"Pascal bajingan! Keluarkan aku dari sini!" Petra dikurung lagi di kamar, kali ini di kamar mereka di lantai dua.
Tidak ada ponsel, laptop maupun benda elektronik untuk berkomunikasi. Pascal telah menyita semua itu dari jangkauan Petra.
"Ini menyebalkan! Aku harus memberitahu teman-temanku kalau misi rahasia gagal dan diriku dijadikan sandera." Petra berpikir sambil berjalan mondar-mandir di dekat jendela.
Terdengar suara mobil dari luar jendela. Petra melihatnya. Itu mobil milik Pascal baru saja tiba.
Pria itu tampak keluar dari dalam mobilnya yang pintunya dibukakan seorang supir. Dia berjalan masuk ke rumah.
"Bagaimana istriku?" tanya Pascal pada pelayan wanita.
"Makanan yang kami bawakan ke kamar tidak sedikit pun disentuh nyonya. Nyonya ingin bertemu dengan tuan secepatnya."
Laporan pelayan tersebut membawa langkah lebar Pascal menuju lantai dua. Dia menekan kata sandi pada pintu kamar sebelum berhasil terbuka dengan mudah.
"Petra." Pascal melihat seisi kamar dan menemukan Petra sedang cemberut bersidekap memandang ke luar jendela.
"Petra, istriku, kenapa kau tidak makan?" Pascal mendekat.
Petra mogok bicara. Sikapnya mengabaikan Pascal. Namun Pascal terlihat sabar.
"Baiklah jika kau tidak mau makan masakan rumah. Kita bisa makan di luar."
Perkataan tersebut langsung menarik atensi Petra yang kini menoleh pada Pascal bak magnet. Seolah-olah memberi Petra kesempatan untuk kabur. Sebuah peluang bagus jika dimanfaatkan dengan baik kan?
Tapi Petra yakin, pria itu takkan membiarkannya pergi dengan mudah.
"Apa rencanamu?" Petra bertanya dengan rasa curiga.
"Makan malam tentunya," kata Pascal.
"Kau tahu kan aku bisa saja kabur. Apa kau akan membiarkanku pergi?" tanya Petra lagi.
"Tidak, tentu saja." Pascal tersenyum. "Usahamu akan percuma. Meskipun kau lapor pada atasanmu, mereka takkan mendengarkannya."
Petra membulatkan mata. "Kau menyuap polisi?"
"Aku lapar sekali. Ayo pergi!" Pascal yang tidak menjawab sudah merupakan jawaban atas pertanyaan tersebut. Dia menarik tangan Petra keluar dari kamar, sedangkan Petra tidak bisa berbuat apa-apa selain syok memikirkan nasibnya.
Restoran bintang lima terletak di tengah kota ramai. Dengan suasana romantis di lantai lima gedung, kaca di samping mereka menunjukkan pemandangan jalanan kota.
"Makanlah. Aku tahu kau pasti lapar," kata Pascal.
Meski menurut, Petra menyusun adegan kabur dari tempat ini, tetapi menyadari di sekeliling mereka ada banyak orang-orang Pascal yang menyamar, membuat Petra merasa urung untuk kabur dengan mulus.
Dengan menghela napas pasrah, Petra mulai makan dengan tak berselera. Namun, lapar tetap lapar. Makanan di piringnya habis.
"Kenapa kau mencurigai suamimu sendiri?" tanya Pascal.
"Siapa yang tidak curiga. Semua kejadian itu mengarah kepadamu," kata Petra.
"Kejadian apa?"
Petra menatap pria itu dengan bingung. Entah Pascal mengerti atau sengaja bersikap bodoh. Petra geram. "Kau membunuh putera seorang pejabat. Apa jadinya jika pejabat itu mengumumkan kematian anaknya ke media?"
"Pasti akan ramai." Pascal menjawab dengan santai, seolah tidak peduli.
"Ya, itu mungkin saja benar." Petra malah bingung sendiri. Bingung dengan sikap santai Pascal. "Apa kau pikir dengan banyak uang kau bisa bebas melakukan kejahatan?" Kemudian Petra geleng-geleng pelan. "Tidak, Pascal."
"Lalu, apa yang akan kau lakukan? Kau tidak punya cukup bukti untuk menuduhku bersalah." Sepotong steak dimasukkan ke dalam mulut. Pascal mengunyah sambil menatap Petra.
"Aku bisa membuktikannya padamu kalau kau tidak menyanderaku," desis Petra.
"Kau bukan sandera. Ingatlah statusmu. Istriku." Pascal menekankan kata-katanya. Namun hanya alasan bulshit berkedok pasangan.
Petra tersenyum miring. Menyadari kata-kata omong kosong tersebut. "Kau tidak benar-benar mencintaiku. Jangan membuat alasan konyol lagi, Pascal."
"Aku mencintaimu dan itu mutlak."
Petra bungkam. Dia tidak pernah percaya dengan cinta. Terlebih dicintai pria seperti Pascal yang notabene seorang high value dan diidamkan banyak wanita.
Mendengus. Petra kembali berbicara. "Sudahlah, hentikan omong kosong ini. Kau membuatku ingin ke toilet." Dia beranjak dan berjalan menuju toilet sendirian.
Di dalam toilet, di depan cermin wastafel, Petra berpikir bagaimana caranya kabur malam ini juga di saat ada bodyguard yang berjaga di pintu depan resto.
"Petra." Seorang wanita masuk. Wajahnya yang familiar lantas mengejutkan Petra yang tercengang.
"Kau... Bagaimana kau bisa ada di sini?" kaget Petra merasa tak menyangka.
"Misi rahasia kita dihentikan kepala kepolisian. Tapi kami berdua tidak berniat berhenti untuk mengungkap kasus ini." Amora, adalah rekan satu tim dengan Petra dalam divisi satuan khusus.
"Kami berdua? Siapa yang kau maksud?" tanya Petra.
"Tentu saja Liam. Dia hampir tertangkap saat menyusup ke kantor Pascal. Tapi semua sudah aman terkendali sekarang. Kecuali misi ini telah dibubarkan."
Petra menghela napas lega. "Baguslah. Aku khawatir terjadi sesuatu yang serius."
"Memang terjadi sesuatu yang serius," sambung Amora.
Petra terkejut. Lalu Amora menjelaskan. "Sesuatu yang serius itu adalah masalah dirimu. Apa kau berniat bersama pria itu atau kembali ke satuan khusus, huh?" Amora menyindir.
"Apa kau tahu? Aku dipenjara olehnya!" kesal Petra. "Aku tidak punya kesempatan untuk pergi. Kau pikir aku tidak berusaha kabur hah?"
"Lalu, apa yang akan kau lakukan setelah dari sini?" tanya Amora.
"Kalau kau bisa, bantu aku keluar dari jangkauan Pascal tanpa ketahuan."
Amora tersenyum misterius. "Serahkan saja padaku." Lalu dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah pakaian serta wig dan masker.
"Pakai ini. Kau harus menyamar untuk keluar dari sini. Teman-teman kita sudah menunggu di dalam mobil."
Petra mengangguk semangat. Dia merasa memiliki harapan.
***
Kepala kepolisian sudah disuap oleh Pascal. Mereka menghentikan misi penyelidikan pembunuhan putera pejabat.
Alhasil tidak ada yang bisa dilakukan oleh tim. Mereka kini menganggur di kantor tanpa ada tugas serius, kecuali tugas sepele seperti mencari anak kecil hilang, melerai pertengkaran pasutri, mengejar pencopet dan lainnya.
Tapi hari ini, mereka melakukan pekerjaan rahasia. Membebaskan Petra dari Pascal. Setidaknya itu yang bisa mereka lakukan untuk saat ini; mengintai sekitar dengan waspada dari dalam mobil.
"Ada banyak bodyguard di sekitar restoran itu."
"Apa Amora akan berhasil?" gumam Liam cemas.
"Eh, itu mereka!"
"Benar. Mereka ke sini." Terlihat Amora keluar dari belakang resto bersama gadis lain yang memakai topi rajut dengan rambut yang panjang bergelombang.
"Amora berhasil membawa keluar Petra!"
Kedua wanita itu melangkah cepat menuju mobil van. Amora membuka pintu lalu Petra bergegas masuk, sejenak Amora celingukan ke sekeliling sebelum menyusul masuk ke dalam van abu-abu tersebut.
"Akhirnya kalian keluar dari tempat itu dengan selamat!" sambut Liam senang. Dia merasa lega dapat melihat Petra lagi.
"Petra, bagaimana keadaanmu? Apa dia menyakitimu?" tanya Liam sembari menengok ke belakang karena dia duduk di kursi depan, samping pengemudi.
"Aku tidak terluka sedikit pun. Bagaimana kalian bisa tahu kalau aku ada di sini?" timpal Petra, melepas alat penyamarannya dari kepala. Topi dan wig disimpan lagi ke dalam paper bag.
"Mudah saja kami menemukanmu karena suamimu cukup mencolok," kata ketua tim. Jemy."Sekarang kita akan kemana? Ke markas?" tanya Petra.Jemy menggeleng. "Tempat itu berbahaya untukmu sekarang. Karena kepala kepolisian sudah disuap, sedangkan suamimu pasti mencarimu. Kalau ada yang melihatmu di markas, kemungkinan besar kau akan diseret lagi oleh suamimu."Petra menghela napas lelah. "Lalu aku harus bersembunyi di mana?" gumamnya sambil memandang ke luar jendela mobil."Apartemen Amora untuk sementara waktu," ujar ketua tim.Petra beralih menatap Amora yang duduk di sampingnya. Amora tampak mengangguk seolah menyetujui hal tersebut.Tidak lama kemudian mobil yang dikendarai Jemy berhenti di depan apartemen lima lantai. Mereka turun, menaiki tangga menuju lantai tiga. Setelah menekan tombol kata sandi, Amora mempersilahkan mereka masuk."Apa kau membawa ponselmu, Petra?" tanya Jemy."Tidak. Pascal tidak memberiku akses ke benda elektronik mana pun.""Bagus. Dengan begitu mereka tidak mud
Petra terbangun dari tidurnya. Saat matanya membuka, sosok Pascal terlihat di sampingnya.Pascal, suami yang tampan namun misterius ini, terbaring dengan tenang sambil memeluknya, seakan-akan tidak memiliki masalah hidup.Petra heran dengan dirinya sendiri. Bisa-bisanya tidur seranjang dengan seorang kriminal ini. Pada nyatanya, naluri Petra tidak siap melihat Pascal diborgol polisi. Walau sepertinya Petra ragu kalau orang kaya seperti Pascal bisa dipenjara."Pascal, kau harus pergi." Petra mengguncang tubuh Pascal. Pascal terbangun karena terganggu. "Kenapa kau tidak pulang ke rumahmu? Lepaskan pelukanmu dariku, aku harus bersiap untuk bertugas.""Aku tidak mau pulang jika tanpamu," sahut Pascal dengan suara yang masih serak. "Aku ingin memelukmu lebih lama lagi." Dia mempererat pelukannya, merengkuh tubuh kurus Petra yang terlihat lebih kecil di tubuh besar pria itu."Nanti aku terlambat. Menyingkir lah!""Apa kau tidak mau menangkapku? Ayo borgol tanganku." Pascal bercanda.Petr
Pascal menutup layar laptopnya kemudian tersenyum samar. Dihampiri seorang bawahan yang melapor, Pascal kemudian beranjak pergi dari sofa.Dia memasuki ruangan gelap, menemui seseorang yang tampak terikat tali di kursi. Cahaya rembulan dari jendela memperjelas wajah tawanan itu."Kau telah melukai kekasih hatiku dengan tanganmu. Apakah aku harus melakukan hal yang sama kepadamu?" Bayangan perawakan tegap Pascal berada di dalam sisi gelap yang tak terjangkau cahaya."Siapa kau? Apa kau punya dendam pribadi padaku?" sahut tawanan itu yang merupakan seorang pria.Tidak ada luka atau jejak bogem mentah di wajah tawanan alias pencopet tadi siang. Pascal belum menyuruh anak buahnya bertindak selain membawanya ke sini."Aku tidak mengenalmu. Aku tidak peduli tentangmu. Tapi setelah kau membuat wajah wanitaku terluka. Aku tidak tinggal diam."Pascal tidak membiarkan siapapun melukai tubuh Petra. "Yang boleh melukainya hanyalah diriku." Dia menekankan kalimatnya. Menegaskan bahwa wanita itu ad
"Pascal, setelah tahu aku hanya memanfaatkanmu, kenapa kau tidak menceraikanku atau membunuhku?"Petra telah kembali ke rumah besar mereka sebagai pasutri. Namun kembalinya ke rumah ini justru menyadarkan Petra akan sikap Pascal yang tetap menganggapnya sebagai istri."Apakah yang kuucapkan tidak cukup kau pahami? Sekali kau menjadi istriku, takkan kulepaskan kau sampai akhir hayatku." Tegas kata-kata Pascal dengan raut serius. Tetap tidak meluluhkan hati Petra untuk percaya perkataan laki-laki.Karena Petra memiliki trust issue, mengingat sifat pria biasanya tidak puas hanya dengan satu wanita. Terlebih Pascal adalah pria muda mapan yang kaya raya. Kehidupannya dikelilingi para wanita.Petra mendengus. "Seberapa penting bagimu pernikahan ini?""Sangat penting selama itu adalah dirimu," ucap Pascal."Pascal, ini tetap tidak masuk akal." Petra menunduk, memegangi keningnya. "Katakan yang sejujurnya. Kau ingin memanfaatkanku untuk hal apa?""Tidak ada." Pascal menjawab pendek."Kenapa t
Petra berlari secepat mungkin, nafasnya tersengal-sengal. Pemotor itu sudah meninggalkan motornya dan berlari ke dalam jalan sempit yang minim penerangan. Petra berusaha keras untuk tidak kehilangan jejaknya. Bayangan gelap menyelimuti sekelilingnya, hanya beberapa lampu remang-remang yang memberikan sedikit penerangan.Di ujung jalan, Petra melihat sebuah pintu dengan cahaya samar keluar dari celahnya. Dia mendekat, menyadari bahwa itu adalah klub malam rahasia. Untuk masuk, dia membutuhkan kartu member, tetapi dia tidak punya. Dengan hati-hati, Petra memutuskan untuk pulang dan menyusun rencana."Petra!" Liam berhasil menyusul."Liam, dia masuk ke dalam klub malam. Tapi kita tidak punya kartu member. Kalau pun masuk sebagai polisi tetap tidak bisa karena tidak memiliki surat tugas untuk melakukan hal ini," kata Petra."Apa kau melihat wajahnya?" tanya Liam."Tidak. Dia menggunakan masker dan poni rambutnya menutupi sebagian wajahnya. Tempat ini juga cukup gelap untuk mengenali waja
Petra terbangun keesokan paginya dengan kepala terasa berat dan tubuh yang lelah. Matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai kamar, menerangi ruangan dengan cahaya hangat. Petra duduk di tepi tempat tidur, mencoba mengingat kejadian semalam. Dia hanya mengingat dirinya duduk di meja bar, meneguk minuman amer, tetapi selebihnya, semuanya terasa kabur.Dengan enggan, Petra bangkit dari tempat tidur dan berjalan pelan menuju dapur. Aroma roti panggang yang harum menyambutnya begitu dia memasuki ruangan. Pascal, suaminya, sudah menyiapkan makanan di meja makan dengan setelan kemeja hitam tanpa dasi atau jas. Di hadapannya, ada berbagai wadah selai roti yang tersusun rapi."Good morning, my wife," sapa Pascal dengan senyum lembut. "Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu. Bagaimana perasaanmu?"Petra mengangguk pelan, duduk di kursi di seberang Pascal. "Aku merasa sedikit pusing, tapi terima kasih sudah menyiapkan sarapan," jawabnya sambil mencoba tersenyum.Pascal menyodorkan sepiring
"Aku akan menembakmu jika selangkah keluar dari sini." Pascal menodongkan pistol ke punggung Petra dua meter di hadapannya."Kenapa kau tidak membiarkanku pergi?" Petra bicara tanpa berbalik badan. Hanya berdiri memunggungi Pascal. "Aku benci pria yang tidak setia seperti dirimu. Kau tidur bersama wanita lain di hotel ini. Alasan apalagi yang lebih masuk akal?" Stabil nada suaranya yang terdengar tegas."Ini kesalahan! Aku tidak melakukannya dengan sadar! Seseorang pasti memasukkan sesuatu ke dalam minumanku!" Kegeraman tercemin di wajah tampan Pascal. Dia terlihat sangat marah, namun bingung."Sial. Akan kutemukan orang yang menjebakku! Argh!" Sontak dia memegangi kepalanya saat terasa pusing menyerang tiba-tiba."Haruskah kita bercerai hari ini?" Usulan Petra mendapat pelototan mata Pascal yang terkejut."Aku tidak akan pernah menandatangani surat cerai!" Pascal keras kepala. "Lalu, kenapa kau berselingkuh dariku?""Sudah kubilang! Aku dijebak! Kau tahu sendiri, aku sebagai ketua
"Sayang, aku ingin menebus kesalahanku padamu. Maukah kau mewujudkannya?" ujar Pascal."Tentu dengan senang hati aku mewujudkan keinginan suamiku." Senyum palsu mengembang di bibir Petra.Sebelum mengatakan sesuatu, Pascal meneguk habis amer di gelasnya. "Sejak kita menikah, kita belum pernah tidur selayaknya pengantin baru." Rona merah muncul di pipi putih Pascal. Dia tersenyum malu-malu.Namun Petra justru menegang."Apakah kau ingin kita berbulan madu?" tebak Petra."Kau benar. Tapi pekerjaanku sangat banyak. Tidak bisakah kita berbulan madu di mansion saja?""Kau sudah mabuk, Pascal." Petra waspada."Tidak... Aku belum sepenuhnya mabuk. Aku masih bisa melihat wajahmu yang memerah dengan jelas.""A-apa!" Petra gugup. Jantungnya berdegup kencang. Menggeser tubuhnya mundur, tetapi Pascal bergerak maju. Memojokkan posisi Petra di sofa."Petra... Istriku." Diraihnya tengkuk Petra oleh pria itu. Pascal pun menghapus jarak, berusaha menjangkau bibir Petra yang agak basah kena minum."Kau