“Se-selamat siang, Pak John,” Bu Ririn setengah berlari dari cake shop setelah melihat John menerobos masuk. Dia menatap istrinya dengan tatapan tajam. Menghujam langusng kedasar jantungnya. Membuat kakinya bergetar lemas.Dia hampir saja limbung jika tangannya tak memegang orang disebelahnya. Namun, kemurkaan terpancar oleh macan yang sedang kelaparan itu. Dia melotot dengan sangat menakutkan.John yang selalu terlihat ramah pada saat kedatangan ke toko, sekarang berubah menjadi seperti gemuruh awan yang menghitam di atas kepalanya.“Kau masih saja tidak kemari?” tunjuknya pada Sophie. Membuat gadis itu bergetar ketakutan.Dia melangkah perlahan menghampiri sang suami yang sudah terlihat murka.“Se-selamat siang, Pak John. Apa ada hal urgent sampai anda datang?”Bu Ririn maju kembali. Dia merasa lalai. Karena saat atasannya masuk dia sedang sibuk dengan display barang.“Kau kembalilah bekerja. Aku sedang ada urusan dengannya,” ucapnya. Bahkan tidak menoleh. Dia terus menatap wajah S
“Semua sudah saya taruh didalam mobil Anda, Tuan.”Salah satu staff yang menghampiri John ketika mereka akan memasuki mobil. Dia hanya mengangguk dan membukakan pintu untuk istrinya.“Apa yang mereka bicarakan?” istrinya yang penasaran langsung bertanya saat pantatnya menempel dikursi.Dia tidak menjawab hanya memberi kode ke kursi dibelakangnya dan memutar stir kemudi. Matanya membulat lebar ketika dia melihat beberapa kantong paper bag sudah tersusun rapi.“Apa itu?”“Katanya kau ingin membungkus makanan tadi, ehm,”“Se-sebanyak itu? Tapi, tadi kan yang dikamar?”“Ssst,” istrinya merasa sang suami tidak akan menuruti keinginan selewatnya. Dia bahkan terlihat cuek saat dirinya meminta tadi.“Lalu? Apa kau nanti tidak akan menjemputku?”“Akan akan usahakan! Tapi, jika memang tak sempat aku akan menyuruh salah seorang supir untuk menjemputmu?”“Ah, tidak usah saja. Kalau kau memang ada hal yang lebih mendesak, tidak usah. Lagian aku juga bisa naik ojek online pulangnya,” baru saja dia
Jiwanya seakan terbang. Seperti kapas. Dia terlihat tak bertenaga.Dia masih belum menjawab pertanyaan suaminya yang duduk disamping ranjang dan terlihat begitu khawatir.“Bagaimana dengan kondisi kandungannya, Dok?” Will sangat cemas dengan kondisi sang istri dan anak dalam kandungan istrinya.“Untungnya tidak ada yang terjadi hal yang serius. Kondisinya sangat baik dan sang janin sepertinya lebih kuat dari sang ibu,” dokter melihat kondisi Doninique. Yang sudah terlihat frustasi.BrakkSophie menerobos masuk. Dia sudah melihat dua suami temannya dan sang suami tengah bergelut dengan benda pipih ditelinganya.“Dom-Domi,” dia memeluk temannya dengan erat dan menangis sesegukan kembali.Tak berapa lama kedua orangtua Haiden, Diana dan Carlos pun berada ditengah mereka. Mereka menayaksikan keterpurukan seorang Dominique. Menangis tanpa henti, seolah menyalahkan dirinya sendiri.“Ada apa ini Haiden? Apa kau bisa menjelaskan kepadaku?” suara sakras sang ayah menggema diruangan itu. Bahk
Haiden memapah tubuh sang istri perlahan turun dari ranjang. Bahkan dia masih dapat merasakan tubuh sang istri bergetar. Ketakutan.Will membukakan pintu memberikan mereka jalan. Dia pun sangat ingin mendampingi sang istri. Saat dia melewati masa sulit.Namun, untuk saat ini dia mencoba mengerti dan tak ikut andil dalam bagian pengal kisah sang istri. Dia tahu, saat ini sang istri sedang tak membutuhkannya. Walau ingin. Tetapi, bukan dia.Dominique hanya bisa menatap seorang anak yang sedang terbaring lemah tak berdaya. Dari balik kaca dia terus memandangi anak itu. Anak dengan tubuh berselang infus pada hidung dan tubuhnya.Anak itu benar-benar telihat lemah dan tak berdaya. “Pemakaman telah dilakukan, Tuan. Tuan besar dan nyonya saja yang menghadiri,” lapor John pada Haiden. Membuat kembali air mata istrinya mengalir.‘Ya Tuhan, aku bahkan tidak mengucapkan salam perpisahan dan terima kasih padanya. Aku benar-benar wanita jahat.’Will merengkuh tubuh sang istri yang setengah limbun
“Apa mereka menindasmu? Katakan saja dengan grandma, walau keluarga kita tidak seperti dahulu. Nama Fernando siapa yang tak mengenalnya,” Rose yang meyakini sang cucu ditindas oleh sang mertua. Menyombongkan nama besar suaminya yang sudah tiada.“Pah, Mah ... ini Nenek-ku, Rose,” ucap sang menantu memperkanalkan sang nenek.“Nenekmu? Kau tidak sedang membohongi kami kan? Bukankah kau hanya seorang perempuan yang bekerja di toko kue?” sang ayah mertua terlihat tak mempercayai ucapan sang menantu. Terlihat meremehkan. Dia hanya menyelidiki tenteng menantunya sampai sejauh itu.“Dia, putri William Estimo, cucu tunggalku,” sang nenek yang menjawab pertanyaan dari sang mertua.Matanya membulat tak percaya. Bagi sang ayah mertua siapa yang tidak tahu nama besar keluarga Fernando. Disegani berbagai kalangan pebisnis dan bangsawan.“Maafkan saya, Nyonya Fernando, saya sangat terlambat mengetahui,” sang mertua menatap sang menantu penuh penyesalan.“Jadi, kalau aku tidak datang kau akan mengu
"Arrgghh, si-siapa?" melepaskan perlahan orang yang memeluknya. "Richard? Kau?"Dominique segera menariknya ke lorong. Diikuti Diana dan Sophie yang penasaran dengan orang tersebut. 'Siapa lagi nih? Temanku ini banyak sekali pria dihidupnya.'"Sedang apa kau disini? Bukankah kau sedang sibuk mempersiapkan konsermu?" dia bertanya. Namun, Richard seolah tak mendengarkan. Dia memeriksa kondisi tubuhnya."Chard? Kau mendengarku?" dia menghentikan aktivitas tangannya yang sedang melakukan pemeriksaan. Dia memutar tubuhnya kedepan kebelakang. "Apa yang terluka? Dimana?" wajahnya terlihat pucat dan frustasi. Dia baru saja sampai dan meninggalkan segala kegiatannya ketika sang grandma memberikannya kabar. Kabar bahwa tunangan yang tidak jadi menikah dengannya mengalami kecelakaan. Dia meninggalkan semua demi seorang Dominique."Aku tidak apa-apa, Chard. I'm ok. You see," dia setengah berteriak karena sang mantan tunangan masih belum menggubrisnya.Setelah mendengar langsung ucapan darinya
“Kau jangan gila, Dominique! Apa kami berdua masih belum cukup untukmu?” dengus Will. Kesal sang istri kesayangan melirik laki-laki lain.“Habis kalian juga sih. Aku kelaparan masih dilarang makan. Mungkin ucapan grandma barusan aku akan memikirkan—““Tidak. Aku makan, makan. Mana yang harus aku makan?” Haiden meraih ayam siap saji yang akan masuk kemulutnya.‘Yes berhasil.’Dia tersenyum ketika berhasil mengelabui kedua suaminya.“Aku akan membersihkan diri, apa kalian mau membantu?” dia melirik para suami setelah mereka selesai makan.“Biarkan aku yang membantu, oke?”Will maju lebih dulu. Dia merasa sang istri masih memiliki satu hutang dengannya.“Stop.”Dia baru akan melihat satu suaminya akan membuka suara.“Mulai hari ini aku tidak mau kalian bertengkar. Kalau kalian masih bertengkar aku akan ikut grandma dan mengikuti semua yang grandma inginkan,” ancamnya.‘Sudah berani dia mengancamku.’ Haiden mendengus kesal.‘Rupanya ada kemajuan istriku ini. Dia mulai menggunakan kekuasaan
"Tapi, Grandma, aku sungguh kangen dengannya," Richard mencubit kedua pipinya karena gemas. Membuat dua orang dihadapannya seakan memuntahkan lahar. "Kau!" delik mereka."Wo--wo, tenanglah. Aku cuma bercanda dan--"CuuupppDengan sengaja kembali Richard membakar kedua orang dihadapannya. "Chard!""Ok, oke. Sudah malam, aku kembali ke hotel," dia masih mengelus kedua pipi sang mantan tunangan."Hei, kalian, aku peringatkan. Sekali lagi kalian membuat tunangan-ku--,""Chard, apa sih?""Ssstt, kau diam saja. Jika aku sampai mendengar lagi, dia menangis. Aku akan langsung membawanya pergi tanpa persetujuan dari kalian," tatapan kini terlihat serius. Tidak seperti barusan yang terlihat setengah bercanda. "Ayo, Grandma, kita pergi!" menggandeng lengan sang nenek meninggalkan wajah kemurkaan pada kedua suami Dominique. "Cih, bisa-bisa kau di jodohkan dengan orang seperti itu," cibir Will. "Sudahlah, Will, aku sangat lelah dan mengantuk sekarang. Kita kan harus kembali lagi besok pagi un