Juan menatap gadis 20 tahun di hadapannya dengan tatapan sayu. Sorot matanya sudah berbalut nafsu. Ini adalah kali pertama ia menghabiskan malam dengan seorang wanita yang umurnya jauh di bawahnya.
"Ahhh ... sakiiittt!!" jerit gadis itu saat milik Juan menerjang simbol kesucian yang ia miliki. Nafasnya seketika terengah dengan keringat membasahi sekujur tubuh.
Terlihat sekali kalau gadis di bawahnya sangat kesakitan. Membuat Juan memperlembut caranya sampai akhirnya ia benar benar berhasil. Disaat itu Juan justru merasakan sesuatu yang berbeda.
Kenikmatan tiada tara. Itulah yang Juan rasakan. Membuat jiwa raganya benar benar melayang menembus batas angan angan. Juan tak peduli walau gadis di bawahnya terus meracau semakin keras, entah karena sakit atau nikmat, yang pasti untuk saat ini ia tak ingin berhenti.
Terlalu sayang rasanya untuk sekedar beristirahat, hingga ritme gerakan pinggulnya semakin bertambah cepat dan, "arghhhh ...!"
Juan sampai pada apa yang ia inginkan, dan itu terjadi lebih cepat dari biasanya.
Bukan tanpa alasan, selain ada sesuatu yang berbeda, partnernya saat ini adalah seorang gadis belia yang sangat cantik dan dalam kondisi mabuk sekaligus terangsang akibat obat yang sudah ia berikan.
Kini tubuh Juan ambruk terkapar di atas ranjang, berdampingan dengan gadis berambut panjang yang baru saja menjadi pemuas hasratnya. Malam ini ia sungguh puas.
Berniat untuk istirahat, tangannya mencoba meraba selimut untuk menutupi tubuh mereka yang masih polos, namun karena kesulitan, dengan sangat terpaksa Juan bangkit perlahan.
Ia bermaksud mengangkat kaki gadis yang menindih sebagian gulungan selimut tersebut, namun seketika ia terkesiap saat mendapati bercak merah di atas sprei berwarna putih di bawahnya.
Tubuh Juan mematung. Ini memang bukan yang pertama kali untuknya. Sudah beberapa kali ia tidur dengan Laura, dan disaat berniat menodai seseorang, ternyata ia justru mendapatkan sesuatu yang sangat spesial.
Dengan jantung berdegup kencang, Juan kembali berbaring perlahan. Disingkapnya rambut panjang gadis bernama Jasmine itu. Kulitnya yang lembut seputih susu kembali menggoda tangan Juan untuk menyentuhnya.
"Jasmine," bisik Juan di telinga sang gadis. Membuat tubuh gadis itu meremang seketika. Tak lama Jasmine pun menggeliat. Gerakan sederhana yang ia lakukan sukses membuat Juan kembali terpancing, begitu pula Jasmine yang memang masih berada di bawah kesadaran.
Kali ini cara Juan melakukannya jauh lebih lembut. Ia bahkan membalas tatapan mata Jasmine yang baru saja terbuka. Keduanya seolah tenggelam dalam pesona yang tercipta dari objek di hadapannya masing masing.
Siapa yang tak terpesona dengan seorang Juan Anderson. Wajahnya yang tampan berhiaskan sorot mata tajam dan alis mata yang tebal melintang serta garis rahang yang tegas. Belum lagi hidungnya yang mancung dengan bibir seksi yang kemerahan.
Dengan suka rela Jasmine pun kembali menyerahkan diri pada pria yang ada di hadapannya. Hingga tak cukup hanya sekali mereka melakukannya. Suara derasnya air hujan yang mengguyur bumi di luar sana, menjadi saksi penyatuan dua insan yang tak saling mengenal satu sama lain itu.
Semuanya baru berakhir saat mereka sama sama lelah dan tak berdaya. Suara gemuruh petir di kejauhan semakin mengeratkan pelukan Jasmine di pinggang Juan, dan keduanya sama sama menikmati kehangatan yang ada.
Sampai pada saat mata Jasmine terbuka perlahan karena terkena pantulan sinar matahari pagi yang menerpa wajahnya. Seketika gadis itu menjerit histeris.
Membuat Juan langsung ikut terbangun karena terkejut.
"Kau siapa?!" seru Jasmine dengan ketakutan. Sementara Juan malah menunjukkan ekspresi linglung.
"Kau juga siapa?"
Pertanyaan yang sama turut meluncur dari bibir Juan, membuat Jasmine menggigit bibir bawahnya. Otaknya berusaha mengingat apa yang terjadi semalam sampai sampai ia harus berakhir di kamar itu bersama seorang pria tampan dengan tubuh bagian bawahnya terasa sakit.
Jasmine mulai ingat kalau semalam ia berada di pesta sahabatnya dan memutuskan untuk beristirahat di salah satu kamar hotel karena merasa ada yang aneh dengan tubuhnya.
"Tuan tolong jelaskan, apa yang terjadi sebenarnya, bagaimana bisa kita seperti ini?"
Jasmine mulai terisak. Banyak hal yang terlintas di benaknya saat ini.
Ibunya, pendidikannya dan juga masa depannya. Bagaimana kalau nanti dia hamil. Tanpa mencari tahu lebih dalam pun Jasmine sudah tahu apa yang baru saja ia alami.
Dengan air mata yang menggantung di sudut matanya Jasmine kembali mengulang pertanyaan yang sama hingga pria itu akhirnya menjelaskan.
"Ini adalah kamarku Nona, dan entah bagaimana caranya kau bisa masuk ke sini lalu menggodaku. Aku hanya manusia biasa, aku tergoda atas rayuan yang kau berikan."
Jasmine hampir tak percaya tapi ia tak bisa berbuat apa apa. Semuanya sudah terjadi.
"Nona, jangan bersedih. Kalau kau mau, aku akan menikahimu. Aku bukan pria bejat yang tega menodai seorang wanita lalu meninggalkannya begitu saja."
Jasmine terkesiap mendengar kalimat yang terlontar dari bibir pria di hadapannya. Bukan apa apa, tapi pria itu sangatlah tampan, apa iya pria seperti itu mau bertanggung jawab semudah itu.
"Bagaimana jika istrimu tahu?"
"Apa?!" sahut Juan dengan ekspresi terkejut karena Jasmine menganggap ia sudah beristri. Ingin membuat wanita itu benar benar percaya, Juan pun mengambil kartu identitas miliknya dan menunjukkan statusnya kepada Jasmine.
"Aku belum punya istri, jadi ... mari kita menikah."
Ucapan itu seolah mengalun tanpa beban dari bibir Juan.
"Kita bahkan belum saling kenal dan bisa bisanya Tuan mengajakku menikah?!"
"Memangnya kenapa? aku adalah pria yang memiliki rasa tanggung jawab. Aku juga seorang pengusaha. Berbuat seenaknya terhadap orang lain, itu jelas berseberangan dengan prinsipku.
Ucapan Juan yang menggema ke seisi ruangan dengan intonasi yang tegas tanpa basa basi, berhasil membuat Jasmine terpesona. Walau berbagai pertanyaan lain terus ia berikan, semua jawaban Juan tetap berhasil membuatnya percaya bahwa pria di hadapannya saat ini adalah jodoh idaman yang Tuhan kirimkan atas doa doa yang ia panjatkan selama ini.
"Iya Tuan, aku bersedia," jawab Jasmine kemudian. Membuat Juan tersenyum begitu manis dan memeluk wanita yang masih berbalut selimut di hadapannya.
Sentuhan kulit yang mereka lakukan kali ini, lagi lagi membuat keduanya merasakan sesuatu. Tanpa ragu Juan pun kembali mendaratkan ciumannya di bibir Jasmine, begtu dalam dan menuntut.
Lagi dan lagi, ruangan luas dengan dekorasi mewah itu menjadi saksi kegilaan Juan terhadap Jasmine. Suara merdu yang keluar dari bibir Jasmine membuat pria 28 tahun itu semakin bersemangat.
Ia sungguh tak menyangka, semuanya akan semudah itu ia lakukan. Tak bisa dipungkiri kalau ketampanan yang ia miliki bisa membuat segalanya menjadi jauh lebih mudah dari yang ia bayangkan.
Jasmine yang selama ini belum pernah dekat dengan pria manapun selain dengan Arsen sahabat kecilnya, membuat semua orang terkejut ketika ia tiba tiba ia mengatakan ingin menikah."Kamu serius? kenapa tiba tiba? apa ada sesuatu?" tanya Arsen bertubi-tubi saat siang itu mereka bertemu di kampus."Bukan seperti itu, kami dekat sejak lama, hanya saja memang tak mengumbar hubungan kemana mana. Salah satu alasannya karena usia kami terpaut cukup jauh. Delapan tahun."Jasmine sengaja berbohong karena ia tak tahu harus memberikan alasan apa pada orang-orang terdekatnya mengenai keputusan pernikahan yang akan segera ia lakukan. Semua kebohongan yang ia buat juga sudah disepakati bersama dengan Juan. Mereka tak mungkin jujur di hadapan orang orang akan apa yang sebenarnya terjadi.Arsen menyipitkan mata, menelisik lebih dalam ekspresi tak biasa di wajah Jasmine. Bisa dibilang ia tak percaya pada semua ucapan gadis itu, namun belum sempat ia mencaritahu lebih dalam, Jasmine sudah disibukkan deng
Pernikahan Juan dan Jasmine berlangsung sangat meriah. Dengan dihadiri tamu tamu penting dan juga para pejabat yang berpengaruh di negeri ini, kini keduanya telah sah menjadi pasangan suami istri.Hari ini ibunda Jasmine turut hadir di sana. Begitu juga dengan ibunda Juan, Veronica Anderson. Wanita sosialita itu nampak menyapa para tamunya dengan wajah sumringah, dan sangat ramah, namun tanpa seorang pun tahu, sorot matanya berkilat penuh amarah setiap kali memandang ke arah Jasmine yang nampak begitu bahagia di samping putranya.Saat hampir mendekati tengah malam, tamu undangan sudah mulai sepi. Juan dan Jasmine pun memutuskan untuk beristirahat."Sayang, aku temui Ibu dulu ya," pamit Jasmine sebelum mengikuti Juan masuk ke salah satu kamar hotel yang telah disiapkan khusus untuk mereka berdua."Hmm," sahut Juan sambil terus melangkah pergi, membuat Jasmine mematung karenanya.Tak biasanya Juan bersikap demikian, namun Jasmine berusaha berpikir positif. Mungkin karena suaminya sekara
Juan menurunkan tubuh Jasmine perlahan. Sebenarnya setelah melakukan itu ia ingin langsung pergi dari sana, tapi ternyata tak bisa. Saat sorot mata keduanya bertemu, Juan justru terpesona pada kecantikan Jasmine, belum lagi saat pandangannya perlahan turun. Leher jenjang seputih susu yang licin bagaikan perselen dan dada indah yang menjulang menggoda. Membuat Juan gagal pergi dari sana. Juan mendekatkan bibirnya perlahan. Menyalurkan setiap dentuman hasrat yang hampir meledak. Menyentuh segala keindahan di depannya, hingga tangannya bergerak perlahan menurunkan resleting gaun pengantin di punggung Jasmine. Menyisakan kain tipis berwarna putih yang menjadi lapisan terdalam sebelum kulit Jasmine benar-benar terekspose sempurna. "Enghhh ... Juannn ... " Lenguhan dari bibir Jasmine kian membuat pria yang telah sah menjadi suaminya itu kian bersemangat. Tanpa berlama lama lagi Juan mengangkat tubuh Jasmine ke ranjang. Mengajak wanita itu merengkuh nikmatnya madu pernikahan.
Jasmine masih tak bisa memahami situasi di sekitarnya. Ia benar benar tak mengerti maksud ucapan Juan suaminya. Selama ini sikap Juan sangatlah manis, karenanya Jasmine mengira kalau pria di hadapannya hanya sedang membuat lelucon. "Sayang, kau ini bicara apa, ayo kita pergi dari sini, rumah ini menyeramkan." Dengan senyum yang masih terukir di bibirnya, Jasmine menarik tangan Juan untuk pergi dari sana, namun pria itu justru kembali menarik tangannya dengan sentakan yang cukup keras. "Akhhhh!!" pekik Jasmine yang hampir saja terjatuh karena ulah Juan. "Aku tidak main main Jasmine, di sinilah tempatmu, jadi nikmati hari harimu di rumah seram ini, mengerti?!" Jasmine menatap wajah Juan dengan perasaan bingung. "Juan, apa maksudmu? aku istrimu, bagaimana mungkin kau membiarkanku tinggal di tempat ini, atau ... kita akan tinggal bersama disini? jika memang begitu aku tidak akan keberatan." Seketika gelak tawa terdengar dari bibir Juan. "Jasmine ... Jasmine, mana mungkin
Malam itu Juan yang baru masuk ke kamar pribadinya dibuat kesal karena ponsel milik Jasmine terus bergetar. Merasa sangat terganggu, dengan cepat tangan Juan meraih benda pipih itu dari saku jasnya. "Halo .... " suara baritonnya langsung menyapa penelpon di seberang sana. "Dimana Jasmine?!" tanya Arsen setengah membentak, membuat Juan hampir membalasnya, namun otaknya masih sempat mempertimbangkan akibatnya jika dia bersikap demikian. "Jasmine sedang mandi, aku adalah suaminya, jadi kalau ada yang ingin kau sampaikan, sampaikan padaku saja!" jawab Juan yang terdengar elegan dan tenang. "Kalian datanglah ke Alexandria hospital sekarang juga! ibu mengalami kecelakaan dan dia ... meninggal, tolong jangan biarkan Jasmine pergi seorang sendiri." Hanya sebatas itu yang Arsen sampaikan. Juan sendiri merasa cukup terkejut akan apa yang baru saja ia dengar. Bermenit menit lamanya pria itu dilanda kebimbangan. Antara ingin bersikap masa bodoh atau sebaliknya. Bisa dibilang ini adala
Juan menatap Jasmine yang tengah menikmati makanan dengan lahap. Melihat bibir wanita itu belepotan, tangannya reflek terulur untuk membersihkannya. "Oh, maaf, kau sejak tadi tidak makan?" tanya Jasmine kemudian saat mendapati kalau makanan di piring Juan masih belum berubah bentuk. "Dengan menatapmu saja aku sudah kenyang," sahut Juan sambil terkekeh kecil. "Kau menyindirku ya, jahat sekali. Aku kan sangat lapar, tapi sekarang sudah kenyang. Sekarang, ayo makanlah! em ... suamiku." Kali ini Jasmine menggeser tempat duduknya hingga berdekatan dengan Juan. Tangannya mengambil sesendok makanan lalu menyodorkannya ke bibir Juan. "Ayolah, buka mulutmu!" Sayangnya Juan sama sekali tak melakukan apa yang Jasmine inginkan. Pria itu hanya diam tak bersuara sambil menatap dingin, membuat Anna menarik kembali tangannya. "Kau, tidak mau ya makan dari tanganku. Hahhh ... itu tidak masalah, tapi sekarang kau harus makan." Masih tak ada tanggapan apapun dari bibir pria itu. Sorot ma
"Juan, ada apa? kenapa wajahmu seperti itu? siapa yang meninggal?" "Yang meninggal adalah ... ibumu," jawab Juan yang membuat tubuh Jasmine membeku tanpa suara. "Kau bilang apa barusan?" Jasmine mencoba mengulangi pertanyaannya. Ditatapnya wajah Juan lekat lekat sampai pada akhirnya pria itu hendak memeluknya, namun kali ini Jasmani menolak. Ditahannya bahu kekar pria itu, pupil matanya bergetar sementara bibirnya beberapa kali ingin mengeluarkan suara namun gagal. "Jasmine, maaf ... aku tidak langsung memberitahumu, aku takut kau _ " "Jadi ini benar?" sela Jasmine yang disambut anggukan kepala oleh Juan, namun Jasmine justru menolak pernyataan itu. "Katakan kalau kau membohongiku!! katakan Juan!! cepat katakan padaku kalau ini hanya lelucon!!" Jasmine semakin tak terkendali, air matanya mengalir deras sementara kakinya perlahan bergerak mundur hingga terduduk di atas ranjang. Melihat itu membuat hati nurani Juan kembali berkuasa. Ia pun melangkah mendekat dan berj
"Ingat Juan, kehadiran Jasmine di dalam kehidupan kita hanya untuk pengalihan perusahaan dan ingat apa yang terjadi pada adikmu. Jangan sampai aku yang melakukannya sendiri," ucap Veronica di hadapan Juan. "Ibu tidak perlu mengotori tangan ibu sendiri, biar aku yang mengurus semuanya," sahut Juan sebelum ia pergi meninggalkan sang ibu dan kembali menemui Jasmine. Wajah Jasmine masih nampak sedih, namun Juan harus tetap menyampaikan, kalau mulai saat ini mereka harus tinggal di kediamannya. Mendengar ucapan sang suami, Jasmine hanya bisa mengangguk. *** "Selamat sore ... Bu," sapa Jasmine pada Veronica saat ia sudah sampai di kediaman Juan, namun jawaban yang Veronica berikan cukup mengejutkan. "Aku bukan ibumu." Itulah kalimat yang terlontar dari bibir Veronica. Tubuh Jasmine mematung mendengarnya terlebih saat Juan memanggil pelayan. "Pelayan, antar dia ke kamarnya," ujar pria itu yang langsung pergi meninggalkan Jasmine. "Nona, silahkan ikut saya." Pikiran Jasmine
Juan membuka pintu kamar tempat Jasmine berada. Tak ada suara apapun di kamar itu karena saat ini Jasmine tengah meringkuk di balik selimut tipis yang sudah lama tak dicuci. "Dasar!! bisa-bisanya dia malah enak-enakan tidur," ujar Juan sambil terus melangkah mendekat dengan kedua tangan terselip di saku celana. Awalnya pria itu nampak santai, ia bahkan berniat memaki wanita yang berstatus sebagai istri sahnya itu, namun betapa terkejutnya saat mendapati wajah tirus dan tubuh Jasmine yang nampak jauh lebih kurus dari terakhir kali ia melihatnya. "Apa-apaan ini?!" Juan hampir memekik begitu mendapati pemandangan di hadapannya. Nafasnya tercekat, ia sungguh tak menyangka sama sekali akan mendapati kondisi yang demikian pada diri Jasmine. Juan masih meragukan pandangannya. Tubuhnya semakin mendekat perlahan, ditariknya selimut yang menutupi tubuh kurus Jasmine. Juan pun semakin syok menyaksikan apa yang ada di depan matanya. Kondisi Jasmine sungguh memprihatinkan. Tubuhnya ku
"Ingat Juan, kehadiran Jasmine di dalam kehidupan kita hanya untuk pengalihan perusahaan dan ingat apa yang terjadi pada adikmu. Jangan sampai aku yang melakukannya sendiri," ucap Veronica di hadapan Juan. "Ibu tidak perlu mengotori tangan ibu sendiri, biar aku yang mengurus semuanya," sahut Juan sebelum ia pergi meninggalkan sang ibu dan kembali menemui Jasmine. Wajah Jasmine masih nampak sedih, namun Juan harus tetap menyampaikan, kalau mulai saat ini mereka harus tinggal di kediamannya. Mendengar ucapan sang suami, Jasmine hanya bisa mengangguk. *** "Selamat sore ... Bu," sapa Jasmine pada Veronica saat ia sudah sampai di kediaman Juan, namun jawaban yang Veronica berikan cukup mengejutkan. "Aku bukan ibumu." Itulah kalimat yang terlontar dari bibir Veronica. Tubuh Jasmine mematung mendengarnya terlebih saat Juan memanggil pelayan. "Pelayan, antar dia ke kamarnya," ujar pria itu yang langsung pergi meninggalkan Jasmine. "Nona, silahkan ikut saya." Pikiran Jasmine
"Juan, ada apa? kenapa wajahmu seperti itu? siapa yang meninggal?" "Yang meninggal adalah ... ibumu," jawab Juan yang membuat tubuh Jasmine membeku tanpa suara. "Kau bilang apa barusan?" Jasmine mencoba mengulangi pertanyaannya. Ditatapnya wajah Juan lekat lekat sampai pada akhirnya pria itu hendak memeluknya, namun kali ini Jasmani menolak. Ditahannya bahu kekar pria itu, pupil matanya bergetar sementara bibirnya beberapa kali ingin mengeluarkan suara namun gagal. "Jasmine, maaf ... aku tidak langsung memberitahumu, aku takut kau _ " "Jadi ini benar?" sela Jasmine yang disambut anggukan kepala oleh Juan, namun Jasmine justru menolak pernyataan itu. "Katakan kalau kau membohongiku!! katakan Juan!! cepat katakan padaku kalau ini hanya lelucon!!" Jasmine semakin tak terkendali, air matanya mengalir deras sementara kakinya perlahan bergerak mundur hingga terduduk di atas ranjang. Melihat itu membuat hati nurani Juan kembali berkuasa. Ia pun melangkah mendekat dan berj
Juan menatap Jasmine yang tengah menikmati makanan dengan lahap. Melihat bibir wanita itu belepotan, tangannya reflek terulur untuk membersihkannya. "Oh, maaf, kau sejak tadi tidak makan?" tanya Jasmine kemudian saat mendapati kalau makanan di piring Juan masih belum berubah bentuk. "Dengan menatapmu saja aku sudah kenyang," sahut Juan sambil terkekeh kecil. "Kau menyindirku ya, jahat sekali. Aku kan sangat lapar, tapi sekarang sudah kenyang. Sekarang, ayo makanlah! em ... suamiku." Kali ini Jasmine menggeser tempat duduknya hingga berdekatan dengan Juan. Tangannya mengambil sesendok makanan lalu menyodorkannya ke bibir Juan. "Ayolah, buka mulutmu!" Sayangnya Juan sama sekali tak melakukan apa yang Jasmine inginkan. Pria itu hanya diam tak bersuara sambil menatap dingin, membuat Anna menarik kembali tangannya. "Kau, tidak mau ya makan dari tanganku. Hahhh ... itu tidak masalah, tapi sekarang kau harus makan." Masih tak ada tanggapan apapun dari bibir pria itu. Sorot ma
Malam itu Juan yang baru masuk ke kamar pribadinya dibuat kesal karena ponsel milik Jasmine terus bergetar. Merasa sangat terganggu, dengan cepat tangan Juan meraih benda pipih itu dari saku jasnya. "Halo .... " suara baritonnya langsung menyapa penelpon di seberang sana. "Dimana Jasmine?!" tanya Arsen setengah membentak, membuat Juan hampir membalasnya, namun otaknya masih sempat mempertimbangkan akibatnya jika dia bersikap demikian. "Jasmine sedang mandi, aku adalah suaminya, jadi kalau ada yang ingin kau sampaikan, sampaikan padaku saja!" jawab Juan yang terdengar elegan dan tenang. "Kalian datanglah ke Alexandria hospital sekarang juga! ibu mengalami kecelakaan dan dia ... meninggal, tolong jangan biarkan Jasmine pergi seorang sendiri." Hanya sebatas itu yang Arsen sampaikan. Juan sendiri merasa cukup terkejut akan apa yang baru saja ia dengar. Bermenit menit lamanya pria itu dilanda kebimbangan. Antara ingin bersikap masa bodoh atau sebaliknya. Bisa dibilang ini adala
Jasmine masih tak bisa memahami situasi di sekitarnya. Ia benar benar tak mengerti maksud ucapan Juan suaminya. Selama ini sikap Juan sangatlah manis, karenanya Jasmine mengira kalau pria di hadapannya hanya sedang membuat lelucon. "Sayang, kau ini bicara apa, ayo kita pergi dari sini, rumah ini menyeramkan." Dengan senyum yang masih terukir di bibirnya, Jasmine menarik tangan Juan untuk pergi dari sana, namun pria itu justru kembali menarik tangannya dengan sentakan yang cukup keras. "Akhhhh!!" pekik Jasmine yang hampir saja terjatuh karena ulah Juan. "Aku tidak main main Jasmine, di sinilah tempatmu, jadi nikmati hari harimu di rumah seram ini, mengerti?!" Jasmine menatap wajah Juan dengan perasaan bingung. "Juan, apa maksudmu? aku istrimu, bagaimana mungkin kau membiarkanku tinggal di tempat ini, atau ... kita akan tinggal bersama disini? jika memang begitu aku tidak akan keberatan." Seketika gelak tawa terdengar dari bibir Juan. "Jasmine ... Jasmine, mana mungkin
Juan menurunkan tubuh Jasmine perlahan. Sebenarnya setelah melakukan itu ia ingin langsung pergi dari sana, tapi ternyata tak bisa. Saat sorot mata keduanya bertemu, Juan justru terpesona pada kecantikan Jasmine, belum lagi saat pandangannya perlahan turun. Leher jenjang seputih susu yang licin bagaikan perselen dan dada indah yang menjulang menggoda. Membuat Juan gagal pergi dari sana. Juan mendekatkan bibirnya perlahan. Menyalurkan setiap dentuman hasrat yang hampir meledak. Menyentuh segala keindahan di depannya, hingga tangannya bergerak perlahan menurunkan resleting gaun pengantin di punggung Jasmine. Menyisakan kain tipis berwarna putih yang menjadi lapisan terdalam sebelum kulit Jasmine benar-benar terekspose sempurna. "Enghhh ... Juannn ... " Lenguhan dari bibir Jasmine kian membuat pria yang telah sah menjadi suaminya itu kian bersemangat. Tanpa berlama lama lagi Juan mengangkat tubuh Jasmine ke ranjang. Mengajak wanita itu merengkuh nikmatnya madu pernikahan.
Pernikahan Juan dan Jasmine berlangsung sangat meriah. Dengan dihadiri tamu tamu penting dan juga para pejabat yang berpengaruh di negeri ini, kini keduanya telah sah menjadi pasangan suami istri.Hari ini ibunda Jasmine turut hadir di sana. Begitu juga dengan ibunda Juan, Veronica Anderson. Wanita sosialita itu nampak menyapa para tamunya dengan wajah sumringah, dan sangat ramah, namun tanpa seorang pun tahu, sorot matanya berkilat penuh amarah setiap kali memandang ke arah Jasmine yang nampak begitu bahagia di samping putranya.Saat hampir mendekati tengah malam, tamu undangan sudah mulai sepi. Juan dan Jasmine pun memutuskan untuk beristirahat."Sayang, aku temui Ibu dulu ya," pamit Jasmine sebelum mengikuti Juan masuk ke salah satu kamar hotel yang telah disiapkan khusus untuk mereka berdua."Hmm," sahut Juan sambil terus melangkah pergi, membuat Jasmine mematung karenanya.Tak biasanya Juan bersikap demikian, namun Jasmine berusaha berpikir positif. Mungkin karena suaminya sekara
Jasmine yang selama ini belum pernah dekat dengan pria manapun selain dengan Arsen sahabat kecilnya, membuat semua orang terkejut ketika ia tiba tiba ia mengatakan ingin menikah."Kamu serius? kenapa tiba tiba? apa ada sesuatu?" tanya Arsen bertubi-tubi saat siang itu mereka bertemu di kampus."Bukan seperti itu, kami dekat sejak lama, hanya saja memang tak mengumbar hubungan kemana mana. Salah satu alasannya karena usia kami terpaut cukup jauh. Delapan tahun."Jasmine sengaja berbohong karena ia tak tahu harus memberikan alasan apa pada orang-orang terdekatnya mengenai keputusan pernikahan yang akan segera ia lakukan. Semua kebohongan yang ia buat juga sudah disepakati bersama dengan Juan. Mereka tak mungkin jujur di hadapan orang orang akan apa yang sebenarnya terjadi.Arsen menyipitkan mata, menelisik lebih dalam ekspresi tak biasa di wajah Jasmine. Bisa dibilang ia tak percaya pada semua ucapan gadis itu, namun belum sempat ia mencaritahu lebih dalam, Jasmine sudah disibukkan deng