Jasmine masih tak bisa memahami situasi di sekitarnya. Ia benar benar tak mengerti maksud ucapan Juan suaminya. Selama ini sikap Juan sangatlah manis, karenanya Jasmine mengira kalau pria di hadapannya hanya sedang membuat lelucon.
"Sayang, kau ini bicara apa, ayo kita pergi dari sini, rumah ini menyeramkan." Dengan senyum yang masih terukir di bibirnya, Jasmine menarik tangan Juan untuk pergi dari sana, namun pria itu justru kembali menarik tangannya dengan sentakan yang cukup keras. "Akhhhh!!" pekik Jasmine yang hampir saja terjatuh karena ulah Juan. "Aku tidak main main Jasmine, di sinilah tempatmu, jadi nikmati hari harimu di rumah seram ini, mengerti?!" Jasmine menatap wajah Juan dengan perasaan bingung. "Juan, apa maksudmu? aku istrimu, bagaimana mungkin kau membiarkanku tinggal di tempat ini, atau ... kita akan tinggal bersama disini? jika memang begitu aku tidak akan keberatan." Seketika gelak tawa terdengar dari bibir Juan. "Jasmine ... Jasmine, mana mungkin aku tinggal di tempat seperti ini, ini adalah tempat yang pantas untuk wanita sepertimu!!" "Tunggu ... wanita sepertiku? apa maksudmu?!" Jasmine mulai tak terima atas ucapan dan pandangan mata yang Juan arahkan untuknya. "Kau ... adalah jalang kecil yang materialistis. Tidakkah kau berpikir, bagaimana mungkin pria sepertiku mau denganmu?!" Ucapan Juan kali ini benar benar melukai hati Jasmine. Walau dirinya bukanlah orang kaya raya, ini adalah pertama kali ia mendapatkan penghinaan seperti itu. Selama ini circle pertemanannya juga cukup bagus, bahkan bisa dibilang, orang orang banyak yang senang terhadapnya. Bukan tanpa alasan, selain cantik dan berprestasi, Jasmine juga seseorang yang berjiwa sosial tinggi. Ia berteman dengan siapapun tanpa membanggakan pencapaiannya. Humble dan pekerja keras, itulah yang kerap teman temannya lihat darinya. "Katakan dengan benar apa maksudmu Juan Anderson?" Suara Jasmine kali ini terdengar bergetar. Sorot mata penuh keceriaan itu seketika meredup dan berkaca kaca. Pria yang akhir akhir ini sukses merebut hatinya, kini berbicara buruk padanya. "Hmm ... masih belum paham juga ya?" ujar Juan masih dengan senyum miring di bibirnya dengan kaki yang melangkah mengitari Jasmine ia pun berkata. "Aku tidak mencintaimu .... " Bagai tersambar petir, bisikan lembut dari bibir Juan kali ini benar benar membuat lelehan bening terjun bebas dari sudut mata Jasmine. "Setelah semua yang kita lakukan?" lirih Jasmine. "Memangnya kita melakukan apa?" sahut Juan tanpa peduli. "Mungkin bagimu itu bukan apa-apa, tapi tak demikian bagiku. Jika memang kau tak benar benar menginkanku, kenapa kau menikahiku? harusnya kau tinggalkan saja aku setelah malam itu terjadi?" "Itu urusanku!!" jawab Juan sambil hendak melangkah pergi. Kali ini Jasminlah yang menahan tangannya. "Juan, kumohon jangan seperti ini. Jangan meninggalkanku di sini, aku takut. Biarkan aku kembali pada ibuku, aku bisa pergi sendiri. Berikan ponselku, aku akan menghubungi seseorang untuk menjemputku." Tepat saat Jasmine berhenti bicara, Juan langsung mencengkeram kuat dagunya. "Kau mau menghubungi pria bernama Arsen itu hah?! jangan mimpi!! ingat Jasmine, statusmu adalah istriku, jadi jangan coba coba pergi dari sini, tetaplah berada di tempat ini, aku akan kembali jika aku membutuhkanmu." Setelah berkata demikian, Juan menyentakkan cengkeramannya dengan kasar, namun Jasmine tak menyerah. Ia terus memohon agar Juan tak meninggalkannya. "Tolong jangan seperti ini Juan, aku benar benar takut. Aku mencintaimu, kenapa kau tega memperlakukanku seperti ini .... " Suara tangisan pilu dari bibir Jasmine sama sekali tak menggoyahkan hati Juan. Pria bertubuh tegap itu tetap beranjak pergi. Teriakan dan gedoran di pintu tetap tak ia hiraukan. "Juan, tolong jangan tinggalkan aku di sini!!" Jasmine masih saja menangis dan meminta tolong hingga tubuhnya lemas dan ambruk ke lantai. Sorot matanya memburam karena air mata terus menggenang di sana. Ia sungguh tak menyangka, kebahagiaan yang ia rasakan ternyata hanya semu. Kini hidupnya benar benar hancur. Mendapati kalau Juan tak benar benar mencintainya membuat hati Jasmine begitu sakit. "Ibuuu ... tolong Jasmine," ucapnya di sela sela isakan yang tersisa. Entah sudah berapa lama ia berada dalam posisi seperti itu hingga tenggorokannya benar benar kering. Perutnya juga mulai terasa lapar tapi tak ada apapun di sana. Saat mencoba berdiri, kepalanya juga terasa pusing, membuatnya melangkah menuju sofa usang berdebu yang ada di tengah ruangan, namun saat menarik penutup sofa, segerombolan tikus keluar dari sana, membuat Jasmine menjerit ketakutan. Bau kotoran binatang itu juga membuatnya mual . Ia segera berlari ke salah satu sudut ruangan untuk memuntahkan isi dari dalam perutnya. Tubuhnya sekarang benar benar lemas. Tak ada lagi hal yang ia lakukan selain duduk di lantai yang berdebu di dekat jendela sambil menatap ke langit. Matanya selalu mengembun setiap kali mengingat hari pertemuannya dengan Juan. Ia tak tahu kenapa semesta mempertemukannya dengan pria itu. Satu satunya orang yang ia harapkan kehadirannya saat ini hanyalah sang ibu. "Ibu ... Jasmine rindu .... " Hari sudah mulai beranjak gelap dan Jasmine masih tetap berada di sana sampai akhirnya ia ketiduran. Matanya baru kembali terbuka saat mendengar suara benda terjatuh. Jasmine mengangkat kepalanya perlahan, melihat ke sekeliling yang sudah gelap dan hanya diterangi sinar bulan dari luar jendela. Suara nyamuk yang berdenging membuat Jasmine semakin kebingungan karena beberapa dari mereka juga mulai menggigit. "Siapapun toloooong!!" Bersamaan dengan itu, ada suara mobil berhenti di halaman. Memercikan sedikit harapan di hati Jasmine. Ia sungguh berharap kalau pintu hati Juan terketuk sehingga pria itu mau mengeluarkannya dari sana, namun ternyata harapan tinggallah harapan. Bukan Juan yang berdiri di hadapannya saat ini, melainkan dua orang pria asing berwajah bengis dengan perawakan gempal menyeramkan. "Siapa kalian?!" teriak Jasmine saat lampu di dalam ruangan tempatnya berada sudah dinyalakan dan ia bisa melihat seringai di wajah kedua pria itu. "Kami adalah orang yang Tuan Juan tugaskan untuk mengantarkan makanan pada tawanannya, tapi ternyata tawanannya sangatlah cantik," ucap salah seorang diantara mereka. "Sepertinya sayang kalau ada wanita cantik dibiarkan seperti ini," sahut yang satunya lagi, membuat Jasmine sangat ketakutan. "Mau apa kalian?!" teriaknya dengan suara bergetar saat kedua pria itu melangkah semakin dekat. Ia hendak berlari, namun pria pria di hadapannya sudah lebih dulu menangkapnya, membuat Jasmine meronta sekuat tenaga sambil menjerit histeris. Tubuhnya dilempar ke lantai cukup keras, beruntung ia masih bisa menahan kepalanya agar tak ikut terbentur, namun punggungnya benar-benar sakit. Membuat tenaganya jauh berkurang. "Siapapun tolooong ... " teriaknya dengan suara parau. Suara Jasmine semakin melemah seiring tamparan keras yang ia terima di kedua pipinya. Pandangan matanya mulai berkunang-kunang sampai akhirnya ia tak ingat lagi akan apa yang sudah terjadi.Malam itu Juan yang baru masuk ke kamar pribadinya dibuat kesal karena ponsel milik Jasmine terus bergetar. Merasa sangat terganggu, dengan cepat tangan Juan meraih benda pipih itu dari saku jasnya. "Halo .... " suara baritonnya langsung menyapa penelpon di seberang sana. "Dimana Jasmine?!" tanya Arsen setengah membentak, membuat Juan hampir membalasnya, namun otaknya masih sempat mempertimbangkan akibatnya jika dia bersikap demikian. "Jasmine sedang mandi, aku adalah suaminya, jadi kalau ada yang ingin kau sampaikan, sampaikan padaku saja!" jawab Juan yang terdengar elegan dan tenang. "Kalian datanglah ke Alexandria hospital sekarang juga! ibu mengalami kecelakaan dan dia ... meninggal, tolong jangan biarkan Jasmine pergi seorang sendiri." Hanya sebatas itu yang Arsen sampaikan. Juan sendiri merasa cukup terkejut akan apa yang baru saja ia dengar. Bermenit menit lamanya pria itu dilanda kebimbangan. Antara ingin bersikap masa bodoh atau sebaliknya. Bisa dibilang ini adala
Juan menatap Jasmine yang tengah menikmati makanan dengan lahap. Melihat bibir wanita itu belepotan, tangannya reflek terulur untuk membersihkannya. "Oh, maaf, kau sejak tadi tidak makan?" tanya Jasmine kemudian saat mendapati kalau makanan di piring Juan masih belum berubah bentuk. "Dengan menatapmu saja aku sudah kenyang," sahut Juan sambil terkekeh kecil. "Kau menyindirku ya, jahat sekali. Aku kan sangat lapar, tapi sekarang sudah kenyang. Sekarang, ayo makanlah! em ... suamiku." Kali ini Jasmine menggeser tempat duduknya hingga berdekatan dengan Juan. Tangannya mengambil sesendok makanan lalu menyodorkannya ke bibir Juan. "Ayolah, buka mulutmu!" Sayangnya Juan sama sekali tak melakukan apa yang Jasmine inginkan. Pria itu hanya diam tak bersuara sambil menatap dingin, membuat Anna menarik kembali tangannya. "Kau, tidak mau ya makan dari tanganku. Hahhh ... itu tidak masalah, tapi sekarang kau harus makan." Masih tak ada tanggapan apapun dari bibir pria itu. Sorot ma
"Juan, ada apa? kenapa wajahmu seperti itu? siapa yang meninggal?" "Yang meninggal adalah ... ibumu," jawab Juan yang membuat tubuh Jasmine membeku tanpa suara. "Kau bilang apa barusan?" Jasmine mencoba mengulangi pertanyaannya. Ditatapnya wajah Juan lekat lekat sampai pada akhirnya pria itu hendak memeluknya, namun kali ini Jasmani menolak. Ditahannya bahu kekar pria itu, pupil matanya bergetar sementara bibirnya beberapa kali ingin mengeluarkan suara namun gagal. "Jasmine, maaf ... aku tidak langsung memberitahumu, aku takut kau _ " "Jadi ini benar?" sela Jasmine yang disambut anggukan kepala oleh Juan, namun Jasmine justru menolak pernyataan itu. "Katakan kalau kau membohongiku!! katakan Juan!! cepat katakan padaku kalau ini hanya lelucon!!" Jasmine semakin tak terkendali, air matanya mengalir deras sementara kakinya perlahan bergerak mundur hingga terduduk di atas ranjang. Melihat itu membuat hati nurani Juan kembali berkuasa. Ia pun melangkah mendekat dan berj
"Ingat Juan, kehadiran Jasmine di dalam kehidupan kita hanya untuk pengalihan perusahaan dan ingat apa yang terjadi pada adikmu. Jangan sampai aku yang melakukannya sendiri," ucap Veronica di hadapan Juan. "Ibu tidak perlu mengotori tangan ibu sendiri, biar aku yang mengurus semuanya," sahut Juan sebelum ia pergi meninggalkan sang ibu dan kembali menemui Jasmine. Wajah Jasmine masih nampak sedih, namun Juan harus tetap menyampaikan, kalau mulai saat ini mereka harus tinggal di kediamannya. Mendengar ucapan sang suami, Jasmine hanya bisa mengangguk. *** "Selamat sore ... Bu," sapa Jasmine pada Veronica saat ia sudah sampai di kediaman Juan, namun jawaban yang Veronica berikan cukup mengejutkan. "Aku bukan ibumu." Itulah kalimat yang terlontar dari bibir Veronica. Tubuh Jasmine mematung mendengarnya terlebih saat Juan memanggil pelayan. "Pelayan, antar dia ke kamarnya," ujar pria itu yang langsung pergi meninggalkan Jasmine. "Nona, silahkan ikut saya." Pikiran Jasmine
Juan membuka pintu kamar tempat Jasmine berada. Tak ada suara apapun di kamar itu karena saat ini Jasmine tengah meringkuk di balik selimut tipis yang sudah lama tak dicuci. "Dasar!! bisa-bisanya dia malah enak-enakan tidur," ujar Juan sambil terus melangkah mendekat dengan kedua tangan terselip di saku celana. Awalnya pria itu nampak santai, ia bahkan berniat memaki wanita yang berstatus sebagai istri sahnya itu, namun betapa terkejutnya saat mendapati wajah tirus dan tubuh Jasmine yang nampak jauh lebih kurus dari terakhir kali ia melihatnya. "Apa-apaan ini?!" Juan hampir memekik begitu mendapati pemandangan di hadapannya. Nafasnya tercekat, ia sungguh tak menyangka sama sekali akan mendapati kondisi yang demikian pada diri Jasmine. Juan masih meragukan pandangannya. Tubuhnya semakin mendekat perlahan, ditariknya selimut yang menutupi tubuh kurus Jasmine. Juan pun semakin syok menyaksikan apa yang ada di depan matanya. Kondisi Jasmine sungguh memprihatinkan. Tubuhnya ku
“Alesha…,” bisik Michael di telinga sang kekasih. Sebentar lagi keduanya akan menikah, namun pria yang kerap dipanggil Mike itu sudah tak bisa lagi menahan sesuatu dalam dirinya, membuat sang kekasih hanya bisa pasrah, toh mereka sudah bertunangan. Begitulah yang Alesha pikirkan. Malam itu, di sebuah kamar hotel yang mewah nan luas, suara lenguhan lembut terdengar dari bibir semerah cherry milik Alesha disaat tangan kekar Mike mulai mencakupi segala sesuatu yang berhasil membuat gairah wanita di bawah naik ke ubun ubun. Di detik berikutnya, kamar hotel yang semula terang benderang, tiba-tiba menjadi gelap gulata. "Sayang...tidak!! aku ingin melihatmu!!" protes Alesha saat matanya tak lagi bisa melihat apapun di sekitarnya, namun Mike tak memberi kesempatan pada Alesha untuk melakukan lebih banyak protes. Bibirnya langsung membungkam bibir Alesha dengan ciuman bertubi-tubi, hingga tanpa wanita itu sadari, ada tangan tangan lain yang ikut menyentuhnya, hingga akhirnya tangan Mike ben
"Putri anda dinyatakan hamil Nyonya, memasuki usia 6 Minggu."Kata kata dokter yang memeriksa jenazah Alesha di depan sang ibu, masih terus terngiang jelas di telinga Juan.Mendengar semua itu, sebagai seorang kakak jelas ia tak bisa tinggal diam. Juan berusaha mencari tahu apa yang terjadi sampai sampai Alesha harus memilih mengakhiri hidupnya.Jika alasannya karena hamil, bukankah itu anaknya Mike. Harusnya mereka tinggal menikah saja, kenapa harus bunuh diri. Atau mungkin bayi yang Alesha kandung bukanlah anak Mike, tapi bagaimana bisa. Alesha sangat tergila gila pada pria itu. Tipis kemungkinan kalau ia sampai berkhianat.Berbagai macam pikiran terus berkecamuk dalam pikiran Juan,hingga akhirnya ia berusaha mencari tahu apa yang terjadi.Dengan bantuan seorang polisi dan juga seorang detektif yang ia datangkan secara pribadi, sebuah buku harian, ponsel, dan juga foto foto yang berserakan di tong sampah di kamar Alesha menjadi petunjuk baru.Di dalam buku harian tersebut ada satu
Juan menatap gadis 20 tahun di hadapannya dengan tatapan sayu. Sorot matanya sudah berbalut nafsu. Ini adalah kali pertama ia menghabiskan malam dengan seorang wanita yang umurnya jauh di bawahnya."Ahhh ... sakiiittt!!" jerit gadis itu saat milik Juan menerjang simbol kesucian yang ia miliki. Nafasnya seketika terengah dengan keringat membasahi sekujur tubuh.Terlihat sekali kalau gadis di bawahnya sangat kesakitan. Membuat Juan memperlembut caranya sampai akhirnya ia benar benar berhasil. Disaat itu Juan justru merasakan sesuatu yang berbeda.Kenikmatan tiada tara. Itulah yang Juan rasakan. Membuat jiwa raganya benar benar melayang menembus batas angan angan. Juan tak peduli walau gadis di bawahnya terus meracau semakin keras, entah karena sakit atau nikmat, yang pasti untuk saat ini ia tak ingin berhenti.Terlalu sayang rasanya untuk sekedar beristirahat, hingga ritme gerakan pinggulnya semakin bertambah cepat dan, "arghhhh ...!"Juan sampai pada apa yang ia inginkan, dan itu terja