"Tapi, kau tetap harus dihukum," ucap Pascal.
"Apa!"
"Apa kau tahu betapa berbahayanya tempat itu? Kau mudah menjadi makanan bagi mereka. Kenapa kau tidak mengajak bodyguard di rumah untuk menemanimu? Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu di sana?"
Petra bungkam diserbu pertanyaan. "Aku terbiasa pergi sendirian. Aku..." Petra kebingungan, mencari alasan lain yang masuk akal.
"Ini salahmu! Kau jarang pulang lebih awal!" Akhirnya dia menyalahkan Pascal. Menyudutkan pria itu untuk merasa bersalah, alih-alih menginterogasi yang membuat Petra bisa terjebak dalam menjawabnya.
"Salahku?" gumam Pascal penuh tanya. Ekspresinya terkejut sekaligus bingung.
"Ya, aku akui aku jarang pulang lebih awal seperti yang kau harapkan. Karena itulah kau jadi kesepian di rumah." Kemudian Pascal bangun dari atas Petra, mereka duduk bersampingan.
"Mulai sekarang, aku akan lebih sering menghabiskan waktu berdua denganmu. Tidak peduli sepenting apa pekerjaan itu, aku akan memprioritaskan dirimu."
"Tapi, kau ingin dihukum dengan apa sayang?" tanya Pascal memojokkan Petra di kursi mobil. Dia menolehkan dagu Petra sekali lagi.
Tatapan mereka bertemu dengan sorot bertolakbelakang. Petra yang selalu waspada, sedangkan Pascal menyiratkan ancaman.
"Pascal... Aku tidak suka dihukum terlalu keras. Memangnya apa rencanamu atas hukumanku?" sahut Petra ingin tahu isi pikiran pria itu.
"Kau akan menikmatinya." Pascal menyeringai misterius. Petra menegang kaku hingga sulit menelan ludahnya sendiri.
***
"Aw! Pascal!"
Petra menggertakan giginya. Petra pikir, Pascal hanya kejam pada orang lain. Namun salah.
"Kau harus tahu bahwa setelah kita menikah, seluruh tubuh dan hidupmu adalah milikku!" Sebuah cambuk mendarat lagi di pinggang Petra. Senyum miring Pascal mengiringi dengan tatapan penuh hasrat.
"Inilah hukumannya jika pria lain menyentuh tubuhmu, istriku," bisik suara Pascal tepat di telinganya.
"Lepaskan tanganku. Kau pikir aku penjahat yang diborgol?" dengus Petra. Meskipun hanya dua cambukan di belakang tubuhnya yang terbalut kemeja, Petra masih bisa merasakan sedikit nyeri di sana.
"Apakah sakit?" tanya Pascal dengan raut khawatir. Ekspresinya berubah begitu cepat seperti aktor di depan kamera. Namun, sorot matanya menunjukkan ketulusan saat menatap Petra.
"Tidak ada seorang pun yang menyukai rasa sakit, Pascal," ucap Petra setelah kunci borgolnya dilepas pria itu.
Tiba-tiba dering ponsel mengusik mereka berdua di kamar. Pascal menjawab panggilan telepon dari bawahannya segera.
"Apa! Penyusup? Aku akan ke sana." Pascal menutup panggilan tersebut.
"Kau mau kemana? Ini sudah larut malam," kata Petra saat Pascal bersiap pergi.
"Ada hal mendesak. Kau istirahat saja. Aku akan kembali segera."
Seketika Petra menahan lengan Pascal. Pascal menoleh kepadanya dengan bingung. "Katamu, kau berjanji akan memprioritaskan diriku agar aku tidak kesepian? Tapi sekarang kau sudah mau pergi lagi tanpa melihat waktu."
Bagaimana bisa pria ini beraktivitas seharian penuh tanpa lelah begitu?
Kesibukan Pascal benar-benar gila. Hampir dua puluh empat jam pria itu tidak berada di rumah, dan hal ini terus berlangsung selama pernikahan mereka.
"Pascal, jika masalah itu bisa ditangani bawahanmu, maka biarkan saja. Kau harus istirahat. Kau itu manusia, ingatlah." Walau telah dicambuk olehnya, Petra tetap memberikan perhatian manis pada Pascal.
Namun sebenarnya, Petra tahu permasalahan di luar sana yang membuat Pascal akan pergi. Bahwa seharusnya sekarang salah satu rekan timnya sedang mencuri data di kantor.
Saat di pub tadi, Petra sempat melakukan pertemuan singkat dengan Avelino. Merencanakan untuk menyabotase perangkat elektronik di kantor Pascal secara langsung, setelah percobaan meretas dari jarak jauh tidak berhasil.
"Sayangku, maaf aku telah lupa dengan hal itu." Pascal berucap murung.
"Kau lupa karena kau kurang istirahat." Dibelainya pipi mulus Pascal dengan sayang. "Sebaiknya kita tidur sekarang," ajak Petra.
Pascal pun luluh.
Mereka berbaring di ranjang dengan berhadapan wajah. "Jangan pernah tinggalkan aku apapun yang terjadi," gumam Pascal mengantuk, lalu terlelap dalam.
"Aku tidak berjanji, Pascal," bisik Petra sambil tersenyum mengelus wajah pria itu.
Ponsel miliknya di nakas berkedip-kedip. Petra mengecek dan terkejut karena yang menelepon adalah Liam.
"Kenapa kau menelepon malam-malam begini?" Petra sampai harus berbisik-bisik saat berbicara. Takut membangunkan Pascal yang sedang tidur tepat di sampingnya.
"Kami sudah mencoba berbagai cara untuk masuk ke dalam komputernya. Kami butuh delapan kode password. Apa kau punya ide tentang hal ini? Kau kan kelulusan IT juga, pasti punya ide untuk masalah ini. Cepat!"
Liam dan rekan lainnya sangat sibuk mengetik di komputer. Mereka bekerja sesuai tugas masing-masing.
Ada yang memasukkan virus ke jaringan elektronik kantor, ada juga yang mencari informasi lebih dalam dari bisnis perusahaan Pascal.
Liam sedang mencoba meretas komputer kerja Pascal di ruang kantornya. Tapi layar hanya menampilkan blok kosong untuk diisi sebelum log in.
"Bagaimana dengan tanggal ulang tahunnya? Ulang tahun keluarga?" saran Petra.
"Sudah, sudah! Tidak ada angka yang cocok untuk log in di komputernya. Ayo cepat bantu aku memikirkannya!"
Petra tahu, Liam itu punya kemampuan meretas terbaik di institusi. Liam pun sudah mengerahkan kemampuannya untuk menembus pertahanan jaringan komputer Pascal.
Tidak membuahkan hasil.
Seolah-olah Pascal telah melapisi keamanan perangkatnya ke tingkat lebih tinggi.
Sedangkan tingkat keamanan perusahaan besar lain, tidak seketat ini. Bahkan Liam bisa dengan mudah meretas situs rahasia mereka, para pesohor bisnis gelap sekali pun.
"Kodenya... Apa?" Petra kebingungan sendiri. Otaknya seakan tidak bisa berpikir alias blank.
"Hey! Meskipun aku lulusan anak IT, bukan berarti aku seorang hacker." Pusing, Petra malah balik memarahi Liam.
"Petra, kami di sini tidak punya banyak waktu. Lakukan sesuatu di rumahnya. Mungkin saja dia punya sesuatu yang bisa kita jadikan petunjuk," bujuk Liam.
"Okey." Kemudian Petra beranjak dari kasur. Dia melirik sejenak pada Pascal yang masih memejamkan mata, sebelum keluar diam-diam dari kamar itu.
Petra ke ruang kerja Pascal. Mengobrak-abrik sesuatu di meja kerja, berharap menemukan sesuatu.
"Tidak ada apapun di sini, Liam!" geram Petra. "Kalau pun ada petunjuk, pasti sudah kutemukan sejak tinggal di sini!"
"Kami di sini seperti pencuri tahu kalah kau ingin tahu," keluh Liam.
"Apa kalian memakai topeng?" Petra bertanya heran.
"Tentu tidak! Kami sudah meretas dan memanipulasi cctv di sini." Liam terlihat sedang mencoba berulang kali memasukkan kode dengan sembarangan di komputer.
Petra menatap ke luar jendela. Dahinya mengernyit dalam saat merenungi kejadian ini. Terpikirkan di benaknya sebuah angka yang terasa mustahil. "Mungkinkah..."
"Kodenya adalah hari ulang tahunmu, sayang." Suara serak dan dalam berembus di telinga Petra. Petra tersentak namun tak dapat bergerak.
Melihat dari pantulan jendela, Petra baru menyadari ada kehadiran Pascal di belakangnya. Petra gemetar memegang ponsel.
"Jadi tanggal ulang tahunmu, Petra? Tunggu---Apa!!!" Suara Liam terdengar syok. Sepertinya dia menyadari ada kejanggalan dari suara berat yang barusan dia dengar di telepon.
Wajah Liam memucat, sama pucatnya dengan kondisi Petra saat ini.
***
"Pascal!"Pria itu merampas ponsel Petra, melemparnya ke dinding sampai berserakan di lantai. "Apa kau mengkhianatiku?" Pascal mencengkram rahang Petra, namun tidak sampai membuat wanita itu kesakitan."Pascal...""Jawab!" bentak Pascal.Petra bergetar ketakutan. Meskipun dia seorang polisi yang sedang bertugas secara rahasia, tetap saja dia hanya polisi muda yang belum banyak pengalaman di lapangan."Aku tidak pernah mengkhianatimu!" bohong Petra. Karena sejak awal, dia memanfaatkan pria itu.Bukan mengkhianatinya. Pascal saja yang tidak tahu kalau sedang dimanfaatkan. Jadi ini bukan salah Petra. Ya, bukan!"Aku akan mengetahuinya. Jadi tunggulah saat itu tiba." Lalu Pascal menyeret Petra ke kamar lain. Letaknya berada di belakang dan terpencil di antara seluruh ruangan di mansion.Petra didorong dengan kasar ke dalam kamar belakang itu, kemudian Pascal mengunci kamarnya dari luar. Sementara Petra langsung menggedor-gedor pintunya berusaha membujuk."Pascal! Kau salah paham! Pascal!
"Pascal bajingan! Keluarkan aku dari sini!" Petra dikurung lagi di kamar, kali ini di kamar mereka di lantai dua.Tidak ada ponsel, laptop maupun benda elektronik untuk berkomunikasi. Pascal telah menyita semua itu dari jangkauan Petra."Ini menyebalkan! Aku harus memberitahu teman-temanku kalau misi rahasia gagal dan diriku dijadikan sandera." Petra berpikir sambil berjalan mondar-mandir di dekat jendela.Terdengar suara mobil dari luar jendela. Petra melihatnya. Itu mobil milik Pascal baru saja tiba.Pria itu tampak keluar dari dalam mobilnya yang pintunya dibukakan seorang supir. Dia berjalan masuk ke rumah."Bagaimana istriku?" tanya Pascal pada pelayan wanita."Makanan yang kami bawakan ke kamar tidak sedikit pun disentuh nyonya. Nyonya ingin bertemu dengan tuan secepatnya."Laporan pelayan tersebut membawa langkah lebar Pascal menuju lantai dua. Dia menekan kata sandi pada pintu kamar sebelum berhasil terbuka dengan mudah."Petra." Pascal melihat seisi kamar dan menemukan Petra
"Mudah saja kami menemukanmu karena suamimu cukup mencolok," kata ketua tim. Jemy."Sekarang kita akan kemana? Ke markas?" tanya Petra.Jemy menggeleng. "Tempat itu berbahaya untukmu sekarang. Karena kepala kepolisian sudah disuap, sedangkan suamimu pasti mencarimu. Kalau ada yang melihatmu di markas, kemungkinan besar kau akan diseret lagi oleh suamimu."Petra menghela napas lelah. "Lalu aku harus bersembunyi di mana?" gumamnya sambil memandang ke luar jendela mobil."Apartemen Amora untuk sementara waktu," ujar ketua tim.Petra beralih menatap Amora yang duduk di sampingnya. Amora tampak mengangguk seolah menyetujui hal tersebut.Tidak lama kemudian mobil yang dikendarai Jemy berhenti di depan apartemen lima lantai. Mereka turun, menaiki tangga menuju lantai tiga. Setelah menekan tombol kata sandi, Amora mempersilahkan mereka masuk."Apa kau membawa ponselmu, Petra?" tanya Jemy."Tidak. Pascal tidak memberiku akses ke benda elektronik mana pun.""Bagus. Dengan begitu mereka tidak mud
Petra terbangun dari tidurnya. Saat matanya membuka, sosok Pascal terlihat di sampingnya.Pascal, suami yang tampan namun misterius ini, terbaring dengan tenang sambil memeluknya, seakan-akan tidak memiliki masalah hidup.Petra heran dengan dirinya sendiri. Bisa-bisanya tidur seranjang dengan seorang kriminal ini. Pada nyatanya, naluri Petra tidak siap melihat Pascal diborgol polisi. Walau sepertinya Petra ragu kalau orang kaya seperti Pascal bisa dipenjara."Pascal, kau harus pergi." Petra mengguncang tubuh Pascal. Pascal terbangun karena terganggu. "Kenapa kau tidak pulang ke rumahmu? Lepaskan pelukanmu dariku, aku harus bersiap untuk bertugas.""Aku tidak mau pulang jika tanpamu," sahut Pascal dengan suara yang masih serak. "Aku ingin memelukmu lebih lama lagi." Dia mempererat pelukannya, merengkuh tubuh kurus Petra yang terlihat lebih kecil di tubuh besar pria itu."Nanti aku terlambat. Menyingkir lah!""Apa kau tidak mau menangkapku? Ayo borgol tanganku." Pascal bercanda.Petr
Pascal menutup layar laptopnya kemudian tersenyum samar. Dihampiri seorang bawahan yang melapor, Pascal kemudian beranjak pergi dari sofa.Dia memasuki ruangan gelap, menemui seseorang yang tampak terikat tali di kursi. Cahaya rembulan dari jendela memperjelas wajah tawanan itu."Kau telah melukai kekasih hatiku dengan tanganmu. Apakah aku harus melakukan hal yang sama kepadamu?" Bayangan perawakan tegap Pascal berada di dalam sisi gelap yang tak terjangkau cahaya."Siapa kau? Apa kau punya dendam pribadi padaku?" sahut tawanan itu yang merupakan seorang pria.Tidak ada luka atau jejak bogem mentah di wajah tawanan alias pencopet tadi siang. Pascal belum menyuruh anak buahnya bertindak selain membawanya ke sini."Aku tidak mengenalmu. Aku tidak peduli tentangmu. Tapi setelah kau membuat wajah wanitaku terluka. Aku tidak tinggal diam."Pascal tidak membiarkan siapapun melukai tubuh Petra. "Yang boleh melukainya hanyalah diriku." Dia menekankan kalimatnya. Menegaskan bahwa wanita itu ad
"Pascal, setelah tahu aku hanya memanfaatkanmu, kenapa kau tidak menceraikanku atau membunuhku?"Petra telah kembali ke rumah besar mereka sebagai pasutri. Namun kembalinya ke rumah ini justru menyadarkan Petra akan sikap Pascal yang tetap menganggapnya sebagai istri."Apakah yang kuucapkan tidak cukup kau pahami? Sekali kau menjadi istriku, takkan kulepaskan kau sampai akhir hayatku." Tegas kata-kata Pascal dengan raut serius. Tetap tidak meluluhkan hati Petra untuk percaya perkataan laki-laki.Karena Petra memiliki trust issue, mengingat sifat pria biasanya tidak puas hanya dengan satu wanita. Terlebih Pascal adalah pria muda mapan yang kaya raya. Kehidupannya dikelilingi para wanita.Petra mendengus. "Seberapa penting bagimu pernikahan ini?""Sangat penting selama itu adalah dirimu," ucap Pascal."Pascal, ini tetap tidak masuk akal." Petra menunduk, memegangi keningnya. "Katakan yang sejujurnya. Kau ingin memanfaatkanku untuk hal apa?""Tidak ada." Pascal menjawab pendek."Kenapa t
Petra berlari secepat mungkin, nafasnya tersengal-sengal. Pemotor itu sudah meninggalkan motornya dan berlari ke dalam jalan sempit yang minim penerangan. Petra berusaha keras untuk tidak kehilangan jejaknya. Bayangan gelap menyelimuti sekelilingnya, hanya beberapa lampu remang-remang yang memberikan sedikit penerangan.Di ujung jalan, Petra melihat sebuah pintu dengan cahaya samar keluar dari celahnya. Dia mendekat, menyadari bahwa itu adalah klub malam rahasia. Untuk masuk, dia membutuhkan kartu member, tetapi dia tidak punya. Dengan hati-hati, Petra memutuskan untuk pulang dan menyusun rencana."Petra!" Liam berhasil menyusul."Liam, dia masuk ke dalam klub malam. Tapi kita tidak punya kartu member. Kalau pun masuk sebagai polisi tetap tidak bisa karena tidak memiliki surat tugas untuk melakukan hal ini," kata Petra."Apa kau melihat wajahnya?" tanya Liam."Tidak. Dia menggunakan masker dan poni rambutnya menutupi sebagian wajahnya. Tempat ini juga cukup gelap untuk mengenali waja
Petra terbangun keesokan paginya dengan kepala terasa berat dan tubuh yang lelah. Matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai kamar, menerangi ruangan dengan cahaya hangat. Petra duduk di tepi tempat tidur, mencoba mengingat kejadian semalam. Dia hanya mengingat dirinya duduk di meja bar, meneguk minuman amer, tetapi selebihnya, semuanya terasa kabur.Dengan enggan, Petra bangkit dari tempat tidur dan berjalan pelan menuju dapur. Aroma roti panggang yang harum menyambutnya begitu dia memasuki ruangan. Pascal, suaminya, sudah menyiapkan makanan di meja makan dengan setelan kemeja hitam tanpa dasi atau jas. Di hadapannya, ada berbagai wadah selai roti yang tersusun rapi."Good morning, my wife," sapa Pascal dengan senyum lembut. "Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu. Bagaimana perasaanmu?"Petra mengangguk pelan, duduk di kursi di seberang Pascal. "Aku merasa sedikit pusing, tapi terima kasih sudah menyiapkan sarapan," jawabnya sambil mencoba tersenyum.Pascal menyodorkan sepiring