Haiden memapah tubuh sang istri perlahan turun dari ranjang. Bahkan dia masih dapat merasakan tubuh sang istri bergetar. Ketakutan.Will membukakan pintu memberikan mereka jalan. Dia pun sangat ingin mendampingi sang istri. Saat dia melewati masa sulit.Namun, untuk saat ini dia mencoba mengerti dan tak ikut andil dalam bagian pengal kisah sang istri. Dia tahu, saat ini sang istri sedang tak membutuhkannya. Walau ingin. Tetapi, bukan dia.Dominique hanya bisa menatap seorang anak yang sedang terbaring lemah tak berdaya. Dari balik kaca dia terus memandangi anak itu. Anak dengan tubuh berselang infus pada hidung dan tubuhnya.Anak itu benar-benar telihat lemah dan tak berdaya. “Pemakaman telah dilakukan, Tuan. Tuan besar dan nyonya saja yang menghadiri,” lapor John pada Haiden. Membuat kembali air mata istrinya mengalir.‘Ya Tuhan, aku bahkan tidak mengucapkan salam perpisahan dan terima kasih padanya. Aku benar-benar wanita jahat.’Will merengkuh tubuh sang istri yang setengah limbun
“Apa mereka menindasmu? Katakan saja dengan grandma, walau keluarga kita tidak seperti dahulu. Nama Fernando siapa yang tak mengenalnya,” Rose yang meyakini sang cucu ditindas oleh sang mertua. Menyombongkan nama besar suaminya yang sudah tiada.“Pah, Mah ... ini Nenek-ku, Rose,” ucap sang menantu memperkanalkan sang nenek.“Nenekmu? Kau tidak sedang membohongi kami kan? Bukankah kau hanya seorang perempuan yang bekerja di toko kue?” sang ayah mertua terlihat tak mempercayai ucapan sang menantu. Terlihat meremehkan. Dia hanya menyelidiki tenteng menantunya sampai sejauh itu.“Dia, putri William Estimo, cucu tunggalku,” sang nenek yang menjawab pertanyaan dari sang mertua.Matanya membulat tak percaya. Bagi sang ayah mertua siapa yang tidak tahu nama besar keluarga Fernando. Disegani berbagai kalangan pebisnis dan bangsawan.“Maafkan saya, Nyonya Fernando, saya sangat terlambat mengetahui,” sang mertua menatap sang menantu penuh penyesalan.“Jadi, kalau aku tidak datang kau akan mengu
"Arrgghh, si-siapa?" melepaskan perlahan orang yang memeluknya. "Richard? Kau?"Dominique segera menariknya ke lorong. Diikuti Diana dan Sophie yang penasaran dengan orang tersebut. 'Siapa lagi nih? Temanku ini banyak sekali pria dihidupnya.'"Sedang apa kau disini? Bukankah kau sedang sibuk mempersiapkan konsermu?" dia bertanya. Namun, Richard seolah tak mendengarkan. Dia memeriksa kondisi tubuhnya."Chard? Kau mendengarku?" dia menghentikan aktivitas tangannya yang sedang melakukan pemeriksaan. Dia memutar tubuhnya kedepan kebelakang. "Apa yang terluka? Dimana?" wajahnya terlihat pucat dan frustasi. Dia baru saja sampai dan meninggalkan segala kegiatannya ketika sang grandma memberikannya kabar. Kabar bahwa tunangan yang tidak jadi menikah dengannya mengalami kecelakaan. Dia meninggalkan semua demi seorang Dominique."Aku tidak apa-apa, Chard. I'm ok. You see," dia setengah berteriak karena sang mantan tunangan masih belum menggubrisnya.Setelah mendengar langsung ucapan darinya
“Kau jangan gila, Dominique! Apa kami berdua masih belum cukup untukmu?” dengus Will. Kesal sang istri kesayangan melirik laki-laki lain.“Habis kalian juga sih. Aku kelaparan masih dilarang makan. Mungkin ucapan grandma barusan aku akan memikirkan—““Tidak. Aku makan, makan. Mana yang harus aku makan?” Haiden meraih ayam siap saji yang akan masuk kemulutnya.‘Yes berhasil.’Dia tersenyum ketika berhasil mengelabui kedua suaminya.“Aku akan membersihkan diri, apa kalian mau membantu?” dia melirik para suami setelah mereka selesai makan.“Biarkan aku yang membantu, oke?”Will maju lebih dulu. Dia merasa sang istri masih memiliki satu hutang dengannya.“Stop.”Dia baru akan melihat satu suaminya akan membuka suara.“Mulai hari ini aku tidak mau kalian bertengkar. Kalau kalian masih bertengkar aku akan ikut grandma dan mengikuti semua yang grandma inginkan,” ancamnya.‘Sudah berani dia mengancamku.’ Haiden mendengus kesal.‘Rupanya ada kemajuan istriku ini. Dia mulai menggunakan kekuasaan
"Tapi, Grandma, aku sungguh kangen dengannya," Richard mencubit kedua pipinya karena gemas. Membuat dua orang dihadapannya seakan memuntahkan lahar. "Kau!" delik mereka."Wo--wo, tenanglah. Aku cuma bercanda dan--"CuuupppDengan sengaja kembali Richard membakar kedua orang dihadapannya. "Chard!""Ok, oke. Sudah malam, aku kembali ke hotel," dia masih mengelus kedua pipi sang mantan tunangan."Hei, kalian, aku peringatkan. Sekali lagi kalian membuat tunangan-ku--,""Chard, apa sih?""Ssstt, kau diam saja. Jika aku sampai mendengar lagi, dia menangis. Aku akan langsung membawanya pergi tanpa persetujuan dari kalian," tatapan kini terlihat serius. Tidak seperti barusan yang terlihat setengah bercanda. "Ayo, Grandma, kita pergi!" menggandeng lengan sang nenek meninggalkan wajah kemurkaan pada kedua suami Dominique. "Cih, bisa-bisa kau di jodohkan dengan orang seperti itu," cibir Will. "Sudahlah, Will, aku sangat lelah dan mengantuk sekarang. Kita kan harus kembali lagi besok pagi un
Dia merengut kesal. Bahkan ketika para suami mencoba menyentuh lengannya, dia menghempaskan. "Sayang, aku mohon malam ini jangan ke kamarnya, ya!" Haiden bersuara memohon pada istrinya. Boro-boro dia menjawab. Hanya desisan saja yang terdengar. "Sayang, kami akan bergantian dan pelan-pelan asalkan kau izinkan," Will maju membuka suara. Bernegosiasi. Ceklek"Mommy, Mommy, kenapa lama sekali?" anak itu keluar di ikuti sang pengasuhnya. Menghentikan aksi mereka. "Maaf, Nyonya. Tapi, Tuan Muda mencari anda dan tidak mau tidur jika tidak mendengarkan Nyonya bercerita," desak sang pengasuh. Dia kewalahan karena sang anak mengamuk. Melemparkan semua barang-barang di kamar. "Tuh, kalian lihat sendiri. Anakku ini tidak bisa tidur kalau belum mendengarkanku bercerita,"Mengusap kepala sang anak dan memberikannya pelukan. 'Hahahaha, bagus sekali anakku. Kau memang bisa kuandalkan.'Grep"Aku akan langsung membawamu ketika dia sudah tidur. Jadi, jangan paksa lagi kami untuk bernegosiasi,"
"Mom, kapan aku bisa bersekolah?” Terry berkata saat mereka memulai sarapannya. Meraka saling berpandangan ketika dia mengutarakan keinginannya.“Bersekolah? Apa kau disana sudah mulai bersekolah?” Haiden bertanya sambil menatapnya.“Uhm, mom pernah mendaftarkan. Namun, Aku hanya beberapa bulan saja bersekolah karena Aku harus bolak balik kontrol rumah sakit.”“Kau ingin bersekolah disini, sayang?” Dominique bertanya.“Yeah, Mom. Sepertinya Aku akan betah tinggal disini. Lagipula, aku pun sudah tak sabar menantikan kehadiran adikku,” ucapnya tersenyum sambil mengunyah makanan yang sedang dia makan.“Baik, Mom akan antar kamu untuk daftar sekolah lagi dan sepulangnya nanti kita bisa membeli semua perlengkapan yang kau butuhkan,” Dominique tak kalah semangat. Dia bisa berjalan-jalan keluar sambil menemani Terry.“Aku izinkan asal kau pergi dengan beberapa pengawal. Aku tidak ingin ada hal buruk yang menimpamu lagi,” Will ikut bersuara ketika istrinya mengeluarkan ide keluar rumah.“Wil
"Mereka? Apa sudah gila?" Kedua istri menggeleng tak percaya melihat tingkah suaminya. "Sayang, kau benar-benar hamil!" seru Ramon berjalan lebih dahulu. Menarik istrinya kepelukan. "Gantian, gantian, aku juga mau memberikan selamat padanya," John sewot. Kalah cepat oleh rivalnya. "Aw,""Ma-maaf, sayang. Aku terlalu gembira!" Ramon melepaskan pelukannya saat mendengar istrinya meringis. Dia memeluknya terlalu erat. "Kau, pelan-pelan sedikit. Dia itu sudah tidak boleh sembarangan bergerak. Ingat sudah ada seseorang dalam perutnya," John mengelus pelan perut istrinya yang belum buncit sama sekali. "Iya, aku juga tahu. Apa ada yang sedang kau inginkan, sayang?"Ramon memegang erat tangan istrinya. Menatapnya penuh binar. "Aku mau pulang ke kontrakanku dan tak di ganggu oleh kalian, apa boleh?"Berkata tanpa dosa. Membuka keduanya memelototi wajahnya. "Ish, tadi katanya suruh bilang apa yang sedang aku inginkan," mengerucutkan bibir dengan kesal. Menghempaskan tangan Ramon yang se