Langkah kakinya terhenti saat melihat sosok di hadapannya. Tubuhnya sedikit bergetar dan mundur beberapa langkah. Sejenak tatapan matanya kosong ketika dihadapkan dengan seseorang yang sangat tak ingin dia temui.Kedua suami yang dibelakang langsung menaikkan rahangnya dengan kasar. Menatap geram sosok di hadapan mereka.‘Mau apa lagi wanita itu? Masih saja dia berani menunjukkan wajahnya di hadapan istriku.’ Geram tak bisa Willy tahan saat melihat Rebecca. Ya wanita yang sudah membuat istrinya terluka teramat dalam. Walaupun dia sedikit mendapat keuntungan. Tapi, dia sangat tak menyukai kedatangannya pagi ini.‘Cih, dia belum saja pergi. Harusnya sebelum aku pergi kemarin siang, aku bereskan dia.’ Pekik Haiden.Rebecca menatap wajah Dominique penuh harap. Tatapan matanya begitu sayu dan sangat lemah. Bahkan dia dapat melihat lingkaran hitam di dekat kedua bola matanya, menandakan dirinya tak cukup beristirahat dan banyak pikiran.“Aku mohon maafkan aku, Dominique, aku mohon!” dia ber
Will hanya mampu mengusap punggung istrinya. Berusaha menenangkan hatinya yang sedang bergejolak. Dia pun belum berani mengeluarkan banyak kata.“Sayang, aku mohon maafkan aku. Aku hanya ingin kau tak terluka dengan kehadirannya,” Haiden masih mencoba membujuk istrinya yang terus memalingkan wajah darinya.“Mengertilah aku resah. Atau mungkin sebenarnya aku sekarang sedang cemburu. Ya ... aku cemburu padamu, karena sampai saat ini kau masih saja membelanya. Bukan aku!”Deraian air matanya makin deras. Haiden merasa serba salah. Dia melirik rivalnya, meminta bantuan untuk menenangkan hati istrinya.Dia tahu bujuk rayunya saat ini tidak akan mampu menggoyahkan hatinya yang sedang terluka.“Sayang, sudahlah. Jangan terus kau bahas kalau hanya akan membuatmu bertambah sakit. Bagaimana kalau kita-“ bisiknya. Membuat Haiden menautkan kedua alisnya.“Sungguh? Kau akan menemaniku?” ucapnya. Wajahnya berubah sumringah setelah mendengar bisikan dari Willy.‘Cih, apa yang dia janjikan?’ dengus
"Jadi apa kau menginginkan sesuatu untuk makan malam nanti?" ucapnya. Matanya sedang fokus mencari ikan asin. "Aku ingin memakan dirimu sampai puas malam ini. Dan jangan ada gangguan dari pihak ketiga," lagi Will berbisik lirih di telinga istrinya. "Will," Dominique setengah berteriak. "Iya sayang,""Kau!""Uhm, memangnya kau tidak merindukan saat-saat kita hanya bedua?""Ssst, ayo Di, kita bayar ke kasir."Diana mendorong troli belanjanya yang sudah penuh. "Jangan biarkan dia menyentuh dapur sedikit pun. Biarkan koki yang mengerjakan semua!" perintah sang suami. "Will,""No. Walaupun aku suka melihat kau membuat masakan. Tapi, tidak untuk sekarang," dengus sang suami.“Ck, ck dasar suami posesif” sahutnya tak mau kalah dengan sang suami.“Bagaimana?” Haiden menatap kedua orang di hadapannya yang akan memberikan hasil kerjanya.“Maaf Tuan, saya tidak tega mengusirnya,” ucap John menatap sang tuan. Matanya mulai membelelak karena marah.“Apa kau bilang? Apa telinga kalian sudah ru
“Ada apa? Apa kau cemburu dia menghabiskan waktu bersamaku?” Will sudah berada di beranda kamar mereka.Haiden masih tak bergeming dengan umpatan rivalnya itu.“Ayolah, katakan padaku. Setidaknya selama satu tahun ini aku akan menjadi partnermu. Jadi, tidak ada salahnya kau mulai membuka hati dan berteman denganku. Apalagi dengan status sama yang kita miliki. Baik kau atau pun diriku, pasti akan menjaga dengan sangat baik kan?” tatap Will. Meskipun dia tahu apa yang sedang rivalnya itu. Namun, dia tak ingin terlalu banyak ikut campur.“Cih, membantu atau kau sedang mengambil keuntungan sendiri? Kau hanya sedang memanfaatkan keadaan saja,” cibirnya.“Hahaha, bisnis adalah bisnis bro. Tapi, istriku bukanlah salah satu bisnis yang harus aku bicarakan denganmu. Dia adalah hati dan jiwaku. Aku tidak akan bisa hidup tanpanya. Bahkan nyawaku ini rela aku serahkan hanya untuknya seorang!”Perkataan yang sangat menyayat hati Haiden. Bahkan sampai saat ini dia masih kalah jauh dari rivalnya itu
Mereka berbalik dan menatap arah suara. Di lihatnya sepasang laki-laki dan perempuan sedang menatap mereka dengan terkejut. Apalagi bawaan yang dibawa oleh sang wanita berceceran di lantai. "Papa, Mama? Sedang apa kalian disini?" ucap Haiden membuat mereka yang sedang bersitegang berhenti. Mata mereka langsung tertuju pada Dominique. Menatapnya dengan perasaan yang tak bisa di jelaskan. Tubuhnya sedikit bergetar dan tegang ketika mendapatkan tatapan tersebut. Will segera merengkuhnya kedalam pelukan. Dia tahu ini pertama kali istrinya bertemu dengan orang tua Haiden. Haiden menahan rasa tak enak di hidungnya. Dia menarik nafas panjang dan segera membawa orangtuanya ke ruang keluarga. Dominique dan Will mengikutinya. "Kenapa tidak memberitahuku kalian mau datang? John bisa menjemputnya kalau kalian bilang padaku."Mereka masih tak bergeming. Masih menatap kearah Dominique yang terus tertunduk. Will mengalungkan tangannya di pinggiran istrinya dan menarik tubuhnya agar dekat denga
"Selamat malam Tuan Besar Simon dan Nyonya Marina," sapa John memberi hormat saat melihat majikan besarnya tengah duduk di meja makan. "Selamat malam juga John? Dari mana saja kau?" Marina langsung menyambut hangat sapanya. "Saya menjemput istri dulu, Nyonya," liriknya pada Sophie. "Istri? Wow kapan kau menikah? Kau bahkan tak mengundang kami pada acara pernikahan-mu?" Marina menatap Sophie yang terlihat canggung akan kehadiran mereka.“Beliau Tuan dan Nyonya Besar Aramgyan, sapalah,” ucap John pada istrinya.“Se-selamat malam, sa-ya, Sophie, Tuan, Nyonya,” kikuk Sophie dibuatnya. Dia membungkuk dan memberi hormat menyapa mereka.“Tidak usah sungkan. Kemarilah, duduk bersama kami,” ucapnya hangat menyambut Sophie.Dia berjalan mendekati meja makan. Diliriknya sang teman tak jauh beda dengannya. Syok dengan kedatangan mendadak mereka.Yang duduk hanya para wanita. Tentu saja. Para pria hanya menatap mereka, apalagi Haiden dan sang ayah mertua yang terus mengusap hidung saat mencium
"Kami pamit dulu ya, sayang. Lain kali kami akan mampir lagi kesini," Marina memeluk tubuh sang menantu saat dia akan berpamitan."Sudah sangat malam Ma, kenapa kalian tidak menginap saja?" Dominique yang enggan berpisah dengan sang ibu mertua."Hohoho, jangan sekarang ya. Ada yang akan marah denganku kalau malam ini aku menginap disini," sang ibu mertua menaikan satu alisnya kepada sang ayah mertua. Sang menantu hanya bisa melihat tingkah sang mertua yang tetap terlihat mesra walaupun di usia mereka yang tak muda lagi."Ehem, sudah jangan lama-lama. Aku sudah sangat lelah dan mengantuk," sang ayah mertua berdeham. Menarik tubuh sang ibu mertua dari pelukan sang menantu."Kau cemburu? Dia ini anak menantu kita sendiri loh."“Aku tidak cemburu, aku bilang sangat lelah. Kau mengerti!” sang ayah mertua memalingkan wajah yang memerah.Purf Haiden terkekeh sinis melihat tingkah sang ayah. Mereka terlihat mesra seperti anak muda. Dominique dan kedua suami mengantar kepergian orangtuanya sa
Sophie bergegas. Dia berdandan seadanya. Dia tak ingin kedua suaminya mengerjai dan membuatnya datang terlambat bekerja.“Kau sudah mulai bekerja hari ini, Sop?”Dia berpapasan dengan Dominique saat dia sibuk memesan ojek online.“Uhm. Apa kau mau sesuatu? Akan membawakannya untukmu?”“Apa ya? Oh ya, belikan aku blueberry chese saja. Aku kangen banget makan itu,”“Oke. Kau mau berapa banyak pun aku belikan,” Sophie tersenyum melihat teman seperjuangannya yang sedang mengelus perut.“Auntie berangkat kerja dulu ya sayang, hati-hati di rumah dan jaga mama ya,” Sophie yang reflek ikutan mengelus perut temannya itu. Seraya dia berbicara dengan anak kecil.Kejadian itu dilihat oleh kedua suaminya. “Makanya jangan kasih kendor. Kau pun bisa segera memilikinya,” ucap sang suami angkuhnya.“Cih! Pintarnya. Mulutmu itu manis sekali seperti racun,” dengus Sophie menarik ujung satu ujung bibirnya. Kesal disindir olehnya.Ddrrtzz ddrrtzz“Baik pak, tunggu sebentar ya!” Sophie mengakhir pembicara