Pernikahan Juan dan Jasmine berlangsung sangat meriah. Dengan dihadiri tamu tamu penting dan juga para pejabat yang berpengaruh di negeri ini, kini keduanya telah sah menjadi pasangan suami istri.
Hari ini ibunda Jasmine turut hadir di sana. Begitu juga dengan ibunda Juan, Veronica Anderson. Wanita sosialita itu nampak menyapa para tamunya dengan wajah sumringah, dan sangat ramah, namun tanpa seorang pun tahu, sorot matanya berkilat penuh amarah setiap kali memandang ke arah Jasmine yang nampak begitu bahagia di samping putranya.
Saat hampir mendekati tengah malam, tamu undangan sudah mulai sepi. Juan dan Jasmine pun memutuskan untuk beristirahat.
"Sayang, aku temui Ibu dulu ya," pamit Jasmine sebelum mengikuti Juan masuk ke salah satu kamar hotel yang telah disiapkan khusus untuk mereka berdua.
"Hmm," sahut Juan sambil terus melangkah pergi, membuat Jasmine mematung karenanya.
Tak biasanya Juan bersikap demikian, namun Jasmine berusaha berpikir positif. Mungkin karena suaminya sekarang sedang lelah setelah beraktivitas seharian penuh, begitulah yang Jasmine pikirkan. Ia tak mempermasalahkan hal hal demikian, yang dilakukannya saat ini hanya menatap punggung Juan yang semakin bergerak menjauh.
Sampai beberapa saat lamanya Jasmine masih berdiri di tempat yang sama dengan gaun pengantin yang menjuntai indah, hingga sebuah suara membuatnya tersentak.
"Ibumu mau pulang, temui dia sebentar!"
Ucapan itu terlontar dari bibir Veronica, ibu mertuanya, namun ekspresi wanita itu sangat dingin, jauh berbeda dengan yang tadi Jasmine lihat disaat pesta berlangsung.
"Apa semua orang sedang lelah," gumam Jasmine.
"Jasmine!! kau mendengarku kan?" tanya Veronica setengah membentak saat melihat anak menantunya masih diam di tempat.
"Iya Bu," jawab Jasmine kemudian dengan sopan. Gadis itu kemudian memegang kedua sisi gaun panjangnya untuk memudahkan ia berjalan.
Meski kesulitan dan tertatih tatih, akhirnya Jasmine berhasil sampai di tempat sang ibu berada.
"Ibu, kenapa tidak menginap di sini?" tanya Jasmine lembut saat sudah berhadapan dengan sang ibu.
"Tidak Sayang, Ibu tidak bisa tidur di tempat asing. Kau tahu itu kan?"
Mendengar jawaban itu Jasmine hanya tersenyum.
Suasana semakin haru saat doa doa baik mengalun dari bibir wanita paruh baya itu. Akhirnya Jasmine harus rela melepas kepulangan sang ibu. Pelukan dan ciuman hangat tak lupa ia berikan.
"Ibu jangan khawatir, Juan adalah orang yang baik, kami akan sering datang menemui Ibu."
Ucapan Jasmine sungguh menenangkan.
Setelah ibunya pergi, kini giliran Arsen yang datang menemuinya.
"Mau minum sebentar?" tanya Arsen yang disambut anggukan kepala oleh Jasmine.
Keduanya pun menuju ke salah satu balkon. Kali ini Jasmine bisa berjalan dengan mudah karena ada Arsen yang membantu mengangkat gaunnya.
Dengan ditemani sebotol anggur, keduanya terus berbagi cerita. Mengenang masa masa kecil yang indah tanpa beban, hingga sampai di momen saat Arsen meneteskan air mata.
"Dan kini aku harus merelakanmu menjadi milik orang lain."
Meski Arsen mengatakannya sambil tertawa, tapi bulir bening terjun bebas dari pelupuk matanya.
"Hah ... kenapa aku jadi cengeng Begini," ujar pria itu lagi sambil menyeka air matanya dibantu oleh tangan lembut Jasmine.
"Jangan khawatir, kau sangat tampan, segeralah mencari kekasih agar tidak kesepian. Kau sudah tak perlu menjagaku lagi sekarang, karena sudah ada yang menjagaku."
Saat berkata demikian, Jasmine justru ikut menangis, dan hal itu membuat Arsen memeluk erat tubuhnya.
Kenang kenangan menyenangkan di masa lalu membuat keduanya sama sama terhanyut, sampai pada saat seseorang datang menghentikan momen hangat itu.
"Maaf mengganggu, tapi istriku harus segera beristirahat," ucap orang yang tak lain adalah Juan. Pria itu kini tengah berdiri tegap diantara keduanya.
"Yah, suamimu benar, kau pasti lelah, jadi sekarang istirahatlah!" sahut Arsen sembari melepaskan pelukannya. Setelahnya ia beralih menatap ke arah Juan.
"Bisa bicara sebentar?"
"Tentu, bicara saja!" jawab Juan.
"Hanya berdua," sahut Arsen menegaskan.
Mendengar itu Jasmine bermaksud beranjak dari sana, namun Arsen langsung mencegah.
"Tetaplah di sini, jangan berjalan sendiri, gaunmu sangat panjang, berbahaya. Biar kami yang pergi."
Mendengar semua ucapan yang keluar dari bibir Arsen membuat rahang Juan mengeras. Entah mengapa hatinya kesal setiap kali melihat Arsen bersikap sangat manis terhadap Jasmine.
"Ada apa?" tanya Juan saat mereka berdua sudah berada di posisi yang agak jauh dari tempat Jasmine. Ditanya demikian membuat Arsen tak langsung menjawab.
Pria berpostur tinggi yang tengah mengenyam pendidikan di bidang kedokteran itu melangkah lebih dekat ke tempat Juan berada. Jarak keduanya hanya tinggal sejengkal. Disaat itulah Arsen mulai buka suara.
"Jauh sebelum kau datang, Jasmine adalah orang yang sangat ceria dan bersemangat. Dia adalah gadis yang baik. Tak ada seorang pun pria yang pernah dekat dengannya, jadi ... jaga dia dengan baik melebihi aku menjaganya."
Seketika Juan berdecih mendengarnya.
"Apa maksudmu berkata demikian? aku suaminya, sudah pasti aku akan menjaganya," ucap Juan tak terima.
"Benarkah?! kau menjaganya tapi tak tahu kalau kakinya terluka. Kau bahkan membiarkannya berjalan dalam jarak yang cukup jauh dengan pakaian seperti itu? Jangan menjadikan otot kekarmu ini tidak berguna Tuan Juan Anderson," tantang Arsen tanpa rasa takut sama sekali.
Juan sendiri berusaha menahan luapan panas di dadanya saat berhadapan dengan Arsen. Tapi otaknya masih bisa bekerja dengan baik. Ia tak mau terpancing emosi dan membuat semua rencananya gagal hanya karena meladeni pria muda yang saat ini ia hadapi.
"Apa kesimpulan dari ucapanmu? apa kau mencintai istriku?"
"Ya... aku mencintainya, jadi jangan pernah menyakitinya atau kau akan menyesal. Sekali dia kau buat sakit, kupastikan aku akan merebutnya darimu, dan kau... tak akan pernah bisa melihatnya lagi, seumur hidupmu!! camkan itu!"
Arsen justru menegaskan perasaanya, membuat tangan Juan mengepal kuat. Terlebih lagi saat pria muda itu berlalu begitu saja dari hadapannya dan kembali mendekati Jasmine untuk berpamitan.
Tak lama setelah Arsen benar-benar pergi, Juan pun mendekat. Tanpa berkata apa apa pria itu berjongkok lalu memberiksa kaki Jasmine dan ternyata benar, ada luka di sana.
Sadar akan maksud suaminya, Jasmine segera meminta maaf.
“Maaf, aku tak terbiasa memakai sepatu hak tinggi, jadi kakiku terluka,” ujarnya sambil menunduk menatap pria yang saat ini tengah meloloskan kedua kakinya dari sepatu berhak tinggi yang sejak tadi menyiksanya.
Belum sempat Jasmine berterima kasih, Juan sudah bergerak cepat melilitkan gaun panjang Jasmine lalu menggendong tubuh wanita cantik yang kini resmi menjadi istrinya itu.
“Juan, aku bisa berjalan sendiri.”
Meski mendengar apa yang Jasmine ucapkan, Juan sama sekali tidak memberikan tanggapan. Hanya kaki yang terus melangkah menuju kamar pengantin yang sudah disediakan untuk mereka.
Tanpa sadar, seseorang memperhatikan kemesraan yang mereka tunjukkan dengan sorot mata tajam penuh amarah. Sambil terus menatap pengantin baru itu ia merogoh benda pipih dari sakunya untuk menghubungi seseorang.
"Ya ...." jawab orang di seberang.
"Lakukan tugasmu sekarang, jangan sampai gagal!"
Setelahnya sambungan telepon pun mati, menyisakan senyum seringai di bibir orang yang masih memegang erat ponselnya sambil berdiri tegap di sisi jendela.
Juan menurunkan tubuh Jasmine perlahan. Sebenarnya setelah melakukan itu ia ingin langsung pergi dari sana, tapi ternyata tak bisa. Saat sorot mata keduanya bertemu, Juan justru terpesona pada kecantikan Jasmine, belum lagi saat pandangannya perlahan turun. Leher jenjang seputih susu yang licin bagaikan perselen dan dada indah yang menjulang menggoda. Membuat Juan gagal pergi dari sana. Juan mendekatkan bibirnya perlahan. Menyalurkan setiap dentuman hasrat yang hampir meledak. Menyentuh segala keindahan di depannya, hingga tangannya bergerak perlahan menurunkan resleting gaun pengantin di punggung Jasmine. Menyisakan kain tipis berwarna putih yang menjadi lapisan terdalam sebelum kulit Jasmine benar-benar terekspose sempurna. "Enghhh ... Juannn ... " Lenguhan dari bibir Jasmine kian membuat pria yang telah sah menjadi suaminya itu kian bersemangat. Tanpa berlama lama lagi Juan mengangkat tubuh Jasmine ke ranjang. Mengajak wanita itu merengkuh nikmatnya madu pernikahan.
Jasmine masih tak bisa memahami situasi di sekitarnya. Ia benar benar tak mengerti maksud ucapan Juan suaminya. Selama ini sikap Juan sangatlah manis, karenanya Jasmine mengira kalau pria di hadapannya hanya sedang membuat lelucon. "Sayang, kau ini bicara apa, ayo kita pergi dari sini, rumah ini menyeramkan." Dengan senyum yang masih terukir di bibirnya, Jasmine menarik tangan Juan untuk pergi dari sana, namun pria itu justru kembali menarik tangannya dengan sentakan yang cukup keras. "Akhhhh!!" pekik Jasmine yang hampir saja terjatuh karena ulah Juan. "Aku tidak main main Jasmine, di sinilah tempatmu, jadi nikmati hari harimu di rumah seram ini, mengerti?!" Jasmine menatap wajah Juan dengan perasaan bingung. "Juan, apa maksudmu? aku istrimu, bagaimana mungkin kau membiarkanku tinggal di tempat ini, atau ... kita akan tinggal bersama disini? jika memang begitu aku tidak akan keberatan." Seketika gelak tawa terdengar dari bibir Juan. "Jasmine ... Jasmine, mana mungkin
Malam itu Juan yang baru masuk ke kamar pribadinya dibuat kesal karena ponsel milik Jasmine terus bergetar. Merasa sangat terganggu, dengan cepat tangan Juan meraih benda pipih itu dari saku jasnya. "Halo .... " suara baritonnya langsung menyapa penelpon di seberang sana. "Dimana Jasmine?!" tanya Arsen setengah membentak, membuat Juan hampir membalasnya, namun otaknya masih sempat mempertimbangkan akibatnya jika dia bersikap demikian. "Jasmine sedang mandi, aku adalah suaminya, jadi kalau ada yang ingin kau sampaikan, sampaikan padaku saja!" jawab Juan yang terdengar elegan dan tenang. "Kalian datanglah ke Alexandria hospital sekarang juga! ibu mengalami kecelakaan dan dia ... meninggal, tolong jangan biarkan Jasmine pergi seorang sendiri." Hanya sebatas itu yang Arsen sampaikan. Juan sendiri merasa cukup terkejut akan apa yang baru saja ia dengar. Bermenit menit lamanya pria itu dilanda kebimbangan. Antara ingin bersikap masa bodoh atau sebaliknya. Bisa dibilang ini adala
Juan menatap Jasmine yang tengah menikmati makanan dengan lahap. Melihat bibir wanita itu belepotan, tangannya reflek terulur untuk membersihkannya. "Oh, maaf, kau sejak tadi tidak makan?" tanya Jasmine kemudian saat mendapati kalau makanan di piring Juan masih belum berubah bentuk. "Dengan menatapmu saja aku sudah kenyang," sahut Juan sambil terkekeh kecil. "Kau menyindirku ya, jahat sekali. Aku kan sangat lapar, tapi sekarang sudah kenyang. Sekarang, ayo makanlah! em ... suamiku." Kali ini Jasmine menggeser tempat duduknya hingga berdekatan dengan Juan. Tangannya mengambil sesendok makanan lalu menyodorkannya ke bibir Juan. "Ayolah, buka mulutmu!" Sayangnya Juan sama sekali tak melakukan apa yang Jasmine inginkan. Pria itu hanya diam tak bersuara sambil menatap dingin, membuat Anna menarik kembali tangannya. "Kau, tidak mau ya makan dari tanganku. Hahhh ... itu tidak masalah, tapi sekarang kau harus makan." Masih tak ada tanggapan apapun dari bibir pria itu. Sorot ma
"Juan, ada apa? kenapa wajahmu seperti itu? siapa yang meninggal?" "Yang meninggal adalah ... ibumu," jawab Juan yang membuat tubuh Jasmine membeku tanpa suara. "Kau bilang apa barusan?" Jasmine mencoba mengulangi pertanyaannya. Ditatapnya wajah Juan lekat lekat sampai pada akhirnya pria itu hendak memeluknya, namun kali ini Jasmani menolak. Ditahannya bahu kekar pria itu, pupil matanya bergetar sementara bibirnya beberapa kali ingin mengeluarkan suara namun gagal. "Jasmine, maaf ... aku tidak langsung memberitahumu, aku takut kau _ " "Jadi ini benar?" sela Jasmine yang disambut anggukan kepala oleh Juan, namun Jasmine justru menolak pernyataan itu. "Katakan kalau kau membohongiku!! katakan Juan!! cepat katakan padaku kalau ini hanya lelucon!!" Jasmine semakin tak terkendali, air matanya mengalir deras sementara kakinya perlahan bergerak mundur hingga terduduk di atas ranjang. Melihat itu membuat hati nurani Juan kembali berkuasa. Ia pun melangkah mendekat dan berj
"Ingat Juan, kehadiran Jasmine di dalam kehidupan kita hanya untuk pengalihan perusahaan dan ingat apa yang terjadi pada adikmu. Jangan sampai aku yang melakukannya sendiri," ucap Veronica di hadapan Juan. "Ibu tidak perlu mengotori tangan ibu sendiri, biar aku yang mengurus semuanya," sahut Juan sebelum ia pergi meninggalkan sang ibu dan kembali menemui Jasmine. Wajah Jasmine masih nampak sedih, namun Juan harus tetap menyampaikan, kalau mulai saat ini mereka harus tinggal di kediamannya. Mendengar ucapan sang suami, Jasmine hanya bisa mengangguk. *** "Selamat sore ... Bu," sapa Jasmine pada Veronica saat ia sudah sampai di kediaman Juan, namun jawaban yang Veronica berikan cukup mengejutkan. "Aku bukan ibumu." Itulah kalimat yang terlontar dari bibir Veronica. Tubuh Jasmine mematung mendengarnya terlebih saat Juan memanggil pelayan. "Pelayan, antar dia ke kamarnya," ujar pria itu yang langsung pergi meninggalkan Jasmine. "Nona, silahkan ikut saya." Pikiran Jasmine
Juan membuka pintu kamar tempat Jasmine berada. Tak ada suara apapun di kamar itu karena saat ini Jasmine tengah meringkuk di balik selimut tipis yang sudah lama tak dicuci. "Dasar!! bisa-bisanya dia malah enak-enakan tidur," ujar Juan sambil terus melangkah mendekat dengan kedua tangan terselip di saku celana. Awalnya pria itu nampak santai, ia bahkan berniat memaki wanita yang berstatus sebagai istri sahnya itu, namun betapa terkejutnya saat mendapati wajah tirus dan tubuh Jasmine yang nampak jauh lebih kurus dari terakhir kali ia melihatnya. "Apa-apaan ini?!" Juan hampir memekik begitu mendapati pemandangan di hadapannya. Nafasnya tercekat, ia sungguh tak menyangka sama sekali akan mendapati kondisi yang demikian pada diri Jasmine. Juan masih meragukan pandangannya. Tubuhnya semakin mendekat perlahan, ditariknya selimut yang menutupi tubuh kurus Jasmine. Juan pun semakin syok menyaksikan apa yang ada di depan matanya. Kondisi Jasmine sungguh memprihatinkan. Tubuhnya ku
“Alesha…,” bisik Michael di telinga sang kekasih. Sebentar lagi keduanya akan menikah, namun pria yang kerap dipanggil Mike itu sudah tak bisa lagi menahan sesuatu dalam dirinya, membuat sang kekasih hanya bisa pasrah, toh mereka sudah bertunangan. Begitulah yang Alesha pikirkan. Malam itu, di sebuah kamar hotel yang mewah nan luas, suara lenguhan lembut terdengar dari bibir semerah cherry milik Alesha disaat tangan kekar Mike mulai mencakupi segala sesuatu yang berhasil membuat gairah wanita di bawah naik ke ubun ubun. Di detik berikutnya, kamar hotel yang semula terang benderang, tiba-tiba menjadi gelap gulata. "Sayang...tidak!! aku ingin melihatmu!!" protes Alesha saat matanya tak lagi bisa melihat apapun di sekitarnya, namun Mike tak memberi kesempatan pada Alesha untuk melakukan lebih banyak protes. Bibirnya langsung membungkam bibir Alesha dengan ciuman bertubi-tubi, hingga tanpa wanita itu sadari, ada tangan tangan lain yang ikut menyentuhnya, hingga akhirnya tangan Mike ben