"Untuk apa kau mencariku? Aku kan sudah bilang jangan pernah temui dan tunjukkan wajahmu itu,"Haiden menatap lawan bicaranya dengan tatapan tak suka. Dia bahkan enggan berlama duduk di hadapan lawan bicaranya. Sang lawan bicara menatapnya, kali ini hanya datang seorang diri, membuatnya sedikit lega.BrukkDia berlutut dan bersimpuh. Menyentuh kaki di hadapanya. Tatapan wajah acuh dan tak suka langsung terlihat dengan jelas. Walaupun dia merasakan sakit bagai tertusuk ribuan jarum, demi mengharap belas kasihan dia rela melakukan semua itu.Dia sudah tak menghiraukan lagi soal perasaaanya. Baginya, saat ini dia datang dengan misi. Misi untuk menyelamatkan satu-satunya buah cinta mereka. Buah cinta yang tak pernah dia anggap."Aku mohon ... selamatkan Terry. Dia sangat membutuhkan bantuan-mu. Aku mohon Gyan, aku tidak akan meminta apapun lagi asalkan kau selamatkan anakku. Anakku yang malang, satu-satunya yang aku anggap sebagai kenanganku denganmu," tangisnya mengalir dengan deras. Tu
Waktu tak terasa berlalu cepat saat mereka mengobrol. Sesekali mengingat masa lalu. Tertawa dan bercanda penuh makna."Sudah malam, aku antarkan pulang ya? Sudah lama sekali aku tidak memboncengmu? Bolehkah?" dia meminta izin padanya. Ada rasa kangen yang sangat menggebu dalam jiwa Justin."Aku membawa supir dan beberapa pengawal," dia menolak secara halus. Tak ingin melukai siapa pun lagi."Ayolah, lagipula kita belum tentu akan sering bertemu. Kau memang tidak kangen dengan suasana disini? Udara malam dan yang lainnya," sedikit memaksa. Dia tak ingin segera berpisah dengannya.Dominique tampak berfikir. Dia tahu setelah pulang, dia memang tak akan mudah untuk meminta izin keluar apalagi dengan kondisi kehamilannya nanti yang akan makin membesar."Huh, kau memang selalu pintar merayu. Mungkin kalau sekarang aku belum punya suami, aku bisa saja kembali jatuh cinta padamu," sindirnya."Uhm, sebenarnya aku tidak keberatan sih ... kalau kau jatuh cinta lagi padaku," ucap Justin sambil me
"Jadi apa kau mau masuk atau tetap berdiri saja chef Justin? Istriku harus segera makan malam," ucap Haiden menatap Justin. Dia masih tak bergeming setelah melihat Sophie diseret masuk.Dominique menyikut lengan suaminya, "Apa aku salah? Aku hanya berbicara sesuai dengan yang sedang terjadi!" dengus Haiden."Ayolah jangan mulai lagi Iden. Kau jangan merusak hariku," sahut Dominique."Sebaiknya aku pulang Domi. Lain waktu aku akan mampir lagi," Justin berpamitan. Berbalik dan pergi meninggalkan mereka. Melesat dengan motornya.Dari kejauhan tampak sebuah mobil yang terus mengintai. Bahkan penghuni rumah tak ada yang menyadari. Tatapan mata si pengemudi begitu menghujam Dominique. Dia bahkan tak percaya dengan apa yang dia lihat.'Mengapa hanya kau yang sangat beruntung. Aku bahkan harus mengalah denganmu. Apa kekuranganku?' Air matanya berlinang. Mencengkram erat kemudinya."Apa kau bersenang-senang hari ini? Apa saja yang kalian lakukan selama berjam-jam?" lagi Haiden memburunya denga
“Pagi Sop?” sapa Dominique ketika melihat temannya baru saja membuka pintu. Berwajah pucat dan terlihat sangat kelelahan. Dia diapit kedua suami barunya yang berwajah kebalikan darinya. Keduanya tersenyum bahagia.“Pagi juga Dom. Dom, aku pulang ya. Aku sudah bolos kerja tiga hari,” ucapnya. Seketika membuat dua wajah suaminya melirik.“Eh, itu bukankah kau masih cuti?” Dominique berlagak lupa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Cuti? Berapa hari aku cutinya? Aku mau menelpon bu Nath, Dom. Tapi-“ wajahnya melirik John yang sudah melipat kedua tangannya di dada.“Aku sudah memproses surat pengunduran dirimu,” sahut John.Kini delikan mata langung menghujam John, “Kau, bukankah kau sudah berjanji? Tidak akan mengungkit masalah ini sampai aku,”“Kami sedang berusaha!” sahut kedua suami Sophie berbarengan.Dominique hanya bisa mengangkat kedua bahunya. Mereka menyela istrinya berbicara‘Huh, ternyata mereka sama saja. Mau tuan atau bawahan. Kelakuan mereka sebelas dua belas.’ Gerutu D
Langkah kakinya terhenti saat melihat sosok di hadapannya. Tubuhnya sedikit bergetar dan mundur beberapa langkah. Sejenak tatapan matanya kosong ketika dihadapkan dengan seseorang yang sangat tak ingin dia temui.Kedua suami yang dibelakang langsung menaikkan rahangnya dengan kasar. Menatap geram sosok di hadapan mereka.‘Mau apa lagi wanita itu? Masih saja dia berani menunjukkan wajahnya di hadapan istriku.’ Geram tak bisa Willy tahan saat melihat Rebecca. Ya wanita yang sudah membuat istrinya terluka teramat dalam. Walaupun dia sedikit mendapat keuntungan. Tapi, dia sangat tak menyukai kedatangannya pagi ini.‘Cih, dia belum saja pergi. Harusnya sebelum aku pergi kemarin siang, aku bereskan dia.’ Pekik Haiden.Rebecca menatap wajah Dominique penuh harap. Tatapan matanya begitu sayu dan sangat lemah. Bahkan dia dapat melihat lingkaran hitam di dekat kedua bola matanya, menandakan dirinya tak cukup beristirahat dan banyak pikiran.“Aku mohon maafkan aku, Dominique, aku mohon!” dia ber
Will hanya mampu mengusap punggung istrinya. Berusaha menenangkan hatinya yang sedang bergejolak. Dia pun belum berani mengeluarkan banyak kata.“Sayang, aku mohon maafkan aku. Aku hanya ingin kau tak terluka dengan kehadirannya,” Haiden masih mencoba membujuk istrinya yang terus memalingkan wajah darinya.“Mengertilah aku resah. Atau mungkin sebenarnya aku sekarang sedang cemburu. Ya ... aku cemburu padamu, karena sampai saat ini kau masih saja membelanya. Bukan aku!”Deraian air matanya makin deras. Haiden merasa serba salah. Dia melirik rivalnya, meminta bantuan untuk menenangkan hati istrinya.Dia tahu bujuk rayunya saat ini tidak akan mampu menggoyahkan hatinya yang sedang terluka.“Sayang, sudahlah. Jangan terus kau bahas kalau hanya akan membuatmu bertambah sakit. Bagaimana kalau kita-“ bisiknya. Membuat Haiden menautkan kedua alisnya.“Sungguh? Kau akan menemaniku?” ucapnya. Wajahnya berubah sumringah setelah mendengar bisikan dari Willy.‘Cih, apa yang dia janjikan?’ dengus
"Jadi apa kau menginginkan sesuatu untuk makan malam nanti?" ucapnya. Matanya sedang fokus mencari ikan asin. "Aku ingin memakan dirimu sampai puas malam ini. Dan jangan ada gangguan dari pihak ketiga," lagi Will berbisik lirih di telinga istrinya. "Will," Dominique setengah berteriak. "Iya sayang,""Kau!""Uhm, memangnya kau tidak merindukan saat-saat kita hanya bedua?""Ssst, ayo Di, kita bayar ke kasir."Diana mendorong troli belanjanya yang sudah penuh. "Jangan biarkan dia menyentuh dapur sedikit pun. Biarkan koki yang mengerjakan semua!" perintah sang suami. "Will,""No. Walaupun aku suka melihat kau membuat masakan. Tapi, tidak untuk sekarang," dengus sang suami.“Ck, ck dasar suami posesif” sahutnya tak mau kalah dengan sang suami.“Bagaimana?” Haiden menatap kedua orang di hadapannya yang akan memberikan hasil kerjanya.“Maaf Tuan, saya tidak tega mengusirnya,” ucap John menatap sang tuan. Matanya mulai membelelak karena marah.“Apa kau bilang? Apa telinga kalian sudah ru
“Ada apa? Apa kau cemburu dia menghabiskan waktu bersamaku?” Will sudah berada di beranda kamar mereka.Haiden masih tak bergeming dengan umpatan rivalnya itu.“Ayolah, katakan padaku. Setidaknya selama satu tahun ini aku akan menjadi partnermu. Jadi, tidak ada salahnya kau mulai membuka hati dan berteman denganku. Apalagi dengan status sama yang kita miliki. Baik kau atau pun diriku, pasti akan menjaga dengan sangat baik kan?” tatap Will. Meskipun dia tahu apa yang sedang rivalnya itu. Namun, dia tak ingin terlalu banyak ikut campur.“Cih, membantu atau kau sedang mengambil keuntungan sendiri? Kau hanya sedang memanfaatkan keadaan saja,” cibirnya.“Hahaha, bisnis adalah bisnis bro. Tapi, istriku bukanlah salah satu bisnis yang harus aku bicarakan denganmu. Dia adalah hati dan jiwaku. Aku tidak akan bisa hidup tanpanya. Bahkan nyawaku ini rela aku serahkan hanya untuknya seorang!”Perkataan yang sangat menyayat hati Haiden. Bahkan sampai saat ini dia masih kalah jauh dari rivalnya itu