Gadis itu tak memberikan perlawanan. Dia memberikan aksesnya secara lebar. Haiden tersenyum, dia menyadari bahwa dia sedang di goda oleh istrinya karena menginginkan satu hal. "Katakan. Aku akan melihat seberapa rumit perkaranya? Aku akan mempertimbangkannya," dia mengecup dengan hangat bibir gadis itu."Apa boleh aku meminum jus mentimun sesering mungkin," ucapnya. Membuat aktivitas yang sedang Haiden kerjakan terhenti. Dia menatap wajah istri kesayangannya. Berfikir sesaat."Cih, apa kau masih belum puas? Apa kami masih kurang tampan dan memuaskan-mu? Sampai kau berniat melihat wajah lainnya," Haiden mengerutkan dahinya. Dari arah pembicaraan istinya dia tahu apa yang sedang istrinya inginkan."Ayolah ... kalian kan tak bisa membuat jus mentimun seperti yang aku inginkan. Sebagai gantinya aku akan cabut yang satu bulan itu," dia memberikan penawaran yang tak mungkin di tolak oleh Haiden."Kau sungguh berani membuat penawaran denganku? Kau tahu hukuman yang akan kuberikan padamu pas
"Aku tidak mencurigaimu. Hanya saja ini di luar kebiasaanmu selama bersama dengan-ku. Biasanya kau hanya satu kali mengunjungi satu tempat atau memakan sesuatu dari tempat yang sama. Kau tidak akan kembali lagi walaupun di tempat itu rasanya sangat enak," terang Will masih membuat istrinya terdiam. 'Huh, suami satu-ku ini lebih jeli. Meminta izin darinya pasti akan sangat sulit!'"Jadi apa benar-benar karena jus mentimun itu yang enak atau?" Will terus menatap tajam wajah istrinya yang tertunduk. "Iya ya, sudah jangan mendesakku. Aku kan hanya bilang ingin jus mentimun. Kalau kau tidak mengizinkanku pergi, ya sudah aku tidak akan pergi," dia mengerucutkan bibirnya karena kesal. "Kau ini. Apa wajah kami masih kurang tampan sampai kau melirik yang lain?" ucapan sama yang di keluarkan oleh Willy. "Apa kalian anak kembar? Berbicara pun seperti menggunakan telepati," cibirnya. "Jadi kau sungguh akan menemuinya?" tertebak sudah isi hati Dominique. "Aku hanya ingin jus mentimun, sayang
"Untuk apa kau mencariku? Aku kan sudah bilang jangan pernah temui dan tunjukkan wajahmu itu,"Haiden menatap lawan bicaranya dengan tatapan tak suka. Dia bahkan enggan berlama duduk di hadapan lawan bicaranya. Sang lawan bicara menatapnya, kali ini hanya datang seorang diri, membuatnya sedikit lega.BrukkDia berlutut dan bersimpuh. Menyentuh kaki di hadapanya. Tatapan wajah acuh dan tak suka langsung terlihat dengan jelas. Walaupun dia merasakan sakit bagai tertusuk ribuan jarum, demi mengharap belas kasihan dia rela melakukan semua itu.Dia sudah tak menghiraukan lagi soal perasaaanya. Baginya, saat ini dia datang dengan misi. Misi untuk menyelamatkan satu-satunya buah cinta mereka. Buah cinta yang tak pernah dia anggap."Aku mohon ... selamatkan Terry. Dia sangat membutuhkan bantuan-mu. Aku mohon Gyan, aku tidak akan meminta apapun lagi asalkan kau selamatkan anakku. Anakku yang malang, satu-satunya yang aku anggap sebagai kenanganku denganmu," tangisnya mengalir dengan deras. Tu
Waktu tak terasa berlalu cepat saat mereka mengobrol. Sesekali mengingat masa lalu. Tertawa dan bercanda penuh makna."Sudah malam, aku antarkan pulang ya? Sudah lama sekali aku tidak memboncengmu? Bolehkah?" dia meminta izin padanya. Ada rasa kangen yang sangat menggebu dalam jiwa Justin."Aku membawa supir dan beberapa pengawal," dia menolak secara halus. Tak ingin melukai siapa pun lagi."Ayolah, lagipula kita belum tentu akan sering bertemu. Kau memang tidak kangen dengan suasana disini? Udara malam dan yang lainnya," sedikit memaksa. Dia tak ingin segera berpisah dengannya.Dominique tampak berfikir. Dia tahu setelah pulang, dia memang tak akan mudah untuk meminta izin keluar apalagi dengan kondisi kehamilannya nanti yang akan makin membesar."Huh, kau memang selalu pintar merayu. Mungkin kalau sekarang aku belum punya suami, aku bisa saja kembali jatuh cinta padamu," sindirnya."Uhm, sebenarnya aku tidak keberatan sih ... kalau kau jatuh cinta lagi padaku," ucap Justin sambil me
"Jadi apa kau mau masuk atau tetap berdiri saja chef Justin? Istriku harus segera makan malam," ucap Haiden menatap Justin. Dia masih tak bergeming setelah melihat Sophie diseret masuk.Dominique menyikut lengan suaminya, "Apa aku salah? Aku hanya berbicara sesuai dengan yang sedang terjadi!" dengus Haiden."Ayolah jangan mulai lagi Iden. Kau jangan merusak hariku," sahut Dominique."Sebaiknya aku pulang Domi. Lain waktu aku akan mampir lagi," Justin berpamitan. Berbalik dan pergi meninggalkan mereka. Melesat dengan motornya.Dari kejauhan tampak sebuah mobil yang terus mengintai. Bahkan penghuni rumah tak ada yang menyadari. Tatapan mata si pengemudi begitu menghujam Dominique. Dia bahkan tak percaya dengan apa yang dia lihat.'Mengapa hanya kau yang sangat beruntung. Aku bahkan harus mengalah denganmu. Apa kekuranganku?' Air matanya berlinang. Mencengkram erat kemudinya."Apa kau bersenang-senang hari ini? Apa saja yang kalian lakukan selama berjam-jam?" lagi Haiden memburunya denga
“Pagi Sop?” sapa Dominique ketika melihat temannya baru saja membuka pintu. Berwajah pucat dan terlihat sangat kelelahan. Dia diapit kedua suami barunya yang berwajah kebalikan darinya. Keduanya tersenyum bahagia.“Pagi juga Dom. Dom, aku pulang ya. Aku sudah bolos kerja tiga hari,” ucapnya. Seketika membuat dua wajah suaminya melirik.“Eh, itu bukankah kau masih cuti?” Dominique berlagak lupa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Cuti? Berapa hari aku cutinya? Aku mau menelpon bu Nath, Dom. Tapi-“ wajahnya melirik John yang sudah melipat kedua tangannya di dada.“Aku sudah memproses surat pengunduran dirimu,” sahut John.Kini delikan mata langung menghujam John, “Kau, bukankah kau sudah berjanji? Tidak akan mengungkit masalah ini sampai aku,”“Kami sedang berusaha!” sahut kedua suami Sophie berbarengan.Dominique hanya bisa mengangkat kedua bahunya. Mereka menyela istrinya berbicara‘Huh, ternyata mereka sama saja. Mau tuan atau bawahan. Kelakuan mereka sebelas dua belas.’ Gerutu D
Langkah kakinya terhenti saat melihat sosok di hadapannya. Tubuhnya sedikit bergetar dan mundur beberapa langkah. Sejenak tatapan matanya kosong ketika dihadapkan dengan seseorang yang sangat tak ingin dia temui.Kedua suami yang dibelakang langsung menaikkan rahangnya dengan kasar. Menatap geram sosok di hadapan mereka.‘Mau apa lagi wanita itu? Masih saja dia berani menunjukkan wajahnya di hadapan istriku.’ Geram tak bisa Willy tahan saat melihat Rebecca. Ya wanita yang sudah membuat istrinya terluka teramat dalam. Walaupun dia sedikit mendapat keuntungan. Tapi, dia sangat tak menyukai kedatangannya pagi ini.‘Cih, dia belum saja pergi. Harusnya sebelum aku pergi kemarin siang, aku bereskan dia.’ Pekik Haiden.Rebecca menatap wajah Dominique penuh harap. Tatapan matanya begitu sayu dan sangat lemah. Bahkan dia dapat melihat lingkaran hitam di dekat kedua bola matanya, menandakan dirinya tak cukup beristirahat dan banyak pikiran.“Aku mohon maafkan aku, Dominique, aku mohon!” dia ber
Will hanya mampu mengusap punggung istrinya. Berusaha menenangkan hatinya yang sedang bergejolak. Dia pun belum berani mengeluarkan banyak kata.“Sayang, aku mohon maafkan aku. Aku hanya ingin kau tak terluka dengan kehadirannya,” Haiden masih mencoba membujuk istrinya yang terus memalingkan wajah darinya.“Mengertilah aku resah. Atau mungkin sebenarnya aku sekarang sedang cemburu. Ya ... aku cemburu padamu, karena sampai saat ini kau masih saja membelanya. Bukan aku!”Deraian air matanya makin deras. Haiden merasa serba salah. Dia melirik rivalnya, meminta bantuan untuk menenangkan hati istrinya.Dia tahu bujuk rayunya saat ini tidak akan mampu menggoyahkan hatinya yang sedang terluka.“Sayang, sudahlah. Jangan terus kau bahas kalau hanya akan membuatmu bertambah sakit. Bagaimana kalau kita-“ bisiknya. Membuat Haiden menautkan kedua alisnya.“Sungguh? Kau akan menemaniku?” ucapnya. Wajahnya berubah sumringah setelah mendengar bisikan dari Willy.‘Cih, apa yang dia janjikan?’ dengus
Will menyadari kedatangan istri dan rivalnya. Dia hanya duduk menunggu di samping ruang operasi. Dominique menghampirinya. "Kau berbohong lagi!" cetusnya. Dia masih mode on merajuk. Will menarik tangan istrinya agar duduk disebelah dirinya. Tangan satunya melingkar di pinggang istrinya dan merengkuhnya ke dalam pelukan.Haiden duduk di sebelah istrinya. Hanya bisa menatap setiap perlakuan manis yang diberikan rivalnya. Dia kini sudah tidak pernah cemburu seperti dulu. Mereka berdua, sesama rival sudah sangat mengetahui kondisi masing-masing. Sesekali bertengkar. Namun, bukan pertengkaran yang besar selain berebut lebih dulu siapa yang mendapatkan jatah dari istrinya, selain itu. Mereka tidak pernah bertengkar. Sudah saling mengisi dan memahami. "Maafkan aku, sayang. Kau boleh menghukumku nanti. Aku akan menerima semua hukumannya!" dia mengecup kening istrinya. Mencoba menenangkan kemarahannya. "Iya, aku pastikan akan menghukummu secara berat. Kali ini aku tidak akan melepaskan beg
“Jangan sentuh? Kau yakin dengan ucapanmu itu?” goda Willy.“Iya, memangnya aku takut. Aku kan memiliki satu suami lagi, kau pikir, hah!” Dominique tak mau kalah melawan godaan suaminya.“Tidak ada apa-apa sayang, aku memang menginginkannya. Sudah lama sejak kau melahirkan dan mengurus anak-anak kita. Aku kangen!” Willy tetap menutupi hatinya. Mengusap kembali rambut istrinya sambil memandangi wajahnya dengan lembut."Sudah kalau tidak mau bicara, aku akan keluar!" ucap Dominique. Baru saja dia menarik selimutnya akan turun dari ranjang. Entah mereka memang tak mendengarnya atau terlalu fokus saat berbicara. Haiden sudah berdiri dihadapannya sambil melihat kedua tangannya. "Oh, jadi begini cara kalian? Melakukan hal yang enak tanpa mengajakku!" dengusnya kesal. Dominique menarik wajahnya sambil menghela nafas panjang. "Aku sudah selesai, jika kau memang menginginkan bilang saja sendiri!" Willy berjalan turun melenggang tanpa sehelai benang pun masuk ke kamar mandi. "Ah, tidak. Sud
Martha masih belum sanggup menatap wajah Will, dia hanya terus tertunduk ketika suaminya berkata seolah ada satu pedang yang langung menancap di dadanya. Will dengan perasaan yang tak bisa dia gambarkan hanya bisa menghela nafasnya. Bingung.“Kau tidak sedang bergurau denganku kan, Pah?” Will masih setengah tak percaya. Tubuhnya bahkan terasa bergetar, masih belum mempercayai semua ucapan ayahnya“Kau bisa bertanya langsung dengannya, apa aku sekarang sedang berbohong padamu atau tidak?” tanpa banyak berkata apapun Baron membalikkan tubuhnya. Jantung Martha benar-benar akan copot di tatap putranya. Meminta penjelasan tentang kehadirannya.“Huh, baiklah, ayo kita masuk, Nyonya. Sepertinya akan banyak hal yang akan kita bicarakan!” kali ini Martha terkejut saat mendengar ucapannya. Datar dan dingin. Berbeda saat pertama kali mereka tak sengaja bertemu.Langkah kakinya mengekori Will masuk ke ruang bacanya. Dia sudah duduk di sofa sambil terus memperhatikan wanita yang bernama Martha
“Bersiaplah hari ini kita akan menemuinya!” Baron berkata dengan sangat tegas. Menatap wanita yang duduk dihadapannya. Dia sedang menikmati sarapan paginya.Wanita yang beberapa hari ini telah resmi menjadi istrinya kembali. Dia yang dipaksa olehnya. Martha mau tidak mau menuruti semua kemauan Baron, daripada ada nyawa yang tidak bersalah berkorban untuk dirinya.Martha masih menatap wajah Baron. Bingung dengan ucapannya. Bertanya dalam hati apa yang akan ditemuinya nanti. “Aku hanya memintamu, menemaniku dan menemuinya. Apakah ada masalah? Mengapa kau menatapku seperti itu?” kembali Baron berbicara dengan suara sakrasnya. Membuat Martha tetap diam. Dia tak perduli dengan ucapannya. Dia tahu saat dia mencoba menjawab setiap perkataannya akan timbul hal yang tidak diinginkan.“Baiklah, aku akan bersiap-siap!” ucapnya setengah terpaksa.“Apa kau sebegitu tak sukanya pergi bersamaku?” Baron menaikkan rahangnya dengan kasar menatap Martha yang baru beberapa hari ini resmi menjadi istr
"Jangan mendekat!" Sophie terus bergeser dari ranjangnya, saat Ramon mencoba mendekatinya. Sedangkan, John sibuk dengan dunianya sendiri. Dia seperti mendapatkan mainan baru. Saat pulang kerja dan setelah makan juga mandi hal yang dilakukan pertama kali adalah mengendong anaknya. Dia menjadi bapak siaga saat berada di rumah. "Inikan sudah empat puluh hari lebih, sayang. Masa aku nggak boleh dekat-dekat kamu sih!" Ramon merajuk. Namun, tak menghentikan aktifitasnya saat berusaha menggulingkan pertahanan istrinya. "Cih, kau bersungguh-sungguh? Sebaiknya, kau mencontohnya. Lihat tuh dia sangat akrab dengan, Josh!" cibirnya. Terus menghempaskan tangan Ramon yang berusaha menjamahnya."Cih, kau bersungguh-sungguh? Sebaiknya, kau mencontohnya! Lihat tuh dia sangat akrab dengan, Josh!" cibirnya. Terus menghempaskan tangan Ramon yang berusaha menjamahnya.John hanya meliriknya tanpa mengindahkan semua ucapan yang kelur dari mulut Ramon. Dia bahkan tak perduli dengan cibiran atau umpatan yan
"Sungguh, aku tidak apa-apa. Jangan bawa aku kesana!" Martha memohon dengan penuh penekanan. Dia tak ingin seorang pun tahu tentang penyakit yang sedang dideritanya. Baron tak mengindahkan setiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Dia tahu wanita itu sedang membohonginya. Dia melemparkan tubuh yang tidak muda lagi itu dengan kasar ke kursi penumpang. Setelah penyeretan yang dramatis. Tanpa memperdulikan orang-orang yang menatap mereka. Seperti seorang istri yang sedang kepergok suaminya berselingkuh. "Jangan membantah lagi, jika kau terus terusan menolakku, jangan salahkan jika senjata ini akan langsung bersarang ke perutmu!" ancamnya. Kini Baron sedang tidak bermain-main. Dia menodongkan senjata tepat disamping perutnya. Martha sudah kehilangan akal menghadapi lelaki yang sudah berumur itu. Yang memiliki sikap dan temperamen seperti anak remaja. Merajuk kalau keinginannya tak dituruti. Dia tak bersuara. Pasrah. Hingga Baron memasukkan senjatanya kembali ke jasnya. Dia bertanya
Baron masih saja mondar mandir di kamarnya. Menunggu wanita itu benar-benar bisa menenangkan hati, agar mereka bisa kembali pembicaraannya. Sebenarnya bukan berbicara, tapi Baron masih ingin meneruskan rasa penasarannya. Martha menghela nafasnya. Isak tangis terakhirnya sebelum dia benar-benar berhenti.“Apa kita sudah bisa berbicara sekarang?” dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Daripada dia menemani wanita yang sedang menangis. Dia lebih baik memukuli seluruh pengawalnya hingga babak belur.‘Huh, apa kata dunia, jika ada orang yang tahu aku mendengarkan seorang wanita menangis!’Baron meraup wajahnya dengan kasar. Sungguh dia pun tak menyangka bisa menemani wanita itu merajuk. Menangis terseduk selama satu jam.Martha menganggukkan kepalanya. Memberikan tanda, dia siap menerima introgasi dari laki-laki dihadapannya itu.“Jadi, penjelasan apa yang ingin kau berikan padaku?” Baron masih menatapnya tajam.‘Huh, dari dulu dia memang tak pernah mau mengalah. Padahal dia yang salah.
‘Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia bisa menjadi seperti ini? Apa sungguh aku telah salah mengira dirinya?’Pikiran Baron bergemuruh. Hatinya tiba-tiba saja menjadi tak menentu. Dia bahkan tak tega melihat wanita itu berbaring lemah tak berdaya. Bagaimanapun, dia pernah menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam hidupnya.Dia berjalan perlahan menghampiri ranjangnya. Duduk tanpa bersuara, menatap wanita itu yang terlihat tidur dengan nyaman oleh obat yang habis dia minum. Rasa lelah yang dia rasakan seakan menghilang. Padahal tadi dia berencana akan pulang ke hotelnya untuk beristirahat.‘Ah, hotel!’ Baron keluar dari kamar wanita itu. Mencari keberadaan Markus yang tengah memberikan perintah kepada anak buahnya untuk membersihkan kekacauan yang baru saja mereka buat.“Carikan selimut yang tebal untukku dan segera bawakan untukku!” setengah tak percaya Markus mendengar permintaan Tuannya. Dia sedikit menaikan kedua alisnya saat mendengar tuannya berkata seperti itu.“Cepat!
Baron memicingkan matanya di kursi penumpang. Matanya ke luar jendela mobilnya. Menatap mantap orang yang dia kenali. 'Aku yakin dia.' Baron tak melepaskan tatapannya sedikitpun. Dia melihat orang itu tengah memegangi dadanya saat berjalan. Sesekali kakinya berhenti dan tangannya menempel pada tembok jalanan. Beberapa detik kemudian dia melihat orang itu ditabrak seseorang hingga membuatnya tersungkur di jalanan. 'Cih, apa dia benar-benar orang itu? Aku rasa mataku salah lihat lagi.' hatinya berkata demikian. Namun, dia menyuruh Markus menghentikan mobilnya. Rasa penasaran dan dia sangat ingin membuktikan sesuatu membuat tekadnya bulat.Menghampiri orang itu yang tengah berusaha bangkit dari orang yang sudah menabraknya tadi. "Ck, ck, ck, apa sungguh kau masih seorang Nona dari keluarga Belvina?" Orang tadi melirik kearah suara. Melihat Baron sudah tepat dihadapannya menaikan rahangnya dengan kasar.Orang tadi berusaha menutupi getaran dalam tubuhnya. Menatap datar wajah orang yan