumu saat kesusahan, apalagi selama ini dia begitu baik denganmu.""Tapi menurut Syifa, Ilham sudah keterlaluan, Bu. Apa coba maksudnya mengirimkan foto bayiku ke nomor Mas Prabu," ucapku dengan bibir mengerucut."Ya mungkin maksud Ilham itu baik. Kita kan belum mendengarkan penjelasan Ilham. Mungkin niatnya gini, ini loh anakmu, darah dagingmu, lihatlah wajahnya begitu mirip denganmu, jadi bayi ini anakmu, gitu mungkin maksudnya!""Justru itu yang Syifa takutkan, Bu. Lelaki itu a