"Aku akan menembakmu jika selangkah keluar dari sini." Pascal menodongkan pistol ke punggung Petra dua meter di hadapannya.
"Kenapa kau tidak membiarkanku pergi?" Petra bicara tanpa berbalik badan. Hanya berdiri memunggungi Pascal.
"Aku benci pria yang tidak setia seperti dirimu. Kau tidur bersama wanita lain di hotel ini. Alasan apalagi yang lebih masuk akal?" Stabil nada suaranya yang terdengar tegas.
"Ini kesalahan! Aku tidak melakukannya dengan sadar! Seseorang pasti memasukkan sesuatu ke dalam minumanku!" Kegeraman tercemin di wajah tampan Pascal. Dia terlihat sangat marah, namun bingung.
"Sial. Akan kutemukan orang yang menjebakku! Argh!" Sontak dia memegangi kepalanya saat terasa pusing menyerang tiba-tiba.
"Haruskah kita bercerai hari ini?" Usulan Petra mendapat pelototan mata Pascal yang terkejut.
"Aku tidak akan pernah menandatangani surat cerai!" Pascal keras kepala.
"Lalu, kenapa kau berselingkuh dariku?"
"Sudah kubilang! Aku dijebak! Kau tahu sendiri, aku sebagai ketua gangster kota, musuhku ada di mana-mana! Aku hanya lalai!" Seribu alasan tidak dibutuhkan seorang wanita. Sifat kekeh Pascal membuat Petra heran.
"Kalau begitu, aku akan langsung bertanya." Petra memutar badannya, menghadap Pascal yang bersandar di dashboard ranjang. Sementara pistol masih mengarah kepadanya. "Kenapa kau menginginkan diriku untuk tetap bersamamu?" tanya Petra tak gentar dengan raut datar.
"Karena kau milikku!"
Petra diam. Tak ada ekspresi berarti di wajah cantik itu. Seolah-olah jawaban tersebut terdengar membosankan. "Tuan CEO yang terhormat. Aku bukan objek yang sempurna untuk obsesimu." Sikap Petra berubah dingin.
Belum sepuluh menit berlalu memergoki Pascal bermesraan dengan wanita lain di kamar hotel ini. Kini Petra harus terjebak perdebatan menjengkelkan dengan Pascal yang tak mau mengakui kesalahan.
"Istriku, Petra. Kau adalah istriku yang sempurna. Kemarilah."
"Kau menyuruhku mendekat dengan ancaman pistol di tanganmu?" Nada suara Petra meninggi keheranan.
"Aku berjanji tidak akan menembak setidaknya kakimu jika kau tidak pergi keluar dari kamar ini. Turuti saja ucapanku, maka kau akan tetap hidup dengan normal."
Petra mendengus. Hidup normal? Selama tiga bulan menikahi pria ini, hanya kegilaan yang Petra dapatkan. Meski terlihat dari luar, suaminya dianggap sosok sempurna, tak ada yang tahu bahwa pria itu sangat keji tanpa hati membunuh orang-orang.
Tapi, karena misi rahasia, memaksa Petra harus bertahan hidup di samping pria gila ini.
"Apa yang ingin kau lakukan padaku?" tanya Petra ketika berhenti melangkah dan berdiri di samping ranjang.
"Peluk aku." Ucapan Pascal sungguh tak terduga. Petra sampai tertegun mendengarnya.
"Letakkan pistolmu, aku akan memelukmu," ujar Petra.
Pascal meletakkan pistol itu di samping tubuhnya. Kemudian Petra memeluk pundak berotot suaminya yang tidak memakai baju. Tatapan tajam tersirat di mata Petra tanpa Pascal sadari.
***
"Sampai kapan aku harus menjalankan pernikahan pura-pura ini!" Petra menggebrak meja. Menatap sinis pada rekan-rekan satu timnya yang berkumpul di ruang rapat.
"Misi ini akan selesai jika kita mendapatkan kesempatan yang bagus untuk meringkus Pascal." Avelino sang ketua tim berbicara dengan serius.
"Pertama-tama, kita belum mendapatkan cukup bukti kuat untuk memenjarakan pria itu di pengadilan. Kedua, konflik politik belakangan ini agak menghambat penyelidikan kami."
"Lalu, apa yang harus aku lakukan? Aku bosan hanya berperan sebagai istrinya saja!" Petra mendengus. Dia bersidekap dengan gaya angkuh.
"Amati saja dari dekat. Pahami kebiasaannya. Cari kelemahannya entah itu secara mental maupun fisik. Setiap manusia memiliki kelemahannya sendiri. Tidak mungkin pria itu sosok yang sempurna, sekalipun tampan dan pebisnis paling sukses di kota ini."
Saran-saran Avelino dipahami Petra yang mengangguk, tapi ekspresinya masih masam. "Mempelajari sifat Pascal lumayan sulit bagiku. Dia pria yang sulit ditebak. Satu hal yang kutahu, dia terobsesi padaku."
"Bagus. Gunakan obsesinya untuk merayu dia lebih dalam dan mengungkapkan segalanya padamu."
"Sudah kucoba dengan berbagai cara halus, tetapi dia menutupi sesuatu dariku. Dia seakan tidak ingin aku tahu rahasia yang lebih gelap."
"Apakah kalian sudah pernah tidur bersama?" cetus Liam tiba-tiba. Dia senior Petra. Pertanyaannya sangat mengejutkan semua orang di sini.
Namun diamnya Petra, menimbulkan praduga di benak mereka.
"Jangan-jangan kalian belum malam pertama?" Kesimpulan mereka kompak sama. Petra terpojok atas kalimat bernada offensive tersebut.
"Ya." Nyaris lirih suara Petra saat menjawab jujur.
"Petra. Sejak kau bergabung dalam satuan tugas ini, kau sudah menjadi perwakilan negara untuk menyelesaikan hal ini bersama." Avelino punya ide. Tapi Petra sudah dapat membaca maksudnya.
"Aku tidak berniat merayu Pascal lebih intim, ketua." Ada alasan yang tidak bisa Petra katakan di sini. Karena sesungguhnya, Petra tidak bisa menyerahkan keperawanannya pada pria kriminal itu.
"Terserah padamu dengan cara apa, yang jelas, misi ini harus segera diselesaikan sesegera mungkin. Kau pun tidak ingin berlama-lama hidup bersama pria itu kan? Aku sudah memberikan beberapa saran. Pikirkan cara terbaiknya." Avelino kemudian bangkit. "Rapat bubar!"
Petra mendadak kehilangan semangat. Tepukan di pundak dari Liam seakan mendukungnya. "Jangan khawatir, kami juga berusaha yang terbaik," ucap Liam sebelum berlalu pergi.
"Gunakan ini." Liam memberikan sebungkus serbuk pada Petra.
"Apa ini?" tanya Petra.
"Aku dapat dari lab. Katanya ini adalah obat kejujuran. Mungkin berguna untuk tugasmu jika kau tidak ingin tidur dengannya."
Petra pulang ke rumah besar Pascal. Rumah itu tidak memiliki penjagaan ketat dari bodyguard. Tetapi memiliki sensor yang dapat menjebak otomatis.
"Istriku, Petra! Kau darimana?" Pascal menyambut wanita itu masuk ke mansion. "Tidak melihatmu sebentar saja membuatku gelisah."
"Aku hanya jalan-jalan menjernihkan pikiran. Kepalaku jadi pusing mengingat perlakuanmu di belakangku," sindir Petra. Sebenarnya sikap dan kata-kata yang dia ucapkan tidak lebih sekedar akting.
"Maafkan aku. Aku salah. Kau ingin aku melakukan apa agar kau memaafkanku?" Mata Pascal berkaca-kaca. Mencerminkan permohonan yang putus asa.
Sosok pria ini sangat amat berbeda ketika di luar. Petra terkesan padanya. Kagum atas penguasaan kepribadian. Persis seperti dua orang berbeda. "Ayo kita duduk dan bercerita sambil minum," ajak Petra.
Sebotol anggur mahal dituangkan ke gelas kaca. Diam-diam Petra mencampurkan serbuk itu ke dalam minuman Pascal. Lalu duduk di sofa ruang tengah dalam kehangatan.
"Bagaimana harimu? Apakah semua berjalan lancar?" tanya Petra. Dia menantikan Pascal meminum amer mahal tersebut.
"Ya. Semua berlalu dengan membosankan. Hari ini aku tidak menembakkan peluru satu pun. Rasanya, tiada hari tanpa membunuh seseorang."
Dasar psikopat! Petra membatin.
"Mungkin sebaiknya kau mencari musuh yang sedang merencanakan sesuatu padamu, sebelum hal buruk terjadi," ujar Petra, meminum anggur merahnya sendiri.
"Aku masih belum menemukan orang yang menjebakku. Jalang yang tidur denganku sudah ditembak mati olehku."
***
"Sayang, aku ingin menebus kesalahanku padamu. Maukah kau mewujudkannya?" ujar Pascal."Tentu dengan senang hati aku mewujudkan keinginan suamiku." Senyum palsu mengembang di bibir Petra.Sebelum mengatakan sesuatu, Pascal meneguk habis amer di gelasnya. "Sejak kita menikah, kita belum pernah tidur selayaknya pengantin baru." Rona merah muncul di pipi putih Pascal. Dia tersenyum malu-malu.Namun Petra justru menegang."Apakah kau ingin kita berbulan madu?" tebak Petra."Kau benar. Tapi pekerjaanku sangat banyak. Tidak bisakah kita berbulan madu di mansion saja?""Kau sudah mabuk, Pascal." Petra waspada."Tidak... Aku belum sepenuhnya mabuk. Aku masih bisa melihat wajahmu yang memerah dengan jelas.""A-apa!" Petra gugup. Jantungnya berdegup kencang. Menggeser tubuhnya mundur, tetapi Pascal bergerak maju. Memojokkan posisi Petra di sofa."Petra... Istriku." Diraihnya tengkuk Petra oleh pria itu. Pascal pun menghapus jarak, berusaha menjangkau bibir Petra yang agak basah kena minum."Kau
"Kenapa kau ada di sini?" tanya Petra."Aku kebetulan sedang lewat sini. Oh ya, kenapa kau ada di sana? Keluar dari toko bunga?"Petra terhenyak. Toko bunga? Ah, tepat di samping gang itu ada toko bunga. "Ya, aku hanya melihat-lihat bunga di sana. Tapi tak ada bunga yang aku cari," kata Petra berbohong."Bunga apa yang kau inginkan? Aku bisa membelikannya untukmu sekarang," kata Pascal."Bunga Jasmine pink." Petra hanya asal bicara. Dia ragu apakah ada jenis bunga Jasmine berwarna pink? Haha. Rasanya dia ingin terkekeh saat ini. Menyenangkan bisa membodohi pria yang dihormati banyak orang itu."Baiklah. Aku akan memerintahkan Varios untuk membelinya sekarang." Ponsel dikeluarkan dari saku jasnya. Perkataan Pascal sontak mengejutkan benak Petra.Petra mendadak cemas. Bagaimana kalau bunga jenis itu betulan tidak ada? Bisa-bisa Pascal akan menaruh curiga padanya. "Tidak! Jangan, itu tidak penting lagi." Dia langsung menahan tangan Pascal yang akan mendial nomor Varios."Kenapa? Kau meng
"Tapi, kau tetap harus dihukum," ucap Pascal."Apa!""Apa kau tahu betapa berbahayanya tempat itu? Kau mudah menjadi makanan bagi mereka. Kenapa kau tidak mengajak bodyguard di rumah untuk menemanimu? Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu di sana?"Petra bungkam diserbu pertanyaan. "Aku terbiasa pergi sendirian. Aku..." Petra kebingungan, mencari alasan lain yang masuk akal."Ini salahmu! Kau jarang pulang lebih awal!" Akhirnya dia menyalahkan Pascal. Menyudutkan pria itu untuk merasa bersalah, alih-alih menginterogasi yang membuat Petra bisa terjebak dalam menjawabnya."Salahku?" gumam Pascal penuh tanya. Ekspresinya terkejut sekaligus bingung."Ya, aku akui aku jarang pulang lebih awal seperti yang kau harapkan. Karena itulah kau jadi kesepian di rumah." Kemudian Pascal bangun dari atas Petra, mereka duduk bersampingan."Mulai sekarang, aku akan lebih sering menghabiskan waktu berdua denganmu. Tidak peduli sepenting apa pekerjaan itu, aku akan memprioritaskan dirimu.""Tapi, kau in
"Pascal!"Pria itu merampas ponsel Petra, melemparnya ke dinding sampai berserakan di lantai. "Apa kau mengkhianatiku?" Pascal mencengkram rahang Petra, namun tidak sampai membuat wanita itu kesakitan."Pascal...""Jawab!" bentak Pascal.Petra bergetar ketakutan. Meskipun dia seorang polisi yang sedang bertugas secara rahasia, tetap saja dia hanya polisi muda yang belum banyak pengalaman di lapangan."Aku tidak pernah mengkhianatimu!" bohong Petra. Karena sejak awal, dia memanfaatkan pria itu.Bukan mengkhianatinya. Pascal saja yang tidak tahu kalau sedang dimanfaatkan. Jadi ini bukan salah Petra. Ya, bukan!"Aku akan mengetahuinya. Jadi tunggulah saat itu tiba." Lalu Pascal menyeret Petra ke kamar lain. Letaknya berada di belakang dan terpencil di antara seluruh ruangan di mansion.Petra didorong dengan kasar ke dalam kamar belakang itu, kemudian Pascal mengunci kamarnya dari luar. Sementara Petra langsung menggedor-gedor pintunya berusaha membujuk."Pascal! Kau salah paham! Pascal!
"Pascal bajingan! Keluarkan aku dari sini!" Petra dikurung lagi di kamar, kali ini di kamar mereka di lantai dua.Tidak ada ponsel, laptop maupun benda elektronik untuk berkomunikasi. Pascal telah menyita semua itu dari jangkauan Petra."Ini menyebalkan! Aku harus memberitahu teman-temanku kalau misi rahasia gagal dan diriku dijadikan sandera." Petra berpikir sambil berjalan mondar-mandir di dekat jendela.Terdengar suara mobil dari luar jendela. Petra melihatnya. Itu mobil milik Pascal baru saja tiba.Pria itu tampak keluar dari dalam mobilnya yang pintunya dibukakan seorang supir. Dia berjalan masuk ke rumah."Bagaimana istriku?" tanya Pascal pada pelayan wanita."Makanan yang kami bawakan ke kamar tidak sedikit pun disentuh nyonya. Nyonya ingin bertemu dengan tuan secepatnya."Laporan pelayan tersebut membawa langkah lebar Pascal menuju lantai dua. Dia menekan kata sandi pada pintu kamar sebelum berhasil terbuka dengan mudah."Petra." Pascal melihat seisi kamar dan menemukan Petra
"Mudah saja kami menemukanmu karena suamimu cukup mencolok," kata ketua tim. Jemy."Sekarang kita akan kemana? Ke markas?" tanya Petra.Jemy menggeleng. "Tempat itu berbahaya untukmu sekarang. Karena kepala kepolisian sudah disuap, sedangkan suamimu pasti mencarimu. Kalau ada yang melihatmu di markas, kemungkinan besar kau akan diseret lagi oleh suamimu."Petra menghela napas lelah. "Lalu aku harus bersembunyi di mana?" gumamnya sambil memandang ke luar jendela mobil."Apartemen Amora untuk sementara waktu," ujar ketua tim.Petra beralih menatap Amora yang duduk di sampingnya. Amora tampak mengangguk seolah menyetujui hal tersebut.Tidak lama kemudian mobil yang dikendarai Jemy berhenti di depan apartemen lima lantai. Mereka turun, menaiki tangga menuju lantai tiga. Setelah menekan tombol kata sandi, Amora mempersilahkan mereka masuk."Apa kau membawa ponselmu, Petra?" tanya Jemy."Tidak. Pascal tidak memberiku akses ke benda elektronik mana pun.""Bagus. Dengan begitu mereka tidak mud
Petra terbangun dari tidurnya. Saat matanya membuka, sosok Pascal terlihat di sampingnya.Pascal, suami yang tampan namun misterius ini, terbaring dengan tenang sambil memeluknya, seakan-akan tidak memiliki masalah hidup.Petra heran dengan dirinya sendiri. Bisa-bisanya tidur seranjang dengan seorang kriminal ini. Pada nyatanya, naluri Petra tidak siap melihat Pascal diborgol polisi. Walau sepertinya Petra ragu kalau orang kaya seperti Pascal bisa dipenjara."Pascal, kau harus pergi." Petra mengguncang tubuh Pascal. Pascal terbangun karena terganggu. "Kenapa kau tidak pulang ke rumahmu? Lepaskan pelukanmu dariku, aku harus bersiap untuk bertugas.""Aku tidak mau pulang jika tanpamu," sahut Pascal dengan suara yang masih serak. "Aku ingin memelukmu lebih lama lagi." Dia mempererat pelukannya, merengkuh tubuh kurus Petra yang terlihat lebih kecil di tubuh besar pria itu."Nanti aku terlambat. Menyingkir lah!""Apa kau tidak mau menangkapku? Ayo borgol tanganku." Pascal bercanda.Petr
Pascal menutup layar laptopnya kemudian tersenyum samar. Dihampiri seorang bawahan yang melapor, Pascal kemudian beranjak pergi dari sofa.Dia memasuki ruangan gelap, menemui seseorang yang tampak terikat tali di kursi. Cahaya rembulan dari jendela memperjelas wajah tawanan itu."Kau telah melukai kekasih hatiku dengan tanganmu. Apakah aku harus melakukan hal yang sama kepadamu?" Bayangan perawakan tegap Pascal berada di dalam sisi gelap yang tak terjangkau cahaya."Siapa kau? Apa kau punya dendam pribadi padaku?" sahut tawanan itu yang merupakan seorang pria.Tidak ada luka atau jejak bogem mentah di wajah tawanan alias pencopet tadi siang. Pascal belum menyuruh anak buahnya bertindak selain membawanya ke sini."Aku tidak mengenalmu. Aku tidak peduli tentangmu. Tapi setelah kau membuat wajah wanitaku terluka. Aku tidak tinggal diam."Pascal tidak membiarkan siapapun melukai tubuh Petra. "Yang boleh melukainya hanyalah diriku." Dia menekankan kalimatnya. Menegaskan bahwa wanita itu ad