Jasmine yang selama ini belum pernah dekat dengan pria manapun selain dengan Arsen sahabat kecilnya, membuat semua orang terkejut ketika ia tiba tiba ia mengatakan ingin menikah.
"Kamu serius? kenapa tiba tiba? apa ada sesuatu?" tanya Arsen bertubi-tubi saat siang itu mereka bertemu di kampus.
"Bukan seperti itu, kami dekat sejak lama, hanya saja memang tak mengumbar hubungan kemana mana. Salah satu alasannya karena usia kami terpaut cukup jauh. Delapan tahun."
Jasmine sengaja berbohong karena ia tak tahu harus memberikan alasan apa pada orang-orang terdekatnya mengenai keputusan pernikahan yang akan segera ia lakukan. Semua kebohongan yang ia buat juga sudah disepakati bersama dengan Juan. Mereka tak mungkin jujur di hadapan orang orang akan apa yang sebenarnya terjadi.
Arsen menyipitkan mata, menelisik lebih dalam ekspresi tak biasa di wajah Jasmine. Bisa dibilang ia tak percaya pada semua ucapan gadis itu, namun belum sempat ia mencaritahu lebih dalam, Jasmine sudah disibukkan dengan ponselnya yang terdengar berdering.
"Arsen, aku harus pergi sekarang, Juan sudah menjemputku."
Sorot mata Jasmine nampak berbinar saat berkata demikian. Membuat Arsen tak tega mengungkapkan apa yang sebenarnya ia rasakan. Rasa yang jelas jelas tak akan membuat Jasmine senang karena ia tak mendukukung keputusan mendadak mengenai pernikahannya.
Kali ini Jasmine begitu bahagia. Ia tak menyangka kalau Juan bisa bersikap sangat manis. Pria itu bahkan tak merasa ragu sama sekali memberi perlakuan mesra meski banyak teman temannya di sana.
Orang lain yang melihat pun setuju kalau sikap Juan sangatlah romantis, sayangnya tak demikian dengan Arsen. Ada rasa aneh yang menyelinap di hatinya. Ia sudah mengenal Jasmine sejak kecil. Hampir setiap hari mereka bertemu karena rumah keduanya berhadap hadapan, dan ia sangat tahu, pria bernama Juan itu bukan selera Jasmine.
Jasmine paling tak suka dengan pria pria dewasa, apalagi kaya raya. Kalaupun menyukai seseorang pasti tak jauh jauh dari teman kampusnya, dan satu hal yang terus terngiang di benak Arsen.
Jasmine pernah mengatakan kalau ia tak suka dengan pria yang sudah kaya raya sebelum kenal dengannya, ia lebih suka kalau bisa mendampingi pria itu dari bawah dan berjuang bersama sama. Dengan begitu, saat mereka sudah mengarungi bahtera rumah tangga nanti, tak akan saling merendahkan satu sama lain, karena mereka berjuang bersama sama.
Itulah yang semakin memantik rasa curiga di hari Arsen. Terlebih visual seorang Juan terlampau sempurna. Kali ini, ia sengaja tak langsung mendekat saat sahabatnya dijemput di kampus di hadapan puluhan pasang mata yang menatap takjub ke arah Juan.
Arsen hanya mengamati interaksi keduanya dari jauh, dan terlihat sekali kalau Jasmine sangat canggung saat Juan menyentuhnya. Pria itu dinilai Arsen terlalu agresif. Membuatnya tak bisa menahan diri dan akhirnya melangkah mendekat sebelum Jasmine dan calon suaminya masuk ke dalam mobil.
"Arsen!!" panggil Jasmine dengan raut wajah riang seperti biasanya. Panggilan pun bersambut dengan senyum hangat dari bibir Arsen.
"Mau kemana?" tanya Arsen saat sudah saling berhadapan dengan Jasmine. Jasmine yang selalu ceria dan cantik di mata Arsen, kali ini terlihat menyimpan banyak rahasia. Senyumnya pun terlihat dipaksakan.
"Aku mau pergi dulu dengan Juan. Oh iya kenalin, calon suami aku, Juan," ucap Jasmine yang membuat dua orang pria di hadapannya saling berjabat tangan dan memperkenalkan nama masing masing.
"Apa Ibu sudah tahu kedekatan kalian?"
Ibu yang Arsen maksud adalah orangtua satu satunya yang Jasmine miliki, dan ternyata pertanyaan itu sukses membuat Juan merasa tak nyaman. Menurutnya sebagai seorang teman, Arsen dinilai terlalu ikut campur.
"Emm ... beberapa hari yang lalu kami makan malam bersama," jawab Jasmine sambil tersenyum.
"Ya sudah, jaga dirimu baik baik ya. Kalau ada sesuatu yang membuatmu kesulitan, segera hubungi aku," ucap Arsen tanpa ragu walaupun sejak tadi Juan tak berhenti menatap ke arahnya.
Hampir saja Jasmine beranjak pergi, namun tangan Arsen menahannya.
"Ada apa?" tanya Jasmine bingung. Terlebih saat pertanyaan itu tak mendapatkan jawaban, malah justru pelukan yang ia dapatkan.
Meski terkejut, Jasmine tak menolaknya karena saat ini ia memang membutuhkan pelukan itu. Hatinya sedang resah dan takut. Pernikahan yang hendak dilakukan bukanlah pernikahan yang sudah ia rencanakan sejak lama melainkan pernikahan mendadak karena mereka sudah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan.
"Jangan ragu untuk mengatakan apapun padaku, karena aku akan selalu ada untukmu," lirih Arsen sembari melepaskan pelukannya.
"Terimakasih, aku ... pergi dulu."
Itulah terakhir kali Jasmine datang ke kampus, karena setelah hari itu ia tak lagi kuliah secara langsung melainkan online. Semua bisa terjadi sudah pasti atas kuasa seorang Juan Anderson. Hingga hari pernikahannya tiba, Jasmine seolah olah menyembunyikan diri dari semua orang.
Ia bahkan sudah menginap di apartemen Juan dengan alasan mempersiapkan pernikahan. Seperti malam ini, setelah mengambil beberapa barang miliknya, Jasmine kembali dijemput oleh Juan.
"Ibu, Ibu jangan khawatir. Juan akan menjaga anak Ibu dan mencintanya dengan sepenuh hati. Besok pagi akan ada orang yang datang kemari menjemput Ibu untuk hadir di pernikahan kami," ucap Juan begitu manis.
Siapapun pasti akan luluh lantak saat mendengarnya. Belum lagi perilakunya yang sangat sopan. Beberapa barang mahal juga sudah ia berikan untuk calon ibu mertuanya.
Seperti yang ia bawa hari ini. Satu set perhiasan mewah dengan harga fantastis, khusus ia persembahkan pada sang ibu mertua yang sehari harinya bekerja sebagai pemilik kedai makanan.
Juan juga mengatakan agar ibunda Jasmine tak perlu bekerja lagi. Ia hanya cukup menikmati masa tua sambil bersantai di rumah karena dirinyalah yang akan menanggung semua biaya hidup sang ibu mertua.
Semua yang Juan lakukan sungguh bagaikan madu. Terlalu manis sampai sampai tak ada yang mampu memberikan penolakan sama sekali, termasuk Jasmine.
Bahkan dengan suka rela, malam ini Jasmine tak mampu menolak apa yang Juan lakukan padanya. Setiap inci kulitnya kembali disentuh tanpa jeda. Mata mereka saling menatap dalam deru nafas yang saling bersahutan.
"Juan ... ahhh ...."
"Good Baby, jangan tahan suaramu. Aku suka itu," ucap Juan di depan wajah Jasmine, sebelum ia kembali menenggelamkan kepalanya di bagian terindah yang wanita itu miliki.
Pernikahan mereka belum terjadi, namun Juan sudah menikmati semua yang ada pada diri Jasmine tanpa penolakan sama sekali. Diantara desahannya ada senyum tipis yang tersungging dari bibir Juan.
Pernikahan Juan dan Jasmine berlangsung sangat meriah. Dengan dihadiri tamu tamu penting dan juga para pejabat yang berpengaruh di negeri ini, kini keduanya telah sah menjadi pasangan suami istri.Hari ini ibunda Jasmine turut hadir di sana. Begitu juga dengan ibunda Juan, Veronica Anderson. Wanita sosialita itu nampak menyapa para tamunya dengan wajah sumringah, dan sangat ramah, namun tanpa seorang pun tahu, sorot matanya berkilat penuh amarah setiap kali memandang ke arah Jasmine yang nampak begitu bahagia di samping putranya.Saat hampir mendekati tengah malam, tamu undangan sudah mulai sepi. Juan dan Jasmine pun memutuskan untuk beristirahat."Sayang, aku temui Ibu dulu ya," pamit Jasmine sebelum mengikuti Juan masuk ke salah satu kamar hotel yang telah disiapkan khusus untuk mereka berdua."Hmm," sahut Juan sambil terus melangkah pergi, membuat Jasmine mematung karenanya.Tak biasanya Juan bersikap demikian, namun Jasmine berusaha berpikir positif. Mungkin karena suaminya sekara
Juan menurunkan tubuh Jasmine perlahan. Sebenarnya setelah melakukan itu ia ingin langsung pergi dari sana, tapi ternyata tak bisa. Saat sorot mata keduanya bertemu, Juan justru terpesona pada kecantikan Jasmine, belum lagi saat pandangannya perlahan turun. Leher jenjang seputih susu yang licin bagaikan perselen dan dada indah yang menjulang menggoda. Membuat Juan gagal pergi dari sana. Juan mendekatkan bibirnya perlahan. Menyalurkan setiap dentuman hasrat yang hampir meledak. Menyentuh segala keindahan di depannya, hingga tangannya bergerak perlahan menurunkan resleting gaun pengantin di punggung Jasmine. Menyisakan kain tipis berwarna putih yang menjadi lapisan terdalam sebelum kulit Jasmine benar-benar terekspose sempurna. "Enghhh ... Juannn ... " Lenguhan dari bibir Jasmine kian membuat pria yang telah sah menjadi suaminya itu kian bersemangat. Tanpa berlama lama lagi Juan mengangkat tubuh Jasmine ke ranjang. Mengajak wanita itu merengkuh nikmatnya madu pernikahan.
Jasmine masih tak bisa memahami situasi di sekitarnya. Ia benar benar tak mengerti maksud ucapan Juan suaminya. Selama ini sikap Juan sangatlah manis, karenanya Jasmine mengira kalau pria di hadapannya hanya sedang membuat lelucon. "Sayang, kau ini bicara apa, ayo kita pergi dari sini, rumah ini menyeramkan." Dengan senyum yang masih terukir di bibirnya, Jasmine menarik tangan Juan untuk pergi dari sana, namun pria itu justru kembali menarik tangannya dengan sentakan yang cukup keras. "Akhhhh!!" pekik Jasmine yang hampir saja terjatuh karena ulah Juan. "Aku tidak main main Jasmine, di sinilah tempatmu, jadi nikmati hari harimu di rumah seram ini, mengerti?!" Jasmine menatap wajah Juan dengan perasaan bingung. "Juan, apa maksudmu? aku istrimu, bagaimana mungkin kau membiarkanku tinggal di tempat ini, atau ... kita akan tinggal bersama disini? jika memang begitu aku tidak akan keberatan." Seketika gelak tawa terdengar dari bibir Juan. "Jasmine ... Jasmine, mana mungkin
Malam itu Juan yang baru masuk ke kamar pribadinya dibuat kesal karena ponsel milik Jasmine terus bergetar. Merasa sangat terganggu, dengan cepat tangan Juan meraih benda pipih itu dari saku jasnya. "Halo .... " suara baritonnya langsung menyapa penelpon di seberang sana. "Dimana Jasmine?!" tanya Arsen setengah membentak, membuat Juan hampir membalasnya, namun otaknya masih sempat mempertimbangkan akibatnya jika dia bersikap demikian. "Jasmine sedang mandi, aku adalah suaminya, jadi kalau ada yang ingin kau sampaikan, sampaikan padaku saja!" jawab Juan yang terdengar elegan dan tenang. "Kalian datanglah ke Alexandria hospital sekarang juga! ibu mengalami kecelakaan dan dia ... meninggal, tolong jangan biarkan Jasmine pergi seorang sendiri." Hanya sebatas itu yang Arsen sampaikan. Juan sendiri merasa cukup terkejut akan apa yang baru saja ia dengar. Bermenit menit lamanya pria itu dilanda kebimbangan. Antara ingin bersikap masa bodoh atau sebaliknya. Bisa dibilang ini adala
Juan menatap Jasmine yang tengah menikmati makanan dengan lahap. Melihat bibir wanita itu belepotan, tangannya reflek terulur untuk membersihkannya. "Oh, maaf, kau sejak tadi tidak makan?" tanya Jasmine kemudian saat mendapati kalau makanan di piring Juan masih belum berubah bentuk. "Dengan menatapmu saja aku sudah kenyang," sahut Juan sambil terkekeh kecil. "Kau menyindirku ya, jahat sekali. Aku kan sangat lapar, tapi sekarang sudah kenyang. Sekarang, ayo makanlah! em ... suamiku." Kali ini Jasmine menggeser tempat duduknya hingga berdekatan dengan Juan. Tangannya mengambil sesendok makanan lalu menyodorkannya ke bibir Juan. "Ayolah, buka mulutmu!" Sayangnya Juan sama sekali tak melakukan apa yang Jasmine inginkan. Pria itu hanya diam tak bersuara sambil menatap dingin, membuat Anna menarik kembali tangannya. "Kau, tidak mau ya makan dari tanganku. Hahhh ... itu tidak masalah, tapi sekarang kau harus makan." Masih tak ada tanggapan apapun dari bibir pria itu. Sorot ma
"Juan, ada apa? kenapa wajahmu seperti itu? siapa yang meninggal?" "Yang meninggal adalah ... ibumu," jawab Juan yang membuat tubuh Jasmine membeku tanpa suara. "Kau bilang apa barusan?" Jasmine mencoba mengulangi pertanyaannya. Ditatapnya wajah Juan lekat lekat sampai pada akhirnya pria itu hendak memeluknya, namun kali ini Jasmani menolak. Ditahannya bahu kekar pria itu, pupil matanya bergetar sementara bibirnya beberapa kali ingin mengeluarkan suara namun gagal. "Jasmine, maaf ... aku tidak langsung memberitahumu, aku takut kau _ " "Jadi ini benar?" sela Jasmine yang disambut anggukan kepala oleh Juan, namun Jasmine justru menolak pernyataan itu. "Katakan kalau kau membohongiku!! katakan Juan!! cepat katakan padaku kalau ini hanya lelucon!!" Jasmine semakin tak terkendali, air matanya mengalir deras sementara kakinya perlahan bergerak mundur hingga terduduk di atas ranjang. Melihat itu membuat hati nurani Juan kembali berkuasa. Ia pun melangkah mendekat dan berj
"Ingat Juan, kehadiran Jasmine di dalam kehidupan kita hanya untuk pengalihan perusahaan dan ingat apa yang terjadi pada adikmu. Jangan sampai aku yang melakukannya sendiri," ucap Veronica di hadapan Juan. "Ibu tidak perlu mengotori tangan ibu sendiri, biar aku yang mengurus semuanya," sahut Juan sebelum ia pergi meninggalkan sang ibu dan kembali menemui Jasmine. Wajah Jasmine masih nampak sedih, namun Juan harus tetap menyampaikan, kalau mulai saat ini mereka harus tinggal di kediamannya. Mendengar ucapan sang suami, Jasmine hanya bisa mengangguk. *** "Selamat sore ... Bu," sapa Jasmine pada Veronica saat ia sudah sampai di kediaman Juan, namun jawaban yang Veronica berikan cukup mengejutkan. "Aku bukan ibumu." Itulah kalimat yang terlontar dari bibir Veronica. Tubuh Jasmine mematung mendengarnya terlebih saat Juan memanggil pelayan. "Pelayan, antar dia ke kamarnya," ujar pria itu yang langsung pergi meninggalkan Jasmine. "Nona, silahkan ikut saya." Pikiran Jasmine
Juan membuka pintu kamar tempat Jasmine berada. Tak ada suara apapun di kamar itu karena saat ini Jasmine tengah meringkuk di balik selimut tipis yang sudah lama tak dicuci. "Dasar!! bisa-bisanya dia malah enak-enakan tidur," ujar Juan sambil terus melangkah mendekat dengan kedua tangan terselip di saku celana. Awalnya pria itu nampak santai, ia bahkan berniat memaki wanita yang berstatus sebagai istri sahnya itu, namun betapa terkejutnya saat mendapati wajah tirus dan tubuh Jasmine yang nampak jauh lebih kurus dari terakhir kali ia melihatnya. "Apa-apaan ini?!" Juan hampir memekik begitu mendapati pemandangan di hadapannya. Nafasnya tercekat, ia sungguh tak menyangka sama sekali akan mendapati kondisi yang demikian pada diri Jasmine. Juan masih meragukan pandangannya. Tubuhnya semakin mendekat perlahan, ditariknya selimut yang menutupi tubuh kurus Jasmine. Juan pun semakin syok menyaksikan apa yang ada di depan matanya. Kondisi Jasmine sungguh memprihatinkan. Tubuhnya ku
Juan membuka pintu kamar tempat Jasmine berada. Tak ada suara apapun di kamar itu karena saat ini Jasmine tengah meringkuk di balik selimut tipis yang sudah lama tak dicuci. "Dasar!! bisa-bisanya dia malah enak-enakan tidur," ujar Juan sambil terus melangkah mendekat dengan kedua tangan terselip di saku celana. Awalnya pria itu nampak santai, ia bahkan berniat memaki wanita yang berstatus sebagai istri sahnya itu, namun betapa terkejutnya saat mendapati wajah tirus dan tubuh Jasmine yang nampak jauh lebih kurus dari terakhir kali ia melihatnya. "Apa-apaan ini?!" Juan hampir memekik begitu mendapati pemandangan di hadapannya. Nafasnya tercekat, ia sungguh tak menyangka sama sekali akan mendapati kondisi yang demikian pada diri Jasmine. Juan masih meragukan pandangannya. Tubuhnya semakin mendekat perlahan, ditariknya selimut yang menutupi tubuh kurus Jasmine. Juan pun semakin syok menyaksikan apa yang ada di depan matanya. Kondisi Jasmine sungguh memprihatinkan. Tubuhnya ku
"Ingat Juan, kehadiran Jasmine di dalam kehidupan kita hanya untuk pengalihan perusahaan dan ingat apa yang terjadi pada adikmu. Jangan sampai aku yang melakukannya sendiri," ucap Veronica di hadapan Juan. "Ibu tidak perlu mengotori tangan ibu sendiri, biar aku yang mengurus semuanya," sahut Juan sebelum ia pergi meninggalkan sang ibu dan kembali menemui Jasmine. Wajah Jasmine masih nampak sedih, namun Juan harus tetap menyampaikan, kalau mulai saat ini mereka harus tinggal di kediamannya. Mendengar ucapan sang suami, Jasmine hanya bisa mengangguk. *** "Selamat sore ... Bu," sapa Jasmine pada Veronica saat ia sudah sampai di kediaman Juan, namun jawaban yang Veronica berikan cukup mengejutkan. "Aku bukan ibumu." Itulah kalimat yang terlontar dari bibir Veronica. Tubuh Jasmine mematung mendengarnya terlebih saat Juan memanggil pelayan. "Pelayan, antar dia ke kamarnya," ujar pria itu yang langsung pergi meninggalkan Jasmine. "Nona, silahkan ikut saya." Pikiran Jasmine
"Juan, ada apa? kenapa wajahmu seperti itu? siapa yang meninggal?" "Yang meninggal adalah ... ibumu," jawab Juan yang membuat tubuh Jasmine membeku tanpa suara. "Kau bilang apa barusan?" Jasmine mencoba mengulangi pertanyaannya. Ditatapnya wajah Juan lekat lekat sampai pada akhirnya pria itu hendak memeluknya, namun kali ini Jasmani menolak. Ditahannya bahu kekar pria itu, pupil matanya bergetar sementara bibirnya beberapa kali ingin mengeluarkan suara namun gagal. "Jasmine, maaf ... aku tidak langsung memberitahumu, aku takut kau _ " "Jadi ini benar?" sela Jasmine yang disambut anggukan kepala oleh Juan, namun Jasmine justru menolak pernyataan itu. "Katakan kalau kau membohongiku!! katakan Juan!! cepat katakan padaku kalau ini hanya lelucon!!" Jasmine semakin tak terkendali, air matanya mengalir deras sementara kakinya perlahan bergerak mundur hingga terduduk di atas ranjang. Melihat itu membuat hati nurani Juan kembali berkuasa. Ia pun melangkah mendekat dan berj
Juan menatap Jasmine yang tengah menikmati makanan dengan lahap. Melihat bibir wanita itu belepotan, tangannya reflek terulur untuk membersihkannya. "Oh, maaf, kau sejak tadi tidak makan?" tanya Jasmine kemudian saat mendapati kalau makanan di piring Juan masih belum berubah bentuk. "Dengan menatapmu saja aku sudah kenyang," sahut Juan sambil terkekeh kecil. "Kau menyindirku ya, jahat sekali. Aku kan sangat lapar, tapi sekarang sudah kenyang. Sekarang, ayo makanlah! em ... suamiku." Kali ini Jasmine menggeser tempat duduknya hingga berdekatan dengan Juan. Tangannya mengambil sesendok makanan lalu menyodorkannya ke bibir Juan. "Ayolah, buka mulutmu!" Sayangnya Juan sama sekali tak melakukan apa yang Jasmine inginkan. Pria itu hanya diam tak bersuara sambil menatap dingin, membuat Anna menarik kembali tangannya. "Kau, tidak mau ya makan dari tanganku. Hahhh ... itu tidak masalah, tapi sekarang kau harus makan." Masih tak ada tanggapan apapun dari bibir pria itu. Sorot ma
Malam itu Juan yang baru masuk ke kamar pribadinya dibuat kesal karena ponsel milik Jasmine terus bergetar. Merasa sangat terganggu, dengan cepat tangan Juan meraih benda pipih itu dari saku jasnya. "Halo .... " suara baritonnya langsung menyapa penelpon di seberang sana. "Dimana Jasmine?!" tanya Arsen setengah membentak, membuat Juan hampir membalasnya, namun otaknya masih sempat mempertimbangkan akibatnya jika dia bersikap demikian. "Jasmine sedang mandi, aku adalah suaminya, jadi kalau ada yang ingin kau sampaikan, sampaikan padaku saja!" jawab Juan yang terdengar elegan dan tenang. "Kalian datanglah ke Alexandria hospital sekarang juga! ibu mengalami kecelakaan dan dia ... meninggal, tolong jangan biarkan Jasmine pergi seorang sendiri." Hanya sebatas itu yang Arsen sampaikan. Juan sendiri merasa cukup terkejut akan apa yang baru saja ia dengar. Bermenit menit lamanya pria itu dilanda kebimbangan. Antara ingin bersikap masa bodoh atau sebaliknya. Bisa dibilang ini adala
Jasmine masih tak bisa memahami situasi di sekitarnya. Ia benar benar tak mengerti maksud ucapan Juan suaminya. Selama ini sikap Juan sangatlah manis, karenanya Jasmine mengira kalau pria di hadapannya hanya sedang membuat lelucon. "Sayang, kau ini bicara apa, ayo kita pergi dari sini, rumah ini menyeramkan." Dengan senyum yang masih terukir di bibirnya, Jasmine menarik tangan Juan untuk pergi dari sana, namun pria itu justru kembali menarik tangannya dengan sentakan yang cukup keras. "Akhhhh!!" pekik Jasmine yang hampir saja terjatuh karena ulah Juan. "Aku tidak main main Jasmine, di sinilah tempatmu, jadi nikmati hari harimu di rumah seram ini, mengerti?!" Jasmine menatap wajah Juan dengan perasaan bingung. "Juan, apa maksudmu? aku istrimu, bagaimana mungkin kau membiarkanku tinggal di tempat ini, atau ... kita akan tinggal bersama disini? jika memang begitu aku tidak akan keberatan." Seketika gelak tawa terdengar dari bibir Juan. "Jasmine ... Jasmine, mana mungkin
Juan menurunkan tubuh Jasmine perlahan. Sebenarnya setelah melakukan itu ia ingin langsung pergi dari sana, tapi ternyata tak bisa. Saat sorot mata keduanya bertemu, Juan justru terpesona pada kecantikan Jasmine, belum lagi saat pandangannya perlahan turun. Leher jenjang seputih susu yang licin bagaikan perselen dan dada indah yang menjulang menggoda. Membuat Juan gagal pergi dari sana. Juan mendekatkan bibirnya perlahan. Menyalurkan setiap dentuman hasrat yang hampir meledak. Menyentuh segala keindahan di depannya, hingga tangannya bergerak perlahan menurunkan resleting gaun pengantin di punggung Jasmine. Menyisakan kain tipis berwarna putih yang menjadi lapisan terdalam sebelum kulit Jasmine benar-benar terekspose sempurna. "Enghhh ... Juannn ... " Lenguhan dari bibir Jasmine kian membuat pria yang telah sah menjadi suaminya itu kian bersemangat. Tanpa berlama lama lagi Juan mengangkat tubuh Jasmine ke ranjang. Mengajak wanita itu merengkuh nikmatnya madu pernikahan.
Pernikahan Juan dan Jasmine berlangsung sangat meriah. Dengan dihadiri tamu tamu penting dan juga para pejabat yang berpengaruh di negeri ini, kini keduanya telah sah menjadi pasangan suami istri.Hari ini ibunda Jasmine turut hadir di sana. Begitu juga dengan ibunda Juan, Veronica Anderson. Wanita sosialita itu nampak menyapa para tamunya dengan wajah sumringah, dan sangat ramah, namun tanpa seorang pun tahu, sorot matanya berkilat penuh amarah setiap kali memandang ke arah Jasmine yang nampak begitu bahagia di samping putranya.Saat hampir mendekati tengah malam, tamu undangan sudah mulai sepi. Juan dan Jasmine pun memutuskan untuk beristirahat."Sayang, aku temui Ibu dulu ya," pamit Jasmine sebelum mengikuti Juan masuk ke salah satu kamar hotel yang telah disiapkan khusus untuk mereka berdua."Hmm," sahut Juan sambil terus melangkah pergi, membuat Jasmine mematung karenanya.Tak biasanya Juan bersikap demikian, namun Jasmine berusaha berpikir positif. Mungkin karena suaminya sekara
Jasmine yang selama ini belum pernah dekat dengan pria manapun selain dengan Arsen sahabat kecilnya, membuat semua orang terkejut ketika ia tiba tiba ia mengatakan ingin menikah."Kamu serius? kenapa tiba tiba? apa ada sesuatu?" tanya Arsen bertubi-tubi saat siang itu mereka bertemu di kampus."Bukan seperti itu, kami dekat sejak lama, hanya saja memang tak mengumbar hubungan kemana mana. Salah satu alasannya karena usia kami terpaut cukup jauh. Delapan tahun."Jasmine sengaja berbohong karena ia tak tahu harus memberikan alasan apa pada orang-orang terdekatnya mengenai keputusan pernikahan yang akan segera ia lakukan. Semua kebohongan yang ia buat juga sudah disepakati bersama dengan Juan. Mereka tak mungkin jujur di hadapan orang orang akan apa yang sebenarnya terjadi.Arsen menyipitkan mata, menelisik lebih dalam ekspresi tak biasa di wajah Jasmine. Bisa dibilang ia tak percaya pada semua ucapan gadis itu, namun belum sempat ia mencaritahu lebih dalam, Jasmine sudah disibukkan deng