Petra terbangun keesokan paginya dengan kepala terasa berat dan tubuh yang lelah. Matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai kamar, menerangi ruangan dengan cahaya hangat. Petra duduk di tepi tempat tidur, mencoba mengingat kejadian semalam. Dia hanya mengingat dirinya duduk di meja bar, meneguk minuman amer, tetapi selebihnya, semuanya terasa kabur.Dengan enggan, Petra bangkit dari tempat tidur dan berjalan pelan menuju dapur. Aroma roti panggang yang harum menyambutnya begitu dia memasuki ruangan. Pascal, suaminya, sudah menyiapkan makanan di meja makan dengan setelan kemeja hitam tanpa dasi atau jas. Di hadapannya, ada berbagai wadah selai roti yang tersusun rapi."Good morning, my wife," sapa Pascal dengan senyum lembut. "Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu. Bagaimana perasaanmu?"Petra mengangguk pelan, duduk di kursi di seberang Pascal. "Aku merasa sedikit pusing, tapi terima kasih sudah menyiapkan sarapan," jawabnya sambil mencoba tersenyum.Pascal menyodorkan sepiring
"Aku akan menembakmu jika selangkah keluar dari sini." Pascal menodongkan pistol ke punggung Petra dua meter di hadapannya."Kenapa kau tidak membiarkanku pergi?" Petra bicara tanpa berbalik badan. Hanya berdiri memunggungi Pascal. "Aku benci pria yang tidak setia seperti dirimu. Kau tidur bersama wanita lain di hotel ini. Alasan apalagi yang lebih masuk akal?" Stabil nada suaranya yang terdengar tegas."Ini kesalahan! Aku tidak melakukannya dengan sadar! Seseorang pasti memasukkan sesuatu ke dalam minumanku!" Kegeraman tercemin di wajah tampan Pascal. Dia terlihat sangat marah, namun bingung."Sial. Akan kutemukan orang yang menjebakku! Argh!" Sontak dia memegangi kepalanya saat terasa pusing menyerang tiba-tiba."Haruskah kita bercerai hari ini?" Usulan Petra mendapat pelototan mata Pascal yang terkejut."Aku tidak akan pernah menandatangani surat cerai!" Pascal keras kepala. "Lalu, kenapa kau berselingkuh dariku?""Sudah kubilang! Aku dijebak! Kau tahu sendiri, aku sebagai ketua
"Sayang, aku ingin menebus kesalahanku padamu. Maukah kau mewujudkannya?" ujar Pascal."Tentu dengan senang hati aku mewujudkan keinginan suamiku." Senyum palsu mengembang di bibir Petra.Sebelum mengatakan sesuatu, Pascal meneguk habis amer di gelasnya. "Sejak kita menikah, kita belum pernah tidur selayaknya pengantin baru." Rona merah muncul di pipi putih Pascal. Dia tersenyum malu-malu.Namun Petra justru menegang."Apakah kau ingin kita berbulan madu?" tebak Petra."Kau benar. Tapi pekerjaanku sangat banyak. Tidak bisakah kita berbulan madu di mansion saja?""Kau sudah mabuk, Pascal." Petra waspada."Tidak... Aku belum sepenuhnya mabuk. Aku masih bisa melihat wajahmu yang memerah dengan jelas.""A-apa!" Petra gugup. Jantungnya berdegup kencang. Menggeser tubuhnya mundur, tetapi Pascal bergerak maju. Memojokkan posisi Petra di sofa."Petra... Istriku." Diraihnya tengkuk Petra oleh pria itu. Pascal pun menghapus jarak, berusaha menjangkau bibir Petra yang agak basah kena minum."Kau
"Kenapa kau ada di sini?" tanya Petra."Aku kebetulan sedang lewat sini. Oh ya, kenapa kau ada di sana? Keluar dari toko bunga?"Petra terhenyak. Toko bunga? Ah, tepat di samping gang itu ada toko bunga. "Ya, aku hanya melihat-lihat bunga di sana. Tapi tak ada bunga yang aku cari," kata Petra berbohong."Bunga apa yang kau inginkan? Aku bisa membelikannya untukmu sekarang," kata Pascal."Bunga Jasmine pink." Petra hanya asal bicara. Dia ragu apakah ada jenis bunga Jasmine berwarna pink? Haha. Rasanya dia ingin terkekeh saat ini. Menyenangkan bisa membodohi pria yang dihormati banyak orang itu."Baiklah. Aku akan memerintahkan Varios untuk membelinya sekarang." Ponsel dikeluarkan dari saku jasnya. Perkataan Pascal sontak mengejutkan benak Petra.Petra mendadak cemas. Bagaimana kalau bunga jenis itu betulan tidak ada? Bisa-bisa Pascal akan menaruh curiga padanya. "Tidak! Jangan, itu tidak penting lagi." Dia langsung menahan tangan Pascal yang akan mendial nomor Varios."Kenapa? Kau meng
"Tapi, kau tetap harus dihukum," ucap Pascal."Apa!""Apa kau tahu betapa berbahayanya tempat itu? Kau mudah menjadi makanan bagi mereka. Kenapa kau tidak mengajak bodyguard di rumah untuk menemanimu? Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu di sana?"Petra bungkam diserbu pertanyaan. "Aku terbiasa pergi sendirian. Aku..." Petra kebingungan, mencari alasan lain yang masuk akal."Ini salahmu! Kau jarang pulang lebih awal!" Akhirnya dia menyalahkan Pascal. Menyudutkan pria itu untuk merasa bersalah, alih-alih menginterogasi yang membuat Petra bisa terjebak dalam menjawabnya."Salahku?" gumam Pascal penuh tanya. Ekspresinya terkejut sekaligus bingung."Ya, aku akui aku jarang pulang lebih awal seperti yang kau harapkan. Karena itulah kau jadi kesepian di rumah." Kemudian Pascal bangun dari atas Petra, mereka duduk bersampingan."Mulai sekarang, aku akan lebih sering menghabiskan waktu berdua denganmu. Tidak peduli sepenting apa pekerjaan itu, aku akan memprioritaskan dirimu.""Tapi, kau in
"Pascal!"Pria itu merampas ponsel Petra, melemparnya ke dinding sampai berserakan di lantai. "Apa kau mengkhianatiku?" Pascal mencengkram rahang Petra, namun tidak sampai membuat wanita itu kesakitan."Pascal...""Jawab!" bentak Pascal.Petra bergetar ketakutan. Meskipun dia seorang polisi yang sedang bertugas secara rahasia, tetap saja dia hanya polisi muda yang belum banyak pengalaman di lapangan."Aku tidak pernah mengkhianatimu!" bohong Petra. Karena sejak awal, dia memanfaatkan pria itu.Bukan mengkhianatinya. Pascal saja yang tidak tahu kalau sedang dimanfaatkan. Jadi ini bukan salah Petra. Ya, bukan!"Aku akan mengetahuinya. Jadi tunggulah saat itu tiba." Lalu Pascal menyeret Petra ke kamar lain. Letaknya berada di belakang dan terpencil di antara seluruh ruangan di mansion.Petra didorong dengan kasar ke dalam kamar belakang itu, kemudian Pascal mengunci kamarnya dari luar. Sementara Petra langsung menggedor-gedor pintunya berusaha membujuk."Pascal! Kau salah paham! Pascal!
"Pascal bajingan! Keluarkan aku dari sini!" Petra dikurung lagi di kamar, kali ini di kamar mereka di lantai dua.Tidak ada ponsel, laptop maupun benda elektronik untuk berkomunikasi. Pascal telah menyita semua itu dari jangkauan Petra."Ini menyebalkan! Aku harus memberitahu teman-temanku kalau misi rahasia gagal dan diriku dijadikan sandera." Petra berpikir sambil berjalan mondar-mandir di dekat jendela.Terdengar suara mobil dari luar jendela. Petra melihatnya. Itu mobil milik Pascal baru saja tiba.Pria itu tampak keluar dari dalam mobilnya yang pintunya dibukakan seorang supir. Dia berjalan masuk ke rumah."Bagaimana istriku?" tanya Pascal pada pelayan wanita."Makanan yang kami bawakan ke kamar tidak sedikit pun disentuh nyonya. Nyonya ingin bertemu dengan tuan secepatnya."Laporan pelayan tersebut membawa langkah lebar Pascal menuju lantai dua. Dia menekan kata sandi pada pintu kamar sebelum berhasil terbuka dengan mudah."Petra." Pascal melihat seisi kamar dan menemukan Petra
"Mudah saja kami menemukanmu karena suamimu cukup mencolok," kata ketua tim. Jemy."Sekarang kita akan kemana? Ke markas?" tanya Petra.Jemy menggeleng. "Tempat itu berbahaya untukmu sekarang. Karena kepala kepolisian sudah disuap, sedangkan suamimu pasti mencarimu. Kalau ada yang melihatmu di markas, kemungkinan besar kau akan diseret lagi oleh suamimu."Petra menghela napas lelah. "Lalu aku harus bersembunyi di mana?" gumamnya sambil memandang ke luar jendela mobil."Apartemen Amora untuk sementara waktu," ujar ketua tim.Petra beralih menatap Amora yang duduk di sampingnya. Amora tampak mengangguk seolah menyetujui hal tersebut.Tidak lama kemudian mobil yang dikendarai Jemy berhenti di depan apartemen lima lantai. Mereka turun, menaiki tangga menuju lantai tiga. Setelah menekan tombol kata sandi, Amora mempersilahkan mereka masuk."Apa kau membawa ponselmu, Petra?" tanya Jemy."Tidak. Pascal tidak memberiku akses ke benda elektronik mana pun.""Bagus. Dengan begitu mereka tidak mud