"Mereka? Apa sudah gila?" Kedua istri menggeleng tak percaya melihat tingkah suaminya. "Sayang, kau benar-benar hamil!" seru Ramon berjalan lebih dahulu. Menarik istrinya kepelukan. "Gantian, gantian, aku juga mau memberikan selamat padanya," John sewot. Kalah cepat oleh rivalnya. "Aw,""Ma-maaf, sayang. Aku terlalu gembira!" Ramon melepaskan pelukannya saat mendengar istrinya meringis. Dia memeluknya terlalu erat. "Kau, pelan-pelan sedikit. Dia itu sudah tidak boleh sembarangan bergerak. Ingat sudah ada seseorang dalam perutnya," John mengelus pelan perut istrinya yang belum buncit sama sekali. "Iya, aku juga tahu. Apa ada yang sedang kau inginkan, sayang?"Ramon memegang erat tangan istrinya. Menatapnya penuh binar. "Aku mau pulang ke kontrakanku dan tak di ganggu oleh kalian, apa boleh?"Berkata tanpa dosa. Membuka keduanya memelototi wajahnya. "Ish, tadi katanya suruh bilang apa yang sedang aku inginkan," mengerucutkan bibir dengan kesal. Menghempaskan tangan Ramon yang se
Satu buah pesan masuk pada ponselnya. Matanya seketika melebar, dengan panik dia menghubungi seseorang dan bergegas pergi dari ruang kerjanya setelah dia tahu siapa yang mengiriminya pesan. 'Nomor yang anda tuju sedang berada diluar servis area, silahkan hubungi beberapa saat lagi.' Suara veronica call membuat hatinya tambah tak karuan.Dia menarik keluar paksa salah satu pengawalnya yang sedang berada di kursi kemudi. Dia mengambil alih sembarang mobilnya. Lokasi keberadaan seorang pun langsung dia dapat pantau saat mesin pengintai orang di nyalakan untuk mencari keberadaan seseorang."Ya, Tuan." Suara dari seberang telpon menjawabnya. "Cepat temukan dimana keberadaan istrinya, sekarang!" Perintahnya penuh tekanan. Dan langsung mematikan panggilannya tanpa mendengar jawaban dari seberang sana. Mobil seperti berada dalam lintasan balap. Melaju kencang dan cepat. Menerobos tanpa memandang apapun yang ada di hadapannya. "Lain kali kita pergi lagi ya, sayangnya!" Dominique baru saja
Beberapa bulan berlalu. Berjalan dengan tenang. Tak ada lagi peristiwa yang membuat mereka khawatir. Terry sudah mulai bersekolah, tentu saja mendapatkan pengawalan dari perintah suaminya walaupun secara diam-diam. Di hari libur sekolahnya bahkan dia menyempatkan diri untuk mendekor kamar untuk adik tersayang yang akan segera lahir. Dia sudah selayaknya kakak yang tak sabar menantikan adiknya lahir ke muka bumi. Penuh binar dan semangat.Kedua ayah calon bayi tak diizinkan untuk membantu. Semua perlengkapan, baju, dekorasi, dia sendiri yang mengatur dan memilihkan. Ibunya hanya bisa tersenyum saat melihat tiga orang pria sedang berebut memerintah para pelayan untuk meletakkan dan mendekor ruangan. Ketika satu berkata ini, yang satu berkata itu, dan satu lagi berkata huh. Membuat para pelayan menggelengkan kepala saat melihat tingkah tuan besar dan tuan mudanya tidak mau saling mengalah.“Kau tidak melupakan janji kita ‘kan?” suara di ujung telpon membuat senyuman istrinya melebar. D
Matanya membulat tajam menyaksikan dua orang menyeret paksa orang yang sangat dicintainya. Dia berlari kencang untuk mencegahnya. Namun, kerumunan orang seakan menutupi keberadaannya. Dia tak bisa mejangkau dengan cepat. Mereka begitu rapi dan menghilang begitu saja dari hadapannya. "Apa yang harus aku lakukan? Argghhh!"Dia berteriak menyalahkan dirinya. Dalam kepanikan, dia mencoba tenang. Dia mencoba menguasi dirinya agar terlihat waras. Tangannya merogoh ponsel dengan keyakinan yang meragu dia menghubunginya. "Ada apa? Apa kau belum cukup dengan kedatangan istriku sampai kau ingin pamer dan menyombongkan diri secara langsung denganku."Jawaban yang sangat menusuk kalbu yang dia dapatkan. Mungkin dia tak bisa menyalahkan si penerima telpon karena hingga saat ini, dia secara langsung masih menjadi jarum kecil yang menusuk dan menganggu ketenangannya. "Apa kau benar-benar memiliki musuh yang sangat banyak hingga--," belum sempat dia melanjutkan ucapannya dari seberang telpon di
“Huhuhu, sa-sakit sekali!” dia menangis. Rasa nyeri begitu terasa di setiap kulitnya. “Di sini masih sakit, sayang?” dia meniup perlahan lengan istrinya yang sudah di berikan salep pereda nyeri.BrakkSuara bantingan kursi terhempas ke tembok. Membuat istri dan anak sambil memeluk. Kesadaran mereka kembali sepenuhnya.‘Di mana aku? Siapa orang itu?’ Berpacu dengan pikirannya. Mencoba menebak-nebak situasi yang sedang terjadi.“Bisakah kau jelaskan sekarang, siapa dia?” bagai bidikan busur panah yang sudah mematri titik sasaran lelaki itu menatapnya.“Dia, istriku, Pah. Hanya itu yang bisa aku katakan. Dan, dia sedang mengandung anakku!”Krak ceklak krek krekDor dor dorTiga peluru langsung bersarang di salah satu tubuh anak buah mereka. Membuatnya ambruk di lantai. Darah segar mengalir dengan sangat deras.Dominique menutup mata anaknya. Memeluknya erat dengan kondisi tubuhnya yang bergetar. Perutnya bahkan bergejolak dengan tak karuan, ingin rasanya dia muntahkan keluar semua. Namu
“Lepaskan aku, Will! Aku belum selesai berbicara!” hardiknya penuh penekanan.Dia mencoba meronta dalam pelukan suaminya. Tak ingin suaminya membawa pergi dari tempat yang membuatnya penuh dengan pertanyaan.Will tetap tak menggubris kemauan istrinya kali ini. Dia tak ingin istrinya terluka atau terkena masalah yang tak dia inginkan.“Kita bicarakan di rumah ya, sayang. Aku akan jelaskan semuannya padamu. Aku berjanji,” suarany melemah. Memohon pengertian istrinya.Dia menurunkan istrinya perlahan, “Tidak, aku tidak mau! Aku mau sekarang. Kau jelaskan sejelas-jelasnya atau aku akan masuk kembali ke dalam!” dengan suara setengah berteriak membuat Will serba salah.Dia merasa saat ini bukan waktu yang tepat untuk istrinya tahu. Tahu apapun kebenaran yang telah dia sembunyikan selama ini. Apa saja yang sudah dia tutupi, dia tak ingin kebahagiaanya terenggut paksa lebih cepat dari semua yang sudah dia rencankan.“Aku mohon sayang, percayalah padaku. Aku mohon!” dia mengiba. Dia mengingink
Haiden melirik wajah rivalnya yang terlihat frustasi. Menggandeng istrinya masuk ke dalam."Aku sudah menyiapkan sup hangat untukmu, kau coba dulu ya," ucap Haiden mengusap punggung lengan istrinya. Dia masih dapat merasakan tangan istrinya dingin karena udara malam dan entah apa yang terjadi padanya. Dia masih belum mau bertanya sebelum istinya sendiri yang berbicra."Biarkan aku membersihkan diri dulu, Iden!" dia melepaskan perlahan tangan suaminya dan masuk ke kamarnya. Matanya sedikit melirik kearah Will. Jelas masih tersimpan banyak kekesalan dari wajahnya."Apa yang terjadi?" Haiden membalikan tubuhnya. Menatap serius rivalnya, meminta penjelasan sejelas-jelasnya."Sepertinya rencana satu tahun-ku di percepat. Aku akan atur semuanya dengan sebaik mungkin. Aku akan usahakan tidak membuatnya terluka!"Srek Haiden menarik kedua kerah baju Will. Dia bahkan tak perduli dengan semua luka yang mengering di wajah rivalnya. Baginya ucapan Will barusan langusng mengusik hatinya."Apa mak
Dominique seperti tersambar petir di tengah malam yang tak hujan ketika mendengar pengakuan suaminya. Pengakuan yang masih membuatnya tak percaya. Atau mungkin suaminya sekarang sedang bermain-main dengannya.“Huh, ayolah, Will. Jangan bercanda, kau tahu kan aku paling tak suka bercanda apalagi menyangkut soal adik kembarku itu!” Dominique berkata sangat tegas. Wajahnya terlihat begitu serius. Haiden langsung bereaksi dengan tubuhnya, dia tak tenang saat Will mulai mengungakapkan kebenaran.“Aku tidak sedang bercanda, sayang. Kali ini aku serius, jadi-“PlekDominique seketika melepaskan gengaman tanganya. Dia beranjak duduk sambil memegangi perutnya yang tiba-tiba berdenyut nyeri.“Maafkan aku, sayang. Aku akan jelaskan semuanya. Aku mohon, kau mau mendengarnya. Itu hanya sebuah kecelakaan!”Dominique langsung memicing tajam wajah suaminya. Dia bahkan dengan mudah dan berkata seolah tak merasa bersalah ketika membuat nyawa seseorang lenyap. Apa yang beberapa jam lalu dia lihat entah