Tiba-tiba lelaki itu menghentikan ucapannya saat kedua netranya menatapku yang sedang duduk disamping Bu Fatimah.
Kedua mata itu terus menatapku, hingga membuatku merasa begitu tak nyaman.
"Nak Faris!" ucap Ibu yang sepertinya tahu isi hatiku.
"Eh, iya, Mak. Bagaimana kabarnya, Mak? Dua Minggu nggak makan masakan emak!" ucap lelaki itu sembari mengulas senyum, dengan sesekali melirik ke arahku.
"Mau makan apa? Buruan! Sebentar lagi kami akan tutup!"
"Seperti biasanya, Mak!"
Sepertinya lelaki yang bernama Faris itu memang dekat dengan Bu Fatimah. Lelaki itu sepertinya baik, sopan dan juga ... ih, apasih aku ini. Bisa-bisanya memuji lelaki lain.
"Ingat Syifa ... ingat! Kamu belum resmi bercerai," Gerutuku sembari memukul pelan dahiku.
"Kamu kenapa? Pusing?" t
POV MayangHari ini hari yang paling membuatku bahagia. Ya, sore ini acara akad nikah pernikahanku dengan Mas Romi, calon suamiku.Meskipun kemarin sempat masuk rumah sakit karena di hajar oleh istri pertama calon suamiku, bagiku tak mengapa, toh pada akhirnya aku berhasil mendapatkan Mas Romi juga.Ya, Mas Romi sebenarnya lelaki beristri. Awalnya aku juga tak tahu perihal itu. Tetapi, suatu hari Mas Romi berkata jujur. Ia memberikanku dua pilihan. Tetap melanjutkan hubungan ini secara sembunyi-sembunyi, atau memilih mengakhiri semuanya. Karena aku sudah terlanjur cinta dengannya, akhirnya aku memilih menjadi simpanan Mas Romi. Semua itu tak mengapa, yang terpenting aku bisa tetap memiliki lelaki itu.Sempat down saat aku tahu, ternyata rahimku diangkat karena keguguran dan pendarahan yang begitu hebat. Tapi untunglah calon suamiku
"Maaf, May. Hari ini Mas di kamar Revi. Kalau Revi mengizinkan, Mas baru akan bermalam disini!" ucapnya dengan enteng yang membuat kedua mataku membelalak dan bibir melongo sempurna."Apa-apaan, kamu, Mas!? Aku ini juga istrimu, kenapa kamu menunggu persetujuan dari istri tuamu itu hanya untuk bermalam denganku?" ucapku dengan dada bergemuruh hebat."Maaf, May. Mas tidak bisa berbuat apapun!" ucapnya dengan raut wajah nelangsa."Lalu kenapa kamu menikahiku, Mas, jika pada akhirnya aku hidup seperti ini!?"Mas Romi kembali berjalan mendekatiku."Mas juga tak tahu bakal seperti ini jadinya. Mas kira Revi dan juga Mama benar-benar menerimamu! Kamu harusnya juga bersyukur, aku masih mau menikahimu," sungut lelaki itu tak terima.Aku mendengkus kasar.&nb
POV Syifa***"Berkas-berkas sudah kamu bawa semua, Fa?" tanya Bu Fatimah saat aku baru saja sampai di warung."Ini sudah Syifa bawa semuanya," jawabku sembari menunjukkan map yang ada di tanganku.Akhirnya kulakukan kegiatan seperti biasanya, membantu Bu Fatimah. Hari ini warung rasanya ramai sekali, membuat badan terasa sedikit penat. Tapi aku bersyukur, itu artinya, pendapatan Bu Fatimah juga meningkat dan tak rugi untuk menggaji ku."Semenjak kamu kerja disini, warung semakin ramai," ucap Bu Fatimah saat kami sedang duduk di kursi. Mengistirahatkan tubuh yang lelah."Alhamdulillah, Bu. Memang masakan Bu Fatimah top markotop," ucapku sembari mengacungkan dua jempol."Ah, kamu bisa saja.""Assalamualaikum.""Waalaikum salam," ucapku dan B
Tiga Minggu Kemudian."Ayo kita pergi, jadwal sidangnya jam sembilan. Nanti keburu terlambat!" ajak Mas Faris."Aku berangkat sendiri saja, Mas," ucapku berusaha menolak halus."Sama aku saja, yuk. Naik montor, pasti nggak kena macet!" sela Ilham.Ya, kedua lelaki itu sudah berada di depan gerbang kos-kosan ku.Saat aku keluar kos untuk menunggu taksi online yang sudah ku order, dahiku mengernyit saat melihat dua orang lelaki itu sudah berdiri di depan gerbang.Kemarin Ilham memang sempat bertanya melalui pesan singkat kapan jadwal sidangnya, kukira hanya sekedar bertanya, eh, pagi ini dia sudah berada disini. Padahal sejak kedatangan terakhirnya waktu memberiku susu hamil, ia tak pernah berkunjung lagi."Loh, nggak bisa gitu dong. Syifa ini klien saya, jadi harus berangkat dengan saya
Hari ini tubuh terasa begitu lelah, mungkin karena bawa'an hamil, jadi gampang sekali merasa letih. Kurebahkan tubuhku di ranjang yang tidak terlalu besar ini. Kuelus perut yang sudah terlihat sedikit membuncit.Betapa indahnya takdir Tuhan yang telah diberikan padaku, aku kehilangan sosok suami, namun diberikan pengganti yang jauh lebih istimewa.Saat aku sedang berbaring sembari berusaha memejamkan mataku, terdengar suara ketukan pintu. Aku segera beranjak lalu berjalan menuju pintu. Kuputar anak kunci yang menggantung dan kutarik handel pintu. Kubuka daun pintu, terlihatlah Si Romlah yang sedang berdiri di hadapanku."Ada apa, Rom?""Ada yang nyari, Mbak. Ditunggu di depan gerbang tuh!" ucap Si Romlah sembari telunjuk mengarah ke arah sosok perempuan yang mengenakan gamis coklat dengan warna jilbab yang senada.
"Selamat ya, kamu sudah resmi bercerai dari Mantan suamimu!" ucap Mas Faris saat kami sudah berada diluar ruangan sidang.Ya, hari ini adalah sidang keputusan di gelar. Alhamdulillah, persidangan berjalan dengan lancar sekali. Meskipun ada sedikit rasa sesak, saat mendengar ikrar talak yang diucapkan oleh Mas Prabu, secara langsung. Tidak main-main,Mas Prabu langsung memberikanku talak tiga sekaligus.Meskipun waktu aku keluar rumah sudah kuanggap itu sebuah talak, tapi rasanya berbeda saat mendengar dari mulutnya.Tapi hati ini terasa lega, akhirnya aku terbebas dari ikatan pernikahan secara agama maupun secara negara."Idih, pakek dikasih selamat segala. Sudah seperti mendapatkan reward saja," candaku yang membuat lelaki itu terkekeh."Memang menjadi janda merupakan suatu pencapaian yang harus dikasih selamat sebagai tanda apresiasi?" t
POV Prabu."Astagfirullah, Bu. Apa yang terjadi dengan Sesil?!" pekikku saat aku melihat Sesil terkapar di lantai dengan darah yang sudah memenuhi kedua kakinya.Bergegas kubopong tubuh Sesil. "Sesil tadi jatuh," ucap Ibu dengan lirih. Dengan langkah cepat, aku menuju tempat parkir mobil, pun juga Ibu. Raut wajah tua itu terlihat begitu panik sekali. "Bu, tolong buka pintu mobilnya. Ibu duduk di belakang dengan Sesil ya!" ucapku dan Ibu mengangguk setuju. Dengan pelan, kubaringkan tubuh Sesil dengan paha Ibu sebagai bantalan kepala Sesil.Segera kulajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi, tak tega rasanya mendengar rintihan kesakitan yang dirasakan oleh Sesil. Aku juga tak mau terjadi apa-apa dengan Sesil."Sus, tolong istri saya!" teriakku dengan melangkah cepat. Kedua perawat membawakan brankar, segera kubaringkan tubuh lemah Sesil. Waj
Beberapa bulan kemudian.POV Prabu***"Sayang, bantulah Ibu untuk masak dan bersih-bersih, kasihan kan Ibu mengerjakan semuanya sendiri semenjak Bik Minah minta izin pulang kampung," ucapku saat melihat Sesil sedang memainkan ponsel sambil rebahan.Perempuan yang sudah sah menjadi istri secara agama dan negara itu pun meletakkan ponselnya dengan kasar lalu menatapku dengan sorot mata tak suka."Mas, aku nggak mau kecapean! Gimana mau hamil lagi kalau tiap hari mengerjakan pekerjaan rumah?! Harusnya kamu mikir dong, Mas!"Aku berjalan menghampiri Sesil, lalu duduk di sampingnya. "Kan dokter tidak melarang mengerjakan pekerjaan rumah. Toh hanya membantu Ibu. Mas tidak memintamu mengambil alih semua tugas rumah loh!""Udah deh, Mas! Masih pagi, nggak usah ajak ribut! Bikin mood buruk aja! Sudah dua kali loh, Mas, aku k