Pascal menutup layar laptopnya kemudian tersenyum samar. Dihampiri seorang bawahan yang melapor, Pascal kemudian beranjak pergi dari sofa.Dia memasuki ruangan gelap, menemui seseorang yang tampak terikat tali di kursi. Cahaya rembulan dari jendela memperjelas wajah tawanan itu."Kau telah melukai kekasih hatiku dengan tanganmu. Apakah aku harus melakukan hal yang sama kepadamu?" Bayangan perawakan tegap Pascal berada di dalam sisi gelap yang tak terjangkau cahaya."Siapa kau? Apa kau punya dendam pribadi padaku?" sahut tawanan itu yang merupakan seorang pria.Tidak ada luka atau jejak bogem mentah di wajah tawanan alias pencopet tadi siang. Pascal belum menyuruh anak buahnya bertindak selain membawanya ke sini."Aku tidak mengenalmu. Aku tidak peduli tentangmu. Tapi setelah kau membuat wajah wanitaku terluka. Aku tidak tinggal diam."Pascal tidak membiarkan siapapun melukai tubuh Petra. "Yang boleh melukainya hanyalah diriku." Dia menekankan kalimatnya. Menegaskan bahwa wanita itu ad
"Pascal, setelah tahu aku hanya memanfaatkanmu, kenapa kau tidak menceraikanku atau membunuhku?"Petra telah kembali ke rumah besar mereka sebagai pasutri. Namun kembalinya ke rumah ini justru menyadarkan Petra akan sikap Pascal yang tetap menganggapnya sebagai istri."Apakah yang kuucapkan tidak cukup kau pahami? Sekali kau menjadi istriku, takkan kulepaskan kau sampai akhir hayatku." Tegas kata-kata Pascal dengan raut serius. Tetap tidak meluluhkan hati Petra untuk percaya perkataan laki-laki.Karena Petra memiliki trust issue, mengingat sifat pria biasanya tidak puas hanya dengan satu wanita. Terlebih Pascal adalah pria muda mapan yang kaya raya. Kehidupannya dikelilingi para wanita.Petra mendengus. "Seberapa penting bagimu pernikahan ini?""Sangat penting selama itu adalah dirimu," ucap Pascal."Pascal, ini tetap tidak masuk akal." Petra menunduk, memegangi keningnya. "Katakan yang sejujurnya. Kau ingin memanfaatkanku untuk hal apa?""Tidak ada." Pascal menjawab pendek."Kenapa t
Petra berlari secepat mungkin, nafasnya tersengal-sengal. Pemotor itu sudah meninggalkan motornya dan berlari ke dalam jalan sempit yang minim penerangan. Petra berusaha keras untuk tidak kehilangan jejaknya. Bayangan gelap menyelimuti sekelilingnya, hanya beberapa lampu remang-remang yang memberikan sedikit penerangan.Di ujung jalan, Petra melihat sebuah pintu dengan cahaya samar keluar dari celahnya. Dia mendekat, menyadari bahwa itu adalah klub malam rahasia. Untuk masuk, dia membutuhkan kartu member, tetapi dia tidak punya. Dengan hati-hati, Petra memutuskan untuk pulang dan menyusun rencana."Petra!" Liam berhasil menyusul."Liam, dia masuk ke dalam klub malam. Tapi kita tidak punya kartu member. Kalau pun masuk sebagai polisi tetap tidak bisa karena tidak memiliki surat tugas untuk melakukan hal ini," kata Petra."Apa kau melihat wajahnya?" tanya Liam."Tidak. Dia menggunakan masker dan poni rambutnya menutupi sebagian wajahnya. Tempat ini juga cukup gelap untuk mengenali waja
Petra terbangun keesokan paginya dengan kepala terasa berat dan tubuh yang lelah. Matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai kamar, menerangi ruangan dengan cahaya hangat. Petra duduk di tepi tempat tidur, mencoba mengingat kejadian semalam. Dia hanya mengingat dirinya duduk di meja bar, meneguk minuman amer, tetapi selebihnya, semuanya terasa kabur.Dengan enggan, Petra bangkit dari tempat tidur dan berjalan pelan menuju dapur. Aroma roti panggang yang harum menyambutnya begitu dia memasuki ruangan. Pascal, suaminya, sudah menyiapkan makanan di meja makan dengan setelan kemeja hitam tanpa dasi atau jas. Di hadapannya, ada berbagai wadah selai roti yang tersusun rapi."Good morning, my wife," sapa Pascal dengan senyum lembut. "Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu. Bagaimana perasaanmu?"Petra mengangguk pelan, duduk di kursi di seberang Pascal. "Aku merasa sedikit pusing, tapi terima kasih sudah menyiapkan sarapan," jawabnya sambil mencoba tersenyum.Pascal menyodorkan sepiring
"Aku akan menembakmu jika selangkah keluar dari sini." Pascal menodongkan pistol ke punggung Petra dua meter di hadapannya."Kenapa kau tidak membiarkanku pergi?" Petra bicara tanpa berbalik badan. Hanya berdiri memunggungi Pascal. "Aku benci pria yang tidak setia seperti dirimu. Kau tidur bersama wanita lain di hotel ini. Alasan apalagi yang lebih masuk akal?" Stabil nada suaranya yang terdengar tegas."Ini kesalahan! Aku tidak melakukannya dengan sadar! Seseorang pasti memasukkan sesuatu ke dalam minumanku!" Kegeraman tercemin di wajah tampan Pascal. Dia terlihat sangat marah, namun bingung."Sial. Akan kutemukan orang yang menjebakku! Argh!" Sontak dia memegangi kepalanya saat terasa pusing menyerang tiba-tiba."Haruskah kita bercerai hari ini?" Usulan Petra mendapat pelototan mata Pascal yang terkejut."Aku tidak akan pernah menandatangani surat cerai!" Pascal keras kepala. "Lalu, kenapa kau berselingkuh dariku?""Sudah kubilang! Aku dijebak! Kau tahu sendiri, aku sebagai ketua
"Sayang, aku ingin menebus kesalahanku padamu. Maukah kau mewujudkannya?" ujar Pascal."Tentu dengan senang hati aku mewujudkan keinginan suamiku." Senyum palsu mengembang di bibir Petra.Sebelum mengatakan sesuatu, Pascal meneguk habis amer di gelasnya. "Sejak kita menikah, kita belum pernah tidur selayaknya pengantin baru." Rona merah muncul di pipi putih Pascal. Dia tersenyum malu-malu.Namun Petra justru menegang."Apakah kau ingin kita berbulan madu?" tebak Petra."Kau benar. Tapi pekerjaanku sangat banyak. Tidak bisakah kita berbulan madu di mansion saja?""Kau sudah mabuk, Pascal." Petra waspada."Tidak... Aku belum sepenuhnya mabuk. Aku masih bisa melihat wajahmu yang memerah dengan jelas.""A-apa!" Petra gugup. Jantungnya berdegup kencang. Menggeser tubuhnya mundur, tetapi Pascal bergerak maju. Memojokkan posisi Petra di sofa."Petra... Istriku." Diraihnya tengkuk Petra oleh pria itu. Pascal pun menghapus jarak, berusaha menjangkau bibir Petra yang agak basah kena minum."Kau
"Kenapa kau ada di sini?" tanya Petra."Aku kebetulan sedang lewat sini. Oh ya, kenapa kau ada di sana? Keluar dari toko bunga?"Petra terhenyak. Toko bunga? Ah, tepat di samping gang itu ada toko bunga. "Ya, aku hanya melihat-lihat bunga di sana. Tapi tak ada bunga yang aku cari," kata Petra berbohong."Bunga apa yang kau inginkan? Aku bisa membelikannya untukmu sekarang," kata Pascal."Bunga Jasmine pink." Petra hanya asal bicara. Dia ragu apakah ada jenis bunga Jasmine berwarna pink? Haha. Rasanya dia ingin terkekeh saat ini. Menyenangkan bisa membodohi pria yang dihormati banyak orang itu."Baiklah. Aku akan memerintahkan Varios untuk membelinya sekarang." Ponsel dikeluarkan dari saku jasnya. Perkataan Pascal sontak mengejutkan benak Petra.Petra mendadak cemas. Bagaimana kalau bunga jenis itu betulan tidak ada? Bisa-bisa Pascal akan menaruh curiga padanya. "Tidak! Jangan, itu tidak penting lagi." Dia langsung menahan tangan Pascal yang akan mendial nomor Varios."Kenapa? Kau meng
"Tapi, kau tetap harus dihukum," ucap Pascal."Apa!""Apa kau tahu betapa berbahayanya tempat itu? Kau mudah menjadi makanan bagi mereka. Kenapa kau tidak mengajak bodyguard di rumah untuk menemanimu? Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu di sana?"Petra bungkam diserbu pertanyaan. "Aku terbiasa pergi sendirian. Aku..." Petra kebingungan, mencari alasan lain yang masuk akal."Ini salahmu! Kau jarang pulang lebih awal!" Akhirnya dia menyalahkan Pascal. Menyudutkan pria itu untuk merasa bersalah, alih-alih menginterogasi yang membuat Petra bisa terjebak dalam menjawabnya."Salahku?" gumam Pascal penuh tanya. Ekspresinya terkejut sekaligus bingung."Ya, aku akui aku jarang pulang lebih awal seperti yang kau harapkan. Karena itulah kau jadi kesepian di rumah." Kemudian Pascal bangun dari atas Petra, mereka duduk bersampingan."Mulai sekarang, aku akan lebih sering menghabiskan waktu berdua denganmu. Tidak peduli sepenting apa pekerjaan itu, aku akan memprioritaskan dirimu.""Tapi, kau in