“Semua sudah saya taruh didalam mobil Anda, Tuan.”Salah satu staff yang menghampiri John ketika mereka akan memasuki mobil. Dia hanya mengangguk dan membukakan pintu untuk istrinya.“Apa yang mereka bicarakan?” istrinya yang penasaran langsung bertanya saat pantatnya menempel dikursi.Dia tidak menjawab hanya memberi kode ke kursi dibelakangnya dan memutar stir kemudi. Matanya membulat lebar ketika dia melihat beberapa kantong paper bag sudah tersusun rapi.“Apa itu?”“Katanya kau ingin membungkus makanan tadi, ehm,”“Se-sebanyak itu? Tapi, tadi kan yang dikamar?”“Ssst,” istrinya merasa sang suami tidak akan menuruti keinginan selewatnya. Dia bahkan terlihat cuek saat dirinya meminta tadi.“Lalu? Apa kau nanti tidak akan menjemputku?”“Akan akan usahakan! Tapi, jika memang tak sempat aku akan menyuruh salah seorang supir untuk menjemputmu?”“Ah, tidak usah saja. Kalau kau memang ada hal yang lebih mendesak, tidak usah. Lagian aku juga bisa naik ojek online pulangnya,” baru saja dia
Jiwanya seakan terbang. Seperti kapas. Dia terlihat tak bertenaga.Dia masih belum menjawab pertanyaan suaminya yang duduk disamping ranjang dan terlihat begitu khawatir.“Bagaimana dengan kondisi kandungannya, Dok?” Will sangat cemas dengan kondisi sang istri dan anak dalam kandungan istrinya.“Untungnya tidak ada yang terjadi hal yang serius. Kondisinya sangat baik dan sang janin sepertinya lebih kuat dari sang ibu,” dokter melihat kondisi Doninique. Yang sudah terlihat frustasi.BrakkSophie menerobos masuk. Dia sudah melihat dua suami temannya dan sang suami tengah bergelut dengan benda pipih ditelinganya.“Dom-Domi,” dia memeluk temannya dengan erat dan menangis sesegukan kembali.Tak berapa lama kedua orangtua Haiden, Diana dan Carlos pun berada ditengah mereka. Mereka menayaksikan keterpurukan seorang Dominique. Menangis tanpa henti, seolah menyalahkan dirinya sendiri.“Ada apa ini Haiden? Apa kau bisa menjelaskan kepadaku?” suara sakras sang ayah menggema diruangan itu. Bahk
Haiden memapah tubuh sang istri perlahan turun dari ranjang. Bahkan dia masih dapat merasakan tubuh sang istri bergetar. Ketakutan.Will membukakan pintu memberikan mereka jalan. Dia pun sangat ingin mendampingi sang istri. Saat dia melewati masa sulit.Namun, untuk saat ini dia mencoba mengerti dan tak ikut andil dalam bagian pengal kisah sang istri. Dia tahu, saat ini sang istri sedang tak membutuhkannya. Walau ingin. Tetapi, bukan dia.Dominique hanya bisa menatap seorang anak yang sedang terbaring lemah tak berdaya. Dari balik kaca dia terus memandangi anak itu. Anak dengan tubuh berselang infus pada hidung dan tubuhnya.Anak itu benar-benar telihat lemah dan tak berdaya. “Pemakaman telah dilakukan, Tuan. Tuan besar dan nyonya saja yang menghadiri,” lapor John pada Haiden. Membuat kembali air mata istrinya mengalir.‘Ya Tuhan, aku bahkan tidak mengucapkan salam perpisahan dan terima kasih padanya. Aku benar-benar wanita jahat.’Will merengkuh tubuh sang istri yang setengah limbun
“Apa mereka menindasmu? Katakan saja dengan grandma, walau keluarga kita tidak seperti dahulu. Nama Fernando siapa yang tak mengenalnya,” Rose yang meyakini sang cucu ditindas oleh sang mertua. Menyombongkan nama besar suaminya yang sudah tiada.“Pah, Mah ... ini Nenek-ku, Rose,” ucap sang menantu memperkanalkan sang nenek.“Nenekmu? Kau tidak sedang membohongi kami kan? Bukankah kau hanya seorang perempuan yang bekerja di toko kue?” sang ayah mertua terlihat tak mempercayai ucapan sang menantu. Terlihat meremehkan. Dia hanya menyelidiki tenteng menantunya sampai sejauh itu.“Dia, putri William Estimo, cucu tunggalku,” sang nenek yang menjawab pertanyaan dari sang mertua.Matanya membulat tak percaya. Bagi sang ayah mertua siapa yang tidak tahu nama besar keluarga Fernando. Disegani berbagai kalangan pebisnis dan bangsawan.“Maafkan saya, Nyonya Fernando, saya sangat terlambat mengetahui,” sang mertua menatap sang menantu penuh penyesalan.“Jadi, kalau aku tidak datang kau akan mengu
"Arrgghh, si-siapa?" melepaskan perlahan orang yang memeluknya. "Richard? Kau?"Dominique segera menariknya ke lorong. Diikuti Diana dan Sophie yang penasaran dengan orang tersebut. 'Siapa lagi nih? Temanku ini banyak sekali pria dihidupnya.'"Sedang apa kau disini? Bukankah kau sedang sibuk mempersiapkan konsermu?" dia bertanya. Namun, Richard seolah tak mendengarkan. Dia memeriksa kondisi tubuhnya."Chard? Kau mendengarku?" dia menghentikan aktivitas tangannya yang sedang melakukan pemeriksaan. Dia memutar tubuhnya kedepan kebelakang. "Apa yang terluka? Dimana?" wajahnya terlihat pucat dan frustasi. Dia baru saja sampai dan meninggalkan segala kegiatannya ketika sang grandma memberikannya kabar. Kabar bahwa tunangan yang tidak jadi menikah dengannya mengalami kecelakaan. Dia meninggalkan semua demi seorang Dominique."Aku tidak apa-apa, Chard. I'm ok. You see," dia setengah berteriak karena sang mantan tunangan masih belum menggubrisnya.Setelah mendengar langsung ucapan darinya
“Kau jangan gila, Dominique! Apa kami berdua masih belum cukup untukmu?” dengus Will. Kesal sang istri kesayangan melirik laki-laki lain.“Habis kalian juga sih. Aku kelaparan masih dilarang makan. Mungkin ucapan grandma barusan aku akan memikirkan—““Tidak. Aku makan, makan. Mana yang harus aku makan?” Haiden meraih ayam siap saji yang akan masuk kemulutnya.‘Yes berhasil.’Dia tersenyum ketika berhasil mengelabui kedua suaminya.“Aku akan membersihkan diri, apa kalian mau membantu?” dia melirik para suami setelah mereka selesai makan.“Biarkan aku yang membantu, oke?”Will maju lebih dulu. Dia merasa sang istri masih memiliki satu hutang dengannya.“Stop.”Dia baru akan melihat satu suaminya akan membuka suara.“Mulai hari ini aku tidak mau kalian bertengkar. Kalau kalian masih bertengkar aku akan ikut grandma dan mengikuti semua yang grandma inginkan,” ancamnya.‘Sudah berani dia mengancamku.’ Haiden mendengus kesal.‘Rupanya ada kemajuan istriku ini. Dia mulai menggunakan kekuasaan
"Tapi, Grandma, aku sungguh kangen dengannya," Richard mencubit kedua pipinya karena gemas. Membuat dua orang dihadapannya seakan memuntahkan lahar. "Kau!" delik mereka."Wo--wo, tenanglah. Aku cuma bercanda dan--"CuuupppDengan sengaja kembali Richard membakar kedua orang dihadapannya. "Chard!""Ok, oke. Sudah malam, aku kembali ke hotel," dia masih mengelus kedua pipi sang mantan tunangan."Hei, kalian, aku peringatkan. Sekali lagi kalian membuat tunangan-ku--,""Chard, apa sih?""Ssstt, kau diam saja. Jika aku sampai mendengar lagi, dia menangis. Aku akan langsung membawanya pergi tanpa persetujuan dari kalian," tatapan kini terlihat serius. Tidak seperti barusan yang terlihat setengah bercanda. "Ayo, Grandma, kita pergi!" menggandeng lengan sang nenek meninggalkan wajah kemurkaan pada kedua suami Dominique. "Cih, bisa-bisa kau di jodohkan dengan orang seperti itu," cibir Will. "Sudahlah, Will, aku sangat lelah dan mengantuk sekarang. Kita kan harus kembali lagi besok pagi un
Dia merengut kesal. Bahkan ketika para suami mencoba menyentuh lengannya, dia menghempaskan. "Sayang, aku mohon malam ini jangan ke kamarnya, ya!" Haiden bersuara memohon pada istrinya. Boro-boro dia menjawab. Hanya desisan saja yang terdengar. "Sayang, kami akan bergantian dan pelan-pelan asalkan kau izinkan," Will maju membuka suara. Bernegosiasi. Ceklek"Mommy, Mommy, kenapa lama sekali?" anak itu keluar di ikuti sang pengasuhnya. Menghentikan aksi mereka. "Maaf, Nyonya. Tapi, Tuan Muda mencari anda dan tidak mau tidur jika tidak mendengarkan Nyonya bercerita," desak sang pengasuh. Dia kewalahan karena sang anak mengamuk. Melemparkan semua barang-barang di kamar. "Tuh, kalian lihat sendiri. Anakku ini tidak bisa tidur kalau belum mendengarkanku bercerita,"Mengusap kepala sang anak dan memberikannya pelukan. 'Hahahaha, bagus sekali anakku. Kau memang bisa kuandalkan.'Grep"Aku akan langsung membawamu ketika dia sudah tidur. Jadi, jangan paksa lagi kami untuk bernegosiasi,"
Will menyadari kedatangan istri dan rivalnya. Dia hanya duduk menunggu di samping ruang operasi. Dominique menghampirinya. "Kau berbohong lagi!" cetusnya. Dia masih mode on merajuk. Will menarik tangan istrinya agar duduk disebelah dirinya. Tangan satunya melingkar di pinggang istrinya dan merengkuhnya ke dalam pelukan.Haiden duduk di sebelah istrinya. Hanya bisa menatap setiap perlakuan manis yang diberikan rivalnya. Dia kini sudah tidak pernah cemburu seperti dulu. Mereka berdua, sesama rival sudah sangat mengetahui kondisi masing-masing. Sesekali bertengkar. Namun, bukan pertengkaran yang besar selain berebut lebih dulu siapa yang mendapatkan jatah dari istrinya, selain itu. Mereka tidak pernah bertengkar. Sudah saling mengisi dan memahami. "Maafkan aku, sayang. Kau boleh menghukumku nanti. Aku akan menerima semua hukumannya!" dia mengecup kening istrinya. Mencoba menenangkan kemarahannya. "Iya, aku pastikan akan menghukummu secara berat. Kali ini aku tidak akan melepaskan beg
“Jangan sentuh? Kau yakin dengan ucapanmu itu?” goda Willy.“Iya, memangnya aku takut. Aku kan memiliki satu suami lagi, kau pikir, hah!” Dominique tak mau kalah melawan godaan suaminya.“Tidak ada apa-apa sayang, aku memang menginginkannya. Sudah lama sejak kau melahirkan dan mengurus anak-anak kita. Aku kangen!” Willy tetap menutupi hatinya. Mengusap kembali rambut istrinya sambil memandangi wajahnya dengan lembut."Sudah kalau tidak mau bicara, aku akan keluar!" ucap Dominique. Baru saja dia menarik selimutnya akan turun dari ranjang. Entah mereka memang tak mendengarnya atau terlalu fokus saat berbicara. Haiden sudah berdiri dihadapannya sambil melihat kedua tangannya. "Oh, jadi begini cara kalian? Melakukan hal yang enak tanpa mengajakku!" dengusnya kesal. Dominique menarik wajahnya sambil menghela nafas panjang. "Aku sudah selesai, jika kau memang menginginkan bilang saja sendiri!" Willy berjalan turun melenggang tanpa sehelai benang pun masuk ke kamar mandi. "Ah, tidak. Sud
Martha masih belum sanggup menatap wajah Will, dia hanya terus tertunduk ketika suaminya berkata seolah ada satu pedang yang langung menancap di dadanya. Will dengan perasaan yang tak bisa dia gambarkan hanya bisa menghela nafasnya. Bingung.“Kau tidak sedang bergurau denganku kan, Pah?” Will masih setengah tak percaya. Tubuhnya bahkan terasa bergetar, masih belum mempercayai semua ucapan ayahnya“Kau bisa bertanya langsung dengannya, apa aku sekarang sedang berbohong padamu atau tidak?” tanpa banyak berkata apapun Baron membalikkan tubuhnya. Jantung Martha benar-benar akan copot di tatap putranya. Meminta penjelasan tentang kehadirannya.“Huh, baiklah, ayo kita masuk, Nyonya. Sepertinya akan banyak hal yang akan kita bicarakan!” kali ini Martha terkejut saat mendengar ucapannya. Datar dan dingin. Berbeda saat pertama kali mereka tak sengaja bertemu.Langkah kakinya mengekori Will masuk ke ruang bacanya. Dia sudah duduk di sofa sambil terus memperhatikan wanita yang bernama Martha
“Bersiaplah hari ini kita akan menemuinya!” Baron berkata dengan sangat tegas. Menatap wanita yang duduk dihadapannya. Dia sedang menikmati sarapan paginya.Wanita yang beberapa hari ini telah resmi menjadi istrinya kembali. Dia yang dipaksa olehnya. Martha mau tidak mau menuruti semua kemauan Baron, daripada ada nyawa yang tidak bersalah berkorban untuk dirinya.Martha masih menatap wajah Baron. Bingung dengan ucapannya. Bertanya dalam hati apa yang akan ditemuinya nanti. “Aku hanya memintamu, menemaniku dan menemuinya. Apakah ada masalah? Mengapa kau menatapku seperti itu?” kembali Baron berbicara dengan suara sakrasnya. Membuat Martha tetap diam. Dia tak perduli dengan ucapannya. Dia tahu saat dia mencoba menjawab setiap perkataannya akan timbul hal yang tidak diinginkan.“Baiklah, aku akan bersiap-siap!” ucapnya setengah terpaksa.“Apa kau sebegitu tak sukanya pergi bersamaku?” Baron menaikkan rahangnya dengan kasar menatap Martha yang baru beberapa hari ini resmi menjadi istr
"Jangan mendekat!" Sophie terus bergeser dari ranjangnya, saat Ramon mencoba mendekatinya. Sedangkan, John sibuk dengan dunianya sendiri. Dia seperti mendapatkan mainan baru. Saat pulang kerja dan setelah makan juga mandi hal yang dilakukan pertama kali adalah mengendong anaknya. Dia menjadi bapak siaga saat berada di rumah. "Inikan sudah empat puluh hari lebih, sayang. Masa aku nggak boleh dekat-dekat kamu sih!" Ramon merajuk. Namun, tak menghentikan aktifitasnya saat berusaha menggulingkan pertahanan istrinya. "Cih, kau bersungguh-sungguh? Sebaiknya, kau mencontohnya. Lihat tuh dia sangat akrab dengan, Josh!" cibirnya. Terus menghempaskan tangan Ramon yang berusaha menjamahnya."Cih, kau bersungguh-sungguh? Sebaiknya, kau mencontohnya! Lihat tuh dia sangat akrab dengan, Josh!" cibirnya. Terus menghempaskan tangan Ramon yang berusaha menjamahnya.John hanya meliriknya tanpa mengindahkan semua ucapan yang kelur dari mulut Ramon. Dia bahkan tak perduli dengan cibiran atau umpatan yan
"Sungguh, aku tidak apa-apa. Jangan bawa aku kesana!" Martha memohon dengan penuh penekanan. Dia tak ingin seorang pun tahu tentang penyakit yang sedang dideritanya. Baron tak mengindahkan setiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Dia tahu wanita itu sedang membohonginya. Dia melemparkan tubuh yang tidak muda lagi itu dengan kasar ke kursi penumpang. Setelah penyeretan yang dramatis. Tanpa memperdulikan orang-orang yang menatap mereka. Seperti seorang istri yang sedang kepergok suaminya berselingkuh. "Jangan membantah lagi, jika kau terus terusan menolakku, jangan salahkan jika senjata ini akan langsung bersarang ke perutmu!" ancamnya. Kini Baron sedang tidak bermain-main. Dia menodongkan senjata tepat disamping perutnya. Martha sudah kehilangan akal menghadapi lelaki yang sudah berumur itu. Yang memiliki sikap dan temperamen seperti anak remaja. Merajuk kalau keinginannya tak dituruti. Dia tak bersuara. Pasrah. Hingga Baron memasukkan senjatanya kembali ke jasnya. Dia bertanya
Baron masih saja mondar mandir di kamarnya. Menunggu wanita itu benar-benar bisa menenangkan hati, agar mereka bisa kembali pembicaraannya. Sebenarnya bukan berbicara, tapi Baron masih ingin meneruskan rasa penasarannya. Martha menghela nafasnya. Isak tangis terakhirnya sebelum dia benar-benar berhenti.“Apa kita sudah bisa berbicara sekarang?” dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Daripada dia menemani wanita yang sedang menangis. Dia lebih baik memukuli seluruh pengawalnya hingga babak belur.‘Huh, apa kata dunia, jika ada orang yang tahu aku mendengarkan seorang wanita menangis!’Baron meraup wajahnya dengan kasar. Sungguh dia pun tak menyangka bisa menemani wanita itu merajuk. Menangis terseduk selama satu jam.Martha menganggukkan kepalanya. Memberikan tanda, dia siap menerima introgasi dari laki-laki dihadapannya itu.“Jadi, penjelasan apa yang ingin kau berikan padaku?” Baron masih menatapnya tajam.‘Huh, dari dulu dia memang tak pernah mau mengalah. Padahal dia yang salah.
‘Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia bisa menjadi seperti ini? Apa sungguh aku telah salah mengira dirinya?’Pikiran Baron bergemuruh. Hatinya tiba-tiba saja menjadi tak menentu. Dia bahkan tak tega melihat wanita itu berbaring lemah tak berdaya. Bagaimanapun, dia pernah menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam hidupnya.Dia berjalan perlahan menghampiri ranjangnya. Duduk tanpa bersuara, menatap wanita itu yang terlihat tidur dengan nyaman oleh obat yang habis dia minum. Rasa lelah yang dia rasakan seakan menghilang. Padahal tadi dia berencana akan pulang ke hotelnya untuk beristirahat.‘Ah, hotel!’ Baron keluar dari kamar wanita itu. Mencari keberadaan Markus yang tengah memberikan perintah kepada anak buahnya untuk membersihkan kekacauan yang baru saja mereka buat.“Carikan selimut yang tebal untukku dan segera bawakan untukku!” setengah tak percaya Markus mendengar permintaan Tuannya. Dia sedikit menaikan kedua alisnya saat mendengar tuannya berkata seperti itu.“Cepat!
Baron memicingkan matanya di kursi penumpang. Matanya ke luar jendela mobilnya. Menatap mantap orang yang dia kenali. 'Aku yakin dia.' Baron tak melepaskan tatapannya sedikitpun. Dia melihat orang itu tengah memegangi dadanya saat berjalan. Sesekali kakinya berhenti dan tangannya menempel pada tembok jalanan. Beberapa detik kemudian dia melihat orang itu ditabrak seseorang hingga membuatnya tersungkur di jalanan. 'Cih, apa dia benar-benar orang itu? Aku rasa mataku salah lihat lagi.' hatinya berkata demikian. Namun, dia menyuruh Markus menghentikan mobilnya. Rasa penasaran dan dia sangat ingin membuktikan sesuatu membuat tekadnya bulat.Menghampiri orang itu yang tengah berusaha bangkit dari orang yang sudah menabraknya tadi. "Ck, ck, ck, apa sungguh kau masih seorang Nona dari keluarga Belvina?" Orang tadi melirik kearah suara. Melihat Baron sudah tepat dihadapannya menaikan rahangnya dengan kasar.Orang tadi berusaha menutupi getaran dalam tubuhnya. Menatap datar wajah orang yan