Di bawah guyuran hujan dan sambaran petir yang menggelegar, dua orang pria setengah baya terlihat berdiri sambil mengatur nafasnya. Keduanya hanya diam dan saling menatap satu sama lain tanpa bergerak sedikit pun.
Sekilas, tak ada yang aneh dengan mereka, namun jika dilihat lebih teliti, tetesan air hujan yang mengguyur tubuh mereka berubah memerah karena bercampur dengan darah yang terus keluar dari luka sayatan pedang di tubuh masing-masing.Salah satu pendekar yang terlihat lebih tua dan berwajah tegas, tiba-tiba menyarungkan kembali pedangnya menandakan sudah bersiap dengan serangan terakhirnya.Melihat lawannya sudah menyarungkan pedangnya, pendekar satunya yang mengenakan penutup wajah bergambar pedang menyilang mulai meningkatkan kembali konsentrasinya. Dia sadar, dalam ilmu pedang, serangan paling berbahaya adalah ketika pedang itu pertama kali meninggalkan sarungnya.Tak mudah untuk menghadapi tipe jurus pedang seperti itu karena tidak ada yang benar-benar tahu ke mana arah dan jenis serangan, sebelum pedang itu tercabut dari sarungnya. Hanya ada beberapa pendekar tingkat tinggi yang mampu membaca arah serangan, itu pun hanya sebuah perkiraan yang didapat dari pengalaman bertarung."Sepertinya, puncak Semeru akan menjadi saksi berakhirnya permusuhan kita, Setya. Malam ini, di bawah guyuran hujan, salah satu dari kita mungkin akan mati penasaran membawa dendam yang besar," ucap pria yang mengenakan penutup wajah sambil menghela nafas."Dendam? Bukankah kau sendiri yang menciptakan dan memelihara dendam di dalam hatimu, Sansan? Aku bersedia membuang pedangku sekarang juga jika kau pun melakukannya. Kita tak harus melakukan ini dan berakhir tragis seperti ini," balas pria berwajah tegas.Pria yang dipanggil Sansan itu tertawa kecil sambil menggeleng pelan, seketika bayangan indah masa lalunya bersama orang yang kini jadi lawan terberatnya itu muncul di kepalanya.Bayangan saat mereka bersumpah untuk saling menjaga di tengah pusaran dunia persilatan yang kejam dan penuh kepalsuan. Namun kini, sumpah itu seolah menguap begitu saja ketika Sansan dengan kejam membunuh Ayu Utari, wanita yang paling dicintai Arya Setya."Aku sudah lelah Setya, dan aku benar-benar muak dengan kebaikan palsu yang kau tunjukkan. Tak ada jalan bagiku untuk kembali setelah memenggal kepala gadis itu. Kita berdua sudah menderita begitu lama karena permusuhan ini, satu-satunya cara untuk menghentikannya adalah salah satu atau bahkan kita berdua harus mati."Arya Setya yang merupakan ketua perguruan Alang Alang Kumitir menatap mantan sahabat sekaligus adik seperguruannya itu dengan wajah sedih. Dia tidak menyangka, kenangan indah dan perjuangan mereka di masa kecil untuk menaklukkan dunia persilatan akan berakhir tragis dengan saling bunuh hanya karena seorang wanita."Tidak Sansan, masih ada kesempatan untukmu kembali ke Alang Alang Kumitir. Kematian Ayu di tanganmu mungkin sudah menjadi kehendak alam. Asal kau mau memperbaiki kesalahan, aku akan mencoba memaafkan dirimu," balas Arya Setya."Kembali ke Alang Alang Kumitir? Apa kau bercanda? Aku tak akan sudi kembali ke tempat yang penuh dengan kepalsuan itu," jawab Sansan sinis.Setya terdiam sesaat, raut keputusasaan mulai tergambar jelas di wajahnya karena gagal membujuk adik seperguruannya."Ini semua memang salahku … Tolong maafkan Kakak tidak berguna ini jika terpaksa membunuhmu," Arya Setya menarik nafas panjang sebelum bersiap dengan jurus andalannya."Majulah, apa pun hasil pertarungan ini kau tetap adik kecil yang kutemukan di desa Trowulan.""Jangan terlalu sombong Setya, walau kau menguasai ilmu pedang Matahari milik Guru, dalam beberapa tahun ini aku juga sudah bertambah kuat," Sansan menarik pedangnya ke depan.Keduanya terdiam cukup lama dalam posisi siap menyerang, sebelum bergerak bersamaan ketika suara petir terdengar dari langit.Saat keduanya bergerak, bebatuan yang ada di sekitar area pertarungan kembali beterbangan di udara. Gesekan tenaga dalam yang meluap dari tubuh mereka membuat udara memadat dan mengangkat semua yang ada di sekitarnya."Maafkan aku Kakang Setya, ini harus kulakukan untuk menyelamatkanmu dari Iblis itu," ucap Sansan dalam hati sambil melepaskan aura membunuh yang sangat pekat dari tubuhnya.Arya Setya yang sedikit lebih unggul dalam hal kecepatan menyerang lebih dulu, memanfaatkan kuda-kuda Sansan yang belum terbentuk sempurna, dia menendang batu kecil yang melayang di dekat kakinya ke arah lawan sebelum mencabut pedangnya.Sangat cepat dan tanpa suara, hanya itu yang bisa menggambarkan gerakan Arya Setya setelah pedang tercabut."Jurus Pedang Matahari tingkat empat : Hembusan angin malam penghancur sukma!"Serangan itu datang dengan cepat.Dan sesuai dengan dugaan Sansan, serangan yang terlihat sederhana tapi mematikan itu tak mampu dihindarinya dengan sempurna walau dia sudah mencoba membaca ke mana pedang itu akan bergerak setelah keluar dari sarungnya.Sansan kemudian mendorong tubuhnya ke belakang untuk mengurangi efek serangan, namun karena pijakan kakinya goyah akibat tekanan besar tenaga dalam Arya Setya, pertahanannya langsung terbuka lebar.Melihat pertahanan Sansan goyah akibat serangan pertamanya, Arya Setya kembali melepaskan serangan yang jauh lebih cepat.Bukannya gentar dengan serangan bertubi-tubi Arya Setya, Sansan justru terlihat semakin bersemangat walau tubuhnya sudah mulai mencapai batasnya. Dia tampak sudah tidak peduli lagi dengan kemenangan, yang ada di pikirannya saat ini adalah membalas "kasih sayang" Arya Setya selama ini dengan caranya sendiri.Sansan secara mengejutkan berhasil menangkis serangan Arya Setya di detik terakhir, tapi ketika dia berusaha menyerang balik, sesuatu yang mengejutkan terjadi.Ayunan pedang Arya Setya berubah begitu lembut, dia menggeser sedikit pegangan tangan di gagang pedangnya untuk memindahkan beban ke tangan kiri sebelum melakukan serangan tusukan."Jurus pedang Matahari tingkat enam : Tusukan penghancur batu karang!"Empat tusukan dalam waktu kurang dari satu detik menghunjam tubuh Sansan tanpa bisa dihindari. Pria malang itu seolah merasakan dua putaran waktu berjalan berbeda di sekitarnya.Tubuhnya terasa melambat, namun di saat bersamaan kecepatan Arya Setya justru meningkat tajam."Luar biasa ... Kau memang pantas menjadi murid kesayangan Guru Kakang," tubuh Sansan langsung terhuyung, kali ini dia benar-benar telah mencapai batasnya.Dengan lubang menganga di perutnya, Sansan tetap memaksakan berdiri sambil berusaha menjangkau tubuh Arya Setya dengan tangan kirinya."Pada akhirnya yang lemah akan terkubur, dunia persilatan memang kejam," Sansan tersenyum dengan linangan air mata di pipi sebelum tubuhnya roboh ke tanah.Melihat adik kecilnya tergeletak tak berdaya di tanah, Arya Setya langsung membuang pedangnya dan meraih tubuhnya."Sansan!!!" Teriak Arya Setya sambil mendekap erat Sansan."Jangan menangis dan jangan pernah menunjukkan sisi lemahmu di hadapanku, karena kau adalah pendekar yang sangat aku kagumi," ucap Sansan sambil menahan rasa sakit."Apa ini semua karena pedang pusaka Langit?" Ucap Arya Setya lirih."Kau terlalu polos Kakang, sejujurnya aku sama sekali tak tertarik dengan pedang sialan yang diberikan Guru padamu …. " Ucapan Sansan terhenti saat dia batuk darah."Kakang, apa kau tau terkadang kebenaran di dunia persilatan ditentukan oleh kekuatan? Berhati-hatilah karena dunia persilatan tak seindah yang kita bayangkan dulu. Aku …. " Ucapan Sansan terputus, di bawah guyuran air hujan di puncak Semeru, pendekar yang telah membunuh ratusan bahkan ribuan nyawa itu meregang nyawa, sambil tersenyum di pangkuan orang yang paling dia hormati."Sansan!!!" Teriak Arya Setya sambil terus memeluk tubuh adik seperguruannya itu di bawah guyuran hujan. Langit seolah ikut bersedih dengan akhir tragis dua sahabat yang tumbuh bersama di perguruan Alang Alang Kumitir.Tewasnya Sansan tidak hanya menghentikan permusuhan panjang di antara mereka, tapi juga mengukuhkan Arya Setya sebagai pendekar terkuat di Nusantara. Namun gelar terkuat itu hanya bertahan sebentar karena sejak malam itu juga, Arya Setya menghilang bagai ditelan bumi bersama pedang Langitnya.Dia seolah ingin mengubur semuanya termasuk pedang yang paling diburu di dunia persilatan itu bersama kematian adik seperguruannya.Seratus tahun kemudian…Suasana Hutan Alas Purwo masih tampak gelap ketika seorang pemuda melesat dengan kecepatan tinggi, menembus rimbunnya hutan itu. Sambil sesekali menoleh kebelakang, dia bergerak lincah dari satu pohon ke pohon lainnya tanpa peduli udara dingin yang menusuk hingga ke tulangnya."Kali ini aku tidak boleh tertangkap lagi oleh si tua itu atau…." Wajah pemuda itu tiba tiba berubah kesal ketika sesosok bayangan yang mengejarnya sudah terlihat dibelakang, padahal dia sangat yakin sudah berlari dengan sekuat tenaga dan meninggalkannya cukup jauh di belakang."Bagaimana bisa tua bangka itu bergerak secepat ini," dengan nafas yang sudah tak beraturan, pemuda itu mencoba meningkatkan kecepatannya agar tidak tertangkap untuk kesekian kalinya."Mau sampai kapan kau terus berlari seperti itu Wira? Ilmu meringankan tubuhmu memang sangat mengejutkan untuk seseorang yang tidak pernah belajar kanuragan, tapi itu semua tidak akan berarti di hadapanku," Melihat kecepatan pemuda it
"Apa katamu!! Wiratama melarikan diri lagi?" Seorang pria setengah baya berwajah tegas langsung menggebrak meja saat mendengar laporan bahwa cucu kesayangannya telah melarikan diri dari perguruan."Mohon maafkan aku ketua, tuan muda sepertinya melarikan diri melalui pintu belakang saat terjadi pergantian penjagaan. Kami sudah berusaha mengejarnya sekuat tenaga sampai kaki gunung Semeru tapi tak berhasil," Jawab pemuda berperawakan kurus dengan suara bergetar menahan takut."Mengejar cucuku?! Apa kalian pikir mampu melakukannya?" Bentak pria itu kesal.Pemuda itu langsung terdiam dengan wajah tertunduk. Dia tampak pasrah karena bagi para pendekar Lembah Siluman, gagal menjalankan tugas sama saja dengan mati."Sifat anak itu benar benar mirip dengan ibunya yang selalu mempermalukan aku dan perguruan Lembah Siluman!!" Pria tua itu terdiam sesaat, dia berusaha mengendalikan amarahnya terlebih dahulu sebelum memberikan perintah."Airin, bawa beberapa pendekar Lembah Siluman Perak dan temu
"Kakang Setya !!" Para pendekar Tapak Beracun tersentak kaget saat melihat tubuh temannya sudah melayang di udara dalam posisi telapak tangan menempel di dada Wiratama."Cepat bantu aku, pemuda sialan ini terus menghisap tenaga dalam dan energi kehidupanku!" Teriak Setya panik.Dengan wajah yang semakin memucat, Setya terlihat berusaha melepaskan tangannya dari tubuh Wiratama. Namun, sekuat apapun dia berusaha, lengannya seperti menyatu dengan kulit pemuda itu.Setya semakin berteriak kesakitan ketika tenaga dalam yang terhisap keluar dengan kecepatan tinggi itu mulai melukai urat nadinya."Menghisap tenaga dalam? Tua bangka sialan! Jurus terlarang apa yang kau ajarkan pada bocah itu," Melihat tubuh Setya berubah keriput dan mengering dengan sangat cepat, dua pendekar Tapak Beracun itu langsung bergerak melewati Sudarta untuk membantu temannya."Hei tunggu, jangan mendekatinya! Kalian bisa ikut terbunuh jika menyentuh tubuhnya!" Sudarta berusaha memperingatkan para pendekar itu namun
Beberapa jam setelah terjatuh dan tak sadarkan diri di dekat mulut gua, Wiratama mulai mendapatkan kembali kesadarannya. Walau masih merasakan sakit di bagian kepala, tapi dia tetap memaksakan tubuhnya bergerak dan bersandar di dinding gua."Aku masih hidup?" Untuk beberapa saat, Wiratama terdiam dalam posisi tubuh bersandar. Dia ingin meredam rasa sakitnya itu terlebih dahulu sebelum memikirkan rencana lainnya."Andai aku menguasai ilmu kanuragan sehebat kakek, mungkin rasa sakit ini .... " Ucapan Wiratama tiba-tiba terhenti, saat teringat dengan kata-kata kakeknya ketika dia dipaksa berlatih ilmu kanuragan."Alirkan tenaga dalammu ke seluruh tubuh secara perlahan ketika sedang terluka. Itu akan sedikit meredakan rasa sakit sebelum kau mendapatkan pertolongan lebih lanjut.""Mengalirkan tenaga dalam keseluruh tubuh? Apa dia pikir itu mudah?!!" Wiratama sempat mengumpat kesal, namun pada akhirnya, dia mencoba menggunakan jurus itu karena sudah tidak tahan dengan rasa sakit di kepalany
"Anggara Seta?! Gawat, aku berada dalam masalah besar kali ini," ucap pendekar itu terkejut sambil menahan rasa sakit disekujur tubuhnya."Kakek, bagaimana kau bisa ada di .... ""Cukup Ayu! Kau tau apa yang akan terjadi jika Kakek datang terlambat? Setelah masalah ini selesai, Kakek akan memastikan kau dihukum berat," Pria tua itu menggerakkan tangannya ke depan dan bersiap menyerang."Perguruan Taring Rajawali tidak pernah mencari masalah dengan siapa pun, tapi jika ada yang memulainya duluan, pantang bagi si Tua ini berdiam diri," Pria yang dipanggil Anggara Seta itu tiba-tiba bergerak menyerang dengan kecepatan tinggi."Sial, si Tua ini jelas bukan lawan yang mudah untuk dihadapi. Aku harus segera mencari cara untuk melarikan diri jika tidak ingin mati konyol," Pendekar itu menyambut serangan yang terarah padanya dengan hati-hati.Keduanya langsung bertukar jurus di udara dan dalam waktu singkat, mulai terlihat jelas perbedaan kekuatan di antara mereka. Kecepatan dan variasi serang
Sinar matahari baru saja muncul dari langit dan menembus celah-celah dinding kokoh perguruan Taring Rajawali, saat Ayu Utari berjalan ke arah aula utama dengan wajah cemas. Dia yakin Kakeknya itu akan marah besar kali ini dan menghukumnya setelah kejadian penyerangan kemarin yang hampir membuatnya tewas. Sebagai cucu satu-satunya yang sedang dipersiapkan untuk menggantikannya kelak, Anggara Seta memang mendidik Ayu dengan sangat keras. Dia bahkan tidak diizinkan keluar perguruan sendirian tanpa pengawalan karena khawatir para pendekar aliran Hitam akan menggunakan kesempatan itu untuk membunuhnya. "Kakek pasti akan memarahiku habis-habisan," umpatnya dalam hati.Sudah terbayang dalam pikiran Ayu, Kakeknya itu akan mengungkit semua kesalahannya selama ini, dan membandingkan dengan Ibunya yang merupakan pendekar wanita terbaik Taring Rajawali sebelum tewas dalam sebuah pertarungan dengan pendekar misterius."Kakek pasti akan membandingkan aku dengan Ibu tanpa memikirkan .... " Wajah A
Sinar matahari baru saja muncul dari langit dan menembus celah-celah dinding kokoh perguruan Taring Rajawali, saat Ayu Utari berjalan ke arah aula utama dengan wajah cemas. Dia yakin Kakeknya itu akan marah besar kali ini dan menghukumnya setelah kejadian penyerangan kemarin yang hampir membuatnya tewas. Sebagai cucu satu-satunya yang sedang dipersiapkan untuk menggantikannya kelak, Anggara Seta memang mendidik Ayu dengan sangat keras. Dia bahkan tidak diizinkan keluar perguruan sendirian tanpa pengawalan karena khawatir para pendekar aliran Hitam akan menggunakan kesempatan itu untuk membunuhnya. "Kakek pasti akan memarahiku habis-habisan," umpatnya dalam hati.Sudah terbayang dalam pikiran Ayu, Kakeknya itu akan mengungkit semua kesalahannya selama ini, dan membandingkan dengan Ibunya yang merupakan pendekar wanita terbaik Taring Rajawali sebelum tewas dalam sebuah pertarungan dengan pendekar misterius."Kakek pasti akan membandingkan aku dengan Ibu tanpa memikirkan .... " Wajah A
"Anggara Seta?! Gawat, aku berada dalam masalah besar kali ini," ucap pendekar itu terkejut sambil menahan rasa sakit disekujur tubuhnya."Kakek, bagaimana kau bisa ada di .... ""Cukup Ayu! Kau tau apa yang akan terjadi jika Kakek datang terlambat? Setelah masalah ini selesai, Kakek akan memastikan kau dihukum berat," Pria tua itu menggerakkan tangannya ke depan dan bersiap menyerang."Perguruan Taring Rajawali tidak pernah mencari masalah dengan siapa pun, tapi jika ada yang memulainya duluan, pantang bagi si Tua ini berdiam diri," Pria yang dipanggil Anggara Seta itu tiba-tiba bergerak menyerang dengan kecepatan tinggi."Sial, si Tua ini jelas bukan lawan yang mudah untuk dihadapi. Aku harus segera mencari cara untuk melarikan diri jika tidak ingin mati konyol," Pendekar itu menyambut serangan yang terarah padanya dengan hati-hati.Keduanya langsung bertukar jurus di udara dan dalam waktu singkat, mulai terlihat jelas perbedaan kekuatan di antara mereka. Kecepatan dan variasi serang
Beberapa jam setelah terjatuh dan tak sadarkan diri di dekat mulut gua, Wiratama mulai mendapatkan kembali kesadarannya. Walau masih merasakan sakit di bagian kepala, tapi dia tetap memaksakan tubuhnya bergerak dan bersandar di dinding gua."Aku masih hidup?" Untuk beberapa saat, Wiratama terdiam dalam posisi tubuh bersandar. Dia ingin meredam rasa sakitnya itu terlebih dahulu sebelum memikirkan rencana lainnya."Andai aku menguasai ilmu kanuragan sehebat kakek, mungkin rasa sakit ini .... " Ucapan Wiratama tiba-tiba terhenti, saat teringat dengan kata-kata kakeknya ketika dia dipaksa berlatih ilmu kanuragan."Alirkan tenaga dalammu ke seluruh tubuh secara perlahan ketika sedang terluka. Itu akan sedikit meredakan rasa sakit sebelum kau mendapatkan pertolongan lebih lanjut.""Mengalirkan tenaga dalam keseluruh tubuh? Apa dia pikir itu mudah?!!" Wiratama sempat mengumpat kesal, namun pada akhirnya, dia mencoba menggunakan jurus itu karena sudah tidak tahan dengan rasa sakit di kepalany
"Kakang Setya !!" Para pendekar Tapak Beracun tersentak kaget saat melihat tubuh temannya sudah melayang di udara dalam posisi telapak tangan menempel di dada Wiratama."Cepat bantu aku, pemuda sialan ini terus menghisap tenaga dalam dan energi kehidupanku!" Teriak Setya panik.Dengan wajah yang semakin memucat, Setya terlihat berusaha melepaskan tangannya dari tubuh Wiratama. Namun, sekuat apapun dia berusaha, lengannya seperti menyatu dengan kulit pemuda itu.Setya semakin berteriak kesakitan ketika tenaga dalam yang terhisap keluar dengan kecepatan tinggi itu mulai melukai urat nadinya."Menghisap tenaga dalam? Tua bangka sialan! Jurus terlarang apa yang kau ajarkan pada bocah itu," Melihat tubuh Setya berubah keriput dan mengering dengan sangat cepat, dua pendekar Tapak Beracun itu langsung bergerak melewati Sudarta untuk membantu temannya."Hei tunggu, jangan mendekatinya! Kalian bisa ikut terbunuh jika menyentuh tubuhnya!" Sudarta berusaha memperingatkan para pendekar itu namun
"Apa katamu!! Wiratama melarikan diri lagi?" Seorang pria setengah baya berwajah tegas langsung menggebrak meja saat mendengar laporan bahwa cucu kesayangannya telah melarikan diri dari perguruan."Mohon maafkan aku ketua, tuan muda sepertinya melarikan diri melalui pintu belakang saat terjadi pergantian penjagaan. Kami sudah berusaha mengejarnya sekuat tenaga sampai kaki gunung Semeru tapi tak berhasil," Jawab pemuda berperawakan kurus dengan suara bergetar menahan takut."Mengejar cucuku?! Apa kalian pikir mampu melakukannya?" Bentak pria itu kesal.Pemuda itu langsung terdiam dengan wajah tertunduk. Dia tampak pasrah karena bagi para pendekar Lembah Siluman, gagal menjalankan tugas sama saja dengan mati."Sifat anak itu benar benar mirip dengan ibunya yang selalu mempermalukan aku dan perguruan Lembah Siluman!!" Pria tua itu terdiam sesaat, dia berusaha mengendalikan amarahnya terlebih dahulu sebelum memberikan perintah."Airin, bawa beberapa pendekar Lembah Siluman Perak dan temu
Seratus tahun kemudian…Suasana Hutan Alas Purwo masih tampak gelap ketika seorang pemuda melesat dengan kecepatan tinggi, menembus rimbunnya hutan itu. Sambil sesekali menoleh kebelakang, dia bergerak lincah dari satu pohon ke pohon lainnya tanpa peduli udara dingin yang menusuk hingga ke tulangnya."Kali ini aku tidak boleh tertangkap lagi oleh si tua itu atau…." Wajah pemuda itu tiba tiba berubah kesal ketika sesosok bayangan yang mengejarnya sudah terlihat dibelakang, padahal dia sangat yakin sudah berlari dengan sekuat tenaga dan meninggalkannya cukup jauh di belakang."Bagaimana bisa tua bangka itu bergerak secepat ini," dengan nafas yang sudah tak beraturan, pemuda itu mencoba meningkatkan kecepatannya agar tidak tertangkap untuk kesekian kalinya."Mau sampai kapan kau terus berlari seperti itu Wira? Ilmu meringankan tubuhmu memang sangat mengejutkan untuk seseorang yang tidak pernah belajar kanuragan, tapi itu semua tidak akan berarti di hadapanku," Melihat kecepatan pemuda it
Di bawah guyuran hujan dan sambaran petir yang menggelegar, dua orang pria setengah baya terlihat berdiri sambil mengatur nafasnya. Keduanya hanya diam dan saling menatap satu sama lain tanpa bergerak sedikit pun.Sekilas, tak ada yang aneh dengan mereka, namun jika dilihat lebih teliti, tetesan air hujan yang mengguyur tubuh mereka berubah memerah karena bercampur dengan darah yang terus keluar dari luka sayatan pedang di tubuh masing-masing.Salah satu pendekar yang terlihat lebih tua dan berwajah tegas, tiba-tiba menyarungkan kembali pedangnya menandakan sudah bersiap dengan serangan terakhirnya.Melihat lawannya sudah menyarungkan pedangnya, pendekar satunya yang mengenakan penutup wajah bergambar pedang menyilang mulai meningkatkan kembali konsentrasinya. Dia sadar, dalam ilmu pedang, serangan paling berbahaya adalah ketika pedang itu pertama kali meninggalkan sarungnya.Tak mudah untuk menghadapi tipe jurus pedang seperti itu karena tidak ada yang benar-benar tahu ke mana arah d