"Sayang, aku ingin menebus kesalahanku padamu. Maukah kau mewujudkannya?" ujar Pascal.
"Tentu dengan senang hati aku mewujudkan keinginan suamiku." Senyum palsu mengembang di bibir Petra.
Sebelum mengatakan sesuatu, Pascal meneguk habis amer di gelasnya. "Sejak kita menikah, kita belum pernah tidur selayaknya pengantin baru." Rona merah muncul di pipi putih Pascal. Dia tersenyum malu-malu.
Namun Petra justru menegang.
"Apakah kau ingin kita berbulan madu?" tebak Petra.
"Kau benar. Tapi pekerjaanku sangat banyak. Tidak bisakah kita berbulan madu di mansion saja?"
"Kau sudah mabuk, Pascal." Petra waspada.
"Tidak... Aku belum sepenuhnya mabuk. Aku masih bisa melihat wajahmu yang memerah dengan jelas."
"A-apa!" Petra gugup. Jantungnya berdegup kencang. Menggeser tubuhnya mundur, tetapi Pascal bergerak maju. Memojokkan posisi Petra di sofa.
"Petra... Istriku." Diraihnya tengkuk Petra oleh pria itu. Pascal pun menghapus jarak, berusaha menjangkau bibir Petra yang agak basah kena minum.
"Kau membuatku gila." Pascal menghela napas. Dia memiringkan kepalanya.
"Tunggu dulhft!" Dapat Petra rasakan ciuman Pascal menekannya dengan lembut.
Dasar Liam pembohong! Kenapa obatnya tidak menunjukkan reaksi apapun, malah membuat pria itu agresif begini!
"Pascal, aku tidak mau tidur dengan orang mabuk," ucap Petra mendorong pundak pria itu. Alasan klasik yang membuat dirinya selamat.
"Aku tidak mabuk, sayang." Pascal menyanggah.
"Coba lihat, ada berapa jariku?" Petra menunjukkan dua jari di depan wajah. Namun di mata Pascal terlihat seperti bayangan yang bergerak-gerak.
Pascal jadi pusing sendiri. Harusnya mudah dijawab, namun pria itu sudah cukup mabuk. "Empat."
Petra menghela napas lega. "Sebelum kau tidur, maukah kau memberitahuku apa yang kau sembunyikan dariku? Dengan begitu, aku akan memaafkanmu." Betapa sabarnya Petra mengulik sesuatu yang ingin diketahuinya tanpa mendapat curiga dari lawan bicara.
"Aku tidak memiliki rahasia apapun darimu."
Jawaban yang sama. Sebelumnya pun Petra sudah pernah mencoba cara seperti ini tetapi tidak membuahkan petunjuk.
"Coba lihatlah foto ini." Sebuah potret wajah pria di layar ponsel, ditunjukkan Petra pada suaminya. "Apa kau mengenalnya?"
"Hmmm." Pascal tampak berpikir. Matanya menyipit. Berusaha mempertajam ingatannya. "Aku seperti pernah melihatnya di suatu tempat. Wajah pria itu terasa tidak asing."
"Dimana? Coba kau ingat-ingat lagi." Petra mendesak.
"Dia anak seorang gubernur bukan?" ucap Pascal.
Ya, dia putera seorang gubernur yang telah meninggal dengan luka tembak. Petra membatin penuh curiga terhadap Pascal.
"Apa kau pernah bertemu dengannya?" tanya Petra lagi.
"Kami pernah menjalin kerjasama bisnis." Pascal terhuyung-huyung kemudian jatuh ke pundak Petra yang duduk di sampingnya.
"Hey, jangan tidur dulu!" Petra masih butuh informasi lebih detail lagi. Tetapi melihat Pascal yang tidur begitu nyenyak membuat Petra pasrah membiarkannya.
"Tidurlah suamiku." Usapan lembut mendarat di kepala Pascal. Sementara Petra merasa gatal hatinya, percakapan barusan seakan sedikit lagi mendapatkan titik terang.
Mengetahui pria ini dan putera gubernur pernah bekerjasama dalam bisnis, sudah menjadi petunjuk bagi Petra. Itu artinya mereka berdua telah bertemu dalam beberapa waktu bukan?
***
Dor!
Satu tembakan menembus dada seorang pria yang ditangkap. Dia seketika tewas.
"Apakah ada yang ingin berakhir seperti dia?" Pascal berseru di hadapan para bawahannya.
Mereka hanya tertunduk bungkam.
"Pengkhianatan yang dia lakukan terhadap diriku, tidak akan dimaafkan!" Ketegasan Pascal menyiutkan nyali mereka, meskipun semua orang di sini berbadan kekar dan besar.
"Urus mayat itu!" Pascal melangkah pergi dari rubanah gelap itu. Disusul seorang pria berjas hitam di sampingnya.
"Bagaimana perkembangan informasi yang kucari?" tanya Pascal.
"Tidak ada cctv yang menunjukkan seseorang memasukkan sesuatu pada minuman, tidak ada petunjuk apapun saat anda minum di lokasi waktu itu." Varios menjawab. Dia seorang asisten, tangan kanan Pascal yang setia.
"Kami juga sudah menginterogasi para pelayan yang bekerja di malam itu. Tidak ada bukti kuat dalam bentuk apapun."
"Bagaimana dengan jalang itu?" Pascal sudah membunuhnya dengan tangannya sendiri kemarin, setelah mendapatkan seluruh informasi tentangnya.
"Dia terlihat di cctv bersama anda, menemani anda minum. Kemudian kalian pergi ke kamar hotel," jelas Varios.
"Tetapi kami menemukan ada pesan dari nomor anda, yang memintanya untuk datang ke hotel itu." Tambahan kalimatnya membuat Pascal berhenti melangkah dan membeku.
"Apa kau bilang? Pesan dariku?" Pascal tidak bisa memercayai ucapan tersebut. Baginya terasa sangat aneh.
"Ya. Silakan baca sendiri." Kemudian Varios menunjukkan ponsel milik wanita itu.
Pascal sangat terkejut membaca isi pesannya. Benar nomor yang tertera di layar adalah nomor miliknya. Dia langsung mengecek ponselnya sendiri, mencari riwayat pesan di sana.
"Hah?" kaget Pascal. Memang ada riwayat pesan tersebut. Pascal memastikan berkali-kali melihat nomor yang ditujunya adalah nomor wanita itu.
"Tidak mungkin." Dia menggumam menggelengkan kepalanya.
"Varios! Apakah aku pernah mengalami amnesia atau kecelakaan?" Pascal tercengang namun penuh harap.
"Tidak, Pascal. Tidak sama sekali." Jawaban yakin Varios membuat Pascal bertambah bingung.
"Aku tidak merasa ataupun ingat pernah menyewa jalang malam itu. Aku tidak pernah mengetikkan pesan seperti ini!"
"Bagaimana mungkin?" Varios pun jadi bingung sendiri. "Apakah ponsel anda disadap?" Tebakan Varios menimbulkan ketegangan baru.
"Disadap? Memangnya siapa yang menyadap ponselku?"
Varios tidak merespon. Dia juga sama seperti Pascal yang tidak memiliki jawaban atas pertanyaan ini.
"Cari tahu, Varios. Lakukan penyelidikan secara rahasia."
"Baik!"
***
"Kenapa kau memintaku bertemu di tempat seperti ini?" Liam mengeluh. Merasa jijik dengan gang sempit yang kotor penuh sampah.
"Tidak ada tempat lain yang lebih aman dan tersembunyi daripada di sini," kata Petra.
"Cepat katakan dengan singkat. Aku tidak tahan dengan bau di sini." Liam sampai menutupi hidungnya dengan lengan.
"Cari tahu seperti apa hubungan bisnis Pascal dan putera gubernur itu."
"Apa?" Liam kaget. "Maksudmu mereka punya hubungan seperti itu?"
"Aku mendengarnya langsung dari mulut pria itu. Ngomong-ngomong obat darimu tidak berguna banyak."
"Setidaknya menyalamatkanmu dari rencana tidur bersama bukan?" balas Liam.
Petra hanya mendengus cemberut. "Aku ingin obat itu lagi."
Liam menyeringai.
"Jangan salah sangka dulu," sanggah Petra, tak suka dengan kepercayaan diri Liam yang menyebalkan baginya. "Dengan obat itu, dia jadi lebih mudah mabuk. Mengetahui dia punya tingkat toleransi terhadap alkohol yang sangat tinggi."
"Baiklah. Apa hanya itu yang ingin kau katakan?" timpal Liam.
"Aku tunggu hasil informasi selanjutnya darimu." Petra pamit pergi. Dia berjalan kaki menuju halte.
Tiba-tiba saja sebuah mobil berhenti di pinggir trotoar. Kaca jendelanya diturunkan dan seseorang dari dalam memanggil namanya. "Petra! Istriku!"
Petra terkejut mematung. Itu Pascal. Belum jauh Petra berpisah dari Liam di gang kumuh tadi, sekarang dia sudah bertemu dengan Pascal? Apakah pria itu sempat melihatnya keluar dari gang tadi atau mengikutinya sejak awal?
***
"Kenapa kau ada di sini?" tanya Petra."Aku kebetulan sedang lewat sini. Oh ya, kenapa kau ada di sana? Keluar dari toko bunga?"Petra terhenyak. Toko bunga? Ah, tepat di samping gang itu ada toko bunga. "Ya, aku hanya melihat-lihat bunga di sana. Tapi tak ada bunga yang aku cari," kata Petra berbohong."Bunga apa yang kau inginkan? Aku bisa membelikannya untukmu sekarang," kata Pascal."Bunga Jasmine pink." Petra hanya asal bicara. Dia ragu apakah ada jenis bunga Jasmine berwarna pink? Haha. Rasanya dia ingin terkekeh saat ini. Menyenangkan bisa membodohi pria yang dihormati banyak orang itu."Baiklah. Aku akan memerintahkan Varios untuk membelinya sekarang." Ponsel dikeluarkan dari saku jasnya. Perkataan Pascal sontak mengejutkan benak Petra.Petra mendadak cemas. Bagaimana kalau bunga jenis itu betulan tidak ada? Bisa-bisa Pascal akan menaruh curiga padanya. "Tidak! Jangan, itu tidak penting lagi." Dia langsung menahan tangan Pascal yang akan mendial nomor Varios."Kenapa? Kau meng
"Tapi, kau tetap harus dihukum," ucap Pascal."Apa!""Apa kau tahu betapa berbahayanya tempat itu? Kau mudah menjadi makanan bagi mereka. Kenapa kau tidak mengajak bodyguard di rumah untuk menemanimu? Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu di sana?"Petra bungkam diserbu pertanyaan. "Aku terbiasa pergi sendirian. Aku..." Petra kebingungan, mencari alasan lain yang masuk akal."Ini salahmu! Kau jarang pulang lebih awal!" Akhirnya dia menyalahkan Pascal. Menyudutkan pria itu untuk merasa bersalah, alih-alih menginterogasi yang membuat Petra bisa terjebak dalam menjawabnya."Salahku?" gumam Pascal penuh tanya. Ekspresinya terkejut sekaligus bingung."Ya, aku akui aku jarang pulang lebih awal seperti yang kau harapkan. Karena itulah kau jadi kesepian di rumah." Kemudian Pascal bangun dari atas Petra, mereka duduk bersampingan."Mulai sekarang, aku akan lebih sering menghabiskan waktu berdua denganmu. Tidak peduli sepenting apa pekerjaan itu, aku akan memprioritaskan dirimu.""Tapi, kau in
"Pascal!"Pria itu merampas ponsel Petra, melemparnya ke dinding sampai berserakan di lantai. "Apa kau mengkhianatiku?" Pascal mencengkram rahang Petra, namun tidak sampai membuat wanita itu kesakitan."Pascal...""Jawab!" bentak Pascal.Petra bergetar ketakutan. Meskipun dia seorang polisi yang sedang bertugas secara rahasia, tetap saja dia hanya polisi muda yang belum banyak pengalaman di lapangan."Aku tidak pernah mengkhianatimu!" bohong Petra. Karena sejak awal, dia memanfaatkan pria itu.Bukan mengkhianatinya. Pascal saja yang tidak tahu kalau sedang dimanfaatkan. Jadi ini bukan salah Petra. Ya, bukan!"Aku akan mengetahuinya. Jadi tunggulah saat itu tiba." Lalu Pascal menyeret Petra ke kamar lain. Letaknya berada di belakang dan terpencil di antara seluruh ruangan di mansion.Petra didorong dengan kasar ke dalam kamar belakang itu, kemudian Pascal mengunci kamarnya dari luar. Sementara Petra langsung menggedor-gedor pintunya berusaha membujuk."Pascal! Kau salah paham! Pascal!
"Pascal bajingan! Keluarkan aku dari sini!" Petra dikurung lagi di kamar, kali ini di kamar mereka di lantai dua.Tidak ada ponsel, laptop maupun benda elektronik untuk berkomunikasi. Pascal telah menyita semua itu dari jangkauan Petra."Ini menyebalkan! Aku harus memberitahu teman-temanku kalau misi rahasia gagal dan diriku dijadikan sandera." Petra berpikir sambil berjalan mondar-mandir di dekat jendela.Terdengar suara mobil dari luar jendela. Petra melihatnya. Itu mobil milik Pascal baru saja tiba.Pria itu tampak keluar dari dalam mobilnya yang pintunya dibukakan seorang supir. Dia berjalan masuk ke rumah."Bagaimana istriku?" tanya Pascal pada pelayan wanita."Makanan yang kami bawakan ke kamar tidak sedikit pun disentuh nyonya. Nyonya ingin bertemu dengan tuan secepatnya."Laporan pelayan tersebut membawa langkah lebar Pascal menuju lantai dua. Dia menekan kata sandi pada pintu kamar sebelum berhasil terbuka dengan mudah."Petra." Pascal melihat seisi kamar dan menemukan Petra
"Mudah saja kami menemukanmu karena suamimu cukup mencolok," kata ketua tim. Jemy."Sekarang kita akan kemana? Ke markas?" tanya Petra.Jemy menggeleng. "Tempat itu berbahaya untukmu sekarang. Karena kepala kepolisian sudah disuap, sedangkan suamimu pasti mencarimu. Kalau ada yang melihatmu di markas, kemungkinan besar kau akan diseret lagi oleh suamimu."Petra menghela napas lelah. "Lalu aku harus bersembunyi di mana?" gumamnya sambil memandang ke luar jendela mobil."Apartemen Amora untuk sementara waktu," ujar ketua tim.Petra beralih menatap Amora yang duduk di sampingnya. Amora tampak mengangguk seolah menyetujui hal tersebut.Tidak lama kemudian mobil yang dikendarai Jemy berhenti di depan apartemen lima lantai. Mereka turun, menaiki tangga menuju lantai tiga. Setelah menekan tombol kata sandi, Amora mempersilahkan mereka masuk."Apa kau membawa ponselmu, Petra?" tanya Jemy."Tidak. Pascal tidak memberiku akses ke benda elektronik mana pun.""Bagus. Dengan begitu mereka tidak mud
Petra terbangun dari tidurnya. Saat matanya membuka, sosok Pascal terlihat di sampingnya.Pascal, suami yang tampan namun misterius ini, terbaring dengan tenang sambil memeluknya, seakan-akan tidak memiliki masalah hidup.Petra heran dengan dirinya sendiri. Bisa-bisanya tidur seranjang dengan seorang kriminal ini. Pada nyatanya, naluri Petra tidak siap melihat Pascal diborgol polisi. Walau sepertinya Petra ragu kalau orang kaya seperti Pascal bisa dipenjara."Pascal, kau harus pergi." Petra mengguncang tubuh Pascal. Pascal terbangun karena terganggu. "Kenapa kau tidak pulang ke rumahmu? Lepaskan pelukanmu dariku, aku harus bersiap untuk bertugas.""Aku tidak mau pulang jika tanpamu," sahut Pascal dengan suara yang masih serak. "Aku ingin memelukmu lebih lama lagi." Dia mempererat pelukannya, merengkuh tubuh kurus Petra yang terlihat lebih kecil di tubuh besar pria itu."Nanti aku terlambat. Menyingkir lah!""Apa kau tidak mau menangkapku? Ayo borgol tanganku." Pascal bercanda.Petr
Pascal menutup layar laptopnya kemudian tersenyum samar. Dihampiri seorang bawahan yang melapor, Pascal kemudian beranjak pergi dari sofa.Dia memasuki ruangan gelap, menemui seseorang yang tampak terikat tali di kursi. Cahaya rembulan dari jendela memperjelas wajah tawanan itu."Kau telah melukai kekasih hatiku dengan tanganmu. Apakah aku harus melakukan hal yang sama kepadamu?" Bayangan perawakan tegap Pascal berada di dalam sisi gelap yang tak terjangkau cahaya."Siapa kau? Apa kau punya dendam pribadi padaku?" sahut tawanan itu yang merupakan seorang pria.Tidak ada luka atau jejak bogem mentah di wajah tawanan alias pencopet tadi siang. Pascal belum menyuruh anak buahnya bertindak selain membawanya ke sini."Aku tidak mengenalmu. Aku tidak peduli tentangmu. Tapi setelah kau membuat wajah wanitaku terluka. Aku tidak tinggal diam."Pascal tidak membiarkan siapapun melukai tubuh Petra. "Yang boleh melukainya hanyalah diriku." Dia menekankan kalimatnya. Menegaskan bahwa wanita itu ad
"Pascal, setelah tahu aku hanya memanfaatkanmu, kenapa kau tidak menceraikanku atau membunuhku?"Petra telah kembali ke rumah besar mereka sebagai pasutri. Namun kembalinya ke rumah ini justru menyadarkan Petra akan sikap Pascal yang tetap menganggapnya sebagai istri."Apakah yang kuucapkan tidak cukup kau pahami? Sekali kau menjadi istriku, takkan kulepaskan kau sampai akhir hayatku." Tegas kata-kata Pascal dengan raut serius. Tetap tidak meluluhkan hati Petra untuk percaya perkataan laki-laki.Karena Petra memiliki trust issue, mengingat sifat pria biasanya tidak puas hanya dengan satu wanita. Terlebih Pascal adalah pria muda mapan yang kaya raya. Kehidupannya dikelilingi para wanita.Petra mendengus. "Seberapa penting bagimu pernikahan ini?""Sangat penting selama itu adalah dirimu," ucap Pascal."Pascal, ini tetap tidak masuk akal." Petra menunduk, memegangi keningnya. "Katakan yang sejujurnya. Kau ingin memanfaatkanku untuk hal apa?""Tidak ada." Pascal menjawab pendek."Kenapa t