Sinar matahari baru saja muncul dari langit dan menembus celah-celah dinding kokoh perguruan Taring Rajawali, saat Ayu Utari berjalan ke arah aula utama dengan wajah cemas. Dia yakin Kakeknya itu akan marah besar kali ini dan menghukumnya setelah kejadian penyerangan kemarin yang hampir membuatnya tewas. Sebagai cucu satu-satunya yang sedang dipersiapkan untuk menggantikannya kelak, Anggara Seta memang mendidik Ayu dengan sangat keras. Dia bahkan tidak diizinkan keluar perguruan sendirian tanpa pengawalan karena khawatir para pendekar aliran Hitam akan menggunakan kesempatan itu untuk membunuhnya. "Kakek pasti akan memarahiku habis-habisan," umpatnya dalam hati.Sudah terbayang dalam pikiran Ayu, Kakeknya itu akan mengungkit semua kesalahannya selama ini, dan membandingkan dengan Ibunya yang merupakan pendekar wanita terbaik Taring Rajawali sebelum tewas dalam sebuah pertarungan dengan pendekar misterius."Kakek pasti akan membandingkan aku dengan Ibu tanpa memikirkan .... " Wajah A
Di bawah guyuran hujan dan sambaran petir yang menggelegar, dua orang pria setengah baya terlihat berdiri sambil mengatur nafasnya. Keduanya hanya diam dan saling menatap satu sama lain tanpa bergerak sedikit pun.Sekilas, tak ada yang aneh dengan mereka, namun jika dilihat lebih teliti, tetesan air hujan yang mengguyur tubuh mereka berubah memerah karena bercampur dengan darah yang terus keluar dari luka sayatan pedang di tubuh masing-masing.Salah satu pendekar yang terlihat lebih tua dan berwajah tegas, tiba-tiba menyarungkan kembali pedangnya menandakan sudah bersiap dengan serangan terakhirnya.Melihat lawannya sudah menyarungkan pedangnya, pendekar satunya yang mengenakan penutup wajah bergambar pedang menyilang mulai meningkatkan kembali konsentrasinya. Dia sadar, dalam ilmu pedang, serangan paling berbahaya adalah ketika pedang itu pertama kali meninggalkan sarungnya.Tak mudah untuk menghadapi tipe jurus pedang seperti itu karena tidak ada yang benar-benar tahu ke mana arah d
Seratus tahun kemudian…Suasana Hutan Alas Purwo masih tampak gelap ketika seorang pemuda melesat dengan kecepatan tinggi, menembus rimbunnya hutan itu. Sambil sesekali menoleh kebelakang, dia bergerak lincah dari satu pohon ke pohon lainnya tanpa peduli udara dingin yang menusuk hingga ke tulangnya."Kali ini aku tidak boleh tertangkap lagi oleh si tua itu atau…." Wajah pemuda itu tiba tiba berubah kesal ketika sesosok bayangan yang mengejarnya sudah terlihat dibelakang, padahal dia sangat yakin sudah berlari dengan sekuat tenaga dan meninggalkannya cukup jauh di belakang."Bagaimana bisa tua bangka itu bergerak secepat ini," dengan nafas yang sudah tak beraturan, pemuda itu mencoba meningkatkan kecepatannya agar tidak tertangkap untuk kesekian kalinya."Mau sampai kapan kau terus berlari seperti itu Wira? Ilmu meringankan tubuhmu memang sangat mengejutkan untuk seseorang yang tidak pernah belajar kanuragan, tapi itu semua tidak akan berarti di hadapanku," Melihat kecepatan pemuda it
"Apa katamu!! Wiratama melarikan diri lagi?" Seorang pria setengah baya berwajah tegas langsung menggebrak meja saat mendengar laporan bahwa cucu kesayangannya telah melarikan diri dari perguruan."Mohon maafkan aku ketua, tuan muda sepertinya melarikan diri melalui pintu belakang saat terjadi pergantian penjagaan. Kami sudah berusaha mengejarnya sekuat tenaga sampai kaki gunung Semeru tapi tak berhasil," Jawab pemuda berperawakan kurus dengan suara bergetar menahan takut."Mengejar cucuku?! Apa kalian pikir mampu melakukannya?" Bentak pria itu kesal.Pemuda itu langsung terdiam dengan wajah tertunduk. Dia tampak pasrah karena bagi para pendekar Lembah Siluman, gagal menjalankan tugas sama saja dengan mati."Sifat anak itu benar benar mirip dengan ibunya yang selalu mempermalukan aku dan perguruan Lembah Siluman!!" Pria tua itu terdiam sesaat, dia berusaha mengendalikan amarahnya terlebih dahulu sebelum memberikan perintah."Airin, bawa beberapa pendekar Lembah Siluman Perak dan temu
"Kakang Setya !!" Para pendekar Tapak Beracun tersentak kaget saat melihat tubuh temannya sudah melayang di udara dalam posisi telapak tangan menempel di dada Wiratama."Cepat bantu aku, pemuda sialan ini terus menghisap tenaga dalam dan energi kehidupanku!" Teriak Setya panik.Dengan wajah yang semakin memucat, Setya terlihat berusaha melepaskan tangannya dari tubuh Wiratama. Namun, sekuat apapun dia berusaha, lengannya seperti menyatu dengan kulit pemuda itu.Setya semakin berteriak kesakitan ketika tenaga dalam yang terhisap keluar dengan kecepatan tinggi itu mulai melukai urat nadinya."Menghisap tenaga dalam? Tua bangka sialan! Jurus terlarang apa yang kau ajarkan pada bocah itu," Melihat tubuh Setya berubah keriput dan mengering dengan sangat cepat, dua pendekar Tapak Beracun itu langsung bergerak melewati Sudarta untuk membantu temannya."Hei tunggu, jangan mendekatinya! Kalian bisa ikut terbunuh jika menyentuh tubuhnya!" Sudarta berusaha memperingatkan para pendekar itu namun
Beberapa jam setelah terjatuh dan tak sadarkan diri di dekat mulut gua, Wiratama mulai mendapatkan kembali kesadarannya. Walau masih merasakan sakit di bagian kepala, tapi dia tetap memaksakan tubuhnya bergerak dan bersandar di dinding gua."Aku masih hidup?" Untuk beberapa saat, Wiratama terdiam dalam posisi tubuh bersandar. Dia ingin meredam rasa sakitnya itu terlebih dahulu sebelum memikirkan rencana lainnya."Andai aku menguasai ilmu kanuragan sehebat kakek, mungkin rasa sakit ini .... " Ucapan Wiratama tiba-tiba terhenti, saat teringat dengan kata-kata kakeknya ketika dia dipaksa berlatih ilmu kanuragan."Alirkan tenaga dalammu ke seluruh tubuh secara perlahan ketika sedang terluka. Itu akan sedikit meredakan rasa sakit sebelum kau mendapatkan pertolongan lebih lanjut.""Mengalirkan tenaga dalam keseluruh tubuh? Apa dia pikir itu mudah?!!" Wiratama sempat mengumpat kesal, namun pada akhirnya, dia mencoba menggunakan jurus itu karena sudah tidak tahan dengan rasa sakit di kepalany
Sinar matahari baru saja muncul dari langit dan menembus celah-celah dinding kokoh perguruan Taring Rajawali, saat Ayu Utari berjalan ke arah aula utama dengan wajah cemas. Dia yakin Kakeknya itu akan marah besar kali ini dan menghukumnya setelah kejadian penyerangan kemarin yang hampir membuatnya tewas. Sebagai cucu satu-satunya yang sedang dipersiapkan untuk menggantikannya kelak, Anggara Seta memang mendidik Ayu dengan sangat keras. Dia bahkan tidak diizinkan keluar perguruan sendirian tanpa pengawalan karena khawatir para pendekar aliran Hitam akan menggunakan kesempatan itu untuk membunuhnya. "Kakek pasti akan memarahiku habis-habisan," umpatnya dalam hati.Sudah terbayang dalam pikiran Ayu, Kakeknya itu akan mengungkit semua kesalahannya selama ini, dan membandingkan dengan Ibunya yang merupakan pendekar wanita terbaik Taring Rajawali sebelum tewas dalam sebuah pertarungan dengan pendekar misterius."Kakek pasti akan membandingkan aku dengan Ibu tanpa memikirkan .... " Wajah A
"Anggara Seta?! Gawat, aku berada dalam masalah besar kali ini," ucap pendekar itu terkejut sambil menahan rasa sakit disekujur tubuhnya."Kakek, bagaimana kau bisa ada di .... ""Cukup Ayu! Kau tau apa yang akan terjadi jika Kakek datang terlambat? Setelah masalah ini selesai, Kakek akan memastikan kau dihukum berat," Pria tua itu menggerakkan tangannya ke depan dan bersiap menyerang."Perguruan Taring Rajawali tidak pernah mencari masalah dengan siapa pun, tapi jika ada yang memulainya duluan, pantang bagi si Tua ini berdiam diri," Pria yang dipanggil Anggara Seta itu tiba-tiba bergerak menyerang dengan kecepatan tinggi."Sial, si Tua ini jelas bukan lawan yang mudah untuk dihadapi. Aku harus segera mencari cara untuk melarikan diri jika tidak ingin mati konyol," Pendekar itu menyambut serangan yang terarah padanya dengan hati-hati.Keduanya langsung bertukar jurus di udara dan dalam waktu singkat, mulai terlihat jelas perbedaan kekuatan di antara mereka. Kecepatan dan variasi serang
Beberapa jam setelah terjatuh dan tak sadarkan diri di dekat mulut gua, Wiratama mulai mendapatkan kembali kesadarannya. Walau masih merasakan sakit di bagian kepala, tapi dia tetap memaksakan tubuhnya bergerak dan bersandar di dinding gua."Aku masih hidup?" Untuk beberapa saat, Wiratama terdiam dalam posisi tubuh bersandar. Dia ingin meredam rasa sakitnya itu terlebih dahulu sebelum memikirkan rencana lainnya."Andai aku menguasai ilmu kanuragan sehebat kakek, mungkin rasa sakit ini .... " Ucapan Wiratama tiba-tiba terhenti, saat teringat dengan kata-kata kakeknya ketika dia dipaksa berlatih ilmu kanuragan."Alirkan tenaga dalammu ke seluruh tubuh secara perlahan ketika sedang terluka. Itu akan sedikit meredakan rasa sakit sebelum kau mendapatkan pertolongan lebih lanjut.""Mengalirkan tenaga dalam keseluruh tubuh? Apa dia pikir itu mudah?!!" Wiratama sempat mengumpat kesal, namun pada akhirnya, dia mencoba menggunakan jurus itu karena sudah tidak tahan dengan rasa sakit di kepalany
"Kakang Setya !!" Para pendekar Tapak Beracun tersentak kaget saat melihat tubuh temannya sudah melayang di udara dalam posisi telapak tangan menempel di dada Wiratama."Cepat bantu aku, pemuda sialan ini terus menghisap tenaga dalam dan energi kehidupanku!" Teriak Setya panik.Dengan wajah yang semakin memucat, Setya terlihat berusaha melepaskan tangannya dari tubuh Wiratama. Namun, sekuat apapun dia berusaha, lengannya seperti menyatu dengan kulit pemuda itu.Setya semakin berteriak kesakitan ketika tenaga dalam yang terhisap keluar dengan kecepatan tinggi itu mulai melukai urat nadinya."Menghisap tenaga dalam? Tua bangka sialan! Jurus terlarang apa yang kau ajarkan pada bocah itu," Melihat tubuh Setya berubah keriput dan mengering dengan sangat cepat, dua pendekar Tapak Beracun itu langsung bergerak melewati Sudarta untuk membantu temannya."Hei tunggu, jangan mendekatinya! Kalian bisa ikut terbunuh jika menyentuh tubuhnya!" Sudarta berusaha memperingatkan para pendekar itu namun
"Apa katamu!! Wiratama melarikan diri lagi?" Seorang pria setengah baya berwajah tegas langsung menggebrak meja saat mendengar laporan bahwa cucu kesayangannya telah melarikan diri dari perguruan."Mohon maafkan aku ketua, tuan muda sepertinya melarikan diri melalui pintu belakang saat terjadi pergantian penjagaan. Kami sudah berusaha mengejarnya sekuat tenaga sampai kaki gunung Semeru tapi tak berhasil," Jawab pemuda berperawakan kurus dengan suara bergetar menahan takut."Mengejar cucuku?! Apa kalian pikir mampu melakukannya?" Bentak pria itu kesal.Pemuda itu langsung terdiam dengan wajah tertunduk. Dia tampak pasrah karena bagi para pendekar Lembah Siluman, gagal menjalankan tugas sama saja dengan mati."Sifat anak itu benar benar mirip dengan ibunya yang selalu mempermalukan aku dan perguruan Lembah Siluman!!" Pria tua itu terdiam sesaat, dia berusaha mengendalikan amarahnya terlebih dahulu sebelum memberikan perintah."Airin, bawa beberapa pendekar Lembah Siluman Perak dan temu
Seratus tahun kemudian…Suasana Hutan Alas Purwo masih tampak gelap ketika seorang pemuda melesat dengan kecepatan tinggi, menembus rimbunnya hutan itu. Sambil sesekali menoleh kebelakang, dia bergerak lincah dari satu pohon ke pohon lainnya tanpa peduli udara dingin yang menusuk hingga ke tulangnya."Kali ini aku tidak boleh tertangkap lagi oleh si tua itu atau…." Wajah pemuda itu tiba tiba berubah kesal ketika sesosok bayangan yang mengejarnya sudah terlihat dibelakang, padahal dia sangat yakin sudah berlari dengan sekuat tenaga dan meninggalkannya cukup jauh di belakang."Bagaimana bisa tua bangka itu bergerak secepat ini," dengan nafas yang sudah tak beraturan, pemuda itu mencoba meningkatkan kecepatannya agar tidak tertangkap untuk kesekian kalinya."Mau sampai kapan kau terus berlari seperti itu Wira? Ilmu meringankan tubuhmu memang sangat mengejutkan untuk seseorang yang tidak pernah belajar kanuragan, tapi itu semua tidak akan berarti di hadapanku," Melihat kecepatan pemuda it
Di bawah guyuran hujan dan sambaran petir yang menggelegar, dua orang pria setengah baya terlihat berdiri sambil mengatur nafasnya. Keduanya hanya diam dan saling menatap satu sama lain tanpa bergerak sedikit pun.Sekilas, tak ada yang aneh dengan mereka, namun jika dilihat lebih teliti, tetesan air hujan yang mengguyur tubuh mereka berubah memerah karena bercampur dengan darah yang terus keluar dari luka sayatan pedang di tubuh masing-masing.Salah satu pendekar yang terlihat lebih tua dan berwajah tegas, tiba-tiba menyarungkan kembali pedangnya menandakan sudah bersiap dengan serangan terakhirnya.Melihat lawannya sudah menyarungkan pedangnya, pendekar satunya yang mengenakan penutup wajah bergambar pedang menyilang mulai meningkatkan kembali konsentrasinya. Dia sadar, dalam ilmu pedang, serangan paling berbahaya adalah ketika pedang itu pertama kali meninggalkan sarungnya.Tak mudah untuk menghadapi tipe jurus pedang seperti itu karena tidak ada yang benar-benar tahu ke mana arah d