"Pascal!"
Pria itu merampas ponsel Petra, melemparnya ke dinding sampai berserakan di lantai. "Apa kau mengkhianatiku?" Pascal mencengkram rahang Petra, namun tidak sampai membuat wanita itu kesakitan.
"Pascal..."
"Jawab!" bentak Pascal.
Petra bergetar ketakutan. Meskipun dia seorang polisi yang sedang bertugas secara rahasia, tetap saja dia hanya polisi muda yang belum banyak pengalaman di lapangan.
"Aku tidak pernah mengkhianatimu!" bohong Petra. Karena sejak awal, dia memanfaatkan pria itu.
Bukan mengkhianatinya. Pascal saja yang tidak tahu kalau sedang dimanfaatkan. Jadi ini bukan salah Petra. Ya, bukan!
"Aku akan mengetahuinya. Jadi tunggulah saat itu tiba." Lalu Pascal menyeret Petra ke kamar lain. Letaknya berada di belakang dan terpencil di antara seluruh ruangan di mansion.
Petra didorong dengan kasar ke dalam kamar belakang itu, kemudian Pascal mengunci kamarnya dari luar. Sementara Petra langsung menggedor-gedor pintunya berusaha membujuk.
"Pascal! Kau salah paham! Pascal! Buka pintunya!" Teriakan Petra tidak diindahkan Pascal yang melenggang pergi dengan kemarahan di dada.
"Sial!" geram Petra menendang meja, seketika dia meringis sakit pada kakinya.
"Dia menghancurkan ponselku, di kamar ini juga tidak ada benda elektronik, dan jendelanya di tralis! Bagaimana aku bisa kabur?" Petra merosot terduduk lemas di lantai. Selain hanya ada ranjang dan satu set meja kursi, ada pintu lain di sudut ruangan yang tak bukan adalah kamar mandi.
"Kuharap mereka selamat." Kekhawatirannya membayangkan Liam dan tim di sana.
Petra duduk memeluk lututnya dan bayangan masa lalu teringat kembali di kepalanya. Tentang pertemuannya dengan Pascal tiga tahun silam.
"Kau dikejar para orang-orang berjas hitam itu kan? Ayo ikut aku!" Petra menarik tangan Pascal, teman kelas di kampus. Mereka berlari melingasi gang gelap lalu masuk ke dalam salah satu flat di sana, tempat tinggal Petra.
"Duduklah, aku akan mengobati lukamu," ujar gadis itu. Mengambil kotak medis lalu duduk di samping Pascal di sofa.
"Tahanlah mungkin ini akan sedikit sakit." Kapas alkohol siap ditempelkan ke luka memar di wajah pria itu.
Sesaat membuat Pascal meringis perih. Tatapannya terus memperhatikan wajah serius Petra yang sedang mengobatinya.
"Petra, kenapa kau menyelamatkan diriku?" tanya Pascal. "Kita bukan teman dekat. Bahkan kita hampir tidak pernah bertegur sapa di kampus." Keheranan Pascal membuatnya bertanya-tanya.
"Apa yang salah dari menolong orang yang membutuhkan bantuan?" balas Petra.
Pascal tak berkedip menatapnya. "Petra, apa kau sudah punya pacar?"
Pertanyaan tiba-tiba itu menghentikan tangan Petra, lalu membalas tatapan mata Pascal sejenak. "Aku tidak memiliki pikiran seperti itu. Beberapa minggu lagi ujian kelulusan. Aku hanya fokus pada tugasku sebagai mahasiswi. Kenapa kau bertanya begitu?" ujar Petra seraya menempelkan plester di bawah mata Pascal.
"Jika kau punya pacar, aku tidak ingin kekasihmu melihatku di rumahmu berdua. Bisa terjadi kesalahpahaman di antara kita nanti," jelas Pascal.
"Suatu saat, aku akan kembali lagi padamu untuk kedua kali setelah hari ini." Pascal berucap serius.
"Kenapa? Berhutang budi karena sudah kuselamatkan? Tidak perlu~" Petra mengibaskan tangannya.
"Tidak. Ini bukan hutang budi. Tetapi keinginan yang tumbuh di dalam hatiku." Pascal merangkum wajah Petra kemudian mencium bibirnya dengan lembut.
Suara kunci dibuka seketika melenyapkan bayangan masa lalu. Petra menoleh pada seseorang yang masuk.
"Apa kau tidak tidur?" tanya Pascal berdiri diambang pintu. Dia melihat Petra hanya duduk di dekat jendela, sementara langit sudah cerah.
"Bagaimana aku bisa tidur dengan nyenyak kalau kau marah dan mengurungku di sini," balas Petra.
Lingkaran hitam di bawah matanya terlihat samar. Petra hanya sempat tertidur beberapa saat sebelum terbangun lagi dengan perasaan gelisah.
"Makan," perintah Pascal. Meletakkan nampan itu ke meja bundar.
"Aku belum ingin mati hari ini," tekan Petra.
"Apa kau berpikir aku mencampurkan racun ke dalam makananmu?" tebak Pascal. Diamnya Petra membuat Pascal mendengus.
"Kau tidak akan mati untuk sekarang. Jadi, makanlah dan habiskan." Setelah mengatakan itu, Pascal bersiap keluar dari kamar. Namun suara Petra di belakangnya menghentikan tubuh Pascal.
"Apa kau sudah mengetahui apa yang kau cari?" tanya Petra.
"Di tunggu saja. Kau akan tahu apa yang akan terjadi padamu setelah ini," ucap Pascal tanpa menoleh, kemudian menutup pintu keluar.
"Pascal!" kesal Petra, diabaikan.
Tiba-tiba ide muncul di kepalanya saat menatap nampan makanan di meja. "Aku bisa keluar dari sini selama ada benda yang bisa dijadikan senjata," gumam Petra, matanya menyiratkan percaya diri.
Alih-alih menghabiskan makanan itu, Petra menggunakan sendok untuk mencongkel pintu. Dia masih ingat cara menggunakannya, sewaktu pelatihan di institusi.
Bahkan maling kelas rendahan pun bisa melakukan hal seperti ini. Petra membuktikan kemampuan sederhananya dan berhasil terbuka.
Dengan menyelinap hati-hati keluar kamar, Petra pergi menuju pintu belakang yang lebih dekat untuk keluar.
Tapi sial, pintu belakang dikunci rapat. Saat mencoba mencongkelnya lagi menggunakan sendok di tangan, Petra merasakan sesuatu mengawasinya.
Petra tahu tidak ada cctv di sini, kendati kemungkinan saat dirinya berjalan keluar dari kamar tadi terlihat dalam jangkauan cctv.
"Sepertinya burung kenari ini ingin terbang di luar."
Petra membeku. Sekujur tubuhnya merinding. Tepat di belakangnya adalah Pascal yang menatap tajam bak hantu di kegelapan.
"Berbalik!" Suaranya menitah dingin.
Petra dengan ragu-ragu memutar perlahan tubuhnya. "Biarkan aku pergi, okey?" pinta Petra setengah memohon.
"Pergi kemana? Rumahmu di sini." Pascal seketika menyentak tangan Petra, dan membuat sendok itu terpelanting ke lantai.
"Aw, sakit, Pascal!" Cengkraman di pergelangan tangan terasa kuat dari pria itu. Seolah-olah tangannya akan dihancurkan dalam genggaman Pascal.
"Pascal lepaskan tanganku!" rengek Petra menggeliatkan tangannya. Sontak tubuhnya tersentak maju saat Pascal menariknya mendekat.
"Kau..." Pascal genggam rahang Petra dengan satu tangannya yang bebas. Tatapan setajam elang itu menusuk ke mata Petra yang resah.
"Siapa kau sebenarnya?" Pascal berusaha mencari jawaban di dalam sorot mata Petra.
"Apakah benar data yang aku dapatkan bahwa kau sebenarnya seorang polisi yang sedang menyamar menjadi istriku?" Ucapan Pascal sudah diduga-duga Petra.
Karena bagaimanapun, rahasia yang disembunyikan seapik apapun akan terungkap juga. Tapi Petra tidak menyangka akan ketahuan secepat ini.
Bagaimana jika dia menyanggah tuduhan Pascal? Kira-kira seperti apa reaksi pria itu?
"Pascal, kau tahu kalau aku menikahimu karena aku mencintaimu. Kenapa kau berpikir sejauh itu?" Petra berkilah secara halus. Memanfaatkan cinta kasih Pascal kepadanya yang tulus.
"Aku telah menangkap salah seorang di antara penyusup di kantorku. Dia masih bungkam tapi aku yakin suatu saat dia akan mengungkapkan semuanya."
"Apa maksudmu?" kaget Petra, matanya membulat cemas.
"Hmm siapa tadi namanya ya? Liam?" ucap Pascal seakan-akan sedang mengingat-ingat.
"Jangan sentuh dia!" bentak Petra.
Pascal terkejut melihat responnya. Namun dia tetap terlihat tenang, justru menyeringai. "Oh, apakah dia saudaramu?"
"Aku pernah dengar kalau kau hidup sebatang kara, tanpa orang tua dan sanak saudara sejak kuliah. Nenekmu sudah meninggal sebelum kita lulus kuliah. Lalu setahun kemudian seorang pria bernama Liam datang kepadamu. Saudara sepupu jauh yang akhirnya membuatmu tidak hidup sendirian lagi."
Pengetahuan Pascal terhadap semua itu cukup mengesankan bagi Petra. Pria itu tidak ada bedanya seperti stalker.
Namun demikian, dengan kecepatan informasi yang Pascal miliki menggunakan teknologi canggih, memudahkannya untuk mencari semua latar belakang seseorang dalam hitungan menit.
"Aku sekarang tahu alasanmu menikahiku. Kau ingin mencari bukti atas kejahatan yang telah aku lakukan terhadap putera gubernur itu bukan? Bagaimana hasilnya?" kata Pascal menantang.
"Bajingan!" desis Petra.
"Kau telah menyembunyikan identitas aslimu sebagai polisi dengan sangat baik sehingga berhasil membuatku percaya padamu. Namun hari ini, semua usahamu harus gagal, sayang. Kau takkan bisa pergi kemana-mana lagi."
***
"Pascal bajingan! Keluarkan aku dari sini!" Petra dikurung lagi di kamar, kali ini di kamar mereka di lantai dua.Tidak ada ponsel, laptop maupun benda elektronik untuk berkomunikasi. Pascal telah menyita semua itu dari jangkauan Petra."Ini menyebalkan! Aku harus memberitahu teman-temanku kalau misi rahasia gagal dan diriku dijadikan sandera." Petra berpikir sambil berjalan mondar-mandir di dekat jendela.Terdengar suara mobil dari luar jendela. Petra melihatnya. Itu mobil milik Pascal baru saja tiba.Pria itu tampak keluar dari dalam mobilnya yang pintunya dibukakan seorang supir. Dia berjalan masuk ke rumah."Bagaimana istriku?" tanya Pascal pada pelayan wanita."Makanan yang kami bawakan ke kamar tidak sedikit pun disentuh nyonya. Nyonya ingin bertemu dengan tuan secepatnya."Laporan pelayan tersebut membawa langkah lebar Pascal menuju lantai dua. Dia menekan kata sandi pada pintu kamar sebelum berhasil terbuka dengan mudah."Petra." Pascal melihat seisi kamar dan menemukan Petra
"Mudah saja kami menemukanmu karena suamimu cukup mencolok," kata ketua tim. Jemy."Sekarang kita akan kemana? Ke markas?" tanya Petra.Jemy menggeleng. "Tempat itu berbahaya untukmu sekarang. Karena kepala kepolisian sudah disuap, sedangkan suamimu pasti mencarimu. Kalau ada yang melihatmu di markas, kemungkinan besar kau akan diseret lagi oleh suamimu."Petra menghela napas lelah. "Lalu aku harus bersembunyi di mana?" gumamnya sambil memandang ke luar jendela mobil."Apartemen Amora untuk sementara waktu," ujar ketua tim.Petra beralih menatap Amora yang duduk di sampingnya. Amora tampak mengangguk seolah menyetujui hal tersebut.Tidak lama kemudian mobil yang dikendarai Jemy berhenti di depan apartemen lima lantai. Mereka turun, menaiki tangga menuju lantai tiga. Setelah menekan tombol kata sandi, Amora mempersilahkan mereka masuk."Apa kau membawa ponselmu, Petra?" tanya Jemy."Tidak. Pascal tidak memberiku akses ke benda elektronik mana pun.""Bagus. Dengan begitu mereka tidak mud
Petra terbangun dari tidurnya. Saat matanya membuka, sosok Pascal terlihat di sampingnya.Pascal, suami yang tampan namun misterius ini, terbaring dengan tenang sambil memeluknya, seakan-akan tidak memiliki masalah hidup.Petra heran dengan dirinya sendiri. Bisa-bisanya tidur seranjang dengan seorang kriminal ini. Pada nyatanya, naluri Petra tidak siap melihat Pascal diborgol polisi. Walau sepertinya Petra ragu kalau orang kaya seperti Pascal bisa dipenjara."Pascal, kau harus pergi." Petra mengguncang tubuh Pascal. Pascal terbangun karena terganggu. "Kenapa kau tidak pulang ke rumahmu? Lepaskan pelukanmu dariku, aku harus bersiap untuk bertugas.""Aku tidak mau pulang jika tanpamu," sahut Pascal dengan suara yang masih serak. "Aku ingin memelukmu lebih lama lagi." Dia mempererat pelukannya, merengkuh tubuh kurus Petra yang terlihat lebih kecil di tubuh besar pria itu."Nanti aku terlambat. Menyingkir lah!""Apa kau tidak mau menangkapku? Ayo borgol tanganku." Pascal bercanda.Petr
Pascal menutup layar laptopnya kemudian tersenyum samar. Dihampiri seorang bawahan yang melapor, Pascal kemudian beranjak pergi dari sofa.Dia memasuki ruangan gelap, menemui seseorang yang tampak terikat tali di kursi. Cahaya rembulan dari jendela memperjelas wajah tawanan itu."Kau telah melukai kekasih hatiku dengan tanganmu. Apakah aku harus melakukan hal yang sama kepadamu?" Bayangan perawakan tegap Pascal berada di dalam sisi gelap yang tak terjangkau cahaya."Siapa kau? Apa kau punya dendam pribadi padaku?" sahut tawanan itu yang merupakan seorang pria.Tidak ada luka atau jejak bogem mentah di wajah tawanan alias pencopet tadi siang. Pascal belum menyuruh anak buahnya bertindak selain membawanya ke sini."Aku tidak mengenalmu. Aku tidak peduli tentangmu. Tapi setelah kau membuat wajah wanitaku terluka. Aku tidak tinggal diam."Pascal tidak membiarkan siapapun melukai tubuh Petra. "Yang boleh melukainya hanyalah diriku." Dia menekankan kalimatnya. Menegaskan bahwa wanita itu ad
"Pascal, setelah tahu aku hanya memanfaatkanmu, kenapa kau tidak menceraikanku atau membunuhku?"Petra telah kembali ke rumah besar mereka sebagai pasutri. Namun kembalinya ke rumah ini justru menyadarkan Petra akan sikap Pascal yang tetap menganggapnya sebagai istri."Apakah yang kuucapkan tidak cukup kau pahami? Sekali kau menjadi istriku, takkan kulepaskan kau sampai akhir hayatku." Tegas kata-kata Pascal dengan raut serius. Tetap tidak meluluhkan hati Petra untuk percaya perkataan laki-laki.Karena Petra memiliki trust issue, mengingat sifat pria biasanya tidak puas hanya dengan satu wanita. Terlebih Pascal adalah pria muda mapan yang kaya raya. Kehidupannya dikelilingi para wanita.Petra mendengus. "Seberapa penting bagimu pernikahan ini?""Sangat penting selama itu adalah dirimu," ucap Pascal."Pascal, ini tetap tidak masuk akal." Petra menunduk, memegangi keningnya. "Katakan yang sejujurnya. Kau ingin memanfaatkanku untuk hal apa?""Tidak ada." Pascal menjawab pendek."Kenapa t
Petra berlari secepat mungkin, nafasnya tersengal-sengal. Pemotor itu sudah meninggalkan motornya dan berlari ke dalam jalan sempit yang minim penerangan. Petra berusaha keras untuk tidak kehilangan jejaknya. Bayangan gelap menyelimuti sekelilingnya, hanya beberapa lampu remang-remang yang memberikan sedikit penerangan.Di ujung jalan, Petra melihat sebuah pintu dengan cahaya samar keluar dari celahnya. Dia mendekat, menyadari bahwa itu adalah klub malam rahasia. Untuk masuk, dia membutuhkan kartu member, tetapi dia tidak punya. Dengan hati-hati, Petra memutuskan untuk pulang dan menyusun rencana."Petra!" Liam berhasil menyusul."Liam, dia masuk ke dalam klub malam. Tapi kita tidak punya kartu member. Kalau pun masuk sebagai polisi tetap tidak bisa karena tidak memiliki surat tugas untuk melakukan hal ini," kata Petra."Apa kau melihat wajahnya?" tanya Liam."Tidak. Dia menggunakan masker dan poni rambutnya menutupi sebagian wajahnya. Tempat ini juga cukup gelap untuk mengenali waja
Petra terbangun keesokan paginya dengan kepala terasa berat dan tubuh yang lelah. Matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai kamar, menerangi ruangan dengan cahaya hangat. Petra duduk di tepi tempat tidur, mencoba mengingat kejadian semalam. Dia hanya mengingat dirinya duduk di meja bar, meneguk minuman amer, tetapi selebihnya, semuanya terasa kabur.Dengan enggan, Petra bangkit dari tempat tidur dan berjalan pelan menuju dapur. Aroma roti panggang yang harum menyambutnya begitu dia memasuki ruangan. Pascal, suaminya, sudah menyiapkan makanan di meja makan dengan setelan kemeja hitam tanpa dasi atau jas. Di hadapannya, ada berbagai wadah selai roti yang tersusun rapi."Good morning, my wife," sapa Pascal dengan senyum lembut. "Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu. Bagaimana perasaanmu?"Petra mengangguk pelan, duduk di kursi di seberang Pascal. "Aku merasa sedikit pusing, tapi terima kasih sudah menyiapkan sarapan," jawabnya sambil mencoba tersenyum.Pascal menyodorkan sepiring
"Aku akan menembakmu jika selangkah keluar dari sini." Pascal menodongkan pistol ke punggung Petra dua meter di hadapannya."Kenapa kau tidak membiarkanku pergi?" Petra bicara tanpa berbalik badan. Hanya berdiri memunggungi Pascal. "Aku benci pria yang tidak setia seperti dirimu. Kau tidur bersama wanita lain di hotel ini. Alasan apalagi yang lebih masuk akal?" Stabil nada suaranya yang terdengar tegas."Ini kesalahan! Aku tidak melakukannya dengan sadar! Seseorang pasti memasukkan sesuatu ke dalam minumanku!" Kegeraman tercemin di wajah tampan Pascal. Dia terlihat sangat marah, namun bingung."Sial. Akan kutemukan orang yang menjebakku! Argh!" Sontak dia memegangi kepalanya saat terasa pusing menyerang tiba-tiba."Haruskah kita bercerai hari ini?" Usulan Petra mendapat pelototan mata Pascal yang terkejut."Aku tidak akan pernah menandatangani surat cerai!" Pascal keras kepala. "Lalu, kenapa kau berselingkuh dariku?""Sudah kubilang! Aku dijebak! Kau tahu sendiri, aku sebagai ketua