POV Prabu
*
*
Benar-benar diluar dugaanku. Kukira Syifa akan menghiba saat semua barang miliknya kuminta kembali, dengan harapan, ia tak akan pergi dari rumah ini. Bahkan, sudah kuancam dengan talak tiga pun ia tetap teguh dengan pendiriannya.
Aku tak menyangka, kalau dia senekat itu. Ia berani pergi hanya membawa baju yang menempel di tubuhnya dan ponsel miliknya. Selembar uang pun dia tak memiliki.
Arrrgghhh ... kenapa jadi seperti ini, sih!
Ini semua memang gara-gara Ibu. Aku tahu, Syifa sebenarnya ingin kembali, tapi gara-gara Ibu yang terus menghardiknya, ia akhirnya tetap memilih pergi.
Sepeninggalan Syifa, datanglah Sesil.
"Ada apa, Bu? Kok Mas Prabu terlihat kusut sekali?"
"Nggak ada apa-apa. Istrinya pergi!"
"Yang benar, Bu?!" D
Dengan langkah panjang dan cepat, aku menghampiri kedua mertuaku yang katanya sudah menungguku."Maaf Ma, Pa, lama nunggunya. Masih mandi dulu," ucapku merasa tak enak."Duduklah. Ada yang ingin Papa bicarakan."Aku segera mendaratkan tubuhku disamping Sesil."Begini, Prabu ... sebelumnya papa TEKANKAN, Sesil adalah anak kami, kami yang membesarkan dia, kami yang menyekolahkan dia, kami yang merawat dia."Aku mengangguk mengerti."Meskipun, saat ini dia sudah menikah denganmu, meskipun dia menjadi hak kamu, Papa dan Mama ingin agar Sesil berhenti bekerja. Kami ingin Sesil di rumah saja. Tidak capek-capek bekerja. Kamu mengerti?""Loh, Pa ... nggak bisa gitu dong! Sesil ingin berkarir terus. Sayang loh, Pah!" protes Sesil.
Aku beranjak dari sofa. Kulangkahkan kaki ini menuju pintu utama. Kutarik handel pintu lalu dengan perlahan kubuka daun pintu.Mataku menyipit, keningku berkerut saat melihat dua orang lelaki bertubuh tegap memakai seragam khas seorang polisi."Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyaku kepada kedua orang polisi tersebut sebelum saya persilahkan untuk masuk."Apa benar ini dengan rumahnya saudari Mayang?" ucap polisi pertama."Benar, Pak! Saya kakaknya. Ada apa ya, Pak?""Siapa yang datang, Prabu?" teriak Ibu."Mari masuk, Pak," ajakku, kedua polisi itu mengangguk lalu berjalan di belakangku."Loh, bapak-bapak polisi ini ada apa ya?" tanya Ibu dengan kening berkerut saat kedua polisi tersebut sudah mendaratkan tubuhnya di sofa.
Bu ..." lirihku. Ibu dan Mayang menoleh kearahku secara bersamaan."Apa kata dokter?""Itu, Bu ... Mayang harus segera melakukan tindakan operasi pengangkatan rahim.""APA?!" teriak Sesil dan juga Ibu secara bersamaan."Kamu jangan asal ngomong, Prabu! Main angkat rahim segala! Memang kau pikir rahim itu seperti jemuran yang bisa main angkat saja?!" sungut Ibu. Sesil menghampiriku dengan sorot mata seperti meminta penjelasan lebih.Aku berjalan ke arah sofa lalu kudaratkan tubuh lelah ini. Kusandarkan tubuhku di kepala sofa. Kuusap wajahku dengan kasar."Dokter sendiri yang bilang, Bu. Dokter mengatakan kalau itulah pilihan yang terbaik demi keselamatan Mayang sendiri!""Bagaimana, Pak, apa sudah diputuskan?" Tiba-tiba suara dokter yang sempat
"Saya ada penawaran untukmu, dan ini tidak merugikan bahkan menguntungkan pihak manapun!"Aku diam."Jadi saya berencana untuk memilih jalan berdamai. Bagaimana? Jika anda terus membawa kasus ini ke jalur hukum, begitu pun dengan apa yang akan kami lakukan! Kami akan menuntut adik anda karena berzina dengan suami orang. Ditambah adik anda yang telah mengancam menantu saya. Bagiamana? Bukankah adik anda akan terlibat dua kasus?" ucap seseibu itu lalu tersenyum sinis.Aku diam. Aku mencoba memikirkan langkah apa yang harus aku ambil.Apakah jalur damai menjadi pilihan yang terbaik? Mayang terbaring lemah di atas ranjang, sampai-sampai kehilangan rahimnya, lalu pelakunya bisa bebas melakukan apapun.Kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan."Bagaimana?" ucap ibu itu y
"Bu...."Aku segera beranjak dari sofa saat mendengar suara Mayang memanggilku."Kamu sudah sadar, Sayang. Alhamdulillah." Kupeluk dengan pelan tubuh putriku.Lega sekali rasanya saat Mayang sudah tersadar dari tidur panjangnya."Bu, kenapa Mayang ada disini?" ucapnya sembari pandangannya menatap sekeliling kamar ini."Kamu sedang tidak sehat, Sayang. Makanya kamu di rawat.""Apa karena kejadian kemarin Ibu? Maafkan Mayang, Bu!" Kedua netra Mayang berkaca-kaca. Tak lama kemudian, air mata yang sempat menganak sungai, kini lirih seketika.Kuusap dengan perlahan. "Nggak apa-apa. Yang penting kamu segera sehat!" ucapku menenangkannya agar tak terlarut dalam rasa bersalahnya."Assalamualaikum ..." Terdengar suara dari pintu. Aku menoleh, ternyata para tetangga yang datang.
POV Ibu Prabu."Apa kabarnya, Bu?"Deg.Jantung ini berdetak lebih kencang saat mendengar suara yang begitu tak asing. Aku memutar tubuh, di belakangku sudah ada Syifa yang berdiri dengan mengulas senyum. Senyum yang begitu memuakkan."Mau apa kamu disini, ha?""Aku hanya ingin menjenguk Ibu. Hanya itu saja, nggak lebih!" ucapnya perempuan yang sangat kubenci."Pergi kamu dari rumahku!" bentakku. Bukannya pergi ia malah mengulas senyum."Memang hati ibu sekeras batu. Ibu sudah diberi teguran oleh Tuhan, tapi Ibu tak sadar juga!" cerocosnya lalu tersenyum sungging."Kau kemari hanya untuk menertawakanku? Pergi dari rumahku!"Suara tawa Syifa menggelegar memenuhi ruang tamu rumah ku."Prabuuuuu, usir perempuan itu!" teriakku. Namun yang kupanggil tak kunjung datang."Jangan teriak-teriak don
Kembali ke kehidupan Syifa. POV ini dibuat setelah pertemuan Syifa dan prabu di rumah sakit (sebelum pernikahan Mayang)********Berkali-kali kuhembuskan napas kasar. Dada ini terasa begitu sesak. Sesak yang tiada tara. Munculnya Mas Prabu dihadapanku, sama seperti mengorek luka lama.Ya, selama keluar dari rumah itu, sedikit demi sedikit aku mampu melupakan sosok lelaki yang pernah membersamaiku itu. Meskipun belum sepenuhnya."Kamu yang sabar. Tenangkan pikiranmu! Emosi nggak baik untuk tumbuh kembang janinmu!" ucap Ilham dan aku mengangguk lemah sembari menghembuskan napas panjang."Maafkan soal yang tadi. Kamu jadi ikut terbawa dalam masalahku!" ucapku lemah dengan kepala menunduk.Ya, semenjak pertemuan di mushola, Ilham sering kali menghubungiku. Padahal aku tak pernah merespon dirinya. Entah dari mana juga ia t
Tiba-tiba lelaki itu menghentikan ucapannya saat kedua netranya menatapku yang sedang duduk disamping Bu Fatimah.Kedua mata itu terus menatapku, hingga membuatku merasa begitu tak nyaman."Nak Faris!" ucap Ibu yang sepertinya tahu isi hatiku."Eh, iya, Mak. Bagaimana kabarnya, Mak? Dua Minggu nggak makan masakan emak!" ucap lelaki itu sembari mengulas senyum, dengan sesekali melirik ke arahku."Mau makan apa? Buruan! Sebentar lagi kami akan tutup!""Seperti biasanya, Mak!"Sepertinya lelaki yang bernama Faris itu memang dekat dengan Bu Fatimah. Lelaki itu sepertinya baik, sopan dan juga ... ih, apasih aku ini. Bisa-bisanya memuji lelaki lain."Ingat Syifa ... ingat! Kamu belum resmi bercerai," Gerutuku sembari memukul pelan dahiku."Kamu kenapa? Pusing?" t