Seratus tahun kemudian…
Suasana Hutan Alas Purwo masih tampak gelap ketika seorang pemuda melesat dengan kecepatan tinggi, menembus rimbunnya hutan itu. Sambil sesekali menoleh kebelakang, dia bergerak lincah dari satu pohon ke pohon lainnya tanpa peduli udara dingin yang menusuk hingga ke tulangnya."Kali ini aku tidak boleh tertangkap lagi oleh si tua itu atau…." Wajah pemuda itu tiba tiba berubah kesal ketika sesosok bayangan yang mengejarnya sudah terlihat dibelakang, padahal dia sangat yakin sudah berlari dengan sekuat tenaga dan meninggalkannya cukup jauh di belakang."Bagaimana bisa tua bangka itu bergerak secepat ini," dengan nafas yang sudah tak beraturan, pemuda itu mencoba meningkatkan kecepatannya agar tidak tertangkap untuk kesekian kalinya."Mau sampai kapan kau terus berlari seperti itu Wira? Ilmu meringankan tubuhmu memang sangat mengejutkan untuk seseorang yang tidak pernah belajar kanuragan, tapi itu semua tidak akan berarti di hadapanku," Melihat kecepatan pemuda itu mulai menurun, bayangan hitam yang mengejarnya tiba tiba melemparkan sebuah batu sebesar ibu jari dari tangannya."Bug!"Batu yang bergerak dengan kecepatan tinggi itu menghantam kaki kanan pemuda malang itu hingga tubuhnya oleng dan jatuh ketanah."Kena kau!!" Pria tua itu melompat tinggi di udara sambil melemparkan kembali dua buah batu kecil sebelum mendarat di atas dahan pohon."Sial, kakek tua itu benar benar sudah tidak waras," Wiratama langsung melompat mundur saat melihat dua buah batu kecil bergerak dengan kecepatan tinggi kearahnya ."Duarr!!" Wajah Wira langsung pucat pasi ketika batu yang dilempar oleh Sudarta, kakek yang tidak sengaja ditemuinya di sebuah penginapan itu membentuk lubang yang cukup besar di tanah."Hei!! Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku kakek sialan?" Umpat Wira kesal."Aku hanya ingin kau menemaniku bermain sebentar, apa aku salah?" Jawab pria tua itu sambil tertawa mengejek."Kau bukan hanya salah tapi juga gila!!! Sudah ribuan kali aku mengatakan tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kanuragan dan sejenisnya, kenapa kau masih terus memaksaku?" Bentak Wira kesal."Aku tidak membutuhkan persetujuan siapapun untuk menurunkan ilmu kanuragan, apalagi pada bocah sepertimu," Balas Sudarta tegas sebelum melompat turun dari atas pohon."Atas dasar apa kau mengatakan itu, hah? Apa kau pikir…." Belum sempat Wira menyelesaikan ucapannya, Sudarta sudah melepaskan beberapa totokan ke tubuhnya."Hei, apa yang kau lakukan dengan tubuhku?" Ucap Wira panik."Dasar dari semua ilmu kanuragan adalah pernapasan dan aliran darah, kau harus bisa memaksimalkan keduanya sebelum mempelajari sebuah jurus. Ketika tubuhmu bergerak dengan kecepatan tinggi, aliran darah juga akan meningkat dan itu bisa membuat tenaga dalam cepat habis," Sudarta mencengkram lengan kanan Wira sebelum menariknya mendekat."Kenapa kau selalu memaksakan kehendak pada orang lain, bukankah sudah kubilang…" Ucapan Wira terhenti saat sebuah pukulan keras yang mengandung tenaga dalam mendarat di tubuhnya."Untuk menjadi seorang pendekar, kau juga harus bisa mengatur aliran darahmu, terlebih saat sedang bertarung," Sudarta kembali melepaskan pukulan kearah perut Wira sebelum memutar tubuhnya cepat.Tubuh Wira terdorong mundur. Namun, belum sempat dia bereaksi apapun, Sudarta sudah kembali menyerangnya."Saat banyak pendekar muda ingin menjadi murid si tua ini, bagaimana kau bisa begitu lancangnya menolak aku?" Dua pukulan cepat kembali mendarat di tubuh Wira."Jika memang begitu banyak yang ingin berguru padamu, lalu kenapa kau tidak menjadikan mereka murid?" Tak ingin terus dipukuli, Wira mencoba menyambut serangan itu. Namun karena dia tidak memiliki dasar ilmu kanuragan sama sekali, tubuhnya kembali menjadi sasaran empuk serangan kakek tua yang sudah beberapa hari ini selalu mengganggunya."Bergeraklah tanpa memikirkan arah serangan lawan karena itu akan membuat kecepatan menurun, biarkan tubuhmu mengeluarkan respon alami ketika di serang," Sudarta mencengkram lengan kiri Wira sebelum melepaskan serangan penutup yang membuatnya terjungkal ketanah."Hei, tua bangka! Kau tidak pernah mendengarkan ucapan orang lain ya?" Umpat Wira kesal sambil menahan rasa sakit.Sudarta tak langsung menjawab ucapan Wira, dia cukup yakin tenaga dalamnya tadi keluar dengan sendirinya ketika bersentuhan dengan tubuh pemuda itu."Tidak mungkin…. Apa tubuhnya baru saja menghisap tenaga dalam milikku?" Wajah Sudarta berubah seketika."Ajian Penghancur Sukma Penghisap Energi? Tidak salah lagi, anak ini memiliki bakat unik yang membuatnya tanpa sadar menguasai ajian kuno itu," Ucap Sudarta dalam hati."Dengarkan aku baik baik kakek tua. Aku tidak tau apa tujuanmu melakukan ini, tapi setiap orang memiliki batas kesabaran. Jika kau terus seperti ini, jangan salahkan aku….""Kemampuanmu benar benar menarik, aku semakin tidak sabar untuk menurunkan ilmu kanuragan padamu," Sudarta kembali bergerak menyerang, namun kali ini dengan kekuatan yang jauh lebih besar dari sebelumnya."Hari ini kau harus menjadi muridku!"Wira kembali mengumpat saat serangan Sudarta datang lebih cepat dari sebelumnya, dia kemudian mendorong tubuhnya mundur untuk menghindari serangan itu sambil memperhatikan gerakan kaki Sudarta."Bakat yang kau miliki benar benar menakjubkan, sangat disayangkan jika kau tidak segera mengasahnya," Sudarta mencoba menyerang titik vital Wira untuk melihat reaksi tubuhnya."Apa dia berniat membunuhku?" Wira yang bisa merasakan serangan pria tua itu mulai mematikan langsung panik."Hei kek, tunggu! Bukankah ini sudah terlalu berlebihan?" Wira memutar tubuhnya cepat ketika serangan pria tua itu mengincar lehernya. Namun, belum sempat dia menyeimbangkan kembali tubuhnya, sebuah pukulan cepat sudah mengarah ke perutnya."Sial, dosa apa yang kakek lakukan dimasa lalu hingga aku harus bertemu dengan orang aneh ini!" Sadar tak akan mampu menghindar tepat waktu, Wira memutuskan menyambut serangan itu dengan tangannya."Ingin mengadu tenaga dalam? Jangan bercanda! Bocah sepertimu…." Sudarta tersentak kaget saat melihat gerakan tangan Wira berubah. Dia menggunakan punggung lengan kanannya untuk membelokkan arah serangan, sedangkan tangan kirinya bergerak cepat mengincar perut pria itu."Kau!"Tidak berhenti di situ, Wira kemudian menarik kaki kirinya kebelakang untuk menyeimbangkan tubuhnya sebelum kembali melepaskan beberapa serangan dengan cepat."Tapak Penghancur Iblis? Tidak mungkin, darimana kau belajar jurus sesat itu!" Sudarta bereaksi cepat, dia menyambut serangan itu dengan tangan kanannya sebelum melepaskan tendangan keras ke perut Wira."Buagh!" Wira terdorong beberapa langkah kebelakang sebelum tersungkur sambil memegang perutnya."Sakit sekali….." Wira mengerang kesakitan sambil tangannya menunjuk nunjuk pria dihadapannya itu."Hei, tua bangka, apa kau benar benar berniat membunuhku?!"Sudarta terdiam dengan wajah bingung, sorot matanya menatap tajam kearah Wira seolah ingin menelannya hidup hidup."Aku yakin dia tadi menggunakan jurus tapak penghancur Iblis milik Lembah Siluman. Bagaimana bisa dia menguasai jurus yang hanya boleh dipelajari oleh para tetua perguruan sesat itu?" Ucap Sudarta dalam hati.Melihat Sudarta mematung kebingungan, Wira tak menyianyiakan kesempatan itu, dia langsung bangkit sambil bergaya seperti hendak menyerang."Sepertinya kau mengenali jurus tapak iblisku ya, kakek tua? Masih ada waktu untuk mundur, sekarang pergilah dan tinggalkan aku sendirian atau….." Wira menggerakkan tangannya seolah bersiap menggunakan jurus tapaknya tadi. Dia ingin menggunakan nama besar kakeknya untuk mengancam Sudarta."Lembah Siluman ya? Jika kau memang berasal dari perguruan sesat itu, aku justru semakin bersemangat untuk membawamu ke jalan yang lurus!" Sudarta tiba tiba melepaskan aura yang cukup besar dari tubuhnya."Hei… Hei… Bukankah seharusnya tidak seperti ini?" Ucap Wira panik."Apa katamu!! Wiratama melarikan diri lagi?" Seorang pria setengah baya berwajah tegas langsung menggebrak meja saat mendengar laporan bahwa cucu kesayangannya telah melarikan diri dari perguruan."Mohon maafkan aku ketua, tuan muda sepertinya melarikan diri melalui pintu belakang saat terjadi pergantian penjagaan. Kami sudah berusaha mengejarnya sekuat tenaga sampai kaki gunung Semeru tapi tak berhasil," Jawab pemuda berperawakan kurus dengan suara bergetar menahan takut."Mengejar cucuku?! Apa kalian pikir mampu melakukannya?" Bentak pria itu kesal.Pemuda itu langsung terdiam dengan wajah tertunduk. Dia tampak pasrah karena bagi para pendekar Lembah Siluman, gagal menjalankan tugas sama saja dengan mati."Sifat anak itu benar benar mirip dengan ibunya yang selalu mempermalukan aku dan perguruan Lembah Siluman!!" Pria tua itu terdiam sesaat, dia berusaha mengendalikan amarahnya terlebih dahulu sebelum memberikan perintah."Airin, bawa beberapa pendekar Lembah Siluman Perak dan temu
"Kakang Setya !!" Para pendekar Tapak Beracun tersentak kaget saat melihat tubuh temannya sudah melayang di udara dalam posisi telapak tangan menempel di dada Wiratama."Cepat bantu aku, pemuda sialan ini terus menghisap tenaga dalam dan energi kehidupanku!" Teriak Setya panik.Dengan wajah yang semakin memucat, Setya terlihat berusaha melepaskan tangannya dari tubuh Wiratama. Namun, sekuat apapun dia berusaha, lengannya seperti menyatu dengan kulit pemuda itu.Setya semakin berteriak kesakitan ketika tenaga dalam yang terhisap keluar dengan kecepatan tinggi itu mulai melukai urat nadinya."Menghisap tenaga dalam? Tua bangka sialan! Jurus terlarang apa yang kau ajarkan pada bocah itu," Melihat tubuh Setya berubah keriput dan mengering dengan sangat cepat, dua pendekar Tapak Beracun itu langsung bergerak melewati Sudarta untuk membantu temannya."Hei tunggu, jangan mendekatinya! Kalian bisa ikut terbunuh jika menyentuh tubuhnya!" Sudarta berusaha memperingatkan para pendekar itu namun
Beberapa jam setelah terjatuh dan tak sadarkan diri di dekat mulut gua, Wiratama mulai mendapatkan kembali kesadarannya. Walau masih merasakan sakit di bagian kepala, tapi dia tetap memaksakan tubuhnya bergerak dan bersandar di dinding gua."Aku masih hidup?" Untuk beberapa saat, Wiratama terdiam dalam posisi tubuh bersandar. Dia ingin meredam rasa sakitnya itu terlebih dahulu sebelum memikirkan rencana lainnya."Andai aku menguasai ilmu kanuragan sehebat kakek, mungkin rasa sakit ini .... " Ucapan Wiratama tiba-tiba terhenti, saat teringat dengan kata-kata kakeknya ketika dia dipaksa berlatih ilmu kanuragan."Alirkan tenaga dalammu ke seluruh tubuh secara perlahan ketika sedang terluka. Itu akan sedikit meredakan rasa sakit sebelum kau mendapatkan pertolongan lebih lanjut.""Mengalirkan tenaga dalam keseluruh tubuh? Apa dia pikir itu mudah?!!" Wiratama sempat mengumpat kesal, namun pada akhirnya, dia mencoba menggunakan jurus itu karena sudah tidak tahan dengan rasa sakit di kepalany
"Anggara Seta?! Gawat, aku berada dalam masalah besar kali ini," ucap pendekar itu terkejut sambil menahan rasa sakit disekujur tubuhnya."Kakek, bagaimana kau bisa ada di .... ""Cukup Ayu! Kau tau apa yang akan terjadi jika Kakek datang terlambat? Setelah masalah ini selesai, Kakek akan memastikan kau dihukum berat," Pria tua itu menggerakkan tangannya ke depan dan bersiap menyerang."Perguruan Taring Rajawali tidak pernah mencari masalah dengan siapa pun, tapi jika ada yang memulainya duluan, pantang bagi si Tua ini berdiam diri," Pria yang dipanggil Anggara Seta itu tiba-tiba bergerak menyerang dengan kecepatan tinggi."Sial, si Tua ini jelas bukan lawan yang mudah untuk dihadapi. Aku harus segera mencari cara untuk melarikan diri jika tidak ingin mati konyol," Pendekar itu menyambut serangan yang terarah padanya dengan hati-hati.Keduanya langsung bertukar jurus di udara dan dalam waktu singkat, mulai terlihat jelas perbedaan kekuatan di antara mereka. Kecepatan dan variasi serang
Sinar matahari baru saja muncul dari langit dan menembus celah-celah dinding kokoh perguruan Taring Rajawali, saat Ayu Utari berjalan ke arah aula utama dengan wajah cemas. Dia yakin Kakeknya itu akan marah besar kali ini dan menghukumnya setelah kejadian penyerangan kemarin yang hampir membuatnya tewas. Sebagai cucu satu-satunya yang sedang dipersiapkan untuk menggantikannya kelak, Anggara Seta memang mendidik Ayu dengan sangat keras. Dia bahkan tidak diizinkan keluar perguruan sendirian tanpa pengawalan karena khawatir para pendekar aliran Hitam akan menggunakan kesempatan itu untuk membunuhnya. "Kakek pasti akan memarahiku habis-habisan," umpatnya dalam hati.Sudah terbayang dalam pikiran Ayu, Kakeknya itu akan mengungkit semua kesalahannya selama ini, dan membandingkan dengan Ibunya yang merupakan pendekar wanita terbaik Taring Rajawali sebelum tewas dalam sebuah pertarungan dengan pendekar misterius."Kakek pasti akan membandingkan aku dengan Ibu tanpa memikirkan .... " Wajah A
Di bawah guyuran hujan dan sambaran petir yang menggelegar, dua orang pria setengah baya terlihat berdiri sambil mengatur nafasnya. Keduanya hanya diam dan saling menatap satu sama lain tanpa bergerak sedikit pun.Sekilas, tak ada yang aneh dengan mereka, namun jika dilihat lebih teliti, tetesan air hujan yang mengguyur tubuh mereka berubah memerah karena bercampur dengan darah yang terus keluar dari luka sayatan pedang di tubuh masing-masing.Salah satu pendekar yang terlihat lebih tua dan berwajah tegas, tiba-tiba menyarungkan kembali pedangnya menandakan sudah bersiap dengan serangan terakhirnya.Melihat lawannya sudah menyarungkan pedangnya, pendekar satunya yang mengenakan penutup wajah bergambar pedang menyilang mulai meningkatkan kembali konsentrasinya. Dia sadar, dalam ilmu pedang, serangan paling berbahaya adalah ketika pedang itu pertama kali meninggalkan sarungnya.Tak mudah untuk menghadapi tipe jurus pedang seperti itu karena tidak ada yang benar-benar tahu ke mana arah d
Sinar matahari baru saja muncul dari langit dan menembus celah-celah dinding kokoh perguruan Taring Rajawali, saat Ayu Utari berjalan ke arah aula utama dengan wajah cemas. Dia yakin Kakeknya itu akan marah besar kali ini dan menghukumnya setelah kejadian penyerangan kemarin yang hampir membuatnya tewas. Sebagai cucu satu-satunya yang sedang dipersiapkan untuk menggantikannya kelak, Anggara Seta memang mendidik Ayu dengan sangat keras. Dia bahkan tidak diizinkan keluar perguruan sendirian tanpa pengawalan karena khawatir para pendekar aliran Hitam akan menggunakan kesempatan itu untuk membunuhnya. "Kakek pasti akan memarahiku habis-habisan," umpatnya dalam hati.Sudah terbayang dalam pikiran Ayu, Kakeknya itu akan mengungkit semua kesalahannya selama ini, dan membandingkan dengan Ibunya yang merupakan pendekar wanita terbaik Taring Rajawali sebelum tewas dalam sebuah pertarungan dengan pendekar misterius."Kakek pasti akan membandingkan aku dengan Ibu tanpa memikirkan .... " Wajah A
"Anggara Seta?! Gawat, aku berada dalam masalah besar kali ini," ucap pendekar itu terkejut sambil menahan rasa sakit disekujur tubuhnya."Kakek, bagaimana kau bisa ada di .... ""Cukup Ayu! Kau tau apa yang akan terjadi jika Kakek datang terlambat? Setelah masalah ini selesai, Kakek akan memastikan kau dihukum berat," Pria tua itu menggerakkan tangannya ke depan dan bersiap menyerang."Perguruan Taring Rajawali tidak pernah mencari masalah dengan siapa pun, tapi jika ada yang memulainya duluan, pantang bagi si Tua ini berdiam diri," Pria yang dipanggil Anggara Seta itu tiba-tiba bergerak menyerang dengan kecepatan tinggi."Sial, si Tua ini jelas bukan lawan yang mudah untuk dihadapi. Aku harus segera mencari cara untuk melarikan diri jika tidak ingin mati konyol," Pendekar itu menyambut serangan yang terarah padanya dengan hati-hati.Keduanya langsung bertukar jurus di udara dan dalam waktu singkat, mulai terlihat jelas perbedaan kekuatan di antara mereka. Kecepatan dan variasi serang
Beberapa jam setelah terjatuh dan tak sadarkan diri di dekat mulut gua, Wiratama mulai mendapatkan kembali kesadarannya. Walau masih merasakan sakit di bagian kepala, tapi dia tetap memaksakan tubuhnya bergerak dan bersandar di dinding gua."Aku masih hidup?" Untuk beberapa saat, Wiratama terdiam dalam posisi tubuh bersandar. Dia ingin meredam rasa sakitnya itu terlebih dahulu sebelum memikirkan rencana lainnya."Andai aku menguasai ilmu kanuragan sehebat kakek, mungkin rasa sakit ini .... " Ucapan Wiratama tiba-tiba terhenti, saat teringat dengan kata-kata kakeknya ketika dia dipaksa berlatih ilmu kanuragan."Alirkan tenaga dalammu ke seluruh tubuh secara perlahan ketika sedang terluka. Itu akan sedikit meredakan rasa sakit sebelum kau mendapatkan pertolongan lebih lanjut.""Mengalirkan tenaga dalam keseluruh tubuh? Apa dia pikir itu mudah?!!" Wiratama sempat mengumpat kesal, namun pada akhirnya, dia mencoba menggunakan jurus itu karena sudah tidak tahan dengan rasa sakit di kepalany
"Kakang Setya !!" Para pendekar Tapak Beracun tersentak kaget saat melihat tubuh temannya sudah melayang di udara dalam posisi telapak tangan menempel di dada Wiratama."Cepat bantu aku, pemuda sialan ini terus menghisap tenaga dalam dan energi kehidupanku!" Teriak Setya panik.Dengan wajah yang semakin memucat, Setya terlihat berusaha melepaskan tangannya dari tubuh Wiratama. Namun, sekuat apapun dia berusaha, lengannya seperti menyatu dengan kulit pemuda itu.Setya semakin berteriak kesakitan ketika tenaga dalam yang terhisap keluar dengan kecepatan tinggi itu mulai melukai urat nadinya."Menghisap tenaga dalam? Tua bangka sialan! Jurus terlarang apa yang kau ajarkan pada bocah itu," Melihat tubuh Setya berubah keriput dan mengering dengan sangat cepat, dua pendekar Tapak Beracun itu langsung bergerak melewati Sudarta untuk membantu temannya."Hei tunggu, jangan mendekatinya! Kalian bisa ikut terbunuh jika menyentuh tubuhnya!" Sudarta berusaha memperingatkan para pendekar itu namun
"Apa katamu!! Wiratama melarikan diri lagi?" Seorang pria setengah baya berwajah tegas langsung menggebrak meja saat mendengar laporan bahwa cucu kesayangannya telah melarikan diri dari perguruan."Mohon maafkan aku ketua, tuan muda sepertinya melarikan diri melalui pintu belakang saat terjadi pergantian penjagaan. Kami sudah berusaha mengejarnya sekuat tenaga sampai kaki gunung Semeru tapi tak berhasil," Jawab pemuda berperawakan kurus dengan suara bergetar menahan takut."Mengejar cucuku?! Apa kalian pikir mampu melakukannya?" Bentak pria itu kesal.Pemuda itu langsung terdiam dengan wajah tertunduk. Dia tampak pasrah karena bagi para pendekar Lembah Siluman, gagal menjalankan tugas sama saja dengan mati."Sifat anak itu benar benar mirip dengan ibunya yang selalu mempermalukan aku dan perguruan Lembah Siluman!!" Pria tua itu terdiam sesaat, dia berusaha mengendalikan amarahnya terlebih dahulu sebelum memberikan perintah."Airin, bawa beberapa pendekar Lembah Siluman Perak dan temu
Seratus tahun kemudian…Suasana Hutan Alas Purwo masih tampak gelap ketika seorang pemuda melesat dengan kecepatan tinggi, menembus rimbunnya hutan itu. Sambil sesekali menoleh kebelakang, dia bergerak lincah dari satu pohon ke pohon lainnya tanpa peduli udara dingin yang menusuk hingga ke tulangnya."Kali ini aku tidak boleh tertangkap lagi oleh si tua itu atau…." Wajah pemuda itu tiba tiba berubah kesal ketika sesosok bayangan yang mengejarnya sudah terlihat dibelakang, padahal dia sangat yakin sudah berlari dengan sekuat tenaga dan meninggalkannya cukup jauh di belakang."Bagaimana bisa tua bangka itu bergerak secepat ini," dengan nafas yang sudah tak beraturan, pemuda itu mencoba meningkatkan kecepatannya agar tidak tertangkap untuk kesekian kalinya."Mau sampai kapan kau terus berlari seperti itu Wira? Ilmu meringankan tubuhmu memang sangat mengejutkan untuk seseorang yang tidak pernah belajar kanuragan, tapi itu semua tidak akan berarti di hadapanku," Melihat kecepatan pemuda it
Di bawah guyuran hujan dan sambaran petir yang menggelegar, dua orang pria setengah baya terlihat berdiri sambil mengatur nafasnya. Keduanya hanya diam dan saling menatap satu sama lain tanpa bergerak sedikit pun.Sekilas, tak ada yang aneh dengan mereka, namun jika dilihat lebih teliti, tetesan air hujan yang mengguyur tubuh mereka berubah memerah karena bercampur dengan darah yang terus keluar dari luka sayatan pedang di tubuh masing-masing.Salah satu pendekar yang terlihat lebih tua dan berwajah tegas, tiba-tiba menyarungkan kembali pedangnya menandakan sudah bersiap dengan serangan terakhirnya.Melihat lawannya sudah menyarungkan pedangnya, pendekar satunya yang mengenakan penutup wajah bergambar pedang menyilang mulai meningkatkan kembali konsentrasinya. Dia sadar, dalam ilmu pedang, serangan paling berbahaya adalah ketika pedang itu pertama kali meninggalkan sarungnya.Tak mudah untuk menghadapi tipe jurus pedang seperti itu karena tidak ada yang benar-benar tahu ke mana arah d