"Tapi, Grandma, aku sungguh kangen dengannya," Richard mencubit kedua pipinya karena gemas. Membuat dua orang dihadapannya seakan memuntahkan lahar. "Kau!" delik mereka."Wo--wo, tenanglah. Aku cuma bercanda dan--"CuuupppDengan sengaja kembali Richard membakar kedua orang dihadapannya. "Chard!""Ok, oke. Sudah malam, aku kembali ke hotel," dia masih mengelus kedua pipi sang mantan tunangan."Hei, kalian, aku peringatkan. Sekali lagi kalian membuat tunangan-ku--,""Chard, apa sih?""Ssstt, kau diam saja. Jika aku sampai mendengar lagi, dia menangis. Aku akan langsung membawanya pergi tanpa persetujuan dari kalian," tatapan kini terlihat serius. Tidak seperti barusan yang terlihat setengah bercanda. "Ayo, Grandma, kita pergi!" menggandeng lengan sang nenek meninggalkan wajah kemurkaan pada kedua suami Dominique. "Cih, bisa-bisa kau di jodohkan dengan orang seperti itu," cibir Will. "Sudahlah, Will, aku sangat lelah dan mengantuk sekarang. Kita kan harus kembali lagi besok pagi un
Dia merengut kesal. Bahkan ketika para suami mencoba menyentuh lengannya, dia menghempaskan. "Sayang, aku mohon malam ini jangan ke kamarnya, ya!" Haiden bersuara memohon pada istrinya. Boro-boro dia menjawab. Hanya desisan saja yang terdengar. "Sayang, kami akan bergantian dan pelan-pelan asalkan kau izinkan," Will maju membuka suara. Bernegosiasi. Ceklek"Mommy, Mommy, kenapa lama sekali?" anak itu keluar di ikuti sang pengasuhnya. Menghentikan aksi mereka. "Maaf, Nyonya. Tapi, Tuan Muda mencari anda dan tidak mau tidur jika tidak mendengarkan Nyonya bercerita," desak sang pengasuh. Dia kewalahan karena sang anak mengamuk. Melemparkan semua barang-barang di kamar. "Tuh, kalian lihat sendiri. Anakku ini tidak bisa tidur kalau belum mendengarkanku bercerita,"Mengusap kepala sang anak dan memberikannya pelukan. 'Hahahaha, bagus sekali anakku. Kau memang bisa kuandalkan.'Grep"Aku akan langsung membawamu ketika dia sudah tidur. Jadi, jangan paksa lagi kami untuk bernegosiasi,"
"Mom, kapan aku bisa bersekolah?” Terry berkata saat mereka memulai sarapannya. Meraka saling berpandangan ketika dia mengutarakan keinginannya.“Bersekolah? Apa kau disana sudah mulai bersekolah?” Haiden bertanya sambil menatapnya.“Uhm, mom pernah mendaftarkan. Namun, Aku hanya beberapa bulan saja bersekolah karena Aku harus bolak balik kontrol rumah sakit.”“Kau ingin bersekolah disini, sayang?” Dominique bertanya.“Yeah, Mom. Sepertinya Aku akan betah tinggal disini. Lagipula, aku pun sudah tak sabar menantikan kehadiran adikku,” ucapnya tersenyum sambil mengunyah makanan yang sedang dia makan.“Baik, Mom akan antar kamu untuk daftar sekolah lagi dan sepulangnya nanti kita bisa membeli semua perlengkapan yang kau butuhkan,” Dominique tak kalah semangat. Dia bisa berjalan-jalan keluar sambil menemani Terry.“Aku izinkan asal kau pergi dengan beberapa pengawal. Aku tidak ingin ada hal buruk yang menimpamu lagi,” Will ikut bersuara ketika istrinya mengeluarkan ide keluar rumah.“Wil
"Mereka? Apa sudah gila?" Kedua istri menggeleng tak percaya melihat tingkah suaminya. "Sayang, kau benar-benar hamil!" seru Ramon berjalan lebih dahulu. Menarik istrinya kepelukan. "Gantian, gantian, aku juga mau memberikan selamat padanya," John sewot. Kalah cepat oleh rivalnya. "Aw,""Ma-maaf, sayang. Aku terlalu gembira!" Ramon melepaskan pelukannya saat mendengar istrinya meringis. Dia memeluknya terlalu erat. "Kau, pelan-pelan sedikit. Dia itu sudah tidak boleh sembarangan bergerak. Ingat sudah ada seseorang dalam perutnya," John mengelus pelan perut istrinya yang belum buncit sama sekali. "Iya, aku juga tahu. Apa ada yang sedang kau inginkan, sayang?"Ramon memegang erat tangan istrinya. Menatapnya penuh binar. "Aku mau pulang ke kontrakanku dan tak di ganggu oleh kalian, apa boleh?"Berkata tanpa dosa. Membuka keduanya memelototi wajahnya. "Ish, tadi katanya suruh bilang apa yang sedang aku inginkan," mengerucutkan bibir dengan kesal. Menghempaskan tangan Ramon yang se
Satu buah pesan masuk pada ponselnya. Matanya seketika melebar, dengan panik dia menghubungi seseorang dan bergegas pergi dari ruang kerjanya setelah dia tahu siapa yang mengiriminya pesan. 'Nomor yang anda tuju sedang berada diluar servis area, silahkan hubungi beberapa saat lagi.' Suara veronica call membuat hatinya tambah tak karuan.Dia menarik keluar paksa salah satu pengawalnya yang sedang berada di kursi kemudi. Dia mengambil alih sembarang mobilnya. Lokasi keberadaan seorang pun langsung dia dapat pantau saat mesin pengintai orang di nyalakan untuk mencari keberadaan seseorang."Ya, Tuan." Suara dari seberang telpon menjawabnya. "Cepat temukan dimana keberadaan istrinya, sekarang!" Perintahnya penuh tekanan. Dan langsung mematikan panggilannya tanpa mendengar jawaban dari seberang sana. Mobil seperti berada dalam lintasan balap. Melaju kencang dan cepat. Menerobos tanpa memandang apapun yang ada di hadapannya. "Lain kali kita pergi lagi ya, sayangnya!" Dominique baru saja
Beberapa bulan berlalu. Berjalan dengan tenang. Tak ada lagi peristiwa yang membuat mereka khawatir. Terry sudah mulai bersekolah, tentu saja mendapatkan pengawalan dari perintah suaminya walaupun secara diam-diam. Di hari libur sekolahnya bahkan dia menyempatkan diri untuk mendekor kamar untuk adik tersayang yang akan segera lahir. Dia sudah selayaknya kakak yang tak sabar menantikan adiknya lahir ke muka bumi. Penuh binar dan semangat.Kedua ayah calon bayi tak diizinkan untuk membantu. Semua perlengkapan, baju, dekorasi, dia sendiri yang mengatur dan memilihkan. Ibunya hanya bisa tersenyum saat melihat tiga orang pria sedang berebut memerintah para pelayan untuk meletakkan dan mendekor ruangan. Ketika satu berkata ini, yang satu berkata itu, dan satu lagi berkata huh. Membuat para pelayan menggelengkan kepala saat melihat tingkah tuan besar dan tuan mudanya tidak mau saling mengalah.“Kau tidak melupakan janji kita ‘kan?” suara di ujung telpon membuat senyuman istrinya melebar. D
Matanya membulat tajam menyaksikan dua orang menyeret paksa orang yang sangat dicintainya. Dia berlari kencang untuk mencegahnya. Namun, kerumunan orang seakan menutupi keberadaannya. Dia tak bisa mejangkau dengan cepat. Mereka begitu rapi dan menghilang begitu saja dari hadapannya. "Apa yang harus aku lakukan? Argghhh!"Dia berteriak menyalahkan dirinya. Dalam kepanikan, dia mencoba tenang. Dia mencoba menguasi dirinya agar terlihat waras. Tangannya merogoh ponsel dengan keyakinan yang meragu dia menghubunginya. "Ada apa? Apa kau belum cukup dengan kedatangan istriku sampai kau ingin pamer dan menyombongkan diri secara langsung denganku."Jawaban yang sangat menusuk kalbu yang dia dapatkan. Mungkin dia tak bisa menyalahkan si penerima telpon karena hingga saat ini, dia secara langsung masih menjadi jarum kecil yang menusuk dan menganggu ketenangannya. "Apa kau benar-benar memiliki musuh yang sangat banyak hingga--," belum sempat dia melanjutkan ucapannya dari seberang telpon di
“Huhuhu, sa-sakit sekali!” dia menangis. Rasa nyeri begitu terasa di setiap kulitnya. “Di sini masih sakit, sayang?” dia meniup perlahan lengan istrinya yang sudah di berikan salep pereda nyeri.BrakkSuara bantingan kursi terhempas ke tembok. Membuat istri dan anak sambil memeluk. Kesadaran mereka kembali sepenuhnya.‘Di mana aku? Siapa orang itu?’ Berpacu dengan pikirannya. Mencoba menebak-nebak situasi yang sedang terjadi.“Bisakah kau jelaskan sekarang, siapa dia?” bagai bidikan busur panah yang sudah mematri titik sasaran lelaki itu menatapnya.“Dia, istriku, Pah. Hanya itu yang bisa aku katakan. Dan, dia sedang mengandung anakku!”Krak ceklak krek krekDor dor dorTiga peluru langsung bersarang di salah satu tubuh anak buah mereka. Membuatnya ambruk di lantai. Darah segar mengalir dengan sangat deras.Dominique menutup mata anaknya. Memeluknya erat dengan kondisi tubuhnya yang bergetar. Perutnya bahkan bergejolak dengan tak karuan, ingin rasanya dia muntahkan keluar semua. Namu
Will menyadari kedatangan istri dan rivalnya. Dia hanya duduk menunggu di samping ruang operasi. Dominique menghampirinya. "Kau berbohong lagi!" cetusnya. Dia masih mode on merajuk. Will menarik tangan istrinya agar duduk disebelah dirinya. Tangan satunya melingkar di pinggang istrinya dan merengkuhnya ke dalam pelukan.Haiden duduk di sebelah istrinya. Hanya bisa menatap setiap perlakuan manis yang diberikan rivalnya. Dia kini sudah tidak pernah cemburu seperti dulu. Mereka berdua, sesama rival sudah sangat mengetahui kondisi masing-masing. Sesekali bertengkar. Namun, bukan pertengkaran yang besar selain berebut lebih dulu siapa yang mendapatkan jatah dari istrinya, selain itu. Mereka tidak pernah bertengkar. Sudah saling mengisi dan memahami. "Maafkan aku, sayang. Kau boleh menghukumku nanti. Aku akan menerima semua hukumannya!" dia mengecup kening istrinya. Mencoba menenangkan kemarahannya. "Iya, aku pastikan akan menghukummu secara berat. Kali ini aku tidak akan melepaskan beg
“Jangan sentuh? Kau yakin dengan ucapanmu itu?” goda Willy.“Iya, memangnya aku takut. Aku kan memiliki satu suami lagi, kau pikir, hah!” Dominique tak mau kalah melawan godaan suaminya.“Tidak ada apa-apa sayang, aku memang menginginkannya. Sudah lama sejak kau melahirkan dan mengurus anak-anak kita. Aku kangen!” Willy tetap menutupi hatinya. Mengusap kembali rambut istrinya sambil memandangi wajahnya dengan lembut."Sudah kalau tidak mau bicara, aku akan keluar!" ucap Dominique. Baru saja dia menarik selimutnya akan turun dari ranjang. Entah mereka memang tak mendengarnya atau terlalu fokus saat berbicara. Haiden sudah berdiri dihadapannya sambil melihat kedua tangannya. "Oh, jadi begini cara kalian? Melakukan hal yang enak tanpa mengajakku!" dengusnya kesal. Dominique menarik wajahnya sambil menghela nafas panjang. "Aku sudah selesai, jika kau memang menginginkan bilang saja sendiri!" Willy berjalan turun melenggang tanpa sehelai benang pun masuk ke kamar mandi. "Ah, tidak. Sud
Martha masih belum sanggup menatap wajah Will, dia hanya terus tertunduk ketika suaminya berkata seolah ada satu pedang yang langung menancap di dadanya. Will dengan perasaan yang tak bisa dia gambarkan hanya bisa menghela nafasnya. Bingung.“Kau tidak sedang bergurau denganku kan, Pah?” Will masih setengah tak percaya. Tubuhnya bahkan terasa bergetar, masih belum mempercayai semua ucapan ayahnya“Kau bisa bertanya langsung dengannya, apa aku sekarang sedang berbohong padamu atau tidak?” tanpa banyak berkata apapun Baron membalikkan tubuhnya. Jantung Martha benar-benar akan copot di tatap putranya. Meminta penjelasan tentang kehadirannya.“Huh, baiklah, ayo kita masuk, Nyonya. Sepertinya akan banyak hal yang akan kita bicarakan!” kali ini Martha terkejut saat mendengar ucapannya. Datar dan dingin. Berbeda saat pertama kali mereka tak sengaja bertemu.Langkah kakinya mengekori Will masuk ke ruang bacanya. Dia sudah duduk di sofa sambil terus memperhatikan wanita yang bernama Martha
“Bersiaplah hari ini kita akan menemuinya!” Baron berkata dengan sangat tegas. Menatap wanita yang duduk dihadapannya. Dia sedang menikmati sarapan paginya.Wanita yang beberapa hari ini telah resmi menjadi istrinya kembali. Dia yang dipaksa olehnya. Martha mau tidak mau menuruti semua kemauan Baron, daripada ada nyawa yang tidak bersalah berkorban untuk dirinya.Martha masih menatap wajah Baron. Bingung dengan ucapannya. Bertanya dalam hati apa yang akan ditemuinya nanti. “Aku hanya memintamu, menemaniku dan menemuinya. Apakah ada masalah? Mengapa kau menatapku seperti itu?” kembali Baron berbicara dengan suara sakrasnya. Membuat Martha tetap diam. Dia tak perduli dengan ucapannya. Dia tahu saat dia mencoba menjawab setiap perkataannya akan timbul hal yang tidak diinginkan.“Baiklah, aku akan bersiap-siap!” ucapnya setengah terpaksa.“Apa kau sebegitu tak sukanya pergi bersamaku?” Baron menaikkan rahangnya dengan kasar menatap Martha yang baru beberapa hari ini resmi menjadi istr
"Jangan mendekat!" Sophie terus bergeser dari ranjangnya, saat Ramon mencoba mendekatinya. Sedangkan, John sibuk dengan dunianya sendiri. Dia seperti mendapatkan mainan baru. Saat pulang kerja dan setelah makan juga mandi hal yang dilakukan pertama kali adalah mengendong anaknya. Dia menjadi bapak siaga saat berada di rumah. "Inikan sudah empat puluh hari lebih, sayang. Masa aku nggak boleh dekat-dekat kamu sih!" Ramon merajuk. Namun, tak menghentikan aktifitasnya saat berusaha menggulingkan pertahanan istrinya. "Cih, kau bersungguh-sungguh? Sebaiknya, kau mencontohnya. Lihat tuh dia sangat akrab dengan, Josh!" cibirnya. Terus menghempaskan tangan Ramon yang berusaha menjamahnya."Cih, kau bersungguh-sungguh? Sebaiknya, kau mencontohnya! Lihat tuh dia sangat akrab dengan, Josh!" cibirnya. Terus menghempaskan tangan Ramon yang berusaha menjamahnya.John hanya meliriknya tanpa mengindahkan semua ucapan yang kelur dari mulut Ramon. Dia bahkan tak perduli dengan cibiran atau umpatan yan
"Sungguh, aku tidak apa-apa. Jangan bawa aku kesana!" Martha memohon dengan penuh penekanan. Dia tak ingin seorang pun tahu tentang penyakit yang sedang dideritanya. Baron tak mengindahkan setiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Dia tahu wanita itu sedang membohonginya. Dia melemparkan tubuh yang tidak muda lagi itu dengan kasar ke kursi penumpang. Setelah penyeretan yang dramatis. Tanpa memperdulikan orang-orang yang menatap mereka. Seperti seorang istri yang sedang kepergok suaminya berselingkuh. "Jangan membantah lagi, jika kau terus terusan menolakku, jangan salahkan jika senjata ini akan langsung bersarang ke perutmu!" ancamnya. Kini Baron sedang tidak bermain-main. Dia menodongkan senjata tepat disamping perutnya. Martha sudah kehilangan akal menghadapi lelaki yang sudah berumur itu. Yang memiliki sikap dan temperamen seperti anak remaja. Merajuk kalau keinginannya tak dituruti. Dia tak bersuara. Pasrah. Hingga Baron memasukkan senjatanya kembali ke jasnya. Dia bertanya
Baron masih saja mondar mandir di kamarnya. Menunggu wanita itu benar-benar bisa menenangkan hati, agar mereka bisa kembali pembicaraannya. Sebenarnya bukan berbicara, tapi Baron masih ingin meneruskan rasa penasarannya. Martha menghela nafasnya. Isak tangis terakhirnya sebelum dia benar-benar berhenti.“Apa kita sudah bisa berbicara sekarang?” dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Daripada dia menemani wanita yang sedang menangis. Dia lebih baik memukuli seluruh pengawalnya hingga babak belur.‘Huh, apa kata dunia, jika ada orang yang tahu aku mendengarkan seorang wanita menangis!’Baron meraup wajahnya dengan kasar. Sungguh dia pun tak menyangka bisa menemani wanita itu merajuk. Menangis terseduk selama satu jam.Martha menganggukkan kepalanya. Memberikan tanda, dia siap menerima introgasi dari laki-laki dihadapannya itu.“Jadi, penjelasan apa yang ingin kau berikan padaku?” Baron masih menatapnya tajam.‘Huh, dari dulu dia memang tak pernah mau mengalah. Padahal dia yang salah.
‘Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia bisa menjadi seperti ini? Apa sungguh aku telah salah mengira dirinya?’Pikiran Baron bergemuruh. Hatinya tiba-tiba saja menjadi tak menentu. Dia bahkan tak tega melihat wanita itu berbaring lemah tak berdaya. Bagaimanapun, dia pernah menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam hidupnya.Dia berjalan perlahan menghampiri ranjangnya. Duduk tanpa bersuara, menatap wanita itu yang terlihat tidur dengan nyaman oleh obat yang habis dia minum. Rasa lelah yang dia rasakan seakan menghilang. Padahal tadi dia berencana akan pulang ke hotelnya untuk beristirahat.‘Ah, hotel!’ Baron keluar dari kamar wanita itu. Mencari keberadaan Markus yang tengah memberikan perintah kepada anak buahnya untuk membersihkan kekacauan yang baru saja mereka buat.“Carikan selimut yang tebal untukku dan segera bawakan untukku!” setengah tak percaya Markus mendengar permintaan Tuannya. Dia sedikit menaikan kedua alisnya saat mendengar tuannya berkata seperti itu.“Cepat!
Baron memicingkan matanya di kursi penumpang. Matanya ke luar jendela mobilnya. Menatap mantap orang yang dia kenali. 'Aku yakin dia.' Baron tak melepaskan tatapannya sedikitpun. Dia melihat orang itu tengah memegangi dadanya saat berjalan. Sesekali kakinya berhenti dan tangannya menempel pada tembok jalanan. Beberapa detik kemudian dia melihat orang itu ditabrak seseorang hingga membuatnya tersungkur di jalanan. 'Cih, apa dia benar-benar orang itu? Aku rasa mataku salah lihat lagi.' hatinya berkata demikian. Namun, dia menyuruh Markus menghentikan mobilnya. Rasa penasaran dan dia sangat ingin membuktikan sesuatu membuat tekadnya bulat.Menghampiri orang itu yang tengah berusaha bangkit dari orang yang sudah menabraknya tadi. "Ck, ck, ck, apa sungguh kau masih seorang Nona dari keluarga Belvina?" Orang tadi melirik kearah suara. Melihat Baron sudah tepat dihadapannya menaikan rahangnya dengan kasar.Orang tadi berusaha menutupi getaran dalam tubuhnya. Menatap datar wajah orang yan