Will hanya mampu mengusap punggung istrinya. Berusaha menenangkan hatinya yang sedang bergejolak. Dia pun belum berani mengeluarkan banyak kata.“Sayang, aku mohon maafkan aku. Aku hanya ingin kau tak terluka dengan kehadirannya,” Haiden masih mencoba membujuk istrinya yang terus memalingkan wajah darinya.“Mengertilah aku resah. Atau mungkin sebenarnya aku sekarang sedang cemburu. Ya ... aku cemburu padamu, karena sampai saat ini kau masih saja membelanya. Bukan aku!”Deraian air matanya makin deras. Haiden merasa serba salah. Dia melirik rivalnya, meminta bantuan untuk menenangkan hati istrinya.Dia tahu bujuk rayunya saat ini tidak akan mampu menggoyahkan hatinya yang sedang terluka.“Sayang, sudahlah. Jangan terus kau bahas kalau hanya akan membuatmu bertambah sakit. Bagaimana kalau kita-“ bisiknya. Membuat Haiden menautkan kedua alisnya.“Sungguh? Kau akan menemaniku?” ucapnya. Wajahnya berubah sumringah setelah mendengar bisikan dari Willy.‘Cih, apa yang dia janjikan?’ dengus
"Jadi apa kau menginginkan sesuatu untuk makan malam nanti?" ucapnya. Matanya sedang fokus mencari ikan asin. "Aku ingin memakan dirimu sampai puas malam ini. Dan jangan ada gangguan dari pihak ketiga," lagi Will berbisik lirih di telinga istrinya. "Will," Dominique setengah berteriak. "Iya sayang,""Kau!""Uhm, memangnya kau tidak merindukan saat-saat kita hanya bedua?""Ssst, ayo Di, kita bayar ke kasir."Diana mendorong troli belanjanya yang sudah penuh. "Jangan biarkan dia menyentuh dapur sedikit pun. Biarkan koki yang mengerjakan semua!" perintah sang suami. "Will,""No. Walaupun aku suka melihat kau membuat masakan. Tapi, tidak untuk sekarang," dengus sang suami.“Ck, ck dasar suami posesif” sahutnya tak mau kalah dengan sang suami.“Bagaimana?” Haiden menatap kedua orang di hadapannya yang akan memberikan hasil kerjanya.“Maaf Tuan, saya tidak tega mengusirnya,” ucap John menatap sang tuan. Matanya mulai membelelak karena marah.“Apa kau bilang? Apa telinga kalian sudah ru
“Ada apa? Apa kau cemburu dia menghabiskan waktu bersamaku?” Will sudah berada di beranda kamar mereka.Haiden masih tak bergeming dengan umpatan rivalnya itu.“Ayolah, katakan padaku. Setidaknya selama satu tahun ini aku akan menjadi partnermu. Jadi, tidak ada salahnya kau mulai membuka hati dan berteman denganku. Apalagi dengan status sama yang kita miliki. Baik kau atau pun diriku, pasti akan menjaga dengan sangat baik kan?” tatap Will. Meskipun dia tahu apa yang sedang rivalnya itu. Namun, dia tak ingin terlalu banyak ikut campur.“Cih, membantu atau kau sedang mengambil keuntungan sendiri? Kau hanya sedang memanfaatkan keadaan saja,” cibirnya.“Hahaha, bisnis adalah bisnis bro. Tapi, istriku bukanlah salah satu bisnis yang harus aku bicarakan denganmu. Dia adalah hati dan jiwaku. Aku tidak akan bisa hidup tanpanya. Bahkan nyawaku ini rela aku serahkan hanya untuknya seorang!”Perkataan yang sangat menyayat hati Haiden. Bahkan sampai saat ini dia masih kalah jauh dari rivalnya itu
Mereka berbalik dan menatap arah suara. Di lihatnya sepasang laki-laki dan perempuan sedang menatap mereka dengan terkejut. Apalagi bawaan yang dibawa oleh sang wanita berceceran di lantai. "Papa, Mama? Sedang apa kalian disini?" ucap Haiden membuat mereka yang sedang bersitegang berhenti. Mata mereka langsung tertuju pada Dominique. Menatapnya dengan perasaan yang tak bisa di jelaskan. Tubuhnya sedikit bergetar dan tegang ketika mendapatkan tatapan tersebut. Will segera merengkuhnya kedalam pelukan. Dia tahu ini pertama kali istrinya bertemu dengan orang tua Haiden. Haiden menahan rasa tak enak di hidungnya. Dia menarik nafas panjang dan segera membawa orangtuanya ke ruang keluarga. Dominique dan Will mengikutinya. "Kenapa tidak memberitahuku kalian mau datang? John bisa menjemputnya kalau kalian bilang padaku."Mereka masih tak bergeming. Masih menatap kearah Dominique yang terus tertunduk. Will mengalungkan tangannya di pinggiran istrinya dan menarik tubuhnya agar dekat denga
"Selamat malam Tuan Besar Simon dan Nyonya Marina," sapa John memberi hormat saat melihat majikan besarnya tengah duduk di meja makan. "Selamat malam juga John? Dari mana saja kau?" Marina langsung menyambut hangat sapanya. "Saya menjemput istri dulu, Nyonya," liriknya pada Sophie. "Istri? Wow kapan kau menikah? Kau bahkan tak mengundang kami pada acara pernikahan-mu?" Marina menatap Sophie yang terlihat canggung akan kehadiran mereka.“Beliau Tuan dan Nyonya Besar Aramgyan, sapalah,” ucap John pada istrinya.“Se-selamat malam, sa-ya, Sophie, Tuan, Nyonya,” kikuk Sophie dibuatnya. Dia membungkuk dan memberi hormat menyapa mereka.“Tidak usah sungkan. Kemarilah, duduk bersama kami,” ucapnya hangat menyambut Sophie.Dia berjalan mendekati meja makan. Diliriknya sang teman tak jauh beda dengannya. Syok dengan kedatangan mendadak mereka.Yang duduk hanya para wanita. Tentu saja. Para pria hanya menatap mereka, apalagi Haiden dan sang ayah mertua yang terus mengusap hidung saat mencium
"Kami pamit dulu ya, sayang. Lain kali kami akan mampir lagi kesini," Marina memeluk tubuh sang menantu saat dia akan berpamitan."Sudah sangat malam Ma, kenapa kalian tidak menginap saja?" Dominique yang enggan berpisah dengan sang ibu mertua."Hohoho, jangan sekarang ya. Ada yang akan marah denganku kalau malam ini aku menginap disini," sang ibu mertua menaikan satu alisnya kepada sang ayah mertua. Sang menantu hanya bisa melihat tingkah sang mertua yang tetap terlihat mesra walaupun di usia mereka yang tak muda lagi."Ehem, sudah jangan lama-lama. Aku sudah sangat lelah dan mengantuk," sang ayah mertua berdeham. Menarik tubuh sang ibu mertua dari pelukan sang menantu."Kau cemburu? Dia ini anak menantu kita sendiri loh."“Aku tidak cemburu, aku bilang sangat lelah. Kau mengerti!” sang ayah mertua memalingkan wajah yang memerah.Purf Haiden terkekeh sinis melihat tingkah sang ayah. Mereka terlihat mesra seperti anak muda. Dominique dan kedua suami mengantar kepergian orangtuanya sa
Sophie bergegas. Dia berdandan seadanya. Dia tak ingin kedua suaminya mengerjai dan membuatnya datang terlambat bekerja.“Kau sudah mulai bekerja hari ini, Sop?”Dia berpapasan dengan Dominique saat dia sibuk memesan ojek online.“Uhm. Apa kau mau sesuatu? Akan membawakannya untukmu?”“Apa ya? Oh ya, belikan aku blueberry chese saja. Aku kangen banget makan itu,”“Oke. Kau mau berapa banyak pun aku belikan,” Sophie tersenyum melihat teman seperjuangannya yang sedang mengelus perut.“Auntie berangkat kerja dulu ya sayang, hati-hati di rumah dan jaga mama ya,” Sophie yang reflek ikutan mengelus perut temannya itu. Seraya dia berbicara dengan anak kecil.Kejadian itu dilihat oleh kedua suaminya. “Makanya jangan kasih kendor. Kau pun bisa segera memilikinya,” ucap sang suami angkuhnya.“Cih! Pintarnya. Mulutmu itu manis sekali seperti racun,” dengus Sophie menarik ujung satu ujung bibirnya. Kesal disindir olehnya.Ddrrtzz ddrrtzz“Baik pak, tunggu sebentar ya!” Sophie mengakhir pembicara
“Se-selamat siang, Pak John,” Bu Ririn setengah berlari dari cake shop setelah melihat John menerobos masuk. Dia menatap istrinya dengan tatapan tajam. Menghujam langusng kedasar jantungnya. Membuat kakinya bergetar lemas.Dia hampir saja limbung jika tangannya tak memegang orang disebelahnya. Namun, kemurkaan terpancar oleh macan yang sedang kelaparan itu. Dia melotot dengan sangat menakutkan.John yang selalu terlihat ramah pada saat kedatangan ke toko, sekarang berubah menjadi seperti gemuruh awan yang menghitam di atas kepalanya.“Kau masih saja tidak kemari?” tunjuknya pada Sophie. Membuat gadis itu bergetar ketakutan.Dia melangkah perlahan menghampiri sang suami yang sudah terlihat murka.“Se-selamat siang, Pak John. Apa ada hal urgent sampai anda datang?”Bu Ririn maju kembali. Dia merasa lalai. Karena saat atasannya masuk dia sedang sibuk dengan display barang.“Kau kembalilah bekerja. Aku sedang ada urusan dengannya,” ucapnya. Bahkan tidak menoleh. Dia terus menatap wajah S
Will menyadari kedatangan istri dan rivalnya. Dia hanya duduk menunggu di samping ruang operasi. Dominique menghampirinya. "Kau berbohong lagi!" cetusnya. Dia masih mode on merajuk. Will menarik tangan istrinya agar duduk disebelah dirinya. Tangan satunya melingkar di pinggang istrinya dan merengkuhnya ke dalam pelukan.Haiden duduk di sebelah istrinya. Hanya bisa menatap setiap perlakuan manis yang diberikan rivalnya. Dia kini sudah tidak pernah cemburu seperti dulu. Mereka berdua, sesama rival sudah sangat mengetahui kondisi masing-masing. Sesekali bertengkar. Namun, bukan pertengkaran yang besar selain berebut lebih dulu siapa yang mendapatkan jatah dari istrinya, selain itu. Mereka tidak pernah bertengkar. Sudah saling mengisi dan memahami. "Maafkan aku, sayang. Kau boleh menghukumku nanti. Aku akan menerima semua hukumannya!" dia mengecup kening istrinya. Mencoba menenangkan kemarahannya. "Iya, aku pastikan akan menghukummu secara berat. Kali ini aku tidak akan melepaskan beg
“Jangan sentuh? Kau yakin dengan ucapanmu itu?” goda Willy.“Iya, memangnya aku takut. Aku kan memiliki satu suami lagi, kau pikir, hah!” Dominique tak mau kalah melawan godaan suaminya.“Tidak ada apa-apa sayang, aku memang menginginkannya. Sudah lama sejak kau melahirkan dan mengurus anak-anak kita. Aku kangen!” Willy tetap menutupi hatinya. Mengusap kembali rambut istrinya sambil memandangi wajahnya dengan lembut."Sudah kalau tidak mau bicara, aku akan keluar!" ucap Dominique. Baru saja dia menarik selimutnya akan turun dari ranjang. Entah mereka memang tak mendengarnya atau terlalu fokus saat berbicara. Haiden sudah berdiri dihadapannya sambil melihat kedua tangannya. "Oh, jadi begini cara kalian? Melakukan hal yang enak tanpa mengajakku!" dengusnya kesal. Dominique menarik wajahnya sambil menghela nafas panjang. "Aku sudah selesai, jika kau memang menginginkan bilang saja sendiri!" Willy berjalan turun melenggang tanpa sehelai benang pun masuk ke kamar mandi. "Ah, tidak. Sud
Martha masih belum sanggup menatap wajah Will, dia hanya terus tertunduk ketika suaminya berkata seolah ada satu pedang yang langung menancap di dadanya. Will dengan perasaan yang tak bisa dia gambarkan hanya bisa menghela nafasnya. Bingung.“Kau tidak sedang bergurau denganku kan, Pah?” Will masih setengah tak percaya. Tubuhnya bahkan terasa bergetar, masih belum mempercayai semua ucapan ayahnya“Kau bisa bertanya langsung dengannya, apa aku sekarang sedang berbohong padamu atau tidak?” tanpa banyak berkata apapun Baron membalikkan tubuhnya. Jantung Martha benar-benar akan copot di tatap putranya. Meminta penjelasan tentang kehadirannya.“Huh, baiklah, ayo kita masuk, Nyonya. Sepertinya akan banyak hal yang akan kita bicarakan!” kali ini Martha terkejut saat mendengar ucapannya. Datar dan dingin. Berbeda saat pertama kali mereka tak sengaja bertemu.Langkah kakinya mengekori Will masuk ke ruang bacanya. Dia sudah duduk di sofa sambil terus memperhatikan wanita yang bernama Martha
“Bersiaplah hari ini kita akan menemuinya!” Baron berkata dengan sangat tegas. Menatap wanita yang duduk dihadapannya. Dia sedang menikmati sarapan paginya.Wanita yang beberapa hari ini telah resmi menjadi istrinya kembali. Dia yang dipaksa olehnya. Martha mau tidak mau menuruti semua kemauan Baron, daripada ada nyawa yang tidak bersalah berkorban untuk dirinya.Martha masih menatap wajah Baron. Bingung dengan ucapannya. Bertanya dalam hati apa yang akan ditemuinya nanti. “Aku hanya memintamu, menemaniku dan menemuinya. Apakah ada masalah? Mengapa kau menatapku seperti itu?” kembali Baron berbicara dengan suara sakrasnya. Membuat Martha tetap diam. Dia tak perduli dengan ucapannya. Dia tahu saat dia mencoba menjawab setiap perkataannya akan timbul hal yang tidak diinginkan.“Baiklah, aku akan bersiap-siap!” ucapnya setengah terpaksa.“Apa kau sebegitu tak sukanya pergi bersamaku?” Baron menaikkan rahangnya dengan kasar menatap Martha yang baru beberapa hari ini resmi menjadi istr
"Jangan mendekat!" Sophie terus bergeser dari ranjangnya, saat Ramon mencoba mendekatinya. Sedangkan, John sibuk dengan dunianya sendiri. Dia seperti mendapatkan mainan baru. Saat pulang kerja dan setelah makan juga mandi hal yang dilakukan pertama kali adalah mengendong anaknya. Dia menjadi bapak siaga saat berada di rumah. "Inikan sudah empat puluh hari lebih, sayang. Masa aku nggak boleh dekat-dekat kamu sih!" Ramon merajuk. Namun, tak menghentikan aktifitasnya saat berusaha menggulingkan pertahanan istrinya. "Cih, kau bersungguh-sungguh? Sebaiknya, kau mencontohnya. Lihat tuh dia sangat akrab dengan, Josh!" cibirnya. Terus menghempaskan tangan Ramon yang berusaha menjamahnya."Cih, kau bersungguh-sungguh? Sebaiknya, kau mencontohnya! Lihat tuh dia sangat akrab dengan, Josh!" cibirnya. Terus menghempaskan tangan Ramon yang berusaha menjamahnya.John hanya meliriknya tanpa mengindahkan semua ucapan yang kelur dari mulut Ramon. Dia bahkan tak perduli dengan cibiran atau umpatan yan
"Sungguh, aku tidak apa-apa. Jangan bawa aku kesana!" Martha memohon dengan penuh penekanan. Dia tak ingin seorang pun tahu tentang penyakit yang sedang dideritanya. Baron tak mengindahkan setiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Dia tahu wanita itu sedang membohonginya. Dia melemparkan tubuh yang tidak muda lagi itu dengan kasar ke kursi penumpang. Setelah penyeretan yang dramatis. Tanpa memperdulikan orang-orang yang menatap mereka. Seperti seorang istri yang sedang kepergok suaminya berselingkuh. "Jangan membantah lagi, jika kau terus terusan menolakku, jangan salahkan jika senjata ini akan langsung bersarang ke perutmu!" ancamnya. Kini Baron sedang tidak bermain-main. Dia menodongkan senjata tepat disamping perutnya. Martha sudah kehilangan akal menghadapi lelaki yang sudah berumur itu. Yang memiliki sikap dan temperamen seperti anak remaja. Merajuk kalau keinginannya tak dituruti. Dia tak bersuara. Pasrah. Hingga Baron memasukkan senjatanya kembali ke jasnya. Dia bertanya
Baron masih saja mondar mandir di kamarnya. Menunggu wanita itu benar-benar bisa menenangkan hati, agar mereka bisa kembali pembicaraannya. Sebenarnya bukan berbicara, tapi Baron masih ingin meneruskan rasa penasarannya. Martha menghela nafasnya. Isak tangis terakhirnya sebelum dia benar-benar berhenti.“Apa kita sudah bisa berbicara sekarang?” dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Daripada dia menemani wanita yang sedang menangis. Dia lebih baik memukuli seluruh pengawalnya hingga babak belur.‘Huh, apa kata dunia, jika ada orang yang tahu aku mendengarkan seorang wanita menangis!’Baron meraup wajahnya dengan kasar. Sungguh dia pun tak menyangka bisa menemani wanita itu merajuk. Menangis terseduk selama satu jam.Martha menganggukkan kepalanya. Memberikan tanda, dia siap menerima introgasi dari laki-laki dihadapannya itu.“Jadi, penjelasan apa yang ingin kau berikan padaku?” Baron masih menatapnya tajam.‘Huh, dari dulu dia memang tak pernah mau mengalah. Padahal dia yang salah.
‘Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia bisa menjadi seperti ini? Apa sungguh aku telah salah mengira dirinya?’Pikiran Baron bergemuruh. Hatinya tiba-tiba saja menjadi tak menentu. Dia bahkan tak tega melihat wanita itu berbaring lemah tak berdaya. Bagaimanapun, dia pernah menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam hidupnya.Dia berjalan perlahan menghampiri ranjangnya. Duduk tanpa bersuara, menatap wanita itu yang terlihat tidur dengan nyaman oleh obat yang habis dia minum. Rasa lelah yang dia rasakan seakan menghilang. Padahal tadi dia berencana akan pulang ke hotelnya untuk beristirahat.‘Ah, hotel!’ Baron keluar dari kamar wanita itu. Mencari keberadaan Markus yang tengah memberikan perintah kepada anak buahnya untuk membersihkan kekacauan yang baru saja mereka buat.“Carikan selimut yang tebal untukku dan segera bawakan untukku!” setengah tak percaya Markus mendengar permintaan Tuannya. Dia sedikit menaikan kedua alisnya saat mendengar tuannya berkata seperti itu.“Cepat!
Baron memicingkan matanya di kursi penumpang. Matanya ke luar jendela mobilnya. Menatap mantap orang yang dia kenali. 'Aku yakin dia.' Baron tak melepaskan tatapannya sedikitpun. Dia melihat orang itu tengah memegangi dadanya saat berjalan. Sesekali kakinya berhenti dan tangannya menempel pada tembok jalanan. Beberapa detik kemudian dia melihat orang itu ditabrak seseorang hingga membuatnya tersungkur di jalanan. 'Cih, apa dia benar-benar orang itu? Aku rasa mataku salah lihat lagi.' hatinya berkata demikian. Namun, dia menyuruh Markus menghentikan mobilnya. Rasa penasaran dan dia sangat ingin membuktikan sesuatu membuat tekadnya bulat.Menghampiri orang itu yang tengah berusaha bangkit dari orang yang sudah menabraknya tadi. "Ck, ck, ck, apa sungguh kau masih seorang Nona dari keluarga Belvina?" Orang tadi melirik kearah suara. Melihat Baron sudah tepat dihadapannya menaikan rahangnya dengan kasar.Orang tadi berusaha menutupi getaran dalam tubuhnya. Menatap datar wajah orang yan