Kembali ke kehidupan Syifa. POV ini dibuat setelah pertemuan Syifa dan prabu di rumah sakit (sebelum pernikahan Mayang)
********
Berkali-kali kuhembuskan napas kasar. Dada ini terasa begitu sesak. Sesak yang tiada tara. Munculnya Mas Prabu dihadapanku, sama seperti mengorek luka lama.
Ya, selama keluar dari rumah itu, sedikit demi sedikit aku mampu melupakan sosok lelaki yang pernah membersamaiku itu. Meskipun belum sepenuhnya.
"Kamu yang sabar. Tenangkan pikiranmu! Emosi nggak baik untuk tumbuh kembang janinmu!" ucap Ilham dan aku mengangguk lemah sembari menghembuskan napas panjang.
"Maafkan soal yang tadi. Kamu jadi ikut terbawa dalam masalahku!" ucapku lemah dengan kepala menunduk.
Ya, semenjak pertemuan di mushola, Ilham sering kali menghubungiku. Padahal aku tak pernah merespon dirinya. Entah dari mana juga ia t
Tiba-tiba lelaki itu menghentikan ucapannya saat kedua netranya menatapku yang sedang duduk disamping Bu Fatimah.Kedua mata itu terus menatapku, hingga membuatku merasa begitu tak nyaman."Nak Faris!" ucap Ibu yang sepertinya tahu isi hatiku."Eh, iya, Mak. Bagaimana kabarnya, Mak? Dua Minggu nggak makan masakan emak!" ucap lelaki itu sembari mengulas senyum, dengan sesekali melirik ke arahku."Mau makan apa? Buruan! Sebentar lagi kami akan tutup!""Seperti biasanya, Mak!"Sepertinya lelaki yang bernama Faris itu memang dekat dengan Bu Fatimah. Lelaki itu sepertinya baik, sopan dan juga ... ih, apasih aku ini. Bisa-bisanya memuji lelaki lain."Ingat Syifa ... ingat! Kamu belum resmi bercerai," Gerutuku sembari memukul pelan dahiku."Kamu kenapa? Pusing?" t
POV MayangHari ini hari yang paling membuatku bahagia. Ya, sore ini acara akad nikah pernikahanku dengan Mas Romi, calon suamiku.Meskipun kemarin sempat masuk rumah sakit karena di hajar oleh istri pertama calon suamiku, bagiku tak mengapa, toh pada akhirnya aku berhasil mendapatkan Mas Romi juga.Ya, Mas Romi sebenarnya lelaki beristri. Awalnya aku juga tak tahu perihal itu. Tetapi, suatu hari Mas Romi berkata jujur. Ia memberikanku dua pilihan. Tetap melanjutkan hubungan ini secara sembunyi-sembunyi, atau memilih mengakhiri semuanya. Karena aku sudah terlanjur cinta dengannya, akhirnya aku memilih menjadi simpanan Mas Romi. Semua itu tak mengapa, yang terpenting aku bisa tetap memiliki lelaki itu.Sempat down saat aku tahu, ternyata rahimku diangkat karena keguguran dan pendarahan yang begitu hebat. Tapi untunglah calon suamiku
"Maaf, May. Hari ini Mas di kamar Revi. Kalau Revi mengizinkan, Mas baru akan bermalam disini!" ucapnya dengan enteng yang membuat kedua mataku membelalak dan bibir melongo sempurna."Apa-apaan, kamu, Mas!? Aku ini juga istrimu, kenapa kamu menunggu persetujuan dari istri tuamu itu hanya untuk bermalam denganku?" ucapku dengan dada bergemuruh hebat."Maaf, May. Mas tidak bisa berbuat apapun!" ucapnya dengan raut wajah nelangsa."Lalu kenapa kamu menikahiku, Mas, jika pada akhirnya aku hidup seperti ini!?"Mas Romi kembali berjalan mendekatiku."Mas juga tak tahu bakal seperti ini jadinya. Mas kira Revi dan juga Mama benar-benar menerimamu! Kamu harusnya juga bersyukur, aku masih mau menikahimu," sungut lelaki itu tak terima.Aku mendengkus kasar.&nb
POV Syifa***"Berkas-berkas sudah kamu bawa semua, Fa?" tanya Bu Fatimah saat aku baru saja sampai di warung."Ini sudah Syifa bawa semuanya," jawabku sembari menunjukkan map yang ada di tanganku.Akhirnya kulakukan kegiatan seperti biasanya, membantu Bu Fatimah. Hari ini warung rasanya ramai sekali, membuat badan terasa sedikit penat. Tapi aku bersyukur, itu artinya, pendapatan Bu Fatimah juga meningkat dan tak rugi untuk menggaji ku."Semenjak kamu kerja disini, warung semakin ramai," ucap Bu Fatimah saat kami sedang duduk di kursi. Mengistirahatkan tubuh yang lelah."Alhamdulillah, Bu. Memang masakan Bu Fatimah top markotop," ucapku sembari mengacungkan dua jempol."Ah, kamu bisa saja.""Assalamualaikum.""Waalaikum salam," ucapku dan B
Tiga Minggu Kemudian."Ayo kita pergi, jadwal sidangnya jam sembilan. Nanti keburu terlambat!" ajak Mas Faris."Aku berangkat sendiri saja, Mas," ucapku berusaha menolak halus."Sama aku saja, yuk. Naik montor, pasti nggak kena macet!" sela Ilham.Ya, kedua lelaki itu sudah berada di depan gerbang kos-kosan ku.Saat aku keluar kos untuk menunggu taksi online yang sudah ku order, dahiku mengernyit saat melihat dua orang lelaki itu sudah berdiri di depan gerbang.Kemarin Ilham memang sempat bertanya melalui pesan singkat kapan jadwal sidangnya, kukira hanya sekedar bertanya, eh, pagi ini dia sudah berada disini. Padahal sejak kedatangan terakhirnya waktu memberiku susu hamil, ia tak pernah berkunjung lagi."Loh, nggak bisa gitu dong. Syifa ini klien saya, jadi harus berangkat dengan saya
Hari ini tubuh terasa begitu lelah, mungkin karena bawa'an hamil, jadi gampang sekali merasa letih. Kurebahkan tubuhku di ranjang yang tidak terlalu besar ini. Kuelus perut yang sudah terlihat sedikit membuncit.Betapa indahnya takdir Tuhan yang telah diberikan padaku, aku kehilangan sosok suami, namun diberikan pengganti yang jauh lebih istimewa.Saat aku sedang berbaring sembari berusaha memejamkan mataku, terdengar suara ketukan pintu. Aku segera beranjak lalu berjalan menuju pintu. Kuputar anak kunci yang menggantung dan kutarik handel pintu. Kubuka daun pintu, terlihatlah Si Romlah yang sedang berdiri di hadapanku."Ada apa, Rom?""Ada yang nyari, Mbak. Ditunggu di depan gerbang tuh!" ucap Si Romlah sembari telunjuk mengarah ke arah sosok perempuan yang mengenakan gamis coklat dengan warna jilbab yang senada.
"Selamat ya, kamu sudah resmi bercerai dari Mantan suamimu!" ucap Mas Faris saat kami sudah berada diluar ruangan sidang.Ya, hari ini adalah sidang keputusan di gelar. Alhamdulillah, persidangan berjalan dengan lancar sekali. Meskipun ada sedikit rasa sesak, saat mendengar ikrar talak yang diucapkan oleh Mas Prabu, secara langsung. Tidak main-main,Mas Prabu langsung memberikanku talak tiga sekaligus.Meskipun waktu aku keluar rumah sudah kuanggap itu sebuah talak, tapi rasanya berbeda saat mendengar dari mulutnya.Tapi hati ini terasa lega, akhirnya aku terbebas dari ikatan pernikahan secara agama maupun secara negara."Idih, pakek dikasih selamat segala. Sudah seperti mendapatkan reward saja," candaku yang membuat lelaki itu terkekeh."Memang menjadi janda merupakan suatu pencapaian yang harus dikasih selamat sebagai tanda apresiasi?" t
POV Prabu."Astagfirullah, Bu. Apa yang terjadi dengan Sesil?!" pekikku saat aku melihat Sesil terkapar di lantai dengan darah yang sudah memenuhi kedua kakinya.Bergegas kubopong tubuh Sesil. "Sesil tadi jatuh," ucap Ibu dengan lirih. Dengan langkah cepat, aku menuju tempat parkir mobil, pun juga Ibu. Raut wajah tua itu terlihat begitu panik sekali. "Bu, tolong buka pintu mobilnya. Ibu duduk di belakang dengan Sesil ya!" ucapku dan Ibu mengangguk setuju. Dengan pelan, kubaringkan tubuh Sesil dengan paha Ibu sebagai bantalan kepala Sesil.Segera kulajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi, tak tega rasanya mendengar rintihan kesakitan yang dirasakan oleh Sesil. Aku juga tak mau terjadi apa-apa dengan Sesil."Sus, tolong istri saya!" teriakku dengan melangkah cepat. Kedua perawat membawakan brankar, segera kubaringkan tubuh lemah Sesil. Waj
POV Prabu.***Kata syukur tak hentinya kupanjatkan, hari ini acara ijab Qabul telah usai. Ya, satu bulan setelah aku melamar Sesil, kami segera menentukan tanggal berapa pernikahan akan kami adakan. Dan pilihan kami jatuh pada hari ini. Hubungan ini kami bangun dengan awal yang baik, dengan berharap Tuhan pun juga memberikan kebahagiaan dan kebaikan dalam rumah tangga kami. ****Satu tahun telah berlalu, usia pernikahan kami sudah satu tahun. Selama ini Sesil sudah menjadi sosok istri yang begitu hormat dan patuh padaku. Menjadi sosok istri yang kuidamkan. Jilbab selalu membingkai wajahnya dan menutupi mahkotanya, aku suka.Namun sayangnya, di usia satu tahun pernikahan Tuhan tak kunjung menitipkan keturunan untukku di rahim Sesil. Tapi itu tak mengapa. Kami pun juga tak pernah mempermasalahkan soal itu. Bahkan kami pun tak pernah membicarakan soal hal sensitif itu.
POV Prabu.*Satu Tahun Kemudian****Satu tahun telah berlalu. Selama itu pula aku terus mencoba mendekati Sesil. Namun siapa sangka, dia menjadi sosok perempuan yang mampu menjaga marwahnya sebagai seorang perempuan. Bahkan saat aku berkunjung ke rumah nya pun aku hanya disuruh duduk di teras rumah. Ia sama sekali tak mempersilahkan aku masuk ke dalam rumah.Sikapnya yang seperti itu mampu membuatku semakin mengagumi sosok akan dirinya. Ia pun juga menjadi perempuan yang pekerja keras. Usaha yang telah dibangun selama satu tahun olehnya kini mulai menampakkan hasilnya. Setahu aku, ia tak pernah patah semangat. Beberapa bulan merintis usaha toko roti selalu mengalami kerugian. Kalau pun tak rugi, hanya sekedar balik modal.Kini aku semakin percaya, kalau usaha tak akan pernah mengkhianati hasil. Kini Sesil telah memilih tinggal di rumah yang ia sewa. Ia sudah tak mau lagi tinggal di rumahku. Tak enak, be
POV Sesil***Suara ponsel berdering, namun bukan ponsel milikku. Ternyata ponsel Rina lah yang berdering. Beberapa detik kemudian benda pipih itu ia dekatkan di telinga kanannya."Halo, Bu," ucap Rina dengan seseorang yang ada di seberang telepon.Hening."Sudah di rumah?" Dengan nada yang terdengar sedikit kaget, Rina kembali berucap.Hening."Iya. Sebentar. Tadi dia nggak bilang mau datang ke rumah, makanya aku janjian sama Sesil."Hening."Baiklah, aku segera pulang, Bu." Terlihat Rina menjauhkan kembali ponsel dari telinganya. "Sil, maaf ya aku pulang dulu. Temen aku tiba-tiba sudah nyampek rumah. Padahal dia tidak bilang apa pun kalau mau datang ke rumah," ucap Rina sembari memasukkan ponselnya ke dalam tasnya."Ok, nggak apa-apa," jawabku."Nggak usah. Biar aku yang bayar. Kan aku yang ajak kamu ketemuan," ucapku sembari mendorong tangan Rina yang men
Pov Prabu****Dua Minggu kemudian*Pagi yang begitu cerah. Para kerabat dekat silih berganti berdatangan untuk menghadiri acara pernikahan Mayang. Ada rasa haru di dalam kalbu. Aku berjalan menuju di mana Mayang berada.Aku melangkah pelan. Saat aku sudah berada di ambang pintu kamar Mayang. Ternyata di sana ada Ibu dan Mayang yang sedang saling berpelukan. "Sudah siap, May?" ucapanku membuat pelukan itu terurai. Mereka berdua menoleh ke arahku secara serentak. Bahkan terlihat mereka berdua masing-masing menyeka sudut matanya. "Keluarga Ricko sudah tiba," ucapku. Mayang dan Ibu saling berpandangan. Terlihat Ibu meraih tangan Mayang dan sedikit meremasnya, seolah-olah seperti memberi kekuatan. "Ayo kita ke depan," ucap Ibu yang dibalas anggukan oleh Mayang. "Dada Mayang berdebar, Bu.""Ah, kamu seperti gadis yang baru pertama kali menikah
POV Prabu.***Acara berjalan sesuai yang kami harapkan, hingga mendapatkan keputusan pernikahan akan diadakan dua minggu lagi dan kedua belah calon mempelai memutuskan untuk mengadakan acara sederhana saja. Yaitu hanya sekedar acara ijab Qabul dan syukuran yang dihadiri kerabat dekat saja.Hati ini terasa lega saat ternyata Ricko serius dengan apa yang diucapkannya. Serius kalau ia benar-benar ingin mempersunting Mayang. Satu yang akan selalu kuingat akan janjinya 'Penggal kepala saya jika Mayang kembali pulang dalam keadaan menangis!'Ternyata ada sosok lelaki yang begitu berani. Mudah-mudahan saja kelak ia tak akan pernah mengecewakan Mayang, apalagi hingga membuatnya menangis agar aku tak susah payah untuk memenggal kepalanya."Kak Sesiiiilll ...." Teriakan Mayang menyadarkan lamunanku. Terlihat Mayang berlari ke arah Sesil lalu menghamburk
POV Prabu.***Mobil kembali melesat membelah jalan raya yang terbilang lumayan ramai. Tanpa sadar senyum di bibir kembali merekah kala mengingat wajah cantik yang terbingkai oleh hijab. Debaran aneh terasa di dalam dada. Debaran yang tak pernah kurasa, kala wanita itu masih sah menjadi milikku.Apakah aku jatuh cinta? Atau hanya sekedar mengagumi perubahan dari penampilannya?Sesaat kuusap wajahku, berharap bayang-bayang wajah Sesil tak lagi menari-nari di pelupuk mataku. Kembali aku fokus membelah jalan raya.Tak berselang lama aku telah sampai di tempat tujuanku. Kuparkir kendaraan roda empatku di tempat biasanya. Bergegas kubuka pintu mobil.Pintu kuketuk dengan diiringi salam.Satu kali.Dua kali.Tak berselang lama daun pintu terbuka, hingga terlihatlah sosok perempuan yang pernah bert
POV Prabu.*Keesokan hari****Jam sudah menunjukkan pukul 04.30. Setelah kulaksanakan dua rakaat shalat subuh, kurebahkan kembali tubuhku. Namun tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Dan tak berselang lama, suara Ibu memanggil namaku. Bergegas aku bangkit dan berjalan membuka daun pintu. "Ada apa, Bu?" tanyaku saat pintu sudah terbuka. "Barusan Sesil mengatakan, kalau orang tua Riko akan ke rumah besok pukul tujuh malam.""Malam ya, Bu? Jadi besok Prabu bisa bekerja terlebih dahulu," jawabku dan Ibu mengangguk. "Oh ya, Bu. Bentar." Aku kembali berjalan, menuju meja yang terletak di samping ranjang. Kubuka laci paling atas, kuambil amplop coklat di sana. Kubawa amplop itu dan kembali menemui Ibu. "Ini, Bu, uang untuk persiapan lamaran Mayang. Cukup acara lamaran seperti pada umumnya saja, uang ini pasti cukup," ucapku sembari menyerahk
Pov prabu.***Saat aku sedang berbincang dengan Sesil, ponselku berdering. Kuambil benda pipih itu, dan nama Ibu terpampang sebagai pemanggilnya, bergegas kuangkat."Halo, Bu ....""Kamu dimana? Cepetan pulang ya. Sekarang!" jawab Ibu dari seberang telepon."Pulang? Sekarang?""Iya. Ada hal yang sangat penting," jawab Ibu yang membuatku penasaran. Padahal sebelum kutinggal semua baik-baik saja."Penting? Soal apa, Bu?" jawabku."Nanti saja sampai di rumah. Sekarang pulang lah!""Baiklah, Bu. Prabu pulang sekarang!" Panggilan telepon dari Ibu kumatikan, dan kumasukkan kembali benda pipih itu ke dalam saku.Kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan.
"Ada apa, Mas?" tanyaku saat aku menoleh dan mendapati Mas Prabu berdiri di belakangku."Yuk aku antarkan pulang. Sedari tadi nunggu taksi nggak datang-datang, kan?""Nggak usah, Mas. Ini aku mau pesan taksi online.""Nggak boleh nolak niat baik seseorang.""Tapi ....""Tapi kenapa?" ucap Mas Prabu.Akhirnya kuceritakan semua permasalahan yang terjadi padaku. Soal kematian Mama dan Papa. Soal semua harta yang telah diambil oleh pemiliknya secara paksa."Tinggalah di rumahku itu.""Nggak usah, Mas. Biar kucari kontrakan saja untuk sementara waktu.""Baiklah. Yuk aku temani." Tanpa menunggu jawabanku, Mas Prabu bergegas melangkah meninggalkanku. Tubuh lelaki